Perjanjian Kerja Bersama PKB [12]

PKB maka PP tetap berlaku sampai habis masa berlakunya. Perusahaan wajib untuk mengajukan PP baru ketika 30 tiga puluh hari menjelang habisnya masa berlaku PP. 3. Perjanjian Kerja Bersama PKB [12] PKB adalah: “Perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerjaserikat buruh atau beberapa serikat pekerjaserikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.” Pada dasarnya, secara teknis pembuatan PKB sama dengan pembuatan PP. Namun sesuai dengan definisinya, dalam pembuatan PKB ada peranan Serikat Buruh yang lebih diberikan ruang oleh undang-undang. Pembuatan PKB merupakan ruang bertarung yang sebenarnya bagi serikat buruh karena dari PKB ada 4 empat pilar kepentingan buruh dinegosiasikan dan diperbaiki, yaitu: [13] 1. Kebebasan berserikat; 2. Kepastian perlindungan pekerjaan; 3. Upah dan perbaikan kondisi kerja; 4. Jaminan sosial. Dalam pembuatan PKB paling sedikit memuat : 1. Hak dan kewajiban pengusaha 2. Hak dan kewajiban serikat pekerjaserikat buruh serta pekerjaburuh 3. Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya PKB 4. Tanda tangan para pihak pembuat PKB Proses pembuatan PKB didahului dengan perundingan antara pengusaha dengan buruh yang diwakili oleh serikat buruh. Jika dalam perundingan dicapai kesepakatan maka PKB mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan lain dalam PKB dan selanjutnya di daftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Namun bila tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya melalui prosuder penyelesaian hubungan industrial berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 115PUU- VII2009. Yang membatalkan Pasal 120 UU Nomor 13 Tahun 2003 beberapa catatan penting dalam pembuatan PKB : 1. Dalam 1 satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 satu perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh karyawan. 2. Jika di perusahaan hanya terdapat 1 satu serikat pekerja buruh maka serikat pekerjaburuh ini berhak mewakili pekerjaburuh dalam perundingan, dengan syarat memiliki jumlah anggota lebih dari 50 lima puluh persendari sejumlah pekerjaburuh di perusahaan. 3. Jika di perusahaan hanya terdapat 1 satu serikat pekerja buruh namun tidak memilik jumlah anggota lebih dari 50 maka serikat pekerjaburuh dapat mewakili pekerjaburuh dengan syarat telah mendapat dukungan lebih dari 50 dari jumlah seluruh pekerjaburuh di perusahaan melalui pemungutan suara. 4. Jika dukungan tersebut tidak tercapai maka serikat pekerja buruh dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan PKB dengan pengusaha setelah melewati jangka waktu 6 enam bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara pertama. 5. Para serikat pekerja buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan berapa jumlah pekerjaburuh di serikat pekerja masing. 6. dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerjaserikat buruh, maka jumlah serikat pekerjaserikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerjaserikat buruh atau gabungan serikat pekerjaserikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10 sepuluh perseratus dari seluruh pekerjaburuh yang ada dalam perusahaan. 7. Jika di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja maka pembuatan PKB melibatkan Para serikat pekerjaserikat buruh dengan membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing- masing serikat pekerjaserikat buruh. Hal ini harus dimaknai Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerjaserikat buruh, maka jumlah serikat pekerjaserikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerjaserikat buruh atau gabungan serikat pekerjaserikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10 sepuluh perseratus dari seluruh pekerjaburuh yang ada dalam perusahaan. Perbedaan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, Dan Perjanjian Kerja Bersama PERBEDAAN PERJANJIAN KERJA PERATURAN PERUSAHAAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA Pembuat Pekerja dan Pemberi Kerja Pengusaha Serikat pekerja