BAGIAN PERTAMA

(1)

BAGIAN PERTAMA


(2)

A.

P

engertian

Dalam pergaulan sehari-hari tergadang istilah buruh dan tenaga kerja sering dipergunakan secara interchangeable. Apakah ada perbedaan antara buruh dan pekerja ? Pada dasarnya pengertian Buruh, Pekerja, atau Karyawan adalah individu atau kelompok indivudu yang bekerja pada suatu instansi, lembaga, atau suatu perusahaan yang menggunakan tenaga, fikiran dan atau skill untuk mendapatkan imbalan berupa upah atau gajih, baik berupa uang maupun bentuk lainya.

Perbedaan buruh dan pekerja atau karyawan pada dasarnya tidak ada perbedaan alias sama hanya saja dalam kultur Indonesia, kata "Buruh" berkonotasi sebagai pekerja rendahan, pekerja “kasar” dan semata-mata menggunakan “otot”, kurang menggunakan “otak”. sedangkan makna tenaga kerja dan Karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan cenderung dalam melakukan kerja menggunakan otak atau skill. Dalam UU No 13 tahun 2003. Pasal 1 menyatakan “pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Dalam UU hukum perdata memaknai buruk /pekerja agak sedikit berbeda……….

Lebih lanjut ada juga ahli yang membedakan buruh dalam dua katagori yaitu buruh professional dan buruh yang tidak menggunakan professional. Profesional dimaksutkan adalah buruh yang menggunakan skill yang dikatagorikan white colar job, dan buruh tidak professional adalah buruh yang dalam pekerjaan nya tidak membutuhkan skill khusus atau unskill yang disebut juga dengan black cola job. Terlepas apapun sebutannya secara perundangh-undangan, buruh dan tenaga kerja pada dasarnya sama saja, dan uu yang digunakan pun sama.

B.Sumber Hukum Ketenaga kerjaan.

Kata sumber menunjukkan tempat untuk mendapatkan sesuatu. “Sumber air” arti nya tempat dimana kita dapat memperoleh air. Demikian juga halnya dengan sumber hukum menunjukkan tempat untuk memperoleh dalil-dalil atau hujjah yang dapat digunakan untuk memaksa orang atau badan untuk melakukan sesuatu. Tidak dapat dikatajan sumber hukum jika tidak mengandung makna “memaksa”. Memaksa merupakan “roh” nya hukum. Hukum tampa roh maka hukum “mati” tampa arti, “Roh” tampa hukum “kezoliman”


(3)

Sebagian sarjana hukum membagi sumber hukum dalam dua kata sumber yaitu sumber materiil dan sumber formal. Sumber materiil dapat dimaknai sebagai sumber subjektif karena berdasar kan perasaan atau keyakinan seseorang atau secara postulat sudah diyakini oleh halayak ramai yang dapat mewarnai substansi dari hukum tersebut. Sumber hukum materiil ini dapat berupa beberapa tinjauan. Tinjauan sosiologis, filosofis, historis dan ekonomis, serta pandangan para ahli hukum. Sementara itu sumber hukum formil adalah sumber hukum yang telah diformulasi kan lebih kongkrit dalam beberapa sumber hukum. Pada dasarnya sumber hukum formil berasal dari sumber hukum materiil. Kalau mau ditarik kebelakang sumber hukum itu pada dasarnya hanya ada saut yaitu suber hukum materiil. Namun untuk lebih mudah dalam mempelajarinya maka dibagi dalam dua hal yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Kedua sumber hukum ini tidak dapat dipisahkan. Sumber Hukum formil tampa sumber hukum materil maka hukum itu akan gersang, kaku dan cendrung mengabaikan keadilan, sebaliknya sumber hukum formil mengabaikan sumber hukum materiil tidak atau kurang bermakna bagi masyarakat majemuk dan kompleksitas sosial yang tinggi. Adapun sumber hukum formil termasuk hukum perburuhan atau hukum ketenaga kerjaan adalah

1) Undang-Undang Dasar 1945.

UUD 45 merupakan hukum dasar sebagai landasan konstitusional dalam memformulasikan rancangan hukum formil lainnya. Tidak boleh terjadi komplik norma atau komplik outiritas, apalagi pertentangan antara hukum dasar (konstitusi) dengan hukum lainnya. Lahirnya hukum lainnya dalam rangka untuk melaksanakan hukum dasar tersebut, yang lazim disebut dengan hukum organic. Lalu bagaimana kaitannya dengan hukum ketenagakerjaan ? Dalam pembukaan UUD 1945 pada alenia ke empat dengan tegas dikatakan bahwa negara dan pemerintahan ini dibentuk untuk melindungi segenap banghsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Buruh merupakan bagian dari bangsa indonesia yang harus dilindungi dan disejahterakan oleh karena itu diperlukan hukum yang lebih aplikatif yaitu hukum perburuhan, atau hukum ketenaga kerjaan. Oleh karena itu semua produk hukum ketenaga kerjaan harus mengandung maksut untuk melindungi dan mensejahterakan para buruh sebagai bagian dari anak bangsa. Disamping itu pasal 28-D ayat 2 UUD 1945 berbunyi “setiap orang berhak untuk pekerjaan serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam pekerjaan kerja”.


(4)

2) TAP MPR.

Tap MPR merupakan ketetapan atau keputusan yang telah di formulasikan oleh MPR sebagai pengejawantahan dari rakyat. MPR merupakan lembaga tinggi negara dulu sebagai lembaga tertinggi negara. Keputusan MPR ini bersifat mengikat dan memaksa harus dilakukan oleh semua komponen bangsa indonesia terutama pemerintah yang bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan Tap MPR. Kedudukan MPR ini dalam system hukum indonesia berada di bawah UUD 1945. Pertanyaan nya adalah bagaimana kedudukan buruh atau tenaga dalam Tap MPR ? Tap MPR tentang GBHN pada bagian arah kebijakan ekonomi pada butir No 18 disebutkan bahwa “mengembangkan ketenagakerjaan secara menyeluruh dan terpadu yang diarahkan pada peningkatan kompetensi dan kemendirian tenaga kerja, peningkatan pengupahan, penjaminan kesejahteraan, perlindungan kerja dan kebebasan berserikat”. Dari ketentuan Tap MPR tersebut maka perlu dilakukan penjelasan lebih komgkrit maka diperlukan hukum ketenagakerjaan. 3). Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

4) Peraturan Pemerintah 5) Peraturan Presiden

6) Peraturan Daerah Provinsi

7) Peraturan Daerah Kabupaten / Kota 2. Sejarah Sumber Hukum Perburuhan

Dalam teori hukum perburuhan terdapat dua jenis hukum perburuhan yaitu hukum perburuhan otonom dan hukum perburuhan heteronom. Pembedaan dua jenis hukum perburuhan ini lebih dikarenakan adanya sejarah perkembangan hukum perburuhan yang mengakibatkan perubahan dan pergeseran status hukum perburuhan dalam cabang ilmu hukum. Dalam sejarahnya


(5)

2.1 Periode Hukum Perburuhan Kuno

Ini merupakan periode pertama awal mula diakuinya hukum perburuhan. Periode ini

digambarkan sebagai hubungan kerja antara majikan dan buruh yang dianggap sebagai hubungan yang bersifat privat dengan posisi buruh yang sangat lemah. Dalam posisi ini buruh diposisikan sebagai rechts object (objek hukum) bukan sebagai rechts subject (subjek hukum) atau dengan kata lain buruh hanya menjadi benda atau modal hidup (levend kapitaal) (Goenawan Oetomo 2004:10).

Hubungan kerja periodesasi ini sangat bersifat privat, segala hal terkait dengan kesepakatan kerja antara majikan dan buruh diserahkan oleh kedua belah pihak. Artinya seluruh ketentuan yang mengatur hubungan kerja didasarkan oleh kesepakatan majikan dan buruh tanpa ada campur tangan dari pihak ketiga atau peraturan/ketentuan lainnya. Keadaan ini menempatkan hukum perburuhan sebagai bagian dari hukum privat. Akhirnya dalam prakteknya hubungan kerja dengan sifat yang sangat individual ini sangat didominasi oleh majikan sebagai pihak yang memiliki kekuatan baik dari aspek modal maupun kekuasaan. Buruh ditempatkan pada posisi yang lemah dalam praktek terjadilah perbudakan semu (pseudo-slavery) dengan

mengatasnamakan hubungan kerja.

Pada saat ini posisi pemerintah sebagai penguasa tidak ikut campur tangan dalam rangka menjaga keselarasan atau keharmonisan hubungan kerja antara majikan dan buruh. Pemerintah hanya memiliki kepentingan bahwa hubungan kerja yang timbul akibat perjanjian kerja tersebut tidak mengganggu ketertiban umum. Tidak menjadi persoalan apakah hubungan kerja itu merugikan atau menguntungkan salah satu pihak atau kedua belah pihak. Hal ini dikarenakan pada saat itu konsep negara adalah penjaga malam yang hanya memiliki kepentingan untuk menjaga ketertiban semata tanpa memperhatikan aspek lain dari kehidupan masyarakatnya. 2.2 Periode Hukum Perburuhan Modern

Periode kedua kelanjutan dari periode hukum perburuhan kuno yang awali dengan munculnya revolusi industri di Inggris saat ditemukannya teknologi revolusioner saat itu yakni mesin uap. Revolusi industri memunculkan berbagai perusahaan manufaktur yang menyerap tenaga kerja begitu banyak dan terkonsentrasi di daerah perkotaan. Begitu banyaknya perusahaan yang menyerap tenaga kerja menimbulkan solidaritas kaum pekerja sebagai lapisan yang memiliki nasib dan perjuangan yang sama. Maka karakter komunal pada periode ini sangat menonjol.


(6)

Karena bersifat komunal inilah maka hubungan kerja antara buruh dan majikan semakin kompleks dan tidak mungkin secara mandiri diserahkan kepada para pelaku dalam dunia hubungan kerja (majikan dan buruh) untuk membuat ketentuan yang melibatkan begitu banyak pekerja. Alasan utamanya adalah dengan semakin kompleksnya hubungan kerja maka jika pengaturan diserahkan seluruhnya kepada pihak terkait akan menimbulkan banyak persoalan. Banyaknya jumlah pekerja dan karakternya yang komunal mau tidak mau telah membentuk konfigurasi tertentu yang mengakibatkan bertambah kuatnya posisi pekerja dalam membuat perjanjian kerja yang,walaupun tidak murni, sering disebut contractvrijheid (Soeharnoko 1976:19) dengan hubungan kerja.

