15
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Dalam penelitian ini dilakukan penelusuran beberapa hasil penelitian dan tulisan, baik berbentuk makalah, jurnal, tesis, buku teks, maupun dalam
bentuk karya ilmiah lainnya yang telah membahas seni pertunjukan gandrung di Indonesia. Penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu sangat penting
dilakukan, terutama yang berkaitan dengan marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hal ini bertujuan untuk
menunjukkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Di sini dikemukakan beberapa tulisan yang masih berkaitan dan relevan
dipakai sebagai kajian pustaka. Salah satu di antaranya yang ditulis oleh Tim Pembinaan Kesenian Nusa Tenggara Barat dengan judul
”Deskripsi Tari Gandrung Lombok Daerah Nusa Tenggara Barat 1990
”. Tim Pembinaan Kesenian Nusa Tenggara Barat memaparkan sejarah gandrung Lombok, latar
belakang sosial budaya, deskripsi teknis penyajian seni pertunjukan gandrung, gerak-gerak dasar, serta musik pengiring dan pengembangannya. Tarian
gandrung tradisi ini memiliki nilai seni yang tinggi, baik dari segi falsafah hidupnya maupun dari kekayaan gerak dan musiknya. Tulisan tersebut
merupakan hasil pencatatan dan pendokumentasian jenis-jenis kesenian yang ada di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
16
Tulisan Tim Pembinaan Kesenian Nusa Tenggara Barat dengan penelitian yang penulis lakukan jauh berbeda. Tim Pembinaan Kesenian Nusa
Tenggara Barat memaparkan deskripsi tari gandrung Lombok dalam rangka pendataan kesenian tradisional sebagai kekayaan budaya, sedangkan penulis
meneliti marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat. Relevansi tulisan Tim Pembinaan Kesenian Nusa Tenggara
Barat dengan penelitian penulis adalah dalam kesamaan objek yaitu tari gandrung Lombok sudah tentu sangat bermanfaat bagi penulis untuk
menambah wawasan penulis dalam mengkaji marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Tesis Suyanto 2007 y ang berjudul ”Konflik Kepentingan dalam Seni
gandrung Banyuwangi : Perspektif Kajian Budaya” mengemukakan bahwa tari
gandrung Banyuwangi merupakan kesenian yang masih bertahan hidup di tengah krisis identitas, dikotomi abangan dan santri, serta kritik yang bernuansa
moralitas lainnya. Ada beberapa bentuk konflik kepentingan yang muncul dalam seni gandrung Banyuwangi. Pertama, konflik kepentingan antartamu,
yaitu seorang gandrung menghampiri semua meja yang dikitari tamu secara berurutan. Jika tidak dilakukan secara urut, pasti akan menimbulkan
kecemburuan antarmeja. Kedua, konflik kepentingan antara masyarakat tradisional dan kaum santri agamais. Konflik ini terjadi tidak di arena
pergelaran gandrung, tetapi di lingkungan masyarakat secara umum. Ketiga, konflik kepentingan politis. Konflik ini muncul pada saat pemilihan calon
bupati, bahkan pemilihan kepala desa di wilayah komunitas gandrung.
17
Dilihat dari segi fungsinya, ada berbagai bentuk konflik kepentingan yang memiliki beberapa fungsi, yaitu 1 fungsi untuk melegitimasi pemerintah,
2 fungsi untuk mempertahankan struktur, 3 fungsi untuk memenuhi nafkah gandrung yang dimaksud dalam hal ini adalah beberapa penari atau penyanyi
wanita dan semua musisi gandrung ditambah juragan majikan grup gandrung, dan 4 fungsi untuk eksistensi diri yang mengarah pada hakikat gandrung
sebagai kesenian yang berwujud apa adanya. Makna konflik kepentingan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama,
makna pengembangan. Konflik kepentingan dianggap sebagai cambuk untuk memotivasi gandrung ke arah yang lebih maju dan modern. Kedua, makna
solidaritas. Fenomena seni tayub ledhek di Jawa Timur bagian barat dan Jawa Tengah yang sarat dengan nuansa konflik dan gandrung Banyuwangi yang tidak
bisa melepaskan diri dari aroma konflik, merupakan tantangan hidup kesenian yang selalu timbul dan tenggelam. Ketiga, makna kerukunan antarseni. Adanya
berbagai jenis kesenian yang tumbuh dan berkembang, bahkan mati di Banyuwangi, merupakan berkah tersendiri bagi Banyuwangi. Keempat, makna
kesejahteraan. Konflik kepentingan yang terjadi di dalam dan di luar komunitas kesenian gandrung ternyata menimbulkan kesadaran yang tinggi pada
masyarakat pendukung kesenian. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Suyanto, yaitu dalam
penelitian Suyanto lebih memfokuskan kepada konflik kepentingan dalam seni gandrung Banyuwangi, sedangkan penelitian ini lebih menekankan dan
memfokuskan kepada marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok.
