Sosiologi agama

(1)

ali imron hasan

Jumat, 11 Oktober 2013

ARTI PENTING REGULASI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

PENGUATAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA MELALUI BINGKAI REGULASI DI INDONESIA I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar dan memiliki berbagai ragam aliran kepercayaan dan keyakinan agama. Munculnya berbagai aliran kepercayaan dan keyakinan agama ini di satu sisi merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan di sisi yang lain merupakan potensi munculnya disharmoni bahkan konflik di kalangan penganut aliran ajaran agama. Potensi munculnya disharmoni ini harus diantisipasi agar kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara dapat berjalan dengan baik dalam mengisi pembangunan nasional.

Pada awalnya kerukunan hidup antar maupun intern-umat beragama secara umum relatif baik dan mencerminkan kehidupan umat beragama yang guyub rukun. Bangsa Indonesia sering dijadikan barometer bagi bangsa-bangsa lain di dunia tentang kemajemukan beragama yang toleran dan hidup dalam perdamaian. Secara umum watak keberagamaan cenderung moderat, sehingga hubungan antar pemeluk agama lebih lentur dan mencair. Kebudayaan masyarakat yang bercorak majemuk atau Bhineka Tunggal Ika menjadi fondasi sosial dalam kerukunan dan kedamaian.


(2)

Dalam perkembangannya, sering terjadi ketegangan hubungan antar pemeluk agama hingga konflik fisik di berbagai wilayah Indonesia bahkan tidak jarang berbuntut pada penghilangan nyawa. Pada masa Orde Baru sering terjadi letupan-letupan konflik intern dan antar umat beragama. Peran negara atau pemerintah dalam mengatur relasi kehidupan intern dan antar umat beragama sangat dominan. Melalui kebijakan pemerintah pada waktu itu berbagai peristiwa SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) mudah diredam, dikendalikan, dan diselesaikan secara top-down.

Di era Reformasi sekarang ini, peran dominasi pemerintah berkurang dan proses keterbukaan demikian kuat. Konflik-konflik terbuka yang melibatkan umat beragama banyak muncul. Peristiwa yang paling tragis ialah konflik yang terjadi di Poso, Ambon, Sambas, Sampit dan titik-titik konflik lain di sejumlah daerah.

Peristiwa yang terjadi tersebut tidaklah murni konflik keagamaan, tetapi tidak menutup kemungkinan juga ada beberapa faktor penyebab lain. Meskipun demikian, berbagai konflik tersebut harus berhenti di sini dan jangan sampai terulang kembali dan merembet ke daerah-daerah lain. Jika sampai berulang dan menjalar maka kerugian dan kehancuran yang akan menimpa bangsa ini. Kehidupan umat beragama di Indonesia dan nilai luhur agama tentu tercoreng. Karena itu, seluruh pihak termasuk pemerintah, kekuatan-kekuatan politik, dan lebih khusus semua kelompok atau golongan agama harus mengambil hikmah sekaligus langkah-langkah tegas.

Disinilah pentingnya kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah yang komprehensif untuk mendorong semakin kuatnya budaya kerukunan dan perdamaian, sekaligus meminimalisir berbagai faktor pemicu konflik. Pemerintah memang tidak bisa terlalu jauh masuk dan mengendalikan


(3)

totalitas terhadap hubungan antar atau intern umat beragama, tetapi juga tidak boleh melakukan pembiaran dan acuh tak acuh. Seluruh golongan masyarakat, lebih khusus umat serta tokoh beragama, harus terus mengambil prakarsa agar terjadi relasi umat beragama yang semakin dewasa, rukun, dan damai. Kalaupun sesekali terjadi konflik, tidak berskala besar dan meluas, serta mampu diredam dan dipecahkan dengan resolusi konflik yang cepat dan elegan.

Agar tindakan yang diambil oleh pemerintah dan stakeholders dalam penguatan kerukunan umat beragama di Indonesia dapat berjalan sesuai dengan tata nilai norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia maka perlu adanya regulasi berupa undang-undang yang mengatur tentang kerukunan umat beragama yang dapat dijadikan sebagai pedoman bersama.

Tulisan ini bermaksud menguraikan lebih lanjut tentang tri kerukunan umat beragama di Indonesia, peran pemerintah dalam kerukunan beragama, dan urgensi regulasi kerukunan umat beragama di Indonesia.

II. PEMBAHASAN

A. Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak etnis, budaya, suku dan agama membutuhkan konsep yang memungkinkan terciptanya masyarakat yang damai dan rukun. Tri kerukunan umat beragama merupakan konsep yang digulirkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya menciptakan kehidupan masyarakat antar umat beragama yang rukun. Adanya perbedaan pandangan dalam keyakinan agama sangat berisiko pada kecenderungan konflik di masyarakat apabila perbedaan tersebut tidak dikelola dengan baik. Disinilah arti pentingnya


(4)

pengelolaan perbedaan tersebut agar menjadi sebuah potensi positif dalam mengisi pembangunan nasional. Perbedaan jangan sampai menjadi potensi negatif yang berakibat pada kecenderungan untuk konflik yang dibalut dengan berbagai kepentingan.

Proses perjalanan kehidupan umat manusia dalam kurun waktu yang sangat lama di muka bumi Indonesia dengan wilayah yang luas tentunya akan menciptakan keberagaman suku dan etnis. Bersamaan dengan itu maka lahir pula banyak kepercayaan dan agama yang berkembang di setiap suku-suku di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa munculnya perbedaan atau kebhinekaan nusantara tidaklah diciptakan dalam waktu yang sesaat saja.