Hubungan kerja antara majikan dan pekerja yang sudah mulai kuat akan berpotensi untuk memunculkan konflik akibat dari gesekan kepentingan dari masing-masing pihak. Gesekan kepentingan ini jika dibiarkan diselesaikan oleh masing-masing pihak maka akan sangat sulit penyelesaiannya bahkan ada kecenderungan akan memperbesar konlfik yang sudah ada. Pendek kata dibutuhkan pihak yang memiliki kekuasaan penuh yang dipatuhi oleh pihak terkait rangka menjaga keselarasan hubungan kerja. Pihak tersebut adalah pemerintah.

Periode ini ditandai juga dengan adanya campur tangan pemerintah secara pasif dalam mengurus masalah hubungan kerja. Artinya pemerintah sudah mulai membuat berbagai aturan yang terkait dengan hubungan kerja. Hanya saja, dalam implementasinya tetap diserahkan oleh pihak yang bersangkutan langsung dengan masalah hubungan kerja. Dengan demikian peran dalam pelaksanaan tetap ada pada buruh dan majikan. Dalam periode ini hukum perburuhan masuk dalam cabang hukum administrasi Negara.

Dengan demikian pada periode ini terdapat dua jenis sumber hukum perburuhan yaitu hukum perburuhan yang berasal dari pemerintah yaitu segala ketentuan yang dibuat oleh pemerintah yang mengatur masalah hubungan kerja yang sering dikenal dengan hukum perburuhan heteronom. Dan hukum perburuhan yang berasal dari para pelaku hubungan kerja melalui perjanjian kerja yang sering dikenal dengan hukum perburuhan otonom.

2.3 Periode Hukum Perburuhan Idealistik

Periode ini merupakan dampak dari perubahan filosofi pembentukan negara yang pada awalnya Negara dibentuk dalam rangka menjaga ketertiban umum dan stabilitas keamanan (penjaga


(7)

malam) bergeser dengan sebuah filosofi bahwa negara dibentuk dalam rangka mensejahterakan rakyat (welfare state).

Dengan filosofi negara memiliki fungsi untuk mensejahterakan rakyatnya, maka campur tangan negara dalam berbagai aspek kehidupan rakyatnya menjadi konsekuensi logis atas adanya negara tersebut.Dikaitkan dengan periodisasi hukum perburuhan maka dalam periode ini pemerintah turut campur tangan secara aktif dalam arti dalam mengatur hubungan kerja pemerintah membuat ketentuan sekaligus melaksanakan ketentuan tersebut. Pada periode ini hukum perburuhan menjadi cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri. Periode ini hukum perburuhan memiliki karakter yang khas yaitu bersumber dari ketentuan pemerintah (hukum perburuhan heteronom) dan yang dibuat oleh pelaku hubungan kerja (hukum perburuhan otonom).

Dari Ketiga periodesasi sejarah hukum perburuhan diatas telah memunculkan dua jenis hukum perburuhan yaitu pertama hukum perburuhan otonom yang dibuat oleh buruh dan majikan yang biasanya berbentuk perjanjian, kedua hukum heteronom yang dibuat langsung oleh pemerintah yang berbentuk peraturan perundang-undangan perburuhan baik yang berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah dan berbagai aturan lainnya.

3. Hukum Perburuhan Heteronom dan Hukum Perburuhan Otonom 3.1 Hukum Perburuhan Heteronom

Adalah semua peraturan perundang-undangan di bidang perburuhan yang ditetapkan oleh pemerintah yang berbentuk peraturan perundang-undangan perburuhan baik yang berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah dan berbagai aturan teknis lainnya.

Pada dasarnya hukum perburuhan heteronom dibuat dalam rangka memberikan pengaturan dasar atas segala hal yang terkait dengan perburuhan dan wajib ditaati oleh semua pihak. Hukum heteronom menjadi pedoman utama dalam membuat hukum perburuhan otonom yang dilakukan oleh buruh dan majikan. Maksud pemerintah membentuk hukum perburuhan heteronom ini agar para pelaku hubungan kerja yang jumlahnya sangat banyak ini tidak membuat ketentuan yang berpotensi menimbulkan konflik sekaligus dapat dijadikan sebagai alat ukur utama dalam meverifikasi apakah hukum perburuhan otonom yang dibuat sudah seuai dengan standar normatif atau tidak. Standar normatif ini tidak dimaksudkan agar setiap pelaku hubungan kerja


(8)

dalam membuat hukum perburuhan otonom harus selalu sama persis dengan hukum perburuhan heteronom, namun tidak boleh dibawah norma dari hukum yang bersangkutan.[1]

Hukum Perburuhan Heteronom : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya, dan berbagai peraturan lainnya yang dibuat pemerintah.

Sumber Hukum Perburuhan Heteronom

Terdiri dari peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dll. dibuat dengan cara tertentu sesuai dengan tingkatannya dalam hierarki perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.[2] Hierakis Peraturan Perundang-undangan : 1) Undang-Undang Dasar 1945

2) TAP MPR

3) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 4) Peraturan Pemerintah

5) Peraturan Presiden

6) Peraturan Daerah Provinsi

7) Peraturan Daerah Kabupaten / Kota

3.2 Hukum Perburuhan Otonom

Adalah ketentuan-ketentuan di bidang perburuhan yang dibuat oleh buruh dan majikan yang biasanya berbentuk Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama dan Peraturan Perusahaan. Hukum perburuhan otonom tidak boleh bertentangan dengan hukum perburuhan heteronom dan di anggap tidak berlaku sehingga yang berlaku adalah ketentuan yang ada di dalam hukum perburuhan heteronom.

Sehingga hukum perburuhan otonom baru berlaku apabila isi dari hukum perburuhan diatas atau minimal sama dengan norma hukum perburuhan heteronom. Artinya, isi hukum perburuhan otonom memiliki kualitas[3] di atas hukum perburuhan heteronom. Artinya hukum perburuhan


(9)

heteronom menjadi standar minimal yang harus dipatuhi dalam membuat hukum perburuhan otonom. Bahkan sesungguhnya pembuatan hukum perburuhan otonom menjadi tidak perlu apabila isinya sama dengan hukum heteronom, karena sesungguhnya akan terjadi duplikasi yang tidak perlu antara hukum perburuhan otonom dan hukum perburuhan heteronom.[4]

Sumber Hukum Perburuhan Otonom

Terdiri dari Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB): 1. Perjanjian Kerja[5]

Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak yang dapat berbentuk tertulis atau lisan.[6]

Perjanjian Kerja dapat dikatakan sah apabila memenuhi syarat formil dan syarat materil. Syarat materiil perjanjian kerja sesuai yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :[7] a Kesepakatan kedua belah pihak;

b Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan;

d Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Syarat formil perjanjian kerja (pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013) sekurang-kurangnya memuat:

1. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; 3. Jabatan atau jenis pekerjaan;

4. Tempat pekerjaan;

5. Besarnya upah dan cara pembayaran;

6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;

7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; 8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat


(10)

9. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Hal-hal yang diperlukan dalam pembuatan Perjanjian Kerja (termasuk biaya) menjadi tanggung jawab Pengusaha. Perjanjian Kerja juga dapat dibatalkan (jika ternyata para pihak tidak sepakat dan para pihak tidak cakap), dan batal demi hukum (jika tidak ada pekerjaan yang diperjanjikan ataupun bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perjanjian Kerja dapat juga ditarik kembali atas persetujuan para pihak. Perjanjian Kerja murni hubungan kontraktual antara buruh dan pengusaha namun tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Di sinilah letak unsur otonomnya.

Jenis perjanjian kerja berdasarkan ketentuan pasal 56 UU Nomor 13 Tahun 2003 dibedakan dalam :

1. penjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) 2. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. (PKWTT)

Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu di atur dalam ketentuan pasal 57-66 UU No 13 Tahun 2003. PKWT dibuat secara tertulis serta menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. PKWT yang dibuat tidak tertulis dinyatakan sebagai PKWTT. PKWT tidak mempekenankan masa percobaan, PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan akan selesai dalam waktu tertentu

1. Pekerjaan sekali selesai atau sementara sifatnya

2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun

3. Pekerjaan yang sifatnya musiman

4. Pekerjaaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam pencobaan atau penjajakan.

Berakhirnya perjanjian kerja : 1. Pekerja meninggal dunia


(11)

3. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap

4. Adanya keadaaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam pejanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

1. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun (55 tahun)

2. Pekerja/buruh diputuskan hubungan kerjanya karena melakukan kesalahan 3. Pekerja/buruh meninggal dunia

4. Adanya putusan pengadilan yang menyatakan pekerja/buruh telah

melakukan tindak pidana sehingga perjanjian kerja tidak bisa dilanjutkan. 2. Peraturan Perusahaan (PP)[8]

Peraturan Perusahaan (PP) adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Isinya adalah syarat kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan rincian pelaksanaan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal peraturan perusahaan akan mengatur kembali materi dari peraturan perundangan maka ketentuan dalam peraturan perusahaan tersebut harus lebih baik dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Pembuatan PP menjadi kewajiban pengusaha apabila telah mempekerjakan buruh sebanyak 10 (sepuluh) orang yang berlaku setelah di sahkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Kewajiban ini tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki PKB. Masa berlaku PP paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya. Apabila perusahan tidak memenuhi kewajiban membentuk PP maka pengusaha di kenakan sanksi tindak pidana pelanggaran. Peraturan Perusahaan ini disusun oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha yang bersangkutan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil buruh yang bekerja pada perusahaan yang bersangkutan.[9]

PP sekurang-kurangnya memuat:

1. Hak dan kewajiban pengusaha; 2. Hak dan kewajiban pekerja/buruh;


(12)

3. Syarat kerja;

4. Tata tertib perusahaan;

5. Jangka waktu berlakunya Peraturan Perusahaan.

Permohonan Peraturan Perusahaan yang ingin disahkan sekurang-kurangnya memuat: 1. Nama dan alamat perusahaan;

2. Nama pimpinan perusahaan; 3. Wilayah operasi perusahaan; 4. Status perusahaan;

5. Jenis/bidang usaha;

6. Jumlah pekerja/buruh menurut jenis kelamin; 7. Status hubungan kerja;

8. Upah tertinggi dan terendah;

9. Nama dan alamat serikat pekerja/serikat buruh (apabila ada); 10.Nomor pencatatan serikat pekerja/serikat buruh (apabila ada); 11.Masa berlakunya peraturan perusahaan; dan

12.Pengesahan peraturan perusahaan untuk yang keberapa.