dan pengusaha Kesepakatan Diperlukan Tidak diperlukan Diperlukan Isi Syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak Syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan Syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak Pencatatan Tidak diperlukan Dicatatkan pada Instansi Ketenagakerjaan Sudinakertrans DisnakertransDirektu r Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Dicatatkan pada Instansi Ketenagakerjaan Sudinakertrans DisnakertransDirektur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Peranan buruh dalam penentuan isi Tidak ada Sekedar saran dan pertimbangan Dilahirkan melalui perundingan antara Serikat Buruh- Pengusaha Dapat diperselisihkan? Dapat Tidak Dapat Dapat Konsekuensi Hukum Otononom terhadap Hukum Heteronom Persoalan yang kemudian timbul adalah bagaimana posisi antara hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan otonom? Lebih tinggi manakah hukum perburuhan heteronom dengan hukum perburuhan otonom? Hukum perburuhan yang manakah yang wajib ditaati lebih dahulu? Untuk menjawab berbagai persoalan itu maka perlu dijelaskan tentang posisi dan fungsi dari hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan otonom terlebih dahulu. Pada dasarnya hukum perburuhan heteronom dibuat dalam rangka memberikan pengaturan dasar atas segala hal yang terkait dengan obyek pengaturan tersebut yang wajib ditaati oleh semua pihak. Ketentuan ini pada dasarnya menjadi pedoman utama dalam rangka membuat hukum perburuhan otonom yang dilakukan oleh buruh dan majikan. Maksud pemerintah membentuk hukum perburuhan heteronom ini agar para pelaku hubungan kerja yang jumlahnya sangat banyak ini tidak membuat ketentuan yang berpotensi menimbulkan konflik sekaligus dapat dijadikan sebagai alat ukur utama dalam meverifikasi apakah hukum perburuhan otonom yang dibuat sudah seuai dengan standar normatif atau tidak. Standar normatif ini tidak dimaksudkan agar setiap pelaku hubungan kerja dalam membuat hukum perburuhan otonom harus selalu sama persis dengan hukum perburuhan heteronom walaupun juga tidak boleh dibawah norma dari hukum yang bersangkutan. Artinya hukum perburuhan heteronom menjadi standar minimal yang harus dipatuhi dalam membuat hukum perburuhan otonom. Bahkan sesungguhnya pembuatan hukum perburuhan otonom menjadi tidak perlu apabila isinya sama dengan hukum heteronom, karena sesungguhnya akan terjadi duplikasi yang tidak perlu antara hukum perburuhan otonom dan hukum perburuhan heteronom. Dengan posisinya yang di bawah hukum perburuhan heteronom maka hukum perburuhan otonom tidak boleh bertentangan dengan hukum perburuhan heteronom dan dianggap tidak berlaku sehingga yang berlaku adalah ketentuan yang dikemas dalam hukum perburuhan heteronom. Sebaliknya, hukum perburuhan otonom baru berlaku manakala isi dari ketentuan itu diatas atau minimal dengan norma hukum perburuhan heteronom. Artinya, isi hukum perburuhan otonom memiliki kualitas di atas hukum perburuhan heteronom. Apabila dibuat tata urutan ketentuan perburuhan yang mengkombinasikan hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan otonom maka akan didapat komposisi sebagai berikut: 1. Hukum perburuhan heteronom sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan. 2. Hukum perburuhan otonom dengan tata urutan sebagai berikut: a. Perjanjian Kerja Bersama b.Perjanjian kerja c. Peraturan Perusahaan Komposisi tersebut di atas dapat diterangkan bahwa kualitas peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah daripada kualitas perjanjian kerja. Kualitas perjanjian kerja tidak boleh lebih rendah dari pada kualitas perjanjian kerja bersama dan kualitas perjnajian kerja bersama tidak boleh lebih rendah dari pada kualitas hukum perburuhan heteronom. Dengan demikian hukum perburuhan otonom baru berlaku manakala kualitasnya lebih tinggi atau minimal sama dengan dengan kualitas hukum perburuhan heteronom. Dengan demikian pula apabila kualitas hukum perburuhan otonom lebih rendah dari hukum perburuhan heteronom maka secara