Peran Pemerintah Dalam Kerukunan Beragama

beragama yang diwakili oleh pemuka agama dari tiap-tiap agama dapat sinergis dengan pemerintah. Bekerjasama dan bermitra dengan pemerintah untuk menciptakan stabilitas persatuan dan kesatuan bangsa. Tri kerukunan umat beragama yang ketiga ini merupakan bentuk fasilitasi pemerintah terhadap berbagai program kegiatan yang menunjang kerukunan umat beragama. Pemerintah harus memberikan dukungan pembiayaan yang memadai untuk terselenggaranya kegiatan-kegiatan atau aksi-aksi sosial yang mendukung terciptanya dan terpeliharanya kerukunan umat beragama. Pejabat pemerintah harus mau duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan tokoh-tokoh agama dan juga pimpinan ormas keagamaan. Jalinan komunikasi yang sinergis harus terus dilakukan di antara pemerintah dengan tokoh agama dan juga pimpinan ormas keagamaan. Tri kerukunan umat beragama diharapkan menjadi salah satu solusi agar terciptanya kehidupan umat beragama yang damai, penuh kebersamaan, bersikap toleran, saling menghormati dan menghargai dalam perbedaan. Komitmen dari para pihak dan juga stakeholders sangat menentukan pelaksanaan Tri kerukunan umat beragama ini.

B. Peran Pemerintah Dalam Kerukunan Beragama

Kerukunan umat beragama mutlak sangat diperlukan, agar warga masyarakat dapat menjalani kehidupan beragama dan bermasyarakat di Indonesia ini dengan damai dan jauh dari kecurigaan kepada kelompok- kelompok lain. Kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang dengan penuh kedamaian ini menjadi kunci untuk ikut serta dalam melaksanakan program kegiatan sosial kemanusiaan yang dilakukan dengan kerja sama antar agama. Program kegiatan tersebut, jelas tidak dapat dilaksanakan dengan optimal, jika masalah kerukunan umat beragama belum terselesaikan dengan baik. Meskipun setiap agama telah mengajarkan tentang pentingnya kedamaian dan keharmonisan, realitas menunjukkan pluralisme agama bisa memicu pemeluknya saling berbenturan dan bahkan terjadi konflik. Konflik jenis ini mempunyai dampak yang amat mendalam dan cenderung meluas. Bahkan implikasinya bisa sangat besar sehingga berisiko sosial, politik maupun ekonomi yang besar pula. Pengertian konflik agama tidak saja terjadi antar agama yang berbeda atau yang dikenal dengan istilah konflik antar umat agama tetapi konflik juga sering terjadi antara umat dalam satu agama atau konflik intern umat agama. Munculnya berbagai konflik terkait dengan persoalan keagamaan disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah: Pertama, pelecehan atau penodaan agama melalui penggunaan simbol-simbol agama, maupun istilah-istilah keagamaan dari suatu agama oleh pihak lain secara tidak bertanggung jawab. Kedua, fanatisme agama yang sempit. Fanatisme yang dimaksud adalah suatu sikap yang mau menang sendiri serta mengabaikan kehadiran umat beragama lainnya yang memiliki cara ritual ibadah dan paham agama yang berbeda. Dan yang ketiga adalah adanya diskomunikasi dan miskomunikasi antar umat beragama. Konflik dapat terjadi karena adanya miskomunikasi salah paham dan dikomunikasi pembodohan yang disengaja. Bangsa Indonesia beratus-ratus tahun dijajah Belanda dan juga Jepang, berhasil merdeka berkat kerja sama erat dan saling bahu- membahu para pejuang dan para pendiri bangsa yang berbeda agama. Penghapusan satu kalimat di Piagam Jakarta dan kata-kata “Kewajiban menerapkan syariat Islam bagi para pemeluknya” merupakan bentuk kompromi politik untuk menjamin agar tidak ada superioritas antarsatu agama di atas agama lain dan demi terjaganya kerukunan umat beragama di Indonesia. Pancasila dan kalimat Bhinneka Tunggal Ika memberikan pedoman tentang pentingnya