Rancangan PP dikirimkan kepada wakil buruh[10] dan wajib ditanggapi dalam kurun waktu 14 (empat belas) hari. Jika tidak ada tanggapan maka perusahaan dapat mengajukan pengesahan PP tersebut ke Kepala Instansi Ketenagakerjaan (Sudinakertrans atau Disnakertrans).[11]Pejabat Ketenagakerjaan kemudian meneliti materi PP yang tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan yang berlaku. Jika tidak ada tanggapan dalam waktu 14 (empat) belas hari maka PP tersebut berlaku secara otomatis. Jika ada tanggapan, maka wajib dikirimkan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari untuk diubah oleh perusahaan dan kemudian dikirimkan kembali untuk disahkan.

Perusahan juga wajib untuk melayani buruh jika ada tuntutan untuk membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) selama PP masih berlaku. Jika ada keinginan untuk mengubah isi PP maka harus berdasarkan kesepakatan dari buruh dan pengusaha.Begitu pula jika tidak ada kesepakatan soal


(13)

PKB maka PP tetap berlaku sampai habis masa berlakunya. Perusahaan wajib untuk mengajukan PP baru ketika 30 (tiga puluh) hari menjelang habisnya masa berlaku PP.

3. Perjanjian Kerja Bersama (PKB)[12]

PKB adalah: “Perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.”

Pada dasarnya, secara teknis pembuatan PKB sama dengan pembuatan PP. Namun sesuai dengan definisinya, dalam pembuatan PKB ada peranan Serikat Buruh yang lebih diberikan ruang oleh undang-undang. Pembuatan PKB merupakan ruang bertarung yang sebenarnya bagi serikat buruh karena dari PKB ada 4 (empat) pilar kepentingan buruh dinegosiasikan dan diperbaiki, yaitu:[13]

1. Kebebasan berserikat;

2. Kepastian (perlindungan) pekerjaan; 3. Upah dan perbaikan kondisi kerja; 4. Jaminan sosial.

Dalam pembuatan PKB paling sedikit memuat : 1. Hak dan kewajiban pengusaha

2. Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh 3. Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya PKB

4. Tanda tangan para pihak pembuat PKB

Proses pembuatan PKB didahului dengan perundingan antara pengusaha dengan buruh yang diwakili oleh serikat buruh. Jika dalam perundingan dicapai kesepakatan maka PKB mulai berlaku pada hari penandatanganan (kecuali ditentukan lain dalam PKB) dan selanjutnya di daftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Namun bila tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya melalui prosuder penyelesaian hubungan industrial berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian


(14)

Perselisihan Hubungan Industrial. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 115/PUU-VII/2009. Yang membatalkan Pasal 120 UU Nomor 13 Tahun 2003 beberapa catatan penting dalam pembuatan PKB :

1. Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh karyawan.

2. Jika di perusahaan hanya terdapat 1 (satu) serikat pekerja /buruh maka serikat pekerja/buruh ini berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan, dengan syarat memiliki jumlah anggota lebih dari 50 % (lima puluh

persen)dari sejumlah pekerja/buruh di perusahaan.

3. Jika di perusahaan hanya terdapat 1 (satu) serikat pekerja / buruh namun tidak memilik jumlah anggota lebih dari 50 % maka serikat pekerja/buruh dapat mewakili pekerja/buruh dengan syarat telah mendapat dukungan lebih dari 50 % dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui

pemungutan suara.

4. Jika dukungan tersebut tidak tercapai maka serikat pekerja / buruh dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan PKB dengan

pengusaha setelah melewati jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara pertama.

5. Para serikat pekerja/ buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan berapa jumlah pekerja/buruh di serikat pekerja masing.

6. dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan. 7. Jika di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja maka

pembuatan PKB melibatkan Para serikat pekerja/serikat buruh dengan membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing- masing serikat


(15)

pekerja/serikat buruh. Hal ini harus dimaknai Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan.

Perbedaan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, Dan Perjanjian Kerja Bersama

PERBEDAAN PERJANJIAN KERJA PERATURAN PERUSAHAAN

PERJANJIAN KERJA BERSAMA Pembuat Pekerja dan Pemberi

Kerja Pengusaha

Serikat pekerja dan pengusaha

Kesepakatan Diperlukan Tidak diperlukan Diperlukan

Isi

Syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak

Syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan

Syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak

Pencatatan Tidak diperlukan

Dicatatkan pada Instansi

Ketenagakerjaan (Sudinakertrans/ Disnakertrans/Direktu r Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Dicatatkan pada Instansi Ketenagakerjaan (Sudinakertrans/ Disnakertrans/Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Peranan buruh dalam

penentuan isi

Tidak ada Sekedar saran dan

pertimbangan Dilahirkan melalui perundingan antara Serikat Buruh-Pengusaha Dapat

diperselisihkan?Dapat Tidak Dapat Dapat


(16)

Persoalan yang kemudian timbul adalah bagaimana posisi antara hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan otonom? Lebih tinggi manakah hukum perburuhan heteronom dengan hukum perburuhan otonom? Hukum perburuhan yang manakah yang wajib ditaati lebih dahulu? Untuk menjawab berbagai persoalan itu maka perlu dijelaskan tentang posisi dan fungsi dari hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan otonom terlebih dahulu.

Pada dasarnya hukum perburuhan heteronom dibuat dalam rangka memberikan pengaturan dasar atas segala hal yang terkait dengan obyek pengaturan tersebut yang wajib ditaati oleh semua pihak. Ketentuan ini pada dasarnya menjadi pedoman utama dalam rangka membuat hukum perburuhan otonom yang dilakukan oleh buruh dan majikan.

Maksud pemerintah membentuk hukum perburuhan heteronom ini agar para pelaku hubungan kerja yang jumlahnya sangat banyak ini tidak membuat ketentuan yang berpotensi menimbulkan konflik sekaligus dapat dijadikan sebagai alat ukur utama dalam meverifikasi apakah hukum perburuhan otonom yang dibuat sudah seuai dengan standar normatif atau tidak.

Standar normatif ini tidak dimaksudkan agar setiap pelaku hubungan kerja dalam membuat hukum perburuhan otonom harus selalu sama persis dengan hukum perburuhan heteronom walaupun juga tidak boleh dibawah norma dari hukum yang bersangkutan.

Artinya hukum perburuhan heteronom menjadi standar minimal yang harus dipatuhi dalam membuat hukum perburuhan otonom. Bahkan sesungguhnya pembuatan hukum perburuhan otonom menjadi tidak perlu apabila isinya sama dengan hukum heteronom, karena sesungguhnya akan terjadi duplikasi yang tidak perlu antara hukum perburuhan otonom dan hukum perburuhan heteronom.

Dengan posisinya yang di bawah hukum perburuhan heteronom maka hukum perburuhan otonom tidak boleh bertentangan dengan hukum perburuhan heteronom dan dianggap tidak berlaku sehingga yang berlaku adalah ketentuan yang dikemas dalam hukum perburuhan heteronom.

Sebaliknya, hukum perburuhan otonom baru berlaku manakala isi dari ketentuan itu diatas atau minimal dengan norma hukum perburuhan heteronom. Artinya, isi hukum perburuhan otonom memiliki kualitas di atas hukum perburuhan heteronom.


(17)

Apabila dibuat tata urutan ketentuan perburuhan yang mengkombinasikan hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan otonom maka akan didapat komposisi sebagai berikut: 1. Hukum perburuhan heteronom sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan. 2. Hukum perburuhan otonom dengan tata urutan sebagai berikut:

a. Perjanjian Kerja Bersama b.Perjanjian kerja

c. Peraturan Perusahaan

Komposisi tersebut di atas dapat diterangkan bahwa kualitas peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah daripada kualitas perjanjian kerja. Kualitas perjanjian kerja tidak boleh lebih rendah dari pada kualitas perjanjian kerja bersama dan kualitas perjnajian kerja bersama tidak boleh lebih rendah dari pada kualitas hukum perburuhan heteronom.

Dengan demikian hukum perburuhan otonom baru berlaku manakala kualitasnya lebih tinggi atau minimal sama dengan dengan kualitas hukum perburuhan heteronom. Dengan demikian pula apabila kualitas hukum perburuhan otonom lebih rendah dari hukum perburuhan heteronom maka secara otomatis hukum perburuhan otonom tersebut telah bertentangan dengan hukum perburuhan heteronom dan dianggap tidak berlaku.

Sekilas memang persoalan posisi hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan otonom tidak terlalu dipersoalkan. Namun masalah ini akan muncul ketika terjadi perselisihan antara pekerja atau serikat pekerja dengan perusahaan yang menyangkut tentang isi dari hukum perburuhan otonom. Pada kasus perjanjian kerja bersama, misalnya, semestinya tidak perlu dipermasalahkan prioritas pemberlakuan peraturan perundang-undangan atau perjanjian kerja bersama karena kedua-duanya bisa berlaku secara bersama-sama.

Artinya adalah peraturan perundang-undangan harus dijadikan dasar untuk melaksanakan hubungan kerja ketika isi perjanjian kerja bersama tertentu kualitasnya di bawah peraturan perundang-undangan (bertentangan) namun perjanjian kerja bersama tertentu akan menjadi prioritas untuk diberlakukan manakala kualitas isi dari perjanjian kerja bersama tersebut di atas peraturan perundang-undangan (kualitas dan isinya lebih tinggi) atau atau isinya sama dengan peraturan perundang-undangan (kualitas dan isinya sama)


(18)

Dengan demikian fungsi dari hukum perburuhan otonom selain mengisi kekosongan hukum yang belum dibuat oleh hukum perburuhan heteronom, juga memiliki fungsi sebagai pranata untuk meningkatkan kualitas hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja.

Kesimpulan

Pada dasarnya hukum perburuhan heteronom dibentuk dalam rangka menetapkan standar normatif yang dijadikan sebagai pedoman minimal bagi hukum perburuhan otonom agar dibuat dengan kualitas minimal seperti kualitas hukum perburuhan heteronom.

Apabila hukum perburuhan otonom dibuat dengan kualitas lebih tinggi dari pada hukum perburuhan heteronom maka yang berlaku adalah hukum perburuhan otonom. Doktrin ini didasarkan atas pemikiran bahwa fungsi dari hukum perburuhan otonom selain mengisi

kekosongan hukum yang belum dibuat oleh hukum perburuhan heteronom juga memiliki fungsi sebagai pranata untuk meningkatkan kualitas hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja.

[1]Ibid.

[2] Lihat juga http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/pembuatan-undang-undang, terakhir kali diakses tanggal 3 Januari 2013. Pembuatan undang-undang secara garis besar meliputi pemasukan dalam program legislasi (baik daerah maupun nasional), perancangan (oleh staf ahli), pembahasan, dan pengesahan menjadi undang-undang.