otomatis hukum perburuhan otonom tersebut telah bertentangan dengan hukum perburuhan heteronom dan dianggap tidak berlaku. Sekilas memang persoalan posisi hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan otonom tidak terlalu dipersoalkan. Namun masalah ini akan muncul ketika terjadi perselisihan antara pekerja atau serikat pekerja dengan perusahaan yang menyangkut tentang isi dari hukum perburuhan otonom. Pada kasus perjanjian kerja bersama, misalnya, semestinya tidak perlu dipermasalahkan prioritas pemberlakuan peraturan perundang-undangan atau perjanjian kerja bersama karena kedua-duanya bisa berlaku secara bersama-sama. Artinya adalah peraturan perundang-undangan harus dijadikan dasar untuk melaksanakan hubungan kerja ketika isi perjanjian kerja bersama tertentu kualitasnya di bawah peraturan perundang-undangan bertentangan namun perjanjian kerja bersama tertentu akan menjadi prioritas untuk diberlakukan manakala kualitas isi dari perjanjian kerja bersama tersebut di atas peraturan perundang-undangan kualitas dan isinya lebih tinggi atau atau isinya sama dengan peraturan perundang-undangan kualitas dan isinya sama Dengan demikian fungsi dari hukum perburuhan otonom selain mengisi kekosongan hukum yang belum dibuat oleh hukum perburuhan heteronom, juga memiliki fungsi sebagai pranata untuk meningkatkan kualitas hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja. Kesimpulan Pada dasarnya hukum perburuhan heteronom dibentuk dalam rangka menetapkan standar normatif yang dijadikan sebagai pedoman minimal bagi hukum perburuhan otonom agar dibuat dengan kualitas minimal seperti kualitas hukum perburuhan heteronom. Apabila hukum perburuhan otonom dibuat dengan kualitas lebih tinggi dari pada hukum perburuhan heteronom maka yang berlaku adalah hukum perburuhan otonom. Doktrin ini didasarkan atas pemikiran bahwa fungsi dari hukum perburuhan otonom selain mengisi kekosongan hukum yang belum dibuat oleh hukum perburuhan heteronom juga memiliki fungsi sebagai pranata untuk meningkatkan kualitas hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja. [1]Ibid. [2] Lihat juga http:www.dpr.go.ididtentang-dprpembuatan-undang-undang, terakhir kali diakses tanggal 3 Januari 2013. Pembuatan undang-undang secara garis besar meliputi pemasukan dalam program legislasi baik daerah maupun nasional, perancangan oleh staf ahli, pembahasan, dan pengesahan menjadi undang-undang. [3]Kualitas yang dimaksud disini adalah kualitas yang menguntungkan buruh. [4]Ibid. [5] Untuk gambaran lebih menyeluruh, lihat Pasal 51-56 UU 13 Tahun 2003. [6] Dalam hal ini, yang menjadi pembahasan adalah perjanjian kerja tertulis. Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 UU 13 Tahun 2003, Perjanjian Kerja harus dibuat secara tertulis. Jika tidak maka batal demi hukum dan berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu PKWTT. [7] Bandingkan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata. [8] Untuk lebih jelasnya, lihat Pasal 108-115 UU 13 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.16MENXI2011Tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama. [9] Namun, perbedaan pendapat mengenai Peraturan Perusahaan ini tidak dapat diperselisihkan karena sifat masukan dari buruh hanyalah saran dan pertimbangan. Lihat Pasal 4 Kepmenaker No. PER.16MENXI2011. [10] Wakil buruh harus dipilih secara demokratis. Jika sudah berbentuk Serikat Buruh, maka harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam UU 21 Tahun 2000 tentang Serikat PekerjaBuruh. [11] Bukti telah meminta pertimbangan kepada buruh biasanya dibuktikan dengan tanda terima rancangan PP yang telah diserahkan kepada buruh. [12] Lihat Pasal 116-133 UU 13 Tahun 2003 dan Kepmenaker No. PER.16MENXI2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama. [13] Indah Budiarti, “Perjanjian Kerja Bersama untuk Kesejahteraan Buruh”, http:ekonomi.kompasiana.commanajemen20120621perjanjian-kerja-bersama-untuk- kesejahteraan-buruh-471418.html, diakses terakhir kali tanggal 3 