1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Stigma masyarakat umumnya bahwa perempuan di rumah karena yang mencari nafkah adalah laki-laki atau suami.
1
Menurut Munandar, peran perempuan itu di masa sekarang sudah tidak lagi dikaitkan hanya dengan
kodratnya sebagai perempuan, yaitu sebagai istri atau ibu saja, namun telah berkembang sedemikian rupa sehingga perempuan telah berperan-serta dalam
setiap segi kehidupan masyarakat.
2
Perempuan banyak bekerja tetapi banyak pula yang mengalami diskriminasi upah, pelecehan dan kekerasan di tempat kerja.
3
Keberanian perempuan memasuki sektor informal lebih banyak didukung oleh faktor kebutuhan. Sebagian besar perempuan berupaya menutupi kekurangan
kebutuhan keluarga karena penghasilan suami kecil dan tidak menentu. Sebagian terpaksa berusaha karena suami mendapat musibah, sakit, tertabrak, kecelakaan.
4
Menurut pemahaman penulis bekerja itu bukan hanya tugas dari kaum laki-laki saja, tetapi juga dilakukan oleh kaum perempuan tanpa meninggalkan kodratnya
sebagai seorang perempuan. Perempuan itu bekerja karena faktor keadaan yang harus memenuhi kebutuhan keluarga itu sendiri, karena suaminya mengalami
1
Oey-Gardiner, Mayling; Wagemann, Mildred L.E.; Sule eman, Evelyn; Sulastri 1996, “Perempuan
Indonesia Dulu Dan Kini”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, 235.
2
Munandar, S.C. Utami. 1985, “Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia Suatu Tinjauan Psikologis”, Jakarta: UI-PRES, 1995, V.
3
Da rwin, Muhadjir. 2004, “Gerakan Perempuan Dari Masa Ke Masa”, Jurnal Ilmu Sosial Dan
Politik UGM, Yogyakarta, ISSN 14010-4949 Vol.7 No.3, 23.
4
Oey-Gardiner, Mayling; Wagemann, Mildred L.E.; Suleeman, Evelyn; Sulastri, Ibid, 236.
2
musibah. Perempuan itu menjalankan peran ganda sebagai ibu rumah tangga mengurus anak-anak dan sebagai pencari nafkah untuk membantu ekonomi
keluarga. Kontroversi tentang peran perempuan dalam perekonomian rumah
tangga memunculkan beragam pandangan di masyarakat. Ada anggapan bahwa tugas mencuci, memasak adalah wilayah kaum perempuan.
5
Stigma yang melekat terhadap perempuan dunia ketiga adalah berkaitan dengan kondisinya yang bodoh,
miskin, tidak berpendidikan, tradisional, serta mengalami penindasan.
6
Perempuan secara biologis memiliki potensi yang sama dengan laki- laki untuk menghidupi diri sendiri. Bila laki-laki menggunakan akal sehat untuk
bekerja kemudian memperoleh upah dari apa yang dilakukannya, perempuan pun demikian. Tidak ada hambatan yang signifikan di masyarakat bagi perempuan
yang hendak bekerja, bahkan saat ini masyarakat justru menginginkan anak perempuan mereka bisa bekerja.
7
Pada kebanyakan keluarga saat ini banyak yang menggantungkan keluarga dari pendapatan tidak hanya dari sisi suami, namun juga dari sisi istri. Di
samping itu, meningkat pula jumlah „orang tua tunggal‟, perceraian, dan para suami yang tidak mau lagi memberikan dukungan finansial bagi anaknya, dengan
demikian kebutuhan dukungan finansial anak hanya dibebankan kepada ibunya.
8
5
Sastriyani, Siti Hari ti Editor 2014. “Gender and Politics”, Yogyakarta: Pusat Studi Wanita UGM
Tiara Wacana, 2009, 20.
6
Herr, Ranjoo Seodu. 2014, “Reclaiming Third World Feminism: or Why Transnational Feminism
Needs Third World Feminism”, Meridians 12. 1-30, 2014, 234-235.
7
Sastriyani, Siti Hariti, Ibid, 26.
8
Sumyatiningsih, Dien. “Pergeseran Peran Laki-laki dan Perempuan dalam Kajian Feminis”,
Waskita Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat, UKSW Salatiga,142-143.
3
Dalam situasi ini perempuan harus kuat dan menggunakan kecepatan berpikir dan rencana yang cermat untuk melakukan apa pun yang dia mampu demi
menyelamatkan anak atau keluarganya.
9
Tingginya peningkatan perempuan yang bekerja diduga karena semakin terbukanya kesempatan bekerja bagi perempuan
dan dorongan ekonomi untuk menambah penghasilan.
10
Perempuan bebas menentukan masa depan mereka sendiri dan aktif dalam peran kepimpinan dalam
arena publik.