[3]Kualitas yang dimaksud disini adalah kualitas yang menguntungkan buruh. [4]Ibid.

[5] Untuk gambaran lebih menyeluruh, lihat Pasal 51-56 UU 13 Tahun 2003.

[6] Dalam hal ini, yang menjadi pembahasan adalah perjanjian kerja tertulis. Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 UU 13 Tahun 2003, Perjanjian Kerja harus dibuat secara tertulis. Jika tidak maka batal demi hukum dan berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

[7] Bandingkan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).


(19)

[8] Untuk lebih jelasnya, lihat Pasal 108-115 UU 13 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.16/MEN/XI/2011Tentang Tata Cara

Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.

[9] Namun, perbedaan pendapat mengenai Peraturan Perusahaan ini tidak dapat diperselisihkan karena sifat masukan dari buruh hanyalah saran dan pertimbangan. Lihat Pasal 4 Kepmenaker No. PER.16/MEN/XI/2011.

[10] Wakil buruh harus dipilih secara demokratis. Jika sudah berbentuk Serikat Buruh, maka harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam UU 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh.

[11] Bukti telah meminta pertimbangan kepada buruh biasanya dibuktikan dengan tanda terima rancangan PP yang telah diserahkan kepada buruh.

[12] Lihat Pasal 116-133 UU 13 Tahun 2003 dan Kepmenaker No.

PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.

[13] Indah Budiarti, “Perjanjian Kerja Bersama untuk Kesejahteraan Buruh”, http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2012/06/21/perjanjian-kerja-bersama-untuk-kesejahteraan-buruh-471418.html, diakses terakhir kali tanggal 3 Januari 2013

C.Sejarah dan Politik Hukum Ketenagakerjaan Masa sebelum Kemerdekaan

Masa ini pada prinsipnya terbagi menjadi 3 periode, yaitu masa perbudakan, masa penjajahan Hindia Belanda, dan masa penjajahan Jepang.


(20)

Keadaan di Indonesia pada masa ini dapat dikatakan lebih baik dibandingkan keadaan di negara lain karena di Indonesia telah hidup hukum adat. Pada masa ini, budak adalah milik Belanda, yang berarti menyangkut

perekonomian serta hidup dan matinya seseorang. Politik hukum yang berlaku tergantung pada tingkat kewibawaan penguasa (raja). Contohnya pada tahun 1877, saat matinya raja Sumba, seratus orang budak dibunuh, agar raja itu di alam baka akan mempunyai cukup pengiring dan pelayan. Contoh lainnya budak yang dimiliki oleh suku Baree Toraja di Sulawesi Tengah nasibnya lebih baik dengan pekerjaan membantu mengerjakan sawah dan ladang.

Selain itu, dikenal lembaga perhambaan dan peruluran. Imam Soepomo menggambarkan lembaga perhambaan dan peruluran sebagai berikut.

Lembaga perhambaan terjadi apabila ada hubungan pinjam-meminjam uang atau apabila terjadi perjanjian utang-piutang. Orang yang berutang sampai saat jatuh tempo pelunasan belum bisa membayar utangnya. Pada saat itu pula orang yang berutang menyerahkan dirinya atau menyerahkan orang lain kepada si kreditur, sebagai jaminan dan dianggap sebatas bunga dari utang.

Selanjutnya orang yang diserahkan diharuskan untuk bekerja kepada orang yang memberi utang sampai batas waktu si debitur dapat melunasi

utangnya. Penyerahan diri atau orang lain itu dimaksudkan untuk membayar bunga dari utang itu. Bukan untuk membayar utangnya. Keadaan ini pada dasarnya sama dengan perbudaka

Lembaga peruluran terjadi setelah Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1621 menguasai Pulau Banda. Semua orang yang ada di pulau itu dibunuh atau diangkut ke luar negeri sebagai budak. Yang sempat melarikan diri ada yang


(21)

menjadi bajak laut. Selanjutnya tanah-tanah yang masih kosong itu diberikan atau dibagi-bagikan kepada bekas pegawai Kompeni atau orang lain. Orang yang diberi kebun itu dinamakan perk. Kepemilikan hanya terbatas pada saat orang itu tinggal di kebun itu dan wajib tanam.

Hasil dari wajib tanam itu wajib untuk dijual kepada Kompeni saja dengan harga yang telah ditentukan oleh Kompeni. Apabila mereka pergi atau keluar dari kebun itu, ia akan kehilangan hak atas kebun itu. Wajib tanam ini

kemudian menjadi bagian dari cultuurstelsel dan berlangsung hingga tahun 1863.

Masa penjajahan Hindia Belanda

Pada masa ini, sebenarnya tidak untuk seluruh wilayah Indonesia karena pada saat itu masih ada wilayah kekuasaan raja di daerah yang mempunyai kedaulatan penuh atas daerahnya. Masa ini meliputi masa pendudukan Inggris, masa kerja rodi, dan masa poenale sanctie. Tahun 1811-1816, saat pendudukan Inggris, di bawah Thomas Stamford Raffles, ia mendirikan The Java Benevolent Institution yang bertujuan menghapus perbudakan. Cita-cita itu belum sampai terlaksana karena kemudian Inggris ditarik mundur.

Pekerjaan rodi atau kerja paksa dilakukan oleh Hindia Belanda mengingat untuk melancarkan usahanya dalam mengeruk keuntungan dari rempah-rempah dan perkebunan. Untuk kepentingan politik imperialismenya,

pembangunan sarana prasarana dilakukan dengan rodi. Contohnya, Hendrik Willem Daendels (1807-1811) menerapkan kerja paksa untuk pembangunan jalan dari Anyer ke Panarukan (Banyuwangi).


(22)

Rodi dibagi tiga, yaitu rodi gubernemen (untuk kepentingan gubernemen dan pegawai), rodi perorangan (untuk kepentingan kepala atau pembesar

Indonesia), dan rodi desa (untuk kepentingan desa).

Rodi untuk para pembesar dan gubernemen (disebut pancen) sangat memberatkan rakyat karena penetapannya diserahkan kepada

mereka. Convention no. 29 concerning forced or compulsory labour (kerja paksa atau kerja wajib yang diratifikasi pemerintahan Hindia Belanda tahun 1933), tidak memandang kerja wajib untuk keperluan tentara dan orang lain dalam pekerjaan ketentaraan serta rodi untuk kepentingan desa sebagai yang terlarang.

Selanjutnya menurut Jan Breman, poenale sanctie diterapkan dalam kaitannya dengan penerapan koeli ordinantie serta agrarische wet dalam melakukan hubungan kerja antara buruh yang bekerja di tanah pertanian dan perkebunan. Politik hukum ketenagakerjaan berkaitan erat dengan politik hukum agraria, mengingat banyak tenaga kerja Indonesia yang bekerja di tanah pertanian.

Poenale sanctie itu bertujuan untuk mengikat buruh supaya tidak melarikan diri setelah melakukan kontrak kerja. Kontrak kerja saat itu dapat dikatakan semu karena setelah tanda tangan apabila buruh diperlakukan sewenang-wenang tidak dapat mengakhiri hubungan kerja.

Berdasarkan laporan Rhemrev, di luar poenale sanctie, masih ada pukulan dan tendangan sesuai kehendak majikan kulit putih guna menanamkan disiplin kepada buruh kulit berwarna. Mencambuk kuli kontrak yang membangkang kadang-kadang sampai mati. Hal itu berakhir dengan


(23)

dicabutnya koeli ordonantie 1931/1936 dengan Stb. 1941 No. 514 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1942.

Masa penjajahan Jepang

Masa ini dimulai pada tanggal 12 Maret 1942, pemerintah militer Jepang membagi menjadi tiga daerah pendudukan, yaitu Jawa, Madura, dan Sumatera yang dikontrol dari Singapura dan Indonesia Timur.

Politik hukum masa penjajahan Jepang, diterapkan untuk memusatkan diri bagaimana dapat mempertahankan diri dari serangan sekutu, serta

menguras habis kekayaan Indonesia untuk keperluan perang Asia Timur Raya.

Pada masa ini diterapkan romusha dan konrohosyi. Romusha adalah tenaga sukarela, kenyataannya adalah kerja paksa yang dikerahkan dari Pulau Jawa dan penduduk setempat, yang didatangkan ke Riau sekitar 100.000 orang. Romusha lokal adalah mereka yang dipekerjakan untuk jangka waktu yang pendek disebut kinrohosyi.

Pasca Kemerdekaan

Pemerintahan Soekarno

Pada masa pemerintahan Soekarno tidak banyak terdapat kebijakan tentang ketenagakerjaan mengingat masa itu adalah masa menetapkan wilayah Negara Kesatuan RI dari jajahan Hindia Belanda. Di bidang hukum

ketenagakerjaan, pemerintah membuat produk hukum sebagian besar dengan cara menerjemahkan peraturan Hindia Belanda yang dianggap sesuai dengan alam kemerdekaan atau dengan mengadakan perbaikan dan penyesuaian.


(24)

Meskipun demikian, produk hukum di masa pemerintahan Soekarno justru lebih menunjukkan adanya penerapan teori hukum perundang-undangan yang baik, yaitu hukum yang baik apabila berlaku sampai 40 atau 50 tahun yang akan datang, daripada produk hukum yang sekarang ini.

2.2.2. Pemerintahan Soeharto

Pada masa pemerintahan Soeharto keadaan Indonesia sudah lebih baik, politik hukum ditekankan pada pembangunan ekonomi. Kesejahteraan nasional akan cepat terwujud apabila pembangunan ekonomi berjalan dengan baik. Untuk mewujudkan suksesnya pembangunan ekonomi maka ditetapkanlah Repelita, tetapi sayangnya dalih pembangunan ekonomi akhirnya menjurus pada tindakan penguasa yang sewenang-wenang.

Sebagai contoh dari hasil penelitian oleh Asri Wijayanti, pengerahan TKI keluar negeri pada masa pemerintahahn Soekarno, berdasarkan Pasal 2 TAP MPRS No. XXVIII/MPRS-RI/1966, yaitu segera dibentuk undang-undang

perburuhan mengenai penempatan tenaga kerja. Selama masa

pemerintahan Soeharto, ketentuan ini tidak pernah direalisasi. Peraturan tersebut akhirnya dicabut pada masa pemerintahan Soeharto. Sebagai kelanjutannya, Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 1969 ditetapkan tugas pemerintah untuk mengatur penyebaran tenaga kerja yang efisien dan efektif.

