III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Pengelolaan Kawasan
Ujung Kulon pertama kali ditetapkan sebagai kawasan suaka alam yaitu pada tahun 1921 melalui keputusan Gubernur Jenderal Belanda Nomor 60 tanggal
16 November 1921 dan tercantum dalam lembar negara nomor 683. Suaka alam ini mencakup wilayah Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan. Sebelum
turunnya keputusan ini, pernah ada peraturan-peraturan lain yang menyangkut wilayah Ujung Kulon, yaitu larangan residen untuk melakukan perburuan
terhadap banteng Bos javanicus, rusa Cervus timorensis, mencek Muntiacus muntjak dan kancil Tragulus javanicus. Selanjutnya ada larangan juga terhadap
perburuan harimau jawa Panthera tigris javanicus, babi hutan Sus scrofa dan badak jawa Rhinoceros sondaicus. Pada tahun 1937 melalui Keputusan
Pemerintah Nomor 17 tanggal 24 Juni 1937 Lembaran Negara No. 420 tahun 1937 status Ujung Kulon diubah menjadi suaka margasatwa yang meliputi
Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Panaitan, Pulau Peucang dan Pulau Handeuleum.
Status Ujung Kulon sebagai suaka margasatwa kembali berubah menjadi cagar alam tahun 1958 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
48UM1958 tanggal 17 April 1958. Pada tahun 1965 dibentuk Seksi Perlindungan dan Pengawetan Alam Ujung Kulon-Panaitan melalui SK Kepala
Direktorat Kehutanan Nomor 738V6KD tanggal 16 September 1965, yang berdiri sendiri dan berkedudukan di Labuan serta mendapat pengawasan langsung
dari Kabag Perlindungan dan Pengawetan Alam, Direktorat Kehutanan. Melalui SK Menteri Pertanian Nomor: 16KptsUm31967 tanggal 16
Maret 1967 Cagar Alam Gunung Honje di bagian Timur tanah genting seluas 10.000 ha yang memisahkan Semenanjung Ujung Kulon dari Pulau Jawa masuk
kedalam kawasan Suaka Alam Ujung Kulon. Pada tahun 1972, tanggung jawab pengelolaan dipegang oleh Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Alam,
Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian. Pada tahun 1979, Gunung Honje Utara masuk kedalam kawasan Suaka Alam Ujung Kulon melalui SK
21 Menteri Pertanian Nomor: 39KptsUm1979 tanggal 11 Januari 1979 seluas 9.498
hektar. Pada tanggal 6 Maret 1980, melalui pernyataan Menteri Pertanian, Ujung
Kulon mulai dikelola dengan Sistem Manajemen Taman Nasional. Tahun 1984 dibentuklah Taman Nasional Ujung Kulon kelembagaannya, melalui SK
Menteri Kehutanan No. 96KptsII1984 yang wilayahnya meliputi Semenanjung Ujung Kulon, Gunung Honje, Pulau Peucang dan Panaitan, Kepulauan Krakatau
dan Hutan Wisata Carita. Berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 44KptsDJ1990 tanggal 8 Mei 1990,
TNUK mengalami pengurangan dengan diserahkannya pengelolaan Kepulauan Krakatau seluas 2.405,1 ha kepada BKSDA II Tanjung Karang dan Hutan Wisata
Carita seluas 95 ha diserahkan kepada Perum Perhutani unit III Jawa Barat. Tahun 1992, Ujung Kulon ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui SK
Menteri Kehutanan No. 284KptsII1992 tanggal 26 Pebruari 1992, meliputi wilayah Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Panaitan, Pulau Peucang, Pulau
Handeuleum dan Gunung Honje dengan luas keseluruhan 120.551 ha yang terdiri dari daratan 76.214 ha dan laut 44.337 ha. Pada tahun 1992 juga, TNUK
ditetapkan sebagai The Natural World Heritage Site oleh Komisi warisan Alam Dunia UNESCO dengan surat keputusan No. SCEco5867.2.409 tahun 1992.
Pembinaan TNUK selanjutnya berada dibawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dimana TNUK sendiri
merupakan Unit Pelaksana Teknis Direktorat jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
B. Letak dan