1112
Menurut pemahaman penulis, perempuan bekerja dan melakukan peran ganda, yaitu karier dan rumah tangga, karena ingin menopang ekonomi
keluarga, memenuhi kebutuhan anak-anak, baik sekolah maupun kebutuhan sehari-hari dan sisi lain, perempuan merawat anak-anak. Menurut Krstic,
perempuan berperan menopang ekonomi keluarga dengan bekerja di luar rumah, baik itu pekerjaan formal maupun informal, seperti rentenir. Rentenir
membungakan uangnya kepada nasabahpeminjam dan menerima ribabunga dari nasabahnya.
13
Praktik rentenir ini menghisap habis uang masyarakat demi mendapatkan profit dengan pemberlakuan bunga pada kredit yang dijalaninya.
Para rentenir memperoleh keuntungan dengan memberikan pinjaman dengan cara
9
Mangililo, Ira D. 2015 “The Shunammite Woman An Indonesian Womans Reading of 2 Kings
48- 37”, Waskita Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat, UKSW, Salatiga, 2015, 21.
10
Soeharto, Triana Noor Edwina Dewayani; Faturochman; dan Adiyanti M. G. 2013, “Peran Nilai
Positif Pekerja- Keluarga Sebagai Mediasi Pengaruh Dukungan Suami Terhadap Kepuasan Kerja Pada Perempuan Bekerja”, Jurnal Psikologi Vol.8 No.1, Juni 2012, 59-70, Fakultas
Psikologi Universitas Mercu Buana Yogya, Juni 2012, 59.
11
Mangililo, Ira D. 2015, “When Rahab and Indonesian Christian Women Meet In The Third
Space”, Journal of Feminist Studies in Religion Indiana University Press, JFSR 31.1 2015
12
–64., 45.
13
Krstic, Snezana ;
Mihajlovic, Milan ; and
Dasic, Milos 2013.
“ Ekonomika Poljoprivrede
” , Journal
829-841, 2013, 831.
4
menetapkan bunga yang cukup tinggi.
14
Dari perspektif feminis, rentenir itu tidak dapat dilakoni oleh seorang perempuan karena secara naluri perempuan itu
dianggap lemah lembut, keibuan dan emosional, sehingga hanya pantas mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan merawat anak.
15
Dari pra penelitian yang penulis lakukan terhadap perempuan yang bekerja sebagai rentenir warga jemaat HKBP Salatiga, cara meminjam uang
kepada rentenir adalah lebih mudah dan lebih efisien dibandingkan dengan di koperasi, bank, atau lembaga karena membutuhkan surat-surat identitas.
Prosesnya lebih cepat dan diberi kemudahan mencicil setiap hari, atau setiap minggu, atau setiap bulan, tergantung kemampuan dan kesepakatan antara
nasabah dan rentenir. Menurut Gustiayu, faktor lain nasabah meminjam pada rentenir, mereka tidak perlu pergi jauh-jauh ke bank faktor lokasi.
16
Penagihan pinjaman dilakukan rentenir sewenang-wenang kepada nasabah yang sudah terlambat membayar cicilan, karena tidak ada jaminan atau
agunan. Tujuan untuk membantu orang lain yang tidak mampu, tapi dalam praktiknya, rentenir membungakan jumlah uang yang dipinjam sehingga
menyimpang dari nilai kebaikan. Hubungan ramah yang dibudidayakan oleh rentenir untuk mempertahankan nasabah yang menguntungkan yang telah
14
Arief, Moh. Zainol dan Sutrisni 2013. “Praktik Rentenir Penghambat Terwujudnya Sistem
H ukum Perbankan Syari’ah Di Kabupaten Sumenep”, Jurnal “PERFORMANCE” Bisnis
Akuntansi Volume III No.2 September 2013, Fakultas Hukum Universitas Wiraraja Sumenep, September 2013, 63.
15
Jackson, Stevi Jones, Jackie 2009, “Teori-teori Feminis Kontemporer”, Yogyakarta:
Jalasutra, 2009, 331.
16
Suarni, Gusti Ayu Putu; Trupalupi, Lulup Endah; Haris, Iyus Akhmad. 2014, “Analisis Faktor
Yang Mempengaruhi Keputusan Nasabah Dalam Pengambilan Kredit Pada LPD Lembaga Perkreditan Desa Pakraman Manggissari
”, Jurnal Jurusan Pendidikan Ekonomi Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia, Vol.4 No.1 Tahun: 2014, 37.
5
mendapatkan kepercayaan rentenir tersebut.
17
Dari pra penelitian yang penulis lakukan ada banyak perempuan rentenir warga jemaat HKBP Salatiga yang
bekerja mulai pukul 03.00 dini hari, sehingga tidak punya waktu untuk memberangkatkan anak-anak sekolah serta mempersiapkan keperluan anak-anak
ke sekolah.
18
Perempuan yang bekerja diharapkan tidak melepaskan tanggung jawab untuk merawat dan memelihara anak-anaknya, sesuatu yang lekat fungsi
perempuan yang telah berumah-tangga.