Tugas tersebut dilaksanakan oleh pemerintah dengan peraturan perundang-undangan. Akibatnya pengerahan TKI tidak berdasarkan undang-undang, tetapi cukup dengan peraturan/keputusan Menteri Tenaga Kerja saja,


(25)

undang-undang. Selain itu untuk mensukseskan pembangunan ekonomi maka investor, yang tidak lain adalah majikan, mempunyai kedudukan secara politis kuat dengan penguasa.

Kedudukan buruh semakin lemah dengan dalih hubungan industrial

Pancasila, hak buruh dikurangi dengan hanya dapat mendirikan satu serikat pekerja, yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), serta apabila ada masalah hubungan industrial majikan dapat dibantu oleh militer (Permenaker No. Per.342/Men/1986). Contohnya kasus Marsinah, aktivis buruh, di Sidoarjo.

2.3. Pasca Reformasi

2.3.1. Pemerintahan Habibie

Politik hukum pada masa ini ditekankan pada peningkatan kepercayaan luar negeri kepada Indonesia bahwa Indonesia dapat mengatasi problema

negaranya sendiri tanpa menindas HAM serta punya andil besar dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia.

Karena tekanan dari luar negeri maka Indonesia terpaksa

meratifikasi Convention No. 182 concerning the Immediate Action

to Abolish and to Eliminate the Worst Forms of Child Labor (Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000). Dengan ratifikasi tersebut dapat ditafsirkan bahwa seolah-olah Indonesia mengakui telah memperlakukan dengan sangat buruk pekerja anak. Selain itu, di masa ini tahanan politik banyak yang dibebaskan.

2.3.2. Pemerintahan Abdurrahman Wahid

Di masa pemerintahan ini (Gusdur), politik hukum ketenagakerjaan

meneruskan pemerintahan Habibie dengan penerapan demokrasi dengan adanya UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Sayangnya masyarakat Indonesia masih belum matang untuk berdemokrasi, sehingga


(26)

dengan banyaknya jumlah serikat pekerja di Indonesia justru membuat hubungan industrial semakin buruk.

2.3.3. Pemerintahan Megawati

Perkembangan ketenagakerjaan hampir tidak tampak, malah yang banyak tampak adalah kasus ketenagakerjaan yang mengambang dan kurang mendapat perhatian. Contohnya adalah masalah pemulangan TKI dari

Malaysia serta revisi dari UU No. 25 Tahun 1997 yang berdasarkan UU No. 28 Tahun 2000 diundur masa berlakunya hingga 1 Oktober 2002 dan berakhir dengan disahkannya UU No. 13 Tahun 2003 oleh Megawati.

Terdapat fenomena menarik dari demo yang dilakukan antara buruh bersama-sama dengan majikan menentang kebaikan tarif dasar telepon, listrik, dan air; serta penolakan serikat pekerja PT. Indosat atas privatisasi BUMN yang dianggap menjual aset Negara. Catatan negatif pada masa ini adalah pengankapan para aktivis demonstran. Terhadap hal ini ada

penadangan yang mengatakan bahwa Megawati telah melupakan cara ia dapat menduduki kursi kepresidenan melalui demonstrasi.

Politik hukum Megawati di dunia ketenagakerjaan yang dapat dirasakan langsung dampaknya setelah terjadi trgaedi bom Bali adalah banyaknya hari libur. Dampak negatif bom Bali sangat terasa pada perkeonomian bangsa. Investor asing banyak yang meninggalkan Indonesia karena tidak

terjaminnya keamanan Negara ditambah lagi tragedi bom Mariott. Hal ini berakibat pada politik hukum ketenagakerjaan Megawati, yaitu memulihkan sektor pariwisata sebagai inti dari peningkatan perkeonomian bangsa.


(27)

Untuk memulihkan sektor pariwisata, perlu kebijaksanaan publik dengan pengalihan hari libur ke hari yang lainnya sebelum atau sesudahnya. Dampak negatif dari banyaknya hari libur ini misalnya, terkesan bangsa Indonesia adalah bangsa pemalas bekerja, lebih menyenangi banyak hari libur nasional.

Disamping itu, dalam hubungan bisnis antarnegara ternyata merepotkan dunia usaha. Di Negara lain hari kerja, di Indonesia jatuh hari libur nasional dan hal ini dapat menghambat terjadinya transaksi dagang. Ada

kekhawatiran bagaimana seandainya kebijaksanaan pengalihan hari libur ditiadakan sementara masyarakat sudah terbiasa dengan jumlah hari libur yang banyak dan memungkinkan terciptanya etos kerja yang rendah dari bangsa Indonesia semakin parah.

2.3.4. Pemerintahan SBY

Di masa pemerintahan SBY, tampaknya ada sedikit perubahahn di bidang ketenagakerjaan, ada pemangkasan dan berbagai upaya peningkatan pelayanan dan kinerja baik pekerja maupun pegawai. Ada upaya

pemberantasan korupsi. Sayangnya tekad yang baik belum dapat diikuti oleh sebagain besar penduduk Indonesia yang sudah terlanjur korup dan tidak amanah di segala aspek kehidupan.

3. Cakupan Hukum Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan secara khusus diatur dalam UU Ketenagakerjaan (UU No.13 tahun 2003) yang mencakup pengembangan sumber daya manusia,


(28)

perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaaan hubungan industrial. Isinya meliputi:

BAB I : Ketentuan Umum (Pasal 1);

BAB II : Landasan, Asas, dan Tujuan (Pasal 2-4);

BAB III : Kesempatan dan Perlakuan yang Sama (Pasal 5-6);

BAB IV : Perencanaan Tenaga Kerja dan Informasi Ketenagakerjaan (Pasal 7-8);

BAB V : Pelatihan Kerja (Pasal 9-30);

BAB VI : Penempatan Tenaga Kerja (Pasal 31-38); BAB VII : Perluasan Kesempatan Kerja (Pasal 39-41); BAB VIII : Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Pasal 42-49); BAB IX : Hubungan Kerj a(Pasal 50-66);

BAB X : Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejahteraan (Pasal 67-101); BAB XI : Hubungan Industrial (Pasal 102-149);

BAB XII : Pemutusan Hubungan Kerja (Pasal 150-172); BAB XIII : Pembinan (Pasal 173-175);

BAB XIV : Pengawasan (Pasal 176-181); BAB XV : Penyidikan (Pasal 182);

BAB XVI : Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif (Pasal 183- 190); BAB XVII : Ketentuan Peralihan (Pasal 191);

BAB XVIII : Ketentuan Penutup (Pasal 192-193).

Dengan berlakunya UU Ketenagakerjaan, maka sesuai dengan Pasal 191 terdapat beberapa peraturan yang tidak berlaku lagi, yaitu:


(29)

1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan

Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);

2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja

Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647); 3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang

Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);

4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan

kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);

5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari

Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);

6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak

(Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);

7. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya

Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);

8. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan

Antara Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598a);

9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing

(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8 );

10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana

(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);

11. Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan

dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);


(30)

12. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);

13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran

Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702); 14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya

Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); 15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).

UU Ketenagakerjaan tidak mengatur secara rinci mengenai penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial. Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

(selanjutnya disebut UU PPHI). UU tersebut mencabut UU Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Namun beberapa peraturan pelaksana dari kedua UU yang dicabut tersebut, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan tidak bertentangan dengan UU yang berlaku sampai saat ini.

Sebelum istilah ketenagakerjaan digunakan, istilah “perburuhan” lah yang digunakan. Perubahan istilah ini dikarenakan terdapat perubahan ruang lingkup. Perburuhan hanya mencakup hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh, sedangkan ketenagakerjaan mencakup segala


(31)

sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja. Hal ini berarti terdapat perluasan cakupan dalam bidang hukum yang mengatur tentang

ketenagakerjaan jika dibandingkan dengan hukum perburuhan. Hal ini dapat diketahui dengan menelusuri sejarah dan politik hukum dalam bidang

ketenagakerjaan.

4. Landasan, Asas, dan Tujuan

Landasan

Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan

ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual.

Asas

Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan

dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerjasama yang saling mendukung.


(32)

a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan

manusiawi;

Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai

kemanusiaannya.

b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja

yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;

Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan

kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah. c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan

kesejahteraan; dan

d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

5. Perencanaan Tenaga Kerja dan Informasi Ketenagakerjaan

Agar dapat melaksanakan tujuan di bidang ketenagakerjaan tersebut, maka ditetapkan perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan sesuai amanat Pasal 7 UU Ketenagakerjaan, yaitu:

a a. Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah

menetapkan kebijakan dan

menyusun perencanaan tenaga kerja. b. Perencanaan tenaga kerja meliputi :


(33)

1. perencanaan tenaga kerja makro; dan

2. perencanaan tenaga kerja mikro.

c. Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program

pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada perencanaan tenaga kerja.

Berdasarkan Pasal 8 UU Ketenagakerjaan, perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi :

a. penduduk dan tenaga kerja;

b. kesempatan kerja;

c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;

d. produktivitas tenaga kerja;

e. hubungan industrial;

f. kondisi lingkungan kerja;

g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan

h. jaminan sosial tenaga kerja.

Informasi ketenagakerjaan yang dimaksud, diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta

6. Perlindungan dalam Hukum Ketenagakerjaan

Pemberian perlindungan hukum bagi pekerja menurut Iman Soepomo meliputi lima bidang, yaitu:

a. Bidang pengerahan/penempatan tenaga kerja;

Perlindungan hukum yang dibutuhkan oleh pekerja sebelum menjalani hubungan kerja. Masa ini sering disebut dengan masa pra penempatan.


(34)

b. Bidang hubungan kerja;

Masa yang dibutuhkan oleh pekerja sejak mengadakan hubungan kerja, yang didasari dengan perjanjian kerja, baik dalam batas waktu tertentu maupun tanpa batas waktu.

c. Bidang kesehatan kerja;

Selama menjalani hubungan kerja yang merupakan hubungan hukum, pekerja harus mendapat jaminan atas kesehatannya.

d. Bidang keamanan kerja

Adanya perlindungan hukum bagi pekerja atas alat-alat kerja yang dipergunakan oleh pekerja. Negara mewajibkan pengusaha untuk menyediakan keamanan ataupun alat keamanan kerja bagi pekerja. e. Bidang jaminan sosial.

Jaminan sosial bagi tenaga kerja telah diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang biasa disingkat menjadi Jamsostek. Dengan diundangkannya UU tersebut, maka pengusaha tertentu wajib

mengikutsertakan pekerjanya dalam program Jamsostek.

7. Sifat dan Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan dalam Hukum

Nasional

Sifat hukum ketenagakerjaan pada dasarnya adalah privat karena mengatur hubungan antar individu. Namun hukum ketenagakerjaan juga dapat bersifat publik karena pemerintah ikut campur tangan dalam masalah-masalah

ketenagakerjaan dan terdapat sanksi pidana dalam UU Ketenagakerjaan. Salah satu bentuk campur tangan pemerintah adalah dengan adanya perlindungan dari pemerintah melalui peraturan-peraturan yang mengikat pekerja/buruh dengan pengusaha; membina dan mengawasi proses


(35)

bahwa sifat dari hukum ketenagakerjaan pada dasarnya adalah privat, tetapi juga memiliki sifat publik.

Berdasarkan sifatnya, hukum ketenagakerjaan memiliki kedudukan dalam tata hukum nasional Indonesia pada bidang hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana.

Kedudukan hukum ketenagakerjaan di bidang hukum administrasi Ada 2 hal yang harus diperhatikan, yaitu subjek hukum dalam

penyelenggaraan negara dan bagaimana peranannya. Subjek hukum dalam penyelenggaraan negara menyangkut 3 hal yaitu pejabat, lembaga, dan warga negara. Pejabat dalam hal ini adalah pejabat negara yang tunduk pada ketentuan hukum administrasi. Peranannya berkaitan dengan

menjalankan fungsi negara di dalam perbuatan peraturan atau pemberian izin, bagaimana negara melakukan pencegahan terhdadap sesuatu hal yang dapat terjadi, dan bagaimana upaya hukumnya. Pemerintah sebagai

penyelenggara negara di bidang ketenagakerjaan harus dapat melaksanakan ketiga fungsi tersebut dengan baik.

Kedudukan hukum ketenagakerjaan di bidang hukum perdata Pada hakikatnya yang memegang peranan penting dalam hukum perdata adalah para pihak, dalam hal ini adalah pekerja/buruh dan pemberi kerja ataupun pengusaha. Hubungan antara mereka didasarkan pada perikatan yang diwujudkan dalam perjanjian kerja. Disini pemerintah hanya berlaku sebagai pengawas atau lebih tepatnya sebagai fasilitator apabila terdapat perselisihan yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Selain itu fungsi pengawasan dari pemerintah dapat maskimal apabila secara filosofis kedudukan pemerintah lebih tinggi dari yang diawasi.


(36)

Kedudukan hukum ketenagakerjaan di bidang hukum pidana  Kedudukan hukum ketenagakerjaan dalam hukum pidana adalah

pentingnya penerapan sanksi hukum bagi pelanggar peraturan perundang-undangan. Dalam UU Ketenagakerjaan terdapat sanksi pidana bagi yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam UU

Ketenagakerjaan

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum ketenagakerjaan dalam tata hukum nasional Indonesia secara teoritis dapat dipisahkan menjadi 3 bidang, yaitu bidang administrasi, bidang perdata, dan bidang pidana. Namun dalam praktiknya harus dijalankan secara bersamaan karena berhubungan satu dengan yang lainnya. Hubungan hukum yang dilakukan oleh pekerja/buruh dengan pengusaha termasuk dalam bidang hukum perdata. Namun selama proses pembuatan,

pelaksanaan, dan berakhirnya hubungan tersebut diawasi oleh pemerintah dalam rangka menjalani 3 fungsinya. Apabila selama proses-proses tersebut terdapat pelanggaran (tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku), maka dapat diterapkan sanksi pidana. Paralegal LBH Jakarta

Pertemuan 1 : Perkuliahan 1 Pengantar


(37)

Hukum Ketenagakerjaan merupakan istilah baru dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum perburuhan pada khususnys, Menurut UU No. 13 Tahun 2003, pengertian ketenagakerjaan adalah lebih luas dibandingkan dengan perburuhan sebagaimana dalam KUHPerdata. Namun demikian pelaksanaan peraturan perundang – undangan di bidang ketenagakerjaan masih mempergunakan beberapa undang-undang yang dikeluarkan sebelum dikeluarkan UU No. 13 Tahun 2003. Adapun perkembangan Hukum Ketenegakerjaan dapat dicatat dalam 5 (lima) fase. Hakikat dan Sifat Hukum Ketenagakerjaan

Secara yuridis hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah sama, walaupun secara social-ekonomi kedudukan antara pekerja dan pengusaha adalah berbeda. Dan segala sesuatu mengenai hubungan kerja diserahkan kepada kedua belah pihak, oleh karena itu untuk memenuhi trasa keadilan perlu ada peraturan perundang-undangan untuk melindungi pekerja. Peraturan mana adalah mengatur tentang hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak.

Pre Employment, During Employment, dan Post Employment

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, antara lain menyebutkan bahwa : Tiap-tiap tenaga kerja barhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan , oleh karena itu tidak boleh ada diskriminasi antara pekerja wanita dan pria. Adapun ruang lingkup tenaga kerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 adalah pre – employment, during employment, dan post employment. Selain itu tenaga kerja berhak atas pembinaan dan perlindungan dari pemerintah.

Literatur :

Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Syahputra tnggal, Iman dan Amin Widjaja Tunggal, Peraturan Perundang- Undangan Ketenagakerjaan baru diIndonesia, Buku.I, Harvarindo, 2003

Soepomo, Iman, 1980, Hukum Perburuhan – Bidang Hubungan Kerja, Cet.VI, Penerbit Djambatan,Jakarta.

Soepomo, Iman, 1980, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet.XVI, Penerbit Djambatan,Jakarta. Manulang, Sendjun H., 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Cet.II, Penerbit Rineka Cipta,Jakarta.


(38)

Maimun, 2004,Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Cet, Pertama, PT.Pradnya Paramita, Jakarta.Lalu Husni, 2003, Pengatar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Edisi Rivisi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Khakim, Abdul, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 (edisi Revisi), PT. Citra Aditya Bakti,Bandung

Prints,Darwan, 2000, Hukum KetenagakerjaanIndonesia, Cet.II, PT. Citra Aditya bakti,Bandung Pertemuan 2 : Tutorial 1

Discussion Task – Study Task

Setelah pembelajaran terhadap materi perkuliahan mengenai pengantar yang merupakan pokok bahasan dan sub-sub pokok bahasan diatas, maka mahasiswa diharapkan dapat menjawab dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan dibawah ini :

1 Mendiskusikan pengertian serta membandingkan pengertian tersebut dan merumuskan unsur-unsurnya

1. Diskusikan perkembangan Hukum Ketenagakerjaan

2. Diskusikan, apa yang saudara ketahui tentang hakikat dan sifat Hukum Ketenagakerjaan 3. Terangkan dan jelaskan apa yang dimaksud dengan tenaga kerja

4. Ceritakan asas-asas dari hubungan kerja Literatur :

Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Syahputra tnggal, Iman dan Amin Widjaja Tunggal, Peraturan Perundang- Undangan Ketenagakerjaan baru diIndonesia, Buku.I, Harvarindo, 2003

Soepomo, Iman, 1980, Hukum Perburuhan – Bidang Hubungan Kerja, Cet.VI, Penerbit Djambatan,Jakarta.


(39)

Manulang, Sendjun H., 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Cet.II, Penerbit Rineka Cipta,Jakarta.

Maimun, 2004,Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Cet, Pertama, PT.Pradnya Paramita, Jakarta.Lalu Husni, 2003, Pengatar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Edisi Rivisi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Khakim, Abdul, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 (edisi Revisi), PT. Citra Aditya Bakti,Bandung

Prints,Darwan, 2000, Hukum KetenagakerjaanIndonesia, Cet.II, PT. Citra Aditya bakti,Bandung Pertemuan 3 : Perkuliahan 2.

Hubungan Kerja dan Norma Kerja Perjanjian Kerja dan hubungan Industrial

Dalam Hukum Ketenagakerjaan memang belum dapat diberikan batasan yang jelas tentang definisi dari hubungan kerja, namun dapat diperoleh pengertian bahwa : hubungan kerja itu timbul sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian kerja, dimana pekerja atau serikat pekerja disatu pihak mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan pada pengusaha atau organisasi pengusaha dilain pihak selama suatu waktu, dengan menerima upah.

Peraturan yang mengatur perjanjian kerja adalah sebagaimana diatur dalam KUHPerdata tentang perjanjian untuk melakukan pekerjaan.

Pengertian hubungan kerja antara pelaku proses produksi baik barang maupun jasa pada dewasa ini lebih dikenal dengan istilah “Hubungan Industrial” yang merupakan suatu peningkatan tata nilai kaidah hukum ketenagakerjaan.

Peraturan Perusahaan

Kesepakatan Kerja adalah perjanjian perburuhan antara pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha atau organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud oleh UU No.13 Tahun 2003

Istilah Kesepakatan Kerja merupakan perubahan istilah perjanjian perburuhan atau perjanjian kerja sebagai pencerminan Hubungan Industrial Pancasila.


(40)

Kesepakatan Kerja merupakan salah satu sarana pendukung pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila yang dari waktu kewaktu perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya.

Perjanjian Kerja Bersama

Perjanjian Kerja Bersama (PKB) merupakan salah satu sarana hubungan Industrial Pancasila yang pada hakikatnya merupakan perjanjian perburuhan sebagaimana dimaksud dalam Undang _ Undang Nomor 13 Tahun 2003

Permintaan pembuatan PKB selain harus diajukan oleh salah satu pihak, juga harus diikuti oleh itikad baik, jujur, tulus, dan terbuka. Sedang tempat pembuatannya dilakukan di Kantor Perusahaan yang bersangkutan dengan biaya perusahaan, kecuali bila Serikat Pekerja mampu ikut membiayai.

Pembinaan Norma Kerja

Pemerintah membina perlindungan kerja termasuk norma kerja yang meliputi : perlindungan tenaga kerja yang berkaitan dengan waktu kerja, system pengupahan, istirahat, cuti, pekerja anak dan wanita, tempat kerja, perumahan, kesusilaan, beribadat menurut agama dan kepercayaan yang diakui oleh pemerintah, kewajiban sosial dan sebagainya. Hal ini wajib dilakukan untuk memelihara kegairahan dan noral kerja yang dapat menjamin daya guna kerja yang tinggi serta menjaga perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama.

Sedang yang dimaksud dengan pembinaan norma perlindungan adalah pembentukan, pengertian dan pengawasannya. Norma adalah standard/ukuran tertentu yang harus dijadikan pegangan. Literatur :

Syahputra tnggal, Iman dan Amin Widjaja Tunggal, Peraturan Perundang- Undangan Ketenagakerjaan baru di Indonesia, Buku.I, Harvarindo, 2003 Soepomo, Iman, 1996, Hukum Perburuhan, Cet.XVI, Penerbit Djambatan, Jakarta

Soepomo, Iman, 1980, Hukum Perburuhan – Bidang Hubungan Kerja, Cet.VI, Penerbit Djambatan,Jakarta.