Pemerintah Indonesia sendiri telah menyadari resistensi konflik antar umat beragama. Berbagai kebijakan pemerintah telah diterbitkan untuk mengendalikan keadaan tata hubungan pemeluk agama dan kepercayaan. Berbagai rambu peraturan telah disahkan untuk meminimalisir bentrokan-bentrokan kepentingan antar umat beragama.

Berbagai aturan kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang telah dikeluarkan oleh pemerintah secara garis besar mencakup beberapa hal, diantaranya yaitu: 1)Pendirian rumah ibadah; 2)Penyiaran agama; 3)Bantuan keagamaan dari luar negeri; dan 4)Tenaga asing bidang keagamaan. Kebijakan pemerintah atau regulasi tentang aturan kerukunan antar umat beragama ini penting dikeluarkan agar tata kelola dan tata hubungan diantara umat beragama mempunyai standart yang baku dan jelas.

Regulasi tersebut merupakan ketentuan yang mengatur tata hubungan dan juga tata administrasi di luar subtansi ajaran agama. Pemerintah berkepentingan agar berbagai macam program kegiatan dan


(5)

juga pelaksanaan ajaran agama yang dilakukan oleh pemeluk agama tidak terjadi gesekan diantara mereka yang berakibat pada munculnya pertikaiaan sesama warga masyarakat. Apabila pertikaian atau konflik ini terus dibiarkan dan tidak dikelola dengan benar maka berakibat pada disintegrasi bangsa. Disinilah arti penting perlunya regulasi tentang tata hubungan kerukunan umat beragama.

Tujuan konsep tri kerukunan umat beragama agar masyarakat Indonesia dapat hidup kebersamaan dalam perbedaan. Konsep ini dirumuskan dengan teliti dan bijak agar tidak terjadi pengekangan atau pengurangan hak-hak manusia dalam menjalankan kewajiban dari ajaran-ajaran agama yang diyakininya.

Tri kerukunan ini meliputi tiga konsep kerukunan yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dan pemerintah.

Pertama, kerukunan intern umat beragama. Perbedaan pandangan dalam satu agama bisa melahirkan konflik di dalam tubuh suatu agama itu sendiri. Perbedaan mazhab hukum atau fiqh adalah salah satu contoh perbedaan yang nampak dan nyata. Kemudian lahir pula perbedaan ormas keagamaan. Walaupun ormas-ormas keagamaan tersebut memiliki satu aqidah yakni aqidah Islam, adanya perbedaan sumber penafsiran, penghayatan, kajian, pendekatan terhadap al quran dan sunnah terbukti mampu mendisharmoniskan intern umat beragama.

Konsep ukhuwah Islamiyah merupakan salah satu sarana agar tidak terjadi ketegangan intern umat Islam yang menyebabkan konflik. Konsep ukhuwah Islamiyah ini mengupayakan berbagai cara agar tiap-tiap kelompok ormas tidak saling klaim kebenaran. Agar tiap-tiap individu sesama penganut agama Islam tidak saling klaim kebenaran keyakinan.


(6)

Hal ini penting dilakukan untuk menghindari permusuhan karena perbedaan mazhab dalam Islam. Semuanya untuk menciptakan kehidupan beragama yang tenteram, rukun, dan penuh kebersamaan. Kalau dalam agama Islam mengenal ukhuwah islamiyah maka dalam agama-agama yang lain dapat menempuh upaya yang sejenis seperti konsep persaudaraan seiman.

Kedua, kerukunan antar umat beragama. Konsep kedua ini mempunyai pengertian kehidupan beragama yang tentram antar masyarakat yang berbeda agama dan beda keyakinan. Tidak terjadi sikap saling curiga mencurigai dan selalu menghormati agama masing-masing.

Konsep yang dibangun dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama ini adalah konsep ukhuwah basyariyah atau persaudaraan sesama umat manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Imam Ghozali Hujjatul Islam dalam bukunya Syarah Arbain Nawawi dengan berani menafsirkan kata ukhuwah dengan pengertian yang sangat luas yaitu persaudaraan lintas agama dan juga lintas ras suku bangsa. Hadits Nabi Muhammad yang berbunyi la yukminu ahadukum hatta yuhibba li akhihi ma yuhibbu li nafsih (keimanan seseorang tidak akan mencapai derajat keimanan yang sempurna apabila ia tidak mampu mencintai sudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri). Saudara yang dimaksud dalam statemen tersebut, dimaknai oleh Imam Ghozali sebagai saudara sesama anak Adam yaitu seluruh umat manusia. Jadi seorang muslim yang tidak mampu mengasihi menyayangi non muslim sebagaimana ia mengasihi menyayangi dirinya sendiri maka keimanan muslim tersebut tidak akan sempurna. Konsep persaudaraan sesama umat manusia ini juga harus dilakukan oleh non muslim agar kerukunan dan persaudaraan antar umat beragama dapat semakin harmonis.