19
Akibat kurangnya waktu perempuan rentenir untuk merawat atau memelihara anak-anaknya, maka perkembangan
anak-anak tersebut mengakibatkan satu indikasi buruknya kondisi anak-anak dalam mengikuti pelajaran di sekolah.
20
Dan anak bisa bolos atau tidak berangkat ke sekolah.
20
Kendala yang dihadapi perempuan rentenir adalah dalam hal membagi waktu untuk bekerja dan untuk mengurus anak. Melihat kondisi ini, maka
perempuan rentenir perlu pendampingan konseling feminis. Kendala lainnya yang dihadapi perempuan rentenir di lapangan, yaitu mereka harus mampu menghitung
berapa lama waktu untuk pengembalianpenarikan uangnya, karena ada nasabah yang sulit mengembalikan uangnya. Di satu sisi perempuan ini bersikap ramah,
tetapi di sisi lain berhadapan jika nasabah tidak mau membayar, maka rentenir ini harus mampu bersikap keras. Perempuan ini mengalami dilema yang besar dalam
17
Leyshon, Andrew; Signoretta, Paola; Knights, David; Alferoff, Catrina; and Burton, Dawn 2004, “Walking with Moneylenders: The Ecology of the UK Home-collected Credit Industry”, Paper
first received, November 2004; in final form, June 2005, Urban Studies Vol.43 No.1, 161 –186,
January 2006, 25.
18
Pengamatan dan wawancara pra penelitian yang penulis lakukan terhadap beberapa perempuan rentenir.
19
Soeharto, Triana Noor Edwina Dewayani; Faturochman; dan Adiyanti M. G., Ibid, 60.
20
Wawancara dengan ibu Cici.
20
Wawancara dengan ibu JS.
6
kehidupan mereka. Stigma yang melekat pada mereka dari masyarakat perempuan yang kasar. Pekerjaan sebagai rentenir dipandang sebagai pekerjaan yang negatif.
Namun di sisi lain, rentenir juga dibutuhkan masyarakat tertentu dan karena itulah rentenir menjadi eksis.
21
Rentenir pada satu sisi, sering dianggap sebagai lintah darat karena menarik bunga yang tinggi, sedang sisi lain, ia memiliki fungsifungsi
ekonomi yaitu sumber tambahan modal ataupun emergency sumber keuangan untuk kebutuhan konsumsi.
22
Rentenir juga disebut sebagai lembaga permodalan tradisional dalam pasar modal.
23
Dari perspektif feminis, rentenir itu tidak dapat dilakoni oleh seorang perempuan karena secara naluri perempuan itu dianggap
lemah lembut, keibuan, dan emosional, sehingga hanya pantas mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan merawat anak.
24
Berdasarkan hal tersebut, konseling yang berbasis feminis turut hadir memahami fungsi dan peran perempuan rentenir. Dalam konteks penelitian ini
perempuan rentenir ini sebenarnya tidak nyaman dengan pekerjaannya tetapi, karena tuntutan kebutuhan hidup mereka terpaksa menjalaninya. Untuk
memahami kondisi perempuan rentenir ini maka perlu pendampingan konseling berbasis feminis bahwa tujuan konseling feminis adalah mendobrak kebekuan dan
kekakuan epistemologi konseling dalam memahami kompleksitas masalah perempuan, serta memberi bantuan untuk memanusiakan manusia sesuai dengan
21
Hamka, Aldrin Ali Danarti, Tyas. 2010. “Eksistensi Bank Thithil Dalam Kegiatan Pasar
Tradisional Studi Kasus Di Pasar Kota Batu”, Journal of Indonesian Applied Economics,
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, Vol.4 No.1 Mei 2010, 58.
22
Yoserizal, Yessi 2014, “Hubungan Sosial Antara Rentenir Dan Nasabah Suatu Studi Tentang
Rentenir Di Ko ta Pekanbaru”, Pekanbaru: Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Riau, Mei 2014, 7.
23
Kartono, Drajat Tri. 2004, “Pasar Modal Tradisional Analisis Sosiologi Ekonomi Tterhadap
Rentenir”, Jurnal Sosiologi “DILEMA”, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ISSN: 0215-9635 Vol.17 No.1, 2004, 1.
24
Jackson, Stevi Jones, Jackie, Ibid, 331.
7
harkat dan martabatnya yang sama-sama luhur di sisi Tuhan.
25
Menurut Enns, tujuan konseling feminis ialah pemberdayaan, menghargai dan meneguhkan
keragaman, berjuang untuk perubahan daripada penyesuaian, kesetaraan, kemandirian, dan persamaan ketergantungan, perubahan sosial, pengasuhan diri,
membantu individu dalam melihat diri mereka sebagai agen aktif bagi kehidupan mereka maupun orang lain.
26
Dari kesenjangan teori dan praktik tentang pekerjaan perempuan rentenir di atas maka penulis mengadakan penelitian dengan judul: “Perempuan
Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis”.
2. Perumusan Masalah