Soepomo, Iman, 1980, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet.XVI, Penerbit Djambatan,Jakarta Manulang, Sendjun H., 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Cet.II, Penerbit Rineka Cipta,Jakarta.


(41)

Djumialdji,F.X., Wiwoho Soejono, 1982, Perjanjian Perburuhan dan hubungan Perburuhan Pancasila, Bina Aksara,Jakarta

Maimun, 2004,Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Cet, Pertama, PT.Pradnya Paramita, Jakarta.Lalu Husni, 2003, Pengatar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Edisi Rivisi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Rachmat, Martoyo, 1991, Serikat Pekerja, Pengusaha dan Kesepakatan Kerja Bersama, Cet.II, Penerbit Fikahati Aneska,Jakarta

Khakim, Abdul, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 (edisi Revisi), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Anonim, 2003, Pedoman Penyuluh Perjanjian Kerja, Departemen Tenaga Kerja dan tramsmigrasi R.I., Dirjen embinaan Hubungan Industrial, Bagian Proyek Penembangan Syarat-Syarat Kerja.

Anonim, 2003, Pedoman Penyuluh Perjanjian Kerja, Departemen Tenaga Kerja dan tramsmigrasi R.I., Dirjen embinaan Hubungan Industrial, Bagian Proyek Penembangan Syarat-Syarat Kerja Pertemuan 4 : Tutorial 2.

Discussion Task – Study Task

Setelah pembelajaran pokok bahasan hubungan kerja dan norma kerja serta sub-sub pokok bahasan , mahasiswa diharapkan dapat menjawab dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan dibawah ini, sebagai berikut :

1. Diskusikan, apa yang anda ketahui tentang Perjanjian Kerja

2 Diskusikan prosedur dan syarat-syarat pembuatan peraturan perusahaan. 3 Apa yang saudara ketahui tentang Perjanjian Kerja Bersama

4 Jelaskan Prosedur pembuatan Perjanjian Kerja Bersama

5 Diskusikan bidang-bidang yang termasuk pembinaan norma kerja 6 Diskusikan pengertian yang dicakup dalam norma kerja.


(42)

Syahputra tnggal, Iman dan Amin Widjaja Tunggal, Peraturan Perundang- Undangan Ketenagakerjaan baru di Indonesia, Buku.I, Harvarindo, 2003 Soepomo, Iman, 1996, Hukum Perburuhan, Cet.XVI, Penerbit Djambatan, Jakarta

Soepomo, Iman, 1980, Hukum Perburuhan – Bidang Hubungan Kerja, Cet.VI, Penerbit Djambatan,Jakarta.

Soepomo, Iman, 1980, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet.XVI, Penerbit Djambatan,Jakarta Manulang, Sendjun H., 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Cet.II, Penerbit Rineka Cipta,Jakarta.

Djumialdji,F.X., Wiwoho Soejono, 1982, Perjanjian Perburuhan dan hubungan Perburuhan Pancasila, Bina Aksara,Jakarta

Maimun, 2004,Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Cet, Pertama, PT.Pradnya Paramita, Jakarta.Lalu Husni, 2003, Pengatar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Edisi Rivisi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Rachmat, Martoyo, 1991, Serikat Pekerja, Pengusaha dan Kesepakatan Kerja Bersama, Cet.II, Penerbit Fikahati Aneska,Jakarta

Khakim, Abdul, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 (edisi Revisi), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Anonim, 2003, Pedoman Penyuluh Perjanjian Kerja, Departemen Tenaga Kerja dan tramsmigrasi R.I., Dirjen embinaan Hubungan Industrial, Bagian Proyek Penembangan Syarat-Syarat Kerja.

Anonim, 2003, Pedoman Penyuluh Perjanjian Kerja, Departemen Tenaga Kerja dan tramsmigrasi R.I., Dirjen embinaan Hubungan Industrial, Bagian Proyek Penembangan Syarat-Syarat Kerja. Pertemuan 5 : Perkuliahan 3

Perlindungan Tenaga Kerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Masalah keselamatan dan kesehatan kerja bukanlah masalah kecil bagi pengusaha. Kecelakaan kerja sangat merugikan baik pengusaha, tenaga kerja, pemerintah, dan masyarakat.


(43)

Dengan terjadinya kecelakaan kerja , maka akan menimbulkan kerugian yang berupa hilang atau berkurangnya kesempatan kerja, modal, dan lain sebagainya.

Pengusaha diwajibkan untuk mengatur dan memelihara tempat kerja yang menyangkut ruangan , alat, perkakas dimana pekerja melakukan tugasnya, termasuk petunjuk-petunjuk bagi pekerja agar pekerja terhindar dari kecelakaan kerja. Terhadap pengusaha yang tidak mengindahkan hal ini, maka mereka wajin mengganti kerugian apabila terjadi musibah terhadap pekerja.

Sedang disisi lain harus diadakan kesehatan kerja yaitu perlindungan terhadap tenaga kerja dari eksploitasi tenaga kerja oleh pengusaha.

Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional sasaran utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan bangsa secara merata.

Tenaga kerja sebagai salah satu unsure pembangunan yang mempunyai kegiatan produktif perlu mendapat perlindungan, pemeliharaan, dan pengembangan terhadap kesejahteraannya

Perlindungan tersebut diberikan baik semasa pekerja ada dalam hubungan kerja maupun setelah berakhirnya hubungan kerja.

Perlindungan Upah

Kebijakan ketenagakerjaan di bidang perlindungan tenaga kerja ditujukan kepada perbaikan upah, syarat-syarat kerja, kondisi kerja , dan hubungan kerja.

Sistem pengupahan ditujukan kepada system pembayaran upah secara keseluruhan tidak termasuk uang lembur.

Sistem ini didasarkan atas prestasi kerja dan tidak dipengaruhi oleh tunjangan-tunjangan yang tidak ada hubungannya dengan prestasi kerja. Pembayaran upah diberikan dalam bentuk uang, namun tidak mengurangi kemungkinan pembayaran dapat berupa barang yang jumlahnya dibatasi.

Upah pada dasarnya merupakan imbalan dari pengusaha kepada pekerja untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan.

Kualitas tingkat upah dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti, kondisi perusahaan, keterampilan, standard hidup, dan jenis pekerjaan.


(44)

Literatur :

Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial dilengkapi dengan Peraturan-Peraturan Tahun 1993 dan Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK), Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil, dan Asuransi Sosial ABRI (ASABRI).

Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

Rajaguguk, H.P., 2002, Peranserta Pekerja dalam Pengelolaan Perusahaan, (Co-determination), Edisi.I, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Soepomo, Iman, 1980, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet.XVI, Penerbit Djambatan,Jakarta Soepomo, Iman, 1980, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja, Jambatan,Jakarta

Manulang, Sendjun H., 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Cet.II, Penerbit Rineka Cipta,Jakarta.

Maimun, 2004,Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Cet, Pertama, PT.Pradnya Paramita, Jakarta.Lalu Husni, 2003, Pengatar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Edisi Rivisi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Pertemuan 6 : Tutorial 3 Discussion Task – Study Task

Setelah mempelajari, mengetahui, dan memahami perlindungan tenaga kerja sebagai pokok bahasan dan sub-sub pokok bahasannya, mahasiswa diharapkan dapat menjawab dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan dibawah ini :

1. Diskusikan tentang keselamatan kerja dan kesehatan kerja

2. Bandingkan pengertian keselamatan kerja dengan kesehatan kerja 3. Diskusikan, apa yang saudara ketahui tentang jaminan social


(45)

4. Bagaimana ketentuan-ketentuan jaminan social yang ada sekarang ini 5. Ceritakan perkembangan jaminan social tenaga kerja.

6. Jelaskan tentang kebijakan pengupahan

7. Diskusikan, aspek-aspek apa yang mempengaruhi system pengupahan. Literatur :

Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial dilengkapi dengan Peraturan-Peraturan Tahun 1993 dan Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK), Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil, dan Asuransi Sosial ABRI (ASABRI).

Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

Rajaguguk, H.P., 2002, Peranserta Pekerja dalam Pengelolaan Perusahaan, (Co-determination), Edisi.I, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Soepomo, Iman, 1980, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet.XVI, Penerbit Djambatan,Jakarta Soepomo, Iman, 1980, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja, Jambatan,Jakarta

Manulang, Sendjun H., 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Cet.II, Penerbit Rineka Cipta,Jakarta.

Maimun, 2004,Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Cet, Pertama, PT.Pradnya Paramita, Jakarta.Lalu Husni, 2003, Pengatar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Edisi Rivisi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Pertemuan 7 : Perkuliahan 4

Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja Kebijakan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja selama ini belum


(46)

mewujudkan penyelesian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah sehingga dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

Menurut undang-undang ini penyelesaian perselisihan hubungan industrial diupayakan jalan damai melalui musyawarah dan sejauh mungkin dihindarkan pemutusan hubungan kerja

Apabila hal ini tidak tercapai, maka pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja dan pengusaha, berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Upaya tersebut dilakukan dengan menyediakan mediator yang bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih. Disamping itu perlu diakomodasikan keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan melalui konsiliasi atau arbitase.

Lain dari pada itu pemerintah juga mengatur cara dan tingkat penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.

Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan UU No.2 Tahun 2004, telah diterapkan prinsip-prinsip terciptanya suatu penyelesaian yang didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat, sehingga penyelesaian tersebut sedapat mungkin tidak menimbulkan konplik antara para pihak.