(7)

Pemerintah mengeluarkan berbagai aturan tentang tata hubungan antar masyarakat yang berbeda agama atau beda keyakinan. Berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah agar tidak terjadi saling mengganggu antar umat beragama, dan semaksimal mungkin menghindari kecenderungan konflik karena perbedaan agama. Semua lapisan masyarakat bersama-sama menciptakan suasana hidup yang rukun dan damai di Indonesia. Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah lebih bersifat pengaturan administratif dan tidak memasuki wilayah ajaran agama. Regulasi ini penting dilakukan agar tidak terjadi gesekan kepentingan atau minimal ada aturan baku yang dijadikan standart yang dijadikan pedoman bersama dalam tata hubungan pemeluk antar agama.

Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah harus mencerminkan keadilan diantara para pemeluk agama, juga harus mencerminkan kepastian hukum agar tidak menimbulkan multi tafsir atas aturan yang telah dibuatnya. Tidak ada yang subordinasi atau tirani. Kepentingan berbagai pemeluk agama harus diakomodir dalam regulasi tersebut. Pelibatan para tokoh pemeluk agama dalam penyusunan regulasi dan juga penegakan hukum mempunyai peran yang sangat vital. Regulasi tentang tata hubungan lintas agama ini harus merupakan kesepakatan dan kesepahaman para pemeluk agama yang diwakili oleh tokoh-tokoh agama dan juga pemimpin ormas keagamaan. Tidak ada yang memaksakan kehendaknya demi kepentingan kelompok agama tertentu. Semangatnya adalah sama yaitu menciptakan adanya kehidupan berdampingan yang harmonis sinergis dan tidak ada yang merasa dirugikan kepentingannya.

Ketiga, kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Pemerintah ikut andil dalam menciptakan suasana tentram, termasuk kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah sendiri. Semua umat


(8)

beragama yang diwakili oleh pemuka agama dari tiap-tiap agama dapat sinergis dengan pemerintah. Bekerjasama dan bermitra dengan pemerintah untuk menciptakan stabilitas persatuan dan kesatuan bangsa.

Tri kerukunan umat beragama yang ketiga ini merupakan bentuk fasilitasi pemerintah terhadap berbagai program kegiatan yang menunjang kerukunan umat beragama. Pemerintah harus memberikan dukungan pembiayaan yang memadai untuk terselenggaranya kegiatan-kegiatan atau aksi-aksi sosial yang mendukung terciptanya dan terpeliharanya kerukunan umat beragama. Pejabat pemerintah harus mau duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan tokoh-tokoh agama dan juga pimpinan ormas keagamaan. Jalinan komunikasi yang sinergis harus terus dilakukan di antara pemerintah dengan tokoh agama dan juga pimpinan ormas keagamaan.

Tri kerukunan umat beragama diharapkan menjadi salah satu solusi agar terciptanya kehidupan umat beragama yang damai, penuh kebersamaan, bersikap toleran, saling menghormati dan menghargai dalam perbedaan. Komitmen dari para pihak dan juga stakeholders sangat menentukan pelaksanaan Tri kerukunan umat beragama ini.

B. Peran Pemerintah Dalam Kerukunan Beragama

Kerukunan umat beragama mutlak sangat diperlukan, agar warga masyarakat dapat menjalani kehidupan beragama dan bermasyarakat di Indonesia ini dengan damai dan jauh dari kecurigaan kepada kelompok-kelompok lain. Kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang dengan penuh kedamaian ini menjadi kunci untuk ikut serta dalam melaksanakan program kegiatan sosial kemanusiaan yang dilakukan dengan kerja sama antar agama.


(9)

Program kegiatan tersebut, jelas tidak dapat dilaksanakan dengan optimal, jika masalah kerukunan umat beragama belum terselesaikan dengan baik. Meskipun setiap agama telah mengajarkan tentang pentingnya kedamaian dan keharmonisan, realitas menunjukkan pluralisme agama bisa memicu pemeluknya saling berbenturan dan bahkan terjadi konflik. Konflik jenis ini mempunyai dampak yang amat mendalam dan cenderung meluas. Bahkan implikasinya bisa sangat besar sehingga berisiko sosial, politik maupun ekonomi yang besar pula.

Pengertian konflik agama tidak saja terjadi antar agama yang berbeda atau yang dikenal dengan istilah konflik antar umat agama tetapi konflik juga sering terjadi antara umat dalam satu agama atau konflik intern umat agama. Munculnya berbagai konflik terkait dengan persoalan keagamaan disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah: Pertama, pelecehan atau penodaan agama melalui penggunaan simbol-simbol agama, maupun istilah-istilah keagamaan dari suatu agama oleh pihak lain secara tidak bertanggung jawab. Kedua, fanatisme agama yang sempit. Fanatisme yang dimaksud adalah suatu sikap yang mau menang sendiri serta mengabaikan kehadiran umat beragama lainnya yang memiliki cara ritual ibadah dan paham agama yang berbeda. Dan yang ketiga adalah adanya diskomunikasi dan miskomunikasi antar umat beragama. Konflik dapat terjadi karena adanya miskomunikasi (salah paham) dan dikomunikasi (pembodohan yang disengaja).

Bangsa Indonesia beratus-ratus tahun dijajah Belanda dan juga Jepang, berhasil merdeka berkat kerja sama erat dan saling bahu-membahu para pejuang dan para pendiri bangsa yang berbeda agama. Penghapusan satu kalimat di Piagam Jakarta dan kata-kata “Kewajiban menerapkan syariat Islam bagi para pemeluknya” merupakan bentuk


(10)

kompromi politik untuk menjamin agar tidak ada superioritas antarsatu agama di atas agama lain dan demi terjaganya kerukunan umat beragama di Indonesia. Pancasila dan kalimat Bhinneka Tunggal Ika memberikan pedoman tentang pentingnya kerukunan umat beragama untuk bangsa ini pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.