kerukunan umat beragama untuk bangsa ini pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Dialog intern umat beragama juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari kerukunan kehidupan umat beragama, yang pada dasarnya merupakan upaya mempertemukan hati dan pikiran di kalangan sesama penganut agama, baik sesama umat Islam maupun dengan umat beragama lainnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara kasatmata pemimpin agama berperan penting merancang dan melaksanakan dialog intern umat beragama, antar umat beragama, dan antara umat beragama dan pemerintah. Baik dari kalangan pemuka agama Islam maupun agama lain. Oleh karena itu pelibatan mereka dalam penyusunan regulasi kerukunan umat beragama dan juga penegakan hukum sangat penting. Penyusunan regulasi kerukunan umat beragama oleh Pemerintah dengan tidak melibatkan para pemuka tokoh agama akan melahirkan regulasi yang hampa dan tidak bermakna. Regulasi yang dilahirkan akan bekerja bagaikan robot mekanik yang tidak mempunyai jiwa kemanusiaan. Penegakan hukum yang dilakukan juga dirancang dengan pendekatan kemanusiaan. Pemerintah melalui Kementerian Agama dan juga Kementerian Dalam Negeri menduduki posisi yang penting dan sangat menentukan dalam sosialisasi atau diseminasi regulasi kerukunan umat beragama ini. Kementerian ini dengan mengikutsertakan stakeholders harus terus membuka mata dan memperhatikan masalah-masalah kehidupan umat beragama, baik yang berskala kecil maupun besar. Kebijakan pemerintah yang mengatur pembinaan kerukunan hidup umat beragama sudah banyak, misalnya mengenai kebijaksanaan penyiaran agama, pendirian dan penggunaan rumah ibadah, upacara hari besar keagamaan, hubungan antar agama dalam bidang pendidikan, perkawinan, penguburan jenazah, dan wadah musyawarah antarumat beragama. Menteri Agama Mukti Ali pernah memperkenalkan pentingnya dialog antar agama dan ilmu perbandingan agama yang diajarkan sebagai mata kuliah di berbagai perguruan tinggi. Kedua hal itu penting, sebagai bentuk penyiapan kader-kader dan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan konflik antara agama dan pemikiran yang terbuka, berwawasan luas, serta mendahulukan solusi kebersamaan demi masa depan Indonesia. Upaya ini juga dilanjutkan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara yang menyosialisasikan pentingnya trilogi kerukunan umat beragama. Komunikasi antar umat beragama yang sinergis harus didorong dan diberikan motivasi oleh pemerintah. Pemetrintah harus mengupayakan penyediaan fasilitas untuk mendukung itu. kerukunan umat beragama itu tidak terus bersifat top-down, elitis, dan berhenti pada dialog formal dan seremonial saja. Akan tetapi, para pemuka agama harus juga berinisiatif agar kesadaran ini terus tersebar dalam level akar rumput dan menjadi bagian dari pentingnya menjaga keharmonisan dan persatuan bangsa. Pemberdayaan kelembagaan Islam untuk meningkatkan kualitas kerukunan kehidupan umat beragama perlu diprogramkan terencana dan berkelanjutan, yang diawali pendataan potensi konflik keagamaan, pelatihan penyuluh agama untuk penanganan daerah berpotensi konflik, dan sosialisasi manajemen kelembagaan agama yang difokuskan kepada memperkenalkan konsep dan kedudukan kerukunan umat beragama dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa untuk suksesnya pembangunan nasional. Hal ini penting karena hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pemerintah dapat terus memupuk keharmonisan hubungan antar pemeluk agama melalui kelembagaan yang dikelola oleh negara maupun kelembagaan yang dikelola oleh berbagai agama yang ada di Indonesia, baik kelembagaan yang bersifat formal maupun non formal. Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB yang dibentuk pemerintah pada setiap provinsi, kabupaten, dan kota perlu dioptimalkan peran fungsinya dalam memupuk persaudaraan bangsa. Kegiatan FKUB jangan hanya terjebak dalam kegiatan birokrasi administrasi pemberian rekomendasi pendirian tempat ibadah. Karena dalam kenyataannya, badan ini menjelma hanya menjadi pengawas berdirinya rumah ibadah. Pemerintah dapat berperan dengan terus memacu dan juga memfasilitasi FKUB dalam melakukan dialog-dialog keagamaan. Dialog-dialog yang dilakukan oleh FKUB hendaknya tidak hanya merupakan dialog ‘mulut’ semata, tetapi juga harus diwujudkan dengan dialog karya nyata yang manfaatnya bisa dirasakan oleh komunitas masyarakat secara langsung. FKUB dapat melakukan kegiatan bakti sosial bersama-sama lintas agama dengan dukungan fasilitasi penuh dari pemerintah. Pengalaman nyata di lapangan, penulis menemukan beberapa problematika kendala ketika FKUB Kota Semarang akan merealisasikan program dialog karya di lapangan. Problematika tersebut diantaranya 1tingkat partisipasi stakeholders yang rendah, 2dukungan fasilitasi pembiayaan dari pemerintah sangat minim, 3ada kecenderungan justru kegiatan ini menjadi ‘unjuk gigi’ dari kelompok agama tertentu, sehingga terkesan mereka yang aktif bekerja, sementara penganut agama yang lain pasif. Pemerintahan harus terus memperhatikan problem relasi antaragama. Pemerintah harus mewujudkan kerukunan yang sesungguhnya, serta mengantisipasi pelbagai macam dampak negatif dari konflik antar agama. Segala motif dan indikasi yang bisa menyulut konflik harus diantisipasi sedini dan sebaik mungkin. Pemerintah perlu juga melakukan pendataan yang serius dan komprehensif tentang peta, analisis, keberhasilan, serta evaluasi kegagalan program kerukunan umat beragama ini. Pemerintah harus mencanangkan program dialog kultural di antara pelbagai komunitas agama. Dialog tidak dalam kerangka perjumpaan- perjumpaan yang bersifat formal, sebagaimana yang rutin selama ini, melainkan dalam kerangka menyelesaikan pelbagai persoalan bangsa dan persoalan keagaaman secara khusus Pemerintah memfasilitasi pertemuan antaragama dan mendorong terwujudnya relasi yang rukun, adil, dan setara. Pemerintah harus memperhatikan masalah keadilan dan kesejahteraan sosial. Akar konflik dan ketegangan antar dan juga intern agama muncul di antaranya juga disebabkan oleh ketidakadilan dan kemiskinan yang terjadi di kalangan agamawan. Terjadinya ‘rebutan’ anggota jamaah merupakan fenomena yang menarik. Anggota jamaah kelompok aliran agama tertentu merupakan sumber pembiayaan atau juga mungkin sebagai sumber penghasilan bagi tokoh atau pemimpin agama tertentu. Ketika kuantitas pengikut atau jamaahnya terganggu maka secara tidak langsung juga mengganggu income material dan secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap kenyamaan dan kerukunan. Hal ini berpotensi konflik di antara tokoh agama dan juga akan menjalar ke pengikut ajaran agama. Pemerintahan harus bekerja keras untuk meningkatkan ekonomi yang berorientasi kerakyatan serta penegakan hukum yang seadil-adilnya. Program peningkatan kesejahteraan bagi agamawan juga mutlak harus diperhatikan. Sebagai manusia, agamawan juga membutuhkan fasilitas untuk mendukung kegiatan misi agamanya. Tempat ibadah dan sarana peribadatan yang representatif, fasilitas kegiatan sosial keagamaan yang memadai, keadaan ekonomi agamawan yang mapan dan dukungan fasilitasi pemerintah terhadap berbagai kegiatan keagamaan akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kerukunan hidup umat beragama.

C. Urgensi Regulasi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia