Pengembangan Panas Bumi Gagasan Awal
5 sebanyak 5 lubang bor. Di pemboran ke-5, kedalaman pemboran
mencapai 128 m. Di antara ke-5 pemboran tersebut, lubang bor ke-3 masih menyemburkan uap yang bertekanan 4 atm atmosfer
dengan suhu 40
o
C sampai sekarang. Pasca pemboran di Kamojang, usaha penyelidikan panas bumi
berhenti sangat lama. Penyelidikan panas bumi kembali aktif, setelah Indonesia mulai bekerja sama dengan USGS, Eurofre,
Selandia Baru, dan UNESCO pada tahun 1964. Selain itu, pihak- pihak dalam negeri, antara lain Dinas Gunung Api, Lembaga
Masalah Ketenagaan LKM, dan Pertamina turut berpartisipasi aktif dalam kegiatan panas bumi pada periode 1964 s.d 1981. Pertamina
sendiri, yang kini memiliki beberapa WKP Wilayah Kerja Pertambangan, mulai ikut penyelidikan panas bumi pada tahun
1974.
Tahun 1971, fokus penyelidikan adalah Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Bali. Hasil pekerjaan tersebut mendorong Pemerintah
untuk membuat prioritas pengembangan panas bumi di Indonesia. Urutan prioritas tersebut adalah Kawah Kamojang, Kawah
Cibeureum, Cisolok dan Gunung Salak yang semuanya berada di Jawa barat, Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah, dan Bali.
Tahun 1972, studi 3G Geologi, Geofisika, dan Geokimia intensif dilakukan di Kawah Kamojang, dan daerah Cisolok. Dua tahun
kemudian, Pertamina bekerjasama dengan Selandia Baru berhasil mengebor sumur di daerah Kamojang dengan kedalaman 600 m
yang menyemburkan uap panas dengan suhu 129
o
C dan tekanan 3 atm, jika dikonversikan setara dengan listrik sebesar 8,6 MW.
Dengan penemuan ini, Kamojang merupakan daerah pertama didirikan PLTP di Indonesia 1981 dengan daya terpasang sebesar
30MW, dan kini kapasitas terpasangnya mencapai 200 MW.
10 tahun kemudian, tahun 1991, berhasil didirikan kembali PLTP skala kecil yakni sekitar 2 MW untuk memenuhi kebutuhan listrik di
sekitar desa-desa Dataran Tinggi Dieng. Keberhasilan pasca di Kamojang ini merupakan serangkaian usaha yang dilakukan sejak
5
6 tahun 1970 oleh USGS, LMK, Direktorat Geologi, ITB, hingga
Pertamina.
Perkembangan Saat Ini
Hasil inventarisasi yang telah dilakukan di Indonesia, hingga saat ini telah teridentifikasi sebanyak 312 lokasi panas bumi Badan Geologi
KESDM 2014, dengan estimasi potensi energi panas bumi sebesar 12.386 MWe Sumber Daya dan 16.524 MWe Cadangan.
Sampai akhir tahun 2014, kapasitas terpasang PLTP di seluruh Indonesia mencapai 1.403,5 MW Buku Statistik EBTKE, 2015.
Produksi listrik dari PLTP meningkat dengan kenaikan sekitar 48 dalam waktu hampir 10 tahun, dari 6.506 GWh pada tahun 2005
menjadi 9.650 GWh pada tahun 2014 Buku Statistik EBTKE, 2015.
Tantangan Pengembangan
Target pemanfaatan panas bumi ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional KEN panas bumi yaitu menjadi lebih dari 5 dalam
bauran energi nasional pada tahun 2025. Namun demikian pengembangan panas bumi terkendala oleh: pertama, investasinya
yang sangat besar, dan kedua, terdapat banyak sumber panas bumi yang jauh dari pusat beban sehingga tidak dapat dimanfaatkan.
Indonesia memiliki potensi sumber daya panas bumi yang besar dibandingkan dengan potensi panas bumi dunia. Namun, hingga
saat ini panas bumi tersebut masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal, khususnya sebagai salah satu energi pilihan
pengganti bahan bakar minyak.
Di Indonesia fluida panas bumi belum banyak digunakan karena Indonesia memiliki banyak sumber air, minyak, gas dan batubara.
Selain itu juga harga listrik yang dihasilkan dari uap panas bumi dianggap mahal dibandingkan dengan harga batubara. Di Asia,
Filipina merupakan negara kedua di dunia yang paling banyak memanfaatkan fluida panas bumi untuk pembangkit listrik karena
Filipina tidak memiliki sumber daya alam lainnya yang dapat
6
7 dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Lain halnya dengan Selandia
Baru. Walaupun potensi panas bumi Selandia Baru cukup besar, tetapi karena tidak ada permintaan listrik yang besar, maka untuk
beberapa tahun mendatang tidak ada lagi lapangan panas bumi yang akan dikembangkan.