Dialog intern umat beragama juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari kerukunan kehidupan umat beragama, yang pada dasarnya merupakan upaya mempertemukan hati dan pikiran di kalangan sesama penganut agama, baik sesama umat Islam maupun dengan umat beragama lainnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara kasatmata pemimpin agama berperan penting merancang dan melaksanakan dialog intern umat beragama, antar umat beragama, dan antara umat beragama dan pemerintah. Baik dari kalangan pemuka agama Islam maupun agama lain. Oleh karena itu pelibatan mereka dalam penyusunan regulasi kerukunan umat beragama dan juga penegakan hukum sangat penting. Penyusunan regulasi kerukunan umat beragama oleh Pemerintah dengan tidak melibatkan para pemuka tokoh agama akan melahirkan regulasi yang hampa dan tidak bermakna. Regulasi yang dilahirkan akan bekerja bagaikan robot mekanik yang tidak mempunyai jiwa kemanusiaan. Penegakan hukum yang dilakukan juga dirancang dengan pendekatan kemanusiaan.

Pemerintah melalui Kementerian Agama dan juga Kementerian Dalam Negeri menduduki posisi yang penting dan sangat menentukan dalam sosialisasi atau diseminasi regulasi kerukunan umat beragama ini. Kementerian ini dengan mengikutsertakan stakeholders harus terus membuka mata dan memperhatikan masalah-masalah kehidupan umat beragama, baik yang berskala kecil maupun besar.


(11)

Kebijakan pemerintah yang mengatur pembinaan kerukunan hidup umat beragama sudah banyak, misalnya mengenai kebijaksanaan penyiaran agama, pendirian dan penggunaan rumah ibadah, upacara hari besar keagamaan, hubungan antar agama dalam bidang pendidikan, perkawinan, penguburan jenazah, dan wadah musyawarah antarumat beragama.

Menteri Agama Mukti Ali pernah memperkenalkan pentingnya dialog antar agama dan ilmu perbandingan agama yang diajarkan sebagai mata kuliah di berbagai perguruan tinggi. Kedua hal itu penting, sebagai bentuk penyiapan kader-kader dan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan konflik antara agama dan pemikiran yang terbuka, berwawasan luas, serta mendahulukan solusi kebersamaan demi masa depan Indonesia. Upaya ini juga dilanjutkan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara yang menyosialisasikan pentingnya trilogi kerukunan umat beragama.

Komunikasi antar umat beragama yang sinergis harus didorong dan diberikan motivasi oleh pemerintah. Pemetrintah harus mengupayakan penyediaan fasilitas untuk mendukung itu. kerukunan umat beragama itu tidak terus bersifat top-down, elitis, dan berhenti pada dialog formal dan seremonial saja. Akan tetapi, para pemuka agama harus juga berinisiatif agar kesadaran ini terus tersebar dalam level akar rumput dan menjadi bagian dari pentingnya menjaga keharmonisan dan persatuan bangsa.

Pemberdayaan kelembagaan Islam untuk meningkatkan kualitas kerukunan kehidupan umat beragama perlu diprogramkan terencana dan berkelanjutan, yang diawali pendataan potensi konflik keagamaan, pelatihan penyuluh agama untuk penanganan daerah berpotensi konflik, dan sosialisasi manajemen kelembagaan agama yang difokuskan kepada memperkenalkan konsep dan kedudukan kerukunan umat beragama


(12)

dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa untuk suksesnya pembangunan nasional. Hal ini penting karena hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pemerintah dapat terus memupuk keharmonisan hubungan antar pemeluk agama melalui kelembagaan yang dikelola oleh negara maupun kelembagaan yang dikelola oleh berbagai agama yang ada di Indonesia, baik kelembagaan yang bersifat formal maupun non formal.

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk pemerintah pada setiap provinsi, kabupaten, dan kota perlu dioptimalkan peran fungsinya dalam memupuk persaudaraan bangsa. Kegiatan FKUB jangan hanya terjebak dalam kegiatan birokrasi administrasi pemberian rekomendasi pendirian tempat ibadah. Karena dalam kenyataannya, badan ini menjelma hanya menjadi pengawas berdirinya rumah ibadah. Pemerintah dapat berperan dengan terus memacu dan juga memfasilitasi FKUB dalam melakukan dialog-dialog keagamaan. Dialog-dialog yang dilakukan oleh FKUB hendaknya tidak hanya merupakan dialog ‘mulut’ semata, tetapi juga harus diwujudkan dengan dialog karya nyata yang manfaatnya bisa dirasakan oleh komunitas masyarakat secara langsung. FKUB dapat melakukan kegiatan bakti sosial bersama-sama lintas agama dengan dukungan fasilitasi penuh dari pemerintah.

Pengalaman nyata di lapangan, penulis menemukan beberapa problematika kendala ketika FKUB Kota Semarang akan merealisasikan program dialog karya di lapangan. Problematika tersebut diantaranya 1)tingkat partisipasi stakeholders yang rendah, 2)dukungan fasilitasi pembiayaan dari pemerintah sangat minim, 3)ada kecenderungan justru kegiatan ini menjadi ‘unjuk gigi’ dari kelompok agama tertentu, sehingga


(13)

terkesan mereka yang aktif bekerja, sementara penganut agama yang lain pasif.