Januari 2013 C.Sejarah dan Politik Hukum Ketenagakerjaan Masa sebelum Kemerdekaan Masa ini pada prinsipnya terbagi menjadi 3 periode, yaitu masa perbudakan, masa penjajahan Hindia Belanda, dan masa penjajahan Jepang. Masa perbudakan Keadaan di Indonesia pada masa ini dapat dikatakan lebih baik dibandingkan keadaan di negara lain karena di Indonesia telah hidup hukum adat. Pada masa ini, budak adalah milik Belanda, yang berarti menyangkut perekonomian serta hidup dan matinya seseorang. Politik hukum yang berlaku tergantung pada tingkat kewibawaan penguasa raja. Contohnya pada tahun 1877, saat matinya raja Sumba, seratus orang budak dibunuh, agar raja itu di alam baka akan mempunyai cukup pengiring dan pelayan. Contoh lainnya budak yang dimiliki oleh suku Baree Toraja di Sulawesi Tengah nasibnya lebih baik dengan pekerjaan membantu mengerjakan sawah dan ladang. Selain itu, dikenal lembaga perhambaan dan peruluran. Imam Soepomo menggambarkan lembaga perhambaan dan peruluran sebagai berikut. Lembaga perhambaan terjadi apabila ada hubungan pinjam-meminjam uang atau apabila terjadi perjanjian utang-piutang. Orang yang berutang sampai saat jatuh tempo pelunasan belum bisa membayar utangnya. Pada saat itu pula orang yang berutang menyerahkan dirinya atau menyerahkan orang lain kepada si kreditur, sebagai jaminan dan dianggap sebatas bunga dari utang. Selanjutnya orang yang diserahkan diharuskan untuk bekerja kepada orang yang memberi utang sampai batas waktu si debitur dapat melunasi utangnya. Penyerahan diri atau orang lain itu dimaksudkan untuk membayar bunga dari utang itu. Bukan untuk membayar utangnya. Keadaan ini pada dasarnya sama dengan perbudaka Lembaga peruluran terjadi setelah Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1621 menguasai Pulau Banda. Semua orang yang ada di pulau itu dibunuh atau diangkut ke luar negeri sebagai budak. Yang sempat melarikan diri ada yang menjadi bajak laut. Selanjutnya tanah-tanah yang masih kosong itu diberikan atau dibagi-bagikan kepada bekas pegawai Kompeni atau orang lain. Orang yang diberi kebun itu dinamakan perk. Kepemilikan hanya terbatas pada saat orang itu tinggal di kebun itu dan wajib tanam. Hasil dari wajib tanam itu wajib untuk dijual kepada Kompeni saja dengan harga yang telah ditentukan oleh Kompeni. Apabila mereka pergi atau keluar dari kebun itu, ia akan kehilangan hak atas kebun itu. Wajib tanam ini kemudian menjadi bagian dari cultuurstelsel dan berlangsung hingga tahun 1863. Masa penjajahan Hindia Belanda Pada masa ini, sebenarnya tidak untuk seluruh wilayah Indonesia karena pada saat itu masih ada wilayah kekuasaan raja di daerah yang mempunyai kedaulatan penuh atas daerahnya. Masa ini meliputi masa pendudukan Inggris, masa kerja rodi, dan masa poenale sanctie. Tahun 1811-1816, saat pendudukan Inggris, di bawah Thomas Stamford Raffles, ia mendirikan The Java Benevolent Institution yang bertujuan menghapus perbudakan. Cita-cita itu belum sampai terlaksana karena kemudian Inggris ditarik mundur. Pekerjaan rodi atau kerja paksa dilakukan oleh Hindia Belanda mengingat untuk melancarkan usahanya dalam mengeruk keuntungan dari rempah- rempah dan perkebunan. Untuk kepentingan politik imperialismenya, pembangunan sarana prasarana dilakukan dengan rodi. Contohnya, Hendrik Willem Daendels 1807-1811 menerapkan kerja paksa untuk pembangunan jalan dari Anyer ke Panarukan Banyuwangi. Rodi dibagi tiga, yaitu rodi gubernemen untuk kepentingan gubernemen dan pegawai, rodi perorangan untuk kepentingan kepala atau pembesar Indonesia, dan rodi desa untuk kepentingan desa. Rodi untuk para pembesar dan gubernemen disebut pancen sangat memberatkan rakyat karena penetapannya diserahkan kepada mereka. Convention no. 29 concerning forced or compulsory labour kerja paksa atau kerja wajib yang diratifikasi pemerintahan Hindia Belanda tahun 1933, tidak memandang kerja wajib untuk keperluan tentara dan orang lain dalam pekerjaan ketentaraan serta rodi untuk kepentingan desa sebagai yang terlarang. Selanjutnya