18
Walaupun penelitian Suyanto sebuah tesis, penelitian ini sangat membantu dalam menelusuri jejak gandrung yang ada di Lombok dan sebagai bahan
perbandingan Desantara 2007 menulis buku berjudul Srinthil 12: Penari Gandrung
dan Gerak Sosial Banyuwangi Gandrung Banyuwangi. Di dalamnya diuraikan sebuah seni pertunjukan rakyat yang diyakini oleh para ahli warisnya sebagai
sebuah falsafah hidup di tengah marak dan hiruk pikuk kesenian populer yang menjadi pilot budaya global. Banyuwangi yang terletak di sebelah timur Pulau
Jawa telah dihabiskan menjadi kota terprogresif dalam dinamika seni dan tradisi di Indonesia. Jejak seni tradisi yang ditinggalkan oleh gandrung lanang
gandrung laki-laki, sangat jernih diterjemahkan dengan laku spiritual oleh seorang semi gandrung perempuan. Di tangan semi, kesenian gandrung yang
pada awalnya adalah sebuah media pembebasan tarian yang di dalam syairnya ada sandi-sandi khusus sisa-sisa laskar Blambangan dari belenggu penjajahan
menjadi sebuah gerak tari yang indah, sarat pesan dan makna. Gandrung adalah sebuah noktah tegas tentang resistensi perempuan seni tradisi di tengah jaring-
jaring kekuasaan dan nilai-nilai globalisasi. Tesis I Wayan Centana 2009 yang berjudul ”Tari Gandrung sebagai
Seni Pertunjukan Sakral di Desa Ungasan,Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung” mengemukakan bahwa tari gandrung sebagai warisan budaya yang
secara turun-temurun mempunyai nilai religius yang tinggi dan dipertunjukkan pada saat upacara ngusaba atau piodalan di Pura Desa Ungasan dan di Pura
Batu Pageh Ungasan. Selain untuk upacara, tari gandrung di Desa Ungasan juga
19
mempunyai fungsi sebagai estetika, sosial, dan pembayaran kaul. Centana memaparkan keberadaan dan fungsi tari gandrung tersebut yang hingga kini
tetap dipentaskan, sedangkan penelitian penulis jauh berbeda, yaitu seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat sedang mengalami
marginalisasi. Meskipun penelitian Centana hanya sebuah tesis, sangat dibutuhkan sebagai acuan untuk memahami fungsi-fungsi tari gandrung yang
berada di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan sebagai bahan bandingan. R. Diyah Larasati Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, 1996:14-25
dalam tulisannya dengan judul ”Gandrung di Lombok Barat” Sebuah Ekspresi Simbolis Komunitas Sasak
” menyebutkan bahwa gandrung yang proses kelahirannya banyak mendapat pengaruh budaya Bali merupakan ekspresi
simbolis komunitas Sasak dan Lombok. Pementasan tari gandrung ini berkaitan dengan pesta desa menjelang masa panen padi di beberapa daerah di Lombok
dengan mengungkapkan rasa suka cita, gembira, penuh harapan dengan warga Sasak dalam menyongsong hasil kerjanya setelah menanam padi. Tari gandrung
sebagai media ekspresi simbolis diekspresikan melalui makna kepuasan. Makna kepuasan yang dimaksud adalah seorang penari gandrung merasa puas karena
dapat menjadi bagian penting dari sebuah pesta desa, yang secara materi ia dapat imbalan, baik berupa uang maupun padi. Dalam pandangan Sasak,
seorang penari gandrung mendapat imbalan uang atau padi merupakan simbol uangkapan kegembiraan dapat menari dan kontak secara simbolis ritus
kesuburan. Dikatakan bahwa pertunjukan gandrung dipakai sebagai media pelepas harapan dan suka cita, dalam hal ini alam merasa mampu dikuasai
20
untuk tujuan keharmonisan melalui rasa suka cita dalam pertunjukan tari gandrung.
Tulisan R. Diyah Larasati dengan penelitian penulis sangat berbeda. R Diyah Larasati memaparkan makna simbolik tari gandrung Lombok, sedangkan
penelitian penulis menekankan pada mengapa seni pertunjukan gandrung tradisi mengalami marginalisasi yang pada akhirnya berimplikasi pada makna seni
pertunjukan gandrung tradisi. Tulisan-tulisan tersebut, merupakan sebuah studi estetika, bukan sebuah
kajian budaya yang bersifat kritis seperti dimaksudkan dalam penelitian peneliti. Itulah sebabnya tidak ada satu pun dari tulisan itu yang membahas
persoalan marginalisasi, padahal gandrung tradisi secara nyata sedang mengalami marginalisasi. Apalagi yang memberikan keberpihakan kepadanya
agar sejajar dengan seni pertunjukan lainnya di Indonesia. I Wayan Wirata 2010 dalam disertasinya yang berjudul
”Hegemoni Pemerintah dan Resistensi Wetu Telu Suku Sasak di Kecamatan Bayan,
Kabupaten Lombok Utara” memaparkan adanya interaksi antara pemerintah
dan suku Sasak Wetu Telu di Kecamatan Bayan. Interaksi itu menimbulkan perbedaan pandangan, ide, gagasan, dan perilaku yang mengakibatkan
munculnya gesekan, penolakan, dan perlawanan pada masyarakatnya. Dalam penelitian tersebut juga dipaparkan bahwa hegemoni pemerintah muncul pada
aspek-aspek tertentu, seperti aspek ideologi agama, sosial politik, sosial budaya, dan pendidikan. Dalam ideologi agama, pemerintah mewacanakan penerapan
wacana ajaran agama yang sebenarnya ajaran Islam waktu lima, sedangkan
21
dalam aspek sosial politik pemerintah menguasai lahan dengan membuka program transmigrasi di wilayah masyarakat wetu telu suku Sasak. Wayan
Wirata juga memaparkan bahwa dampak dari hegemoni pemerintah dan resistensi wetu telu suku Sasak di Kecamatan Bayan membawa komunikasi
yang tidak seimbang antara Islam waktu lima berkolaborasi dengan pemerintah dan wetu telu suku Sasak di Kecamatan Bayan sehingga
menimbulkan ketegangan sosial. Wirata tidak membahas secara khusus mengenai seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok. Akan tetapi penelitian
disertasi ini memberikan wawasan yang penting dipahami sebagai acuan untuk mendapatkan informasi, inspirasi, dan kontribusi yang berkaitan dengan
ideologi agama, sosial budaya, dan pendidikan, Islam wetu telu suku Sasak yang merupakan pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa
Tenggara Barat.
2.2 Konsep