Pemerintahan harus terus memperhatikan problem relasi antaragama. Pemerintah harus mewujudkan kerukunan yang sesungguhnya, serta mengantisipasi pelbagai macam dampak negatif dari konflik antar agama. Segala motif dan indikasi yang bisa menyulut konflik harus diantisipasi sedini dan sebaik mungkin. Pemerintah perlu juga melakukan pendataan yang serius dan komprehensif tentang peta, analisis, keberhasilan, serta evaluasi kegagalan program kerukunan umat beragama ini.

Pemerintah harus mencanangkan program dialog kultural di antara pelbagai komunitas agama. Dialog tidak dalam kerangka perjumpaan-perjumpaan yang bersifat formal, sebagaimana yang rutin selama ini, melainkan dalam kerangka menyelesaikan pelbagai persoalan bangsa dan persoalan keagaaman secara khusus Pemerintah memfasilitasi pertemuan antaragama dan mendorong terwujudnya relasi yang rukun, adil, dan setara.

Pemerintah harus memperhatikan masalah keadilan dan kesejahteraan sosial. Akar konflik dan ketegangan antar dan juga intern agama muncul di antaranya juga disebabkan oleh ketidakadilan dan kemiskinan yang terjadi di kalangan agamawan. Terjadinya ‘rebutan’ anggota jamaah merupakan fenomena yang menarik. Anggota jamaah kelompok aliran agama tertentu merupakan sumber pembiayaan atau juga mungkin sebagai sumber penghasilan bagi tokoh atau pemimpin agama tertentu. Ketika kuantitas pengikut atau jamaahnya terganggu maka secara tidak langsung juga mengganggu income material dan secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap kenyamaan dan kerukunan. Hal ini


(14)

berpotensi konflik di antara tokoh agama dan juga akan menjalar ke pengikut ajaran agama.

Pemerintahan harus bekerja keras untuk meningkatkan ekonomi yang berorientasi kerakyatan serta penegakan hukum yang seadil-adilnya. Program peningkatan kesejahteraan bagi agamawan juga mutlak harus diperhatikan. Sebagai manusia, agamawan juga membutuhkan fasilitas untuk mendukung kegiatan misi agamanya. Tempat ibadah dan sarana peribadatan yang representatif, fasilitas kegiatan sosial keagamaan yang memadai, keadaan ekonomi agamawan yang mapan dan dukungan fasilitasi pemerintah terhadap berbagai kegiatan keagamaan akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kerukunan hidup umat beragama.

C. Urgensi Regulasi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Konstitusi negara Indonesia memberikan jaminan kemerdekaan kepada setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah berdasarkan ajaran agama dan kepercayaannya. Hal ini tertuang di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 29 ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Pasal ini merupakan bentuk perlindungan negara terhadap semua umat beragama di Indonesia.

Ketentuan pasal 29 tersebut juga merupakan bentuk peneguhan dan penegasan bahwa Negara Indonesia didirikan bukan atas dasar satu agama saja, tetapi memberikan kedudukan yang sama bagi semua agama yang berkembang di Indonesia. Konsepsi satu untuk semua merupakan kesepakatan bersama para pendiri bangsa dengan melihat realitas kemajemukan bangsa.


(15)

Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000, disebutkan bahwa sasaran pembangunan bidang agama adalah terciptanya suasana kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penuh keimanan dan ketaqwaan, penuh kerukunan yang dinamis antar umat beragama, secara bersama-sama makin memperkuat landasan spiritual, moral, dan etika bagi pembangunan nasional, yang tercermin dalam suasana kehidupan harmonis, serta dalam kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa selaras dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila. Berdasarkan program pembangunan nasional tersebut nampak jelas bahwa suasana kehidupan yang harmonis penuh kerukunan yang dinamis antar umat beragama merupakan suatu hal yang niscaya untuk mewujudkan pembangunan nasional yang berkesinambungan. Di sini nampak jelas bahwa kerukunan atau keharmonisan harus diwujudkan dan terus dilestarikan untuk kepentingan kesejahteraan lahir bathin bangsa Indonesia.

Dewasa ini kembali marak kasus-kasus yang bersinggungan dengan agama, seperti pendirian tempat ibadah atau penyiaran agama yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau karena adanya salah paham diantara pemeluk agama. Padahal kerukunan antar umat beragama merupakan hal pokok yang harus dijaga karena kerukunan antar umat beragama merupakan dasar dari kerukunan nasional. Melalui kerukunan nasional maka akan tercipta persatuan Indonesia.

Upaya-upaya penguatan kerukunan dan pencegahan konflik telah banyak dilakukan, baik melalui: 1) bingkai teologis, 2) bingkai sosiologis (sosio-kultural) dalam bentuk kearifan lokal, 3) bingkai politik (kebangsaan) dalam bentuk penguatan empat pilar kebangsaan, dan 4) bingkai yuridis


(16)

dalam bentuk regulasi tentang kerukunan umat beragama. Penguatan kerukunan melalui bingkai politik kebangsaan saat ini sangat diperlukan, karena di era reformasi, yang mendukung demokrasi dan kebebasan ini, muncul paham-paham atau ideologi-ideologi tertentu, yang diantaranya bertentangan dengan ideologi Pancasila dan tidak toleran dengan kemajemukan masyarakat Indonesia.