menurut Jan Breman, poenale sanctie diterapkan dalam kaitannya dengan penerapan koeli ordinantie serta agrarische wet dalam melakukan hubungan kerja antara buruh yang bekerja di tanah pertanian dan perkebunan. Politik hukum ketenagakerjaan berkaitan erat dengan politik hukum agraria, mengingat banyak tenaga kerja Indonesia yang bekerja di tanah pertanian. Poenale sanctie itu bertujuan untuk mengikat buruh supaya tidak melarikan diri setelah melakukan kontrak kerja. Kontrak kerja saat itu dapat dikatakan semu karena setelah tanda tangan apabila buruh diperlakukan sewenang- wenang tidak dapat mengakhiri hubungan kerja. Berdasarkan laporan Rhemrev, di luar poenale sanctie, masih ada pukulan dan tendangan sesuai kehendak majikan kulit putih guna menanamkan disiplin kepada buruh kulit berwarna. Mencambuk kuli kontrak yang membangkang kadang-kadang sampai mati. Hal itu berakhir dengan dicabutnya koeli ordonantie 19311936 dengan Stb. 1941 No. 514 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1942. Masa penjajahan Jepang Masa ini dimulai pada tanggal 12 Maret 1942, pemerintah militer Jepang membagi menjadi tiga daerah pendudukan, yaitu Jawa, Madura, dan Sumatera yang dikontrol dari Singapura dan Indonesia Timur. Politik hukum masa penjajahan Jepang, diterapkan untuk memusatkan diri bagaimana dapat mempertahankan diri dari serangan sekutu, serta menguras habis kekayaan Indonesia untuk keperluan perang Asia Timur Raya. Pada masa ini diterapkan romusha dan konrohosyi. Romusha adalah tenaga sukarela, kenyataannya adalah kerja paksa yang dikerahkan dari Pulau Jawa dan penduduk setempat, yang didatangkan ke Riau sekitar 100.000 orang. Romusha lokal adalah mereka yang dipekerjakan untuk jangka waktu yang pendek disebut kinrohosyi. Pasca Kemerdekaan Pemerintahan Soekarno Pada masa pemerintahan Soekarno tidak banyak terdapat kebijakan tentang ketenagakerjaan mengingat masa itu adalah masa menetapkan wilayah Negara Kesatuan RI dari jajahan Hindia Belanda. Di bidang hukum ketenagakerjaan, pemerintah membuat produk hukum sebagian besar dengan cara menerjemahkan peraturan Hindia Belanda yang dianggap sesuai dengan alam kemerdekaan atau dengan mengadakan perbaikan dan penyesuaian. Meskipun demikian, produk hukum di masa pemerintahan Soekarno justru lebih menunjukkan adanya penerapan teori hukum perundang-undangan yang baik, yaitu hukum yang baik apabila berlaku sampai 40 atau 50 tahun yang akan datang, daripada produk hukum yang sekarang ini. 2.2.2. Pemerintahan Soeharto Pada masa pemerintahan Soeharto keadaan Indonesia sudah lebih baik, politik hukum ditekankan pada pembangunan ekonomi. Kesejahteraan nasional akan cepat terwujud apabila pembangunan ekonomi berjalan dengan baik. Untuk mewujudkan suksesnya pembangunan ekonomi maka ditetapkanlah Repelita, tetapi sayangnya dalih pembangunan ekonomi akhirnya menjurus pada tindakan penguasa yang sewenang-wenang. Sebagai contoh dari hasil penelitian oleh Asri Wijayanti, pengerahan TKI keluar negeri pada masa pemerintahahn Soekarno, berdasarkan Pasal 2 TAP MPRS No. XXVIIIMPRS-RI1966, yaitu segera dibentuk undang-undang perburuhan mengenai penempatan tenaga kerja. Selama masa pemerintahan Soeharto, ketentuan ini tidak pernah direalisasi. Peraturan tersebut akhirnya dicabut pada masa pemerintahan Soeharto. Sebagai kelanjutannya, Pasal 5 ayat 2 UU Nomor 14 Tahun 1969 ditetapkan tugas pemerintah untuk mengatur penyebaran tenaga kerja yang efisien dan efektif. Tugas tersebut dilaksanakan oleh pemerintah dengan peraturan perundang- undangan. Akibatnya pengerahan TKI tidak berdasarkan undang-undang, tetapi cukup dengan peraturankeputusan Menteri Tenaga Kerja saja, sehingga tingkat perlindungan hukumnya kurang jika dibandingkan dengan undang-undang. Selain itu untuk mensukseskan pembangunan ekonomi maka investor, yang tidak lain adalah majikan, mempunyai kedudukan secara politis kuat dengan penguasa. Kedudukan buruh semakin lemah dengan dalih hubungan industrial Pancasila, hak buruh dikurangi dengan hanya dapat mendirikan satu serikat pekerja, yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia SPSI, serta apabila ada masalah hubungan industrial majikan dapat dibantu oleh militer Permenaker No. Per.342Men1986. Contohnya kasus Marsinah, aktivis buruh, di Sidoarjo. 