Dengan diterapkannya Hubungan Industrial Pancasila dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, bukan berarti tidak lagi terjadi PHK. Akan tetapi fungsi dan peranan HIP telah mengubah pola hubungan ketenagakerjaan antara pihak-pihak, bukan lagi sebagai lawan, melainkan sebagai partner dalam proses produksi

Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja

Pemutusan hubungan kerja harus sedapat mungkin dicegah, akan tetapi apabila hal ini tidak dapat dihindari, maka pengusaha harus merundingkan maksud dan tujuan dari pemutusan hubungan kerja dengan serikat pekerja atau kepada pekerja secara perorangan kelau mereka tidak menjadi anggota dari serikat pekerja.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam pemutusan hubungan kerja :


(47)

– mengajukan permohonanpenetapan secara tertulis disertai dasar dan alasan-alasannya kepada pengadilan hubungan industrial

– Sebelum adanya penetapan, maka masing-masing pihak tetap melakukan kewajibannya – Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap hal diatas berupa tindakan skorsing kepada pekerja yang sedang dalam proses PHK

Pertemuan 8 : Tutorial 4 Discussion Task – Study Task

Setelah proses pembelajaran terhadap pokok bahasan dan sub-sub pokok bahasan tersebut diatas, maka mahasiswa diharapkan dapat menjawab dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan seperti dibawah ini :

1. Diskusikan, bagaimana cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial 2. Diskusikan proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial

3. Diskusikan prinsip-prinsip penyelesaian perselisihan hubungan industrial 4. Diskusikan proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial

5. Jelaskan apa yang saudara ketahui tentang pemutusan hubungan kerja 6. Sebutkan alasan dan izin pemutusan hubungan kerja

Literatur

– Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

– Undang-Undang nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial – Surat Edaran Menteri Tenaga erja dan Transmigrasi Nomor SE.907/Men.PHI.PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal

– Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan transmigrasi Nomor SE.13/Men/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan MahkamahKonstitusiRItentang Hak Materiil UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang dasar RI Tahyun 1945


(1)

Pengawasan bukanlah alat perlindungan bagi pekerja , melainkan lebih merupakan suatu usaha untuk menjamin pelaksanaan perasturan perlindungan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Faedah dari pengawasan adalah terpel;iharanya ketertiban masyarakat, khususnya masyarakat industri yang terwujud dengan meningkatnya produktifitas dan effesiensi kerja, perlindungan bagi kesejahteraan rakyat secara keseluruhan dan terciptanya suasana yang harmonis dalam dunia industri

Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu

Pengawasan akan berhasil apabila ada kesatuan gerak dari aparat pengawasan. Selain itu harus ada tujuan yang jelas, rencana kerja yang pasti dan didukung oleh petugas yang dapa melaksanakan pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Literatur :

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Anonim, 1978, Simposium Hukum Perburuhan, Cet.I, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Penerbit Bina Cipta,Jakarta.

Khakim, Abdul, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 (edisi Revisi), PT. Citra Aditya Bakti,Bandung

Manulang, Sendjun H., 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Cet.II, Penerbit Rineka Cipta,Jakarta.

Husni, Lalu, 2003, Pengantar Hukum KetenagakerjaanIndonesia(Edisi Revisi), PT.aja Grafindo Persada,Jakarta

Asikin, Zainal (ed.), 1993, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja grafindo Persada,Jakarta. Djumadi, 1995, Kedudukan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dalam Hubungan Industrial Pancasila (HIP), Cet.I , PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta.

Pertemuan 12 : Tutorial 6 Discussion Task – Study Task


(2)

Mahasiswa diharapkan dapat menjawab dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan dibawah ini :

1. Diskusikan, apa pentingnya dari pengawasan ketenagakerjaan 2. Diskusikan fungsi dari pengawasan ketenagakerjaan

3. Diskusikan, apa yang dimaksud dengan pengawasan terpadu 4. Ceritakan dasar pelaksanaan pengawasan

Literatur :

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Anonim, 1978, Simposium Hukum Perburuhan, Cet.I, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Penerbit Bina Cipta,Jakarta.

Khakim, Abdul, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 (edisi Revisi), PT. Citra Aditya Bakti,Bandung

Manulang, Sendjun H., 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Cet.II, Penerbit Rineka Cipta,Jakarta.

Husni, Lalu, 2003, Pengantar Hukum KetenagakerjaanIndonesia(Edisi Revisi), PT.aja Grafindo Persada,Jakarta

Asikin, Zainal (ed.), 1993, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja grafindo Persada,Jakarta. Djumadi, 1995, Kedudukan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dalam Hubungan Industrial Pancasila (HIP), Cet.I , PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta.

Namun di duia internasional lebih lazim atau lazim menggunakan kata buruh. Misalnnya badan dunia PBB mempunyai organ buruh sedunia atau ILO ((International Labour Organization), badan dunia menggunakan kata “Labor” bukan “worker”. Dengan demiki an dapat dikatakan kata buruh, tenaga kerja atau karyawan pada hahekatnya tidak ada per


(3)

bedaan, sama-sama sebagai pekerja. Sebagaimana telah dijelaskan tersebut di atas bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara buruh tenaga kerja atau karyawan, perbedaan itu lebih didasari oleh kultur bangsa indonesia. Tentu ada yang melatar belakangi sehingga bangsa indonesia mempunyai kultur seperti itu. Apa yang melatar belakangi nya sehingga terjadi demikian ? Kultur di indonesia terbangun sejak jaman kerajaan dimana ketika itu masyarakat terbagi dalam tiga kelompok yaitu kaum ningrat yaitu kaum kerabat kerajaan, kaum borjuis yakni kaum bangsawan kelompok masyarakat yang kaya menguasai sumber-sumber ekonomi terutama tanah. Dan rakyat jelata, rakyat jelata banyak yang bekerja dengan kaum borjuis, Dimana kaum borjuis sebagai pengendali ekonomi ketika itu. Rakyat jelata yang bekerja itu terkadang diperlakukan tidak manusiawi, mereka diperlakukan sebagai kasta terbawah, sejak itulah tertanam istilah buruh sebagai pekerja kasar yang dapat dikendalikan sesuai dengan kemauan si majikan. Situasi ini terus berlanjut hingga masa penjajahan. Pada masa penjajahan pun rakyat jelata terus dipekerjakan sebagai buruh kasar yang hampir-hampir tidak mempunyai akses dalam bidang perekonomian. Dari sejarah perburuhan dapat dicatat bahwa jaman feodal istilah buruh hanya digunakan untuk orang yang melakukan pekerjaan kasar seperti kuli, tukang, dan sejenisnya yang lebih dikenal dengan sebutan black collar job, sedangkan orang yang melakukan pekerjaan halus terutama yang mempunyai pangkat, dan sejenisnya dinamakan dirinya pegawai yang berkedudukan sebagai priyayi yang dikenal sebagai sebutan white collar job.

Bagaimana keadaan buruh setelah merdeka ?

Pada masa kemerdekaan terutama pada masa Sukarno merupakan masa transisi, kondisi buruh semakin membaik. Namun tentu saja untuk menghilangkan tradisi lama tidak mudah. Hal ini untuk melakukan perubahan terhadap kondisi buruh tidak semata-mata adanya political will dari penguasa, akan tetapi sikap metal kaum borjuis yang berprilaku piodalisme dan kaum proletar yang bermental buruh. Mental masing peran telah terbentuk sejak lama dan terjadi secara turun menurun. dan juga kondisi ini terus berlangsung, kendatipun situasinya tidak seperti pada era kerajaan dan era penjajahan, namun secara kultur tetap berjalan.


(4)

Pada era Sukarno atau yang lazim disebut era orla, kaum buruh dimanfaatkan Sukarno untuk melawan imprialis dan melawan kontra revolusi

Hukum Ketenagakerjaan~ Dalam segi apapun dan bidang manapun hukum selalu ikut

berperan aktif. Selain hukum sebagai aturan, hukum juga berperan sebagai perlindungan. Di dalam pemahaman hukum ketenagakerjaan yang ada dapat diketahui adanya unsur-unsur hukum ketenagakerjaan, meliputi :

1. Serangkaian aturan yang berkembang kedalam bentuk lisan mauun tulisan 2. Mengatur hubungan antara pekerja dan pemilik perusahaan.

3. Adanya tingkatan pekerjaan, yang pada akhirnya akan diperolah balas jasa.

4. Mengatur perlindungan pekerja/ buruh, meliputi masalah keadaan sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/ buruh dsb

Dari uraian di atas perlu diketahui bahwa beberapa ahli mengungkapkan pendapatnya mengenai pengertian dari hukum ketenagakerjaan meliputi:

1. Menurut Molenaar, hukum perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku, yang

pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dan tenaga kerja.


(5)

2. Menurut Mok, hukum perburuan adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan risiko sendiri.

3. Menurut Soetikno, hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan dibawah perintah/pimpinan orang lain dan mengenai keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkutpaut dengan hubungan kerja tersebut.

4. Menurut Imam Sopomo, hukum perburuhan adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berkenaan dengan kejadian saat seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.

5. Menurut M.G. Levenbach, hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, yakni pekerja di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkutpaut dengan hubungan kerja itu.

6. Menurut N.E.H. Van Esveld, hukum perburuhan adalah tidak hanya meliputi hubungan kerja dengan pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan, tetapi juga meliputi pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja atas tanggung jawab dan risiko sendiri.

7. Menurut Halim, hukum perburuhan adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan kerja yang harus diindahkan oleh semua pihak, baik pihak buruh/pekerja maupun pihak majikan.

8. Menurut Daliyo, hukum perburuhan adalah himpunan peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur hubungan kerja antara buruh dan majikan dengan mendapat upah sebagai balas jasa.

9. Menurut Syahrani, hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan perburuhan, yaitu hubungan antara buruh dan majikan dengan perintah (penguasa).

Setelah mengungat kembali bahwa hukum tenaga kerja memiliki arti dan makna yang sangat luas dan sebagai upaya untuk menghindari kesalahan persepsi terhadapa penggunanan istilah yang ada, oleh karenanya dalam artikel kali ini akan digunakan istilah yaitu istilah hukum perburuan sebagai pengganti istilah hukum ketenagakerjaan.


(6)

Menurut Logemann, ruang lingkup suatu hukum perburuan ialah suatu keadaan dimana berlakunya hukum itu sendiri. Menurut teori yang dijelaskan beliau ada empat ruang lingkup yang dapat dijabarkan dibawah ini, meliputi :

1. Lingkup Laku Pribadi (Personengebied)

Dalam lingkup laku pribadi memiliki kaitannya dengan siapa atau dengan apa kaidah hukum tersebut berlaku. Siapa-siapa saja yang dibatasi oleh hukum tersebut, meliputi :

 Buruh/ Pekerja  Pengusaha/ Majikan  Penguasa (Pemerintah)

2. Lingkup Laku Menurut Waktu (Tijdsgebied)

Disini ditunjukkan kapan sutu peristiwa tertentu diatur oleh suatu hukum yang berlaku. 3. Lingkup Laku Menurut Wilayah (Ruimtegebied)

Lingkup laku menurut wilayah berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa hukum yang di beri batas – batas / dibatasi oleh kaedah hukum.

4. Lingkup Waktu Menurut Hal Ikhwal

Lingkup Laku menurut Hal Ikwal di sini berkaitan dengan hal – hal apa saja yang menjadi objek pengaturan dari suatu kaedah.

Demikian artikel yang membahas mengenai Hukum Ketenagakerjaan, Unsur Hukum Ketenagakerjaan, Ruang Lingkup Hukum Ketenagakerjaan. Semoga artikel ini dapat bermanfaat sebagai bahan acuan refrensi anda.