Pendidikan nilai-nilai pancasila harus menjadi gerakan nasional. Pendidikan nilai harus dijadikan gerakan aksi seluruh rakyat Indonesia dari sekedar ideologis-teoritis dengan berupaya bagaimana agar negara beraksi untuk mewujudkan nilai-nilai kebangsaan. Bangsa Indonesia memiliki satu payung paradigma yang paling holistik dan universal dalam kerukunan antar umat beragama, yaitu Pancasila. Persatuan Indonesia hanya dapat dikembangkan melalui multikulturalisme dan musyawarah dengan seluruh elemen bangsa.

Sebagai bangsa yang majemuk pluralistis, tentunya Indonesia mempunyai potensi konflik yang sangat tinggi, terutama konflik antaragama. Karena itu dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Bersama (Perber) dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.

Perber tersebut merupakan hasil kompromi dari berbagai pihak unsur agama yang ada di Indonesia. Namun demikian, masalah pembangunan rumah ibadah menjadi batu sandungan dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Sayangnya, Perber tersebut kurang tersosialisasi di tengah masyarakat, sehingga tidak banyak


(17)

dijadikan pijakan dalam menjalin kerukunan beragama dan pendirian rumah ibadah.

Menyikapi berbagai kasus kerukunan umat beragama yang terjadi, mengakibatkan peraturan bersama dua menteri tersebut banyak mendapat sorotan. Ada pihak- pihak yang mengusulkan agar peraturan tersebut dipertahankan, direvisi, bahkan dicabut, karena dianggap sebagai pemicu terjadinya kasus-kasus yang memecah kerukunan umat beragama.

Ada juga yang menginginkan agar dibuat undang-undang tentang kerukunan umat beragama untuk mengatur kehidupan beragama, dan sekaligus untuk meredam konflik horisontal yang selama ini dipicu oleh ketentuan yang termaktub di dalam beberapa pasal peraturan bersama tersebut. Di samping itu, kalau menjadi undang-undang diharapkan akan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ibadah.

Pendirian rumah ibadah umat minoritas di tempat warga yang mayoritas, memang bisa menimbulkan banyak masalah, karena menyangkut sentimen dan fanatisme keagamaan yang mendalam. Karena itu, supaya tidak terjadi konflik sosial, pendirian rumah ibadah perlu diatur dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan proporsional.

Melihat kompleksitas masalah antarumat beragama di Indonesia, tentu dibutuhkan payung hukum yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang tentang kerukunan umat beragama. Di dalam undang-undang-undang-undang tersebut bisa dimasukkan beberapa prinsip yang telah termuat di dalam peraturan bersama dua menteri dengan berbagai penyempurnaan dan penambahan, guna lebih memberi jaminan hukum yang lebih kuat dalam mewujudkan kerukunan umat beragama.

Selain itu, di dalam undang-undang tersebut juga bisa dibuat ketentuan tentang keharusan memasukkan materi kerukunan umat


(18)

beragama dalam kurikulum pendidikan, dan pengaturan sanksi yang tegas atas pelanggaran dan penodaan terhadap kerukunan umat beragama.

Peraturan tentang kerukunan umat beragama ini apabila diatur dalam keputusan menteri atau surat edaran maka kekuatan hukumnya sangat lemah. Upaya penegakan hukumnya juga akan menghadapi permasalahan terutama dalam teknis yusticial. Hal ini tidak akan terjadi kalau produk peraturan tersebut berbentuk undang-undang sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Undang-undang tentang kerukunan umat beragama harus bisa mengayomi dan menetramkan semua pemeluk agama dan aliran kepercayaan dengan segala kepentingannya. Undang-undang ini diupayakan agar mampu mengakomodir kepentingan umat beragama dalam upaya mengamalkan ajaran agamanya dan aktifitas kegiatan keagamaan secara adil dan proporsional tanpa menimbulkan konflik dengan pihak lain.

Memang sangat berat harapan masyarakat terhadap subtansi undang-undang tentang kerukunan umat beragama ini, tetapi adanya peraturan perundangan yang dibingkai dengan kerukunan umat beragama berbentuk undang-undang merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi di Indonesia, mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar dengan berbagai macam agama dan juga aliran kepercayaan.

III. PENUTUP A. Simpulan

Tri kerukunan umat beragama yang digulirkan oleh pemerintah meliputi tiga konsep kerukunan yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar


(19)

umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dan pemerintah. Tujuan konsep tri kerukunan umat beragama ini agar masyarakat Indonesia dapat hidup kebersamaan dalam perbedaan.

Pemerintah harus memberikan dukungan fasilitasi pembiayaan terhadap berbagai program kegiatan yang mengarah pada pemeliharaan kerukunan umat beragama. Fasilitasi pemerintah ini diberikan kepada lembaga-lembaga keagamaan yang ada secara proporsional dan berimbang.

Payung hukum yang mengatur tentang tata hubungan antar dan intern umat beragama untuk mendukung kerukunan beragama sangat penting. Di dalam payung hukum tersebut bisa dimasukkan beberapa prinsip yang terdapat di dalam berbagai peraturan yang telah ada sebelumnya dengan memperhatikan perkembangan dinamika masyarakat yang terjadi selama ini.