2.3. Pasca Reformasi 2.3.1. Pemerintahan Habibie Politik hukum pada masa ini ditekankan pada peningkatan kepercayaan luar negeri kepada Indonesia bahwa Indonesia dapat mengatasi problema negaranya sendiri tanpa menindas HAM serta punya andil besar dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia. Karena tekanan dari luar negeri maka Indonesia terpaksa meratifikasi Convention No. 182 concerning the Immediate Action to Abolish and to Eliminate the Worst Forms of Child Labor Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000. Dengan ratifikasi tersebut dapat ditafsirkan bahwa seolah-olah Indonesia mengakui telah memperlakukan dengan sangat buruk pekerja anak. Selain itu, di masa ini tahanan politik banyak yang dibebaskan. 2.3.2. Pemerintahan Abdurrahman Wahid Di masa pemerintahan ini Gusdur, politik hukum ketenagakerjaan meneruskan pemerintahan Habibie dengan penerapan demokrasi dengan adanya UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat PekerjaBuruh. Sayangnya masyarakat Indonesia masih belum matang untuk berdemokrasi, sehingga dengan banyaknya jumlah serikat pekerja di Indonesia justru membuat hubungan industrial semakin buruk. 2.3.3. Pemerintahan Megawati Perkembangan ketenagakerjaan hampir tidak tampak, malah yang banyak tampak adalah kasus ketenagakerjaan yang mengambang dan kurang mendapat perhatian. Contohnya adalah masalah pemulangan TKI dari Malaysia serta revisi dari UU No. 25 Tahun 1997 yang berdasarkan UU No. 28 Tahun 2000 diundur masa berlakunya hingga 1 Oktober 2002 dan berakhir dengan disahkannya UU No. 13 Tahun 2003 oleh Megawati. Terdapat fenomena menarik dari demo yang dilakukan antara buruh bersama-sama dengan majikan menentang kebaikan tarif dasar telepon, listrik, dan air; serta penolakan serikat pekerja PT. Indosat atas privatisasi BUMN yang dianggap menjual aset Negara. Catatan negatif pada masa ini adalah pengankapan para aktivis demonstran. Terhadap hal ini ada penadangan yang mengatakan bahwa Megawati telah melupakan cara ia dapat menduduki kursi kepresidenan melalui demonstrasi. Politik hukum Megawati di dunia ketenagakerjaan yang dapat dirasakan langsung dampaknya setelah terjadi trgaedi bom Bali adalah banyaknya hari libur. Dampak negatif bom Bali sangat terasa pada perkeonomian bangsa. Investor asing banyak yang meninggalkan Indonesia karena tidak terjaminnya keamanan Negara ditambah lagi tragedi bom Mariott. Hal ini berakibat pada politik hukum ketenagakerjaan Megawati, yaitu memulihkan sektor pariwisata sebagai inti dari peningkatan perkeonomian bangsa. Untuk memulihkan sektor pariwisata, perlu kebijaksanaan publik dengan pengalihan hari libur ke hari yang lainnya sebelum atau sesudahnya. Dampak negatif dari banyaknya hari libur ini misalnya, terkesan bangsa Indonesia adalah bangsa pemalas bekerja, lebih menyenangi banyak hari libur nasional. Disamping itu, dalam hubungan bisnis antarnegara ternyata merepotkan dunia usaha. Di Negara lain hari kerja, di Indonesia jatuh hari libur nasional dan hal ini dapat menghambat terjadinya transaksi dagang. Ada kekhawatiran bagaimana seandainya kebijaksanaan pengalihan hari libur ditiadakan sementara masyarakat sudah terbiasa dengan jumlah hari libur yang banyak dan memungkinkan terciptanya etos kerja yang rendah dari bangsa Indonesia semakin parah. 2.3.4. Pemerintahan SBY Di masa pemerintahan SBY, tampaknya ada sedikit perubahahn di bidang ketenagakerjaan, ada pemangkasan dan berbagai upaya peningkatan pelayanan dan kinerja baik pekerja maupun pegawai. Ada upaya pemberantasan korupsi. Sayangnya tekad yang baik belum dapat diikuti oleh sebagain besar penduduk Indonesia yang sudah terlanjur korup dan tidak amanah di segala aspek kehidupan.

3. Cakupan Hukum Ketenagakerjaan