Gandrung Tradisi Lombok Konsep

26 Gandrung sebagai seni pertunjukan tradisi terkait dengan fungsi awal kesenian ini, yakni ritual, persembahan, dan perayaan muda-mudi. Gandrung sebagai seni pertunjukan modern terkait dengan fungsi estetik secara murni. Artinya tidak terkait dengan fungsi ritual, tetapi seni pentunjukan gandrung dinikmati sebagai sebuah kesenian yang mendatangkan kepuasan atau rasa estetik, keindahan, dan keterpesonaan. Gandrung sebagai seni pertunjukan postmodern terkait dengan eksploitasinya sebagai kesenian yang menghadirkan sensasi-sensasi dan hal-hal lain yang bersifat duniawi. Di samping itu, juga sebagai arena transaksi libidonik masyarakat masa kini yang membutuhkan penyaluran-penyaluran dalam keseimbangan hidup masyarakat.

2.2.3 Gandrung Tradisi Lombok

Kata ”gandrung” mengandung pengertian, antara lain cinta kasih, terpesona, dan secara substansi mengandung pengertian yang dicintai, yang mem esona B. Sularto dan S. Ilmi dalam ”Gandrung” 1990 oleh Proyek Pengembanngan Media Kebudayaan Depdikbud, Jakarta. Gandrung Lombok adalah tarian rakyat di Pulau Lombok dari kalangan masyarakat Islam wetu telu suku Sasak yang tidak diketahui siapa penciptanya, tetapi hanya dikatakan telah ada sejak zaman Erlangga di Jawa Timur. Tarian ini tidak mengikuti pola gerak dan iringan lagu yang sesuai dengan patokan yang lazim, dalam arti bermula dari suatu upacara resmi, yaitu prajurit keraton melihat seperangkat gamelan dan mendapat kesempatan untuk menabuhnya dan bersuka ria tanpa batasan-batasan keraton sehingga geraknya masih tradisi Direktori Seni Pertunjukan Tradisional. Dalam perkembangannya terdapat 27 perubahan motif gerak berupa perkembangan gerak dan bentuk tangan Widyarto dkk., 2009:2. Dalam sejarah, seni pertunjukan gandrung pada awalnya hanya ditarikan oleh seorang laki-laki yang berpakaian perempuan, sedangkan dalam perkembangan selanjutnya ditarikan oleh perempuan. Pada saat ini perempuan penari yang disebut gandrung menjadi penari utama. Ketika memulai menari, ia biasanya memperkenalkan diri dengan mengatakan ”tiang lanang” dan seterusnya dalam bahasa Sasak dibawakan dengan cara menyanyi basandaran atau badede. Dengan dikelilingi penonton sekaligus calon pengibing, tarian ini berstruktur bapangan, gandrangan, dan parianom Widyarto dkk., 2009:5. Proses kelahiran seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok banyak dipengaruhi oleh budaya Bali. Selain itu, merupakan ekspresi simbolis komunitas masyarakat Islam wetu telu suku Sasak dan Lombok. Seni pertunjukan gandrung tradisi pada awalnya dapat dijumpai di tiga desa, yaitu Dasan Tereng, Suwangi, dan Lenek. Dalam pertunjukannya, kepuasan yang diperoleh seorang penari berakar dari sifat kepuasan manusia untuk mencari kesenangan yang diyakini membawa berkah. Seorang penari gandrung merasa puas karena dapat menjadi bagian penting dari sebuah pesta desa. Dalam hal ini seorang penari gandrung terbebas dari keduniawian masyarakat Sasak dalam arti seorang penari gandrung adalah seorang gadis yang membutuhkan makan, pakaian, pergaulan, dan ketika berada dalam pertunjukan gandrung dia merupakan pusat ritus, pusat harapan, dan pusat makna yang diekspresikan melalui tari dan pengibingnya. 28 Dalam konteks seni pertunjukan gandrung tradisi, seorang penari tidak mempunyai kedudukan istimewa dari sisi finansial. Hal terpenting dari seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok ini adalah sandaran dan buah lakaq. Berikut kutipan sebuah sandaran. Tiang mas, tiang lanang Beli bagus mara rawuh Kaulanda, beli, ngaturang canang Tembok bata, tunjung bang, beli masari kuning Angin aris buin pidan, beli payu melayar Dangin payung, ratun tiang, gusti berayane, dangin rurung Beli, semayane Saya dik, saya laki-laki kakanda baru datang hamba, kakanda, menghaturkan sesaji tembok bata, teratar merah, kanda berbenang sari kuning kapan angin sepoi-sepoi, kanda akan berlayar di timur payung, jungjungan hamba, pemimpin masyarakat, di timur jalan, kanda, janjinya. Sandaran di atas semacam tembang yang dilakukan mengikuti nada dari gending-gending yang mengiringi pertunjukan. Selain sandaran ada aspek lain yang merupakan kebalikannya disebut dengan lakaq, yang dilantunkan dalam bahasa Bali. Hal ini merupakan fenomena sebuah proses akulturasi seni tersebut dengan budaya Bali. Berikut kutipan dari lakaq: Tiang lanang, jukung kayu, beli liwat Bali, beli nembe rapet. Tiang lanang, beli, ulih malu, tiang mabudi, kayang jani, Beli, tonden bakat. Saya lelaki, perahu kayu, kanda lewat Bali, kanda tumben merapat. Saya lelaki, kanda, dari dulu, saya berbudi, sampai kini, kakak, belum dapat 29 Lagu di atas menggambarkan bahwa seorang laki-laki yang mengharapkan kedatangan seorang yang bersampan. Lagu ini juga menunjukkan bahwa penari gandrung adalah seorang laki-laki Larasati, 1996: 18-19.

2.3 Landasan Teori