## Makalah didiskusikan dalam forum diskusi lintas agama kota Semarang: Paguyuban PETAMAS – FKUB

Diposkan oleh ali imron hasan di 07.32

Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Arsip Blog

 ▼ 2013 (13)

o ► Desember (5)


(20)

o ▼ Oktober (6)

 IMPLEMENTASI TAQWA SOSIAL

 KHUTBAH IDUL ADHA

 ARTI PENTING REGULASI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

 PENULISAN KARYA ILMIAH BAGI MAHASISWA BARU IAIN WA...

 AKTUALISASI PRINSIP PRINSIP SYARIAH DALAM BERKOPER...

 BAHAYA HASUD

Mengenai Saya

ali imron hasan

pernah belajar di MAF-1 Futuhiyah Mranggen Demak (1988-1991), nyantri qur`an 1)diasuh KH Muhibbin pesantren Al Badriyah Mranggen (1988-1991); 2)diasuh KH Ridwan Abdur Rozaq pesantren Raudlatul Huffazh Kodran Kediri (1991-1993) dan 3)diasuh KH Mahfud Sarbini Kapulisen Kaliwungu Kendal (1993-1995), menjadi ketua KMA 1993 Fakultas Syariah IAIN Walisongo (1993-1997), melanjutkan studi magister (1999-2001) di konsentrasi Hukum Islam Pascasarjana IAIN Walisongo, memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro (2003-2008). Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa di S.1. Fakultas Hukum salah satu perguruan tinggi swasta di Semarang (belum lulus)

Di MUI Kota Semarang dipercaya sebagai bendahara dan di Jam`iyyatul Qurra wal Huffazh Jawa Tengah sebagai Sekretaris Umum. Anggota Pleno FPBI Kota Semarang dan juga Dewan Pendidikan Kota Semarang

Lihat profil lengkapku


(1)

Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000, disebutkan bahwa sasaran pembangunan bidang agama adalah terciptanya suasana kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penuh keimanan dan ketaqwaan, penuh kerukunan yang dinamis antar umat beragama, secara bersama-sama makin memperkuat landasan spiritual, moral, dan etika bagi pembangunan nasional, yang tercermin dalam suasana kehidupan harmonis, serta dalam kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa selaras dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila. Berdasarkan program pembangunan nasional tersebut nampak jelas bahwa suasana kehidupan yang harmonis penuh kerukunan yang dinamis antar umat beragama merupakan suatu hal yang niscaya untuk mewujudkan pembangunan nasional yang berkesinambungan. Di sini nampak jelas bahwa kerukunan atau keharmonisan harus diwujudkan dan terus dilestarikan untuk kepentingan kesejahteraan lahir bathin bangsa Indonesia.

Dewasa ini kembali marak kasus-kasus yang bersinggungan dengan agama, seperti pendirian tempat ibadah atau penyiaran agama yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau karena adanya salah paham diantara pemeluk agama. Padahal kerukunan antar umat beragama merupakan hal pokok yang harus dijaga karena kerukunan antar umat beragama merupakan dasar dari kerukunan nasional. Melalui kerukunan nasional maka akan tercipta persatuan Indonesia.

Upaya-upaya penguatan kerukunan dan pencegahan konflik telah banyak dilakukan, baik melalui: 1) bingkai teologis, 2) bingkai sosiologis (sosio-kultural) dalam bentuk kearifan lokal, 3) bingkai politik (kebangsaan) dalam bentuk penguatan empat pilar kebangsaan, dan 4) bingkai yuridis


(2)

dalam bentuk regulasi tentang kerukunan umat beragama. Penguatan kerukunan melalui bingkai politik kebangsaan saat ini sangat diperlukan, karena di era reformasi, yang mendukung demokrasi dan kebebasan ini, muncul paham-paham atau ideologi-ideologi tertentu, yang diantaranya bertentangan dengan ideologi Pancasila dan tidak toleran dengan kemajemukan masyarakat Indonesia.

Pendidikan nilai-nilai pancasila harus menjadi gerakan nasional. Pendidikan nilai harus dijadikan gerakan aksi seluruh rakyat Indonesia dari sekedar ideologis-teoritis dengan berupaya bagaimana agar negara beraksi untuk mewujudkan nilai-nilai kebangsaan. Bangsa Indonesia memiliki satu payung paradigma yang paling holistik dan universal dalam kerukunan antar umat beragama, yaitu Pancasila. Persatuan Indonesia hanya dapat dikembangkan melalui multikulturalisme dan musyawarah dengan seluruh elemen bangsa.

Sebagai bangsa yang majemuk pluralistis, tentunya Indonesia mempunyai potensi konflik yang sangat tinggi, terutama konflik antaragama. Karena itu dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Bersama (Perber) dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.

Perber tersebut merupakan hasil kompromi dari berbagai pihak unsur agama yang ada di Indonesia. Namun demikian, masalah pembangunan rumah ibadah menjadi batu sandungan dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Sayangnya, Perber tersebut kurang tersosialisasi di tengah masyarakat, sehingga tidak banyak


(3)

dijadikan pijakan dalam menjalin kerukunan beragama dan pendirian rumah ibadah.

Menyikapi berbagai kasus kerukunan umat beragama yang terjadi, mengakibatkan peraturan bersama dua menteri tersebut banyak mendapat sorotan. Ada pihak- pihak yang mengusulkan agar peraturan tersebut dipertahankan, direvisi, bahkan dicabut, karena dianggap sebagai pemicu terjadinya kasus-kasus yang memecah kerukunan umat beragama.

Ada juga yang menginginkan agar dibuat undang-undang tentang kerukunan umat beragama untuk mengatur kehidupan beragama, dan sekaligus untuk meredam konflik horisontal yang selama ini dipicu oleh ketentuan yang termaktub di dalam beberapa pasal peraturan bersama tersebut. Di samping itu, kalau menjadi undang-undang diharapkan akan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ibadah.

Pendirian rumah ibadah umat minoritas di tempat warga yang mayoritas, memang bisa menimbulkan banyak masalah, karena menyangkut sentimen dan fanatisme keagamaan yang mendalam. Karena itu, supaya tidak terjadi konflik sosial, pendirian rumah ibadah perlu diatur dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan proporsional.

Melihat kompleksitas masalah antarumat beragama di Indonesia, tentu dibutuhkan payung hukum yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang tentang kerukunan umat beragama. Di dalam undang-undang-undang-undang tersebut bisa dimasukkan beberapa prinsip yang telah termuat di dalam peraturan bersama dua menteri dengan berbagai penyempurnaan dan penambahan, guna lebih memberi jaminan hukum yang lebih kuat dalam mewujudkan kerukunan umat beragama.

Selain itu, di dalam undang-undang tersebut juga bisa dibuat ketentuan tentang keharusan memasukkan materi kerukunan umat


(4)

beragama dalam kurikulum pendidikan, dan pengaturan sanksi yang tegas atas pelanggaran dan penodaan terhadap kerukunan umat beragama.

Peraturan tentang kerukunan umat beragama ini apabila diatur dalam keputusan menteri atau surat edaran maka kekuatan hukumnya sangat lemah. Upaya penegakan hukumnya juga akan menghadapi permasalahan terutama dalam teknis yusticial. Hal ini tidak akan terjadi kalau produk peraturan tersebut berbentuk undang-undang sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Undang-undang tentang kerukunan umat beragama harus bisa mengayomi dan menetramkan semua pemeluk agama dan aliran kepercayaan dengan segala kepentingannya. Undang-undang ini diupayakan agar mampu mengakomodir kepentingan umat beragama dalam upaya mengamalkan ajaran agamanya dan aktifitas kegiatan keagamaan secara adil dan proporsional tanpa menimbulkan konflik dengan pihak lain.

Memang sangat berat harapan masyarakat terhadap subtansi undang-undang tentang kerukunan umat beragama ini, tetapi adanya peraturan perundangan yang dibingkai dengan kerukunan umat beragama berbentuk undang-undang merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi di Indonesia, mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar dengan berbagai macam agama dan juga aliran kepercayaan.

III. PENUTUP

A. Simpulan

Tri kerukunan umat beragama yang digulirkan oleh pemerintah meliputi tiga konsep kerukunan yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar


(5)

umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dan pemerintah. Tujuan konsep tri kerukunan umat beragama ini agar masyarakat Indonesia dapat hidup kebersamaan dalam perbedaan.

Pemerintah harus memberikan dukungan fasilitasi pembiayaan terhadap berbagai program kegiatan yang mengarah pada pemeliharaan kerukunan umat beragama. Fasilitasi pemerintah ini diberikan kepada lembaga-lembaga keagamaan yang ada secara proporsional dan berimbang.

Payung hukum yang mengatur tentang tata hubungan antar dan intern umat beragama untuk mendukung kerukunan beragama sangat penting. Di dalam payung hukum tersebut bisa dimasukkan beberapa prinsip yang terdapat di dalam berbagai peraturan yang telah ada sebelumnya dengan memperhatikan perkembangan dinamika masyarakat yang terjadi selama ini.

## Makalah didiskusikan dalam forum diskusi lintas agama kota Semarang: Paguyuban PETAMAS – FKUB

Diposkan oleh ali imron hasan di 07.32

Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar: Poskan Komentar

Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Arsip Blog

 ▼ 2013 (13)

o ► Desember (5)


(6)

o ▼ Oktober (6)

 IMPLEMENTASI TAQWA SOSIAL

 KHUTBAH IDUL ADHA

 ARTI PENTING REGULASI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

 PENULISAN KARYA ILMIAH BAGI MAHASISWA BARU IAIN WA...

 AKTUALISASI PRINSIP PRINSIP SYARIAH DALAM BERKOPER...

 BAHAYA HASUD

Mengenai Saya

ali imron hasan

pernah belajar di MAF-1 Futuhiyah Mranggen Demak (1988-1991), nyantri qur`an 1)diasuh KH Muhibbin pesantren Al Badriyah Mranggen (1988-1991); 2)diasuh KH Ridwan Abdur Rozaq pesantren Raudlatul Huffazh Kodran Kediri (1991-1993) dan 3)diasuh KH Mahfud Sarbini Kapulisen Kaliwungu Kendal (1993-1995), menjadi ketua KMA 1993 Fakultas Syariah IAIN Walisongo (1993-1997), melanjutkan studi magister (1999-2001) di konsentrasi Hukum Islam Pascasarjana IAIN Walisongo, memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro (2003-2008). Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa di S.1. Fakultas Hukum salah satu perguruan tinggi swasta di Semarang (belum lulus)

Di MUI Kota Semarang dipercaya sebagai bendahara dan di Jam`iyyatul Qurra wal Huffazh Jawa Tengah sebagai Sekretaris Umum. Anggota Pleno FPBI Kota Semarang dan juga Dewan Pendidikan Kota Semarang

Lihat profil lengkapku