Kepala Sekolah 27 Pengembangan Kepribadian

(1)

KOMPETENSI KEPRIBADIAN

KEPALA SEKOLAH PENDIDIKAN

MENENGAH

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN

DIREKTORAT TENAGA KEPENDIDIKAN DIREKTORAT JENDERAL


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah telah ditetapkan bahwa ada 5 (lima) dimensi kompetensi yaitu: Kepribadian, Manajerial, Kewirausahaan, Supervisi dan Sosial. Dalam rangka pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah untuk menguasai lima dimensi kompetensi tersebut, Direktorat Tenaga Kependidikan telah berupaya menyusun naskah materi diklat pembinaan kompetensi untuk calon kepala sekolah/kepala sekolah.

Naskah materi diklat pembinaan kompetensi ini disusun bertujuan untuk memberikan acuan bagi stakeholder di daerah dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/kepala sekolah agar dapat dihasilkan standar lulusan diklat yang sama di setiap daerah.

Kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun materi diklat pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah ini atas dedikasi dan kerja kerasnya sehingga naskah ini dapat diselesaikan.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi upaya-upaya kita dalam meningkatkan mutu tenaga kependidikan.

Jakarta,

Direktur Tenaga Kependidikan

Surya Dharma, MPA, Ph.D NIP. 130 783 511


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI ...ii

DAFTAR GAMBAR...v

DAFTAR TABEL...vi

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Dimensi Kompetensi...2

C. Kompetensi yang Diharapkan Dicapai...2

D. Indikator Pencapaian Hasil...2

E. Materi Diklat dan Alokasi Waktu...3

F. Skenario...3

BAB II PSIKOLOGI KEPRIBADIAN TINJAUAN TEORI DAN PRAKTEK SECARA UMUM...5

A. Konsep Psikologi Kepribadian...5

B. Pengertian Kepribadian...11

C. Pola Kepribadian...17

D. Perubahan Kepribadian...22


(5)

G. Evaluasi...36

BAB III PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: PSIKOANALITIK...38

A. Paradigma Psikoanalitik Carl Gustav Jung...38

B. Struktur Kepribadian C.G Jung...39

C. Simbolisasi (Symbolization)...47

D. Tipologi Jung (Gabungan Sikap-Fungsi)...50

E. Dinamika Kepribadian...54

F. Perkembangan Kepribadian...60

G. Tahap-Tahap Perkembangan...62

H. Aplikasi...67

BAB IV PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: TRAIT...71

A. Paradigma Trait Abraham Maslow...71

B. Motivasi: Teori Hirarki Kebutuhan...74

C. Mencapai Aktualisasi Diri...85

D. Organisasi Kepribadian...91

E. Aplikasi...95

F. Evaluasi...97

BAB V PARADIGMA PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: KOGNITIF DAN BEHAVIORISTIK...99


(6)

A. Konsep Psikologi Kepribadian: Kognitif...99

B. Psikologi Kepribadian: Behavioristik...97

C. Aplikasi...114

D. Evaluasi...116

DAFTAR RUJUKAN...117

LAMPIRAN……...118

LAMPIRAN 1 : Instrument Pengembangan Diri (Trustworthiness Inventory)...118

LAMPIRAN 2 : Gambaran Diri...122


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diagram Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-concept. 20

Gambar 2.2 Pola Tingkah Laku...28

Gambar 3.1 Struktur Kepribadian Menurut Jung...39

Gambar 5.1 Ruang Hidup dan Daerah Pribadi...100

Gambar 5.2a Anak Menginginkan Permen yang Dijual di Toko...110

Gambar 5.2b Ayah Memberi Uang untuk Membeli Permen...110

Gambar 5.2c Ayah Menolak Memberi Uang, Anak Meminjam Uang Temannya...111


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Materi Pelatihan dan Alokasi Waktu...3

Tabel 2.1 Tipologi Temperamen Oleh Sheldon...25

Tabel 2.2 Tipologi Temperamen Oleh Galenius...25

Tabel 3.1 Ikhtisar Tipologi C.G Jung...53

Tabel 3.2 Menaksir Value Unconscious...56

Tabel 4.1 Kebutuhan Meta: Kebutuhan Estetik dan Kognitif...82

Tabel 4.2 Contoh Sindrom Keamanan...91

Tabel 5.1 Menstruktur Lingkungan Psikologis...89


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reformasi pendidikan di tanah air, mulai marak terutama diawali sejak ditetapkan ketentuan perundang-undangan. Diawali UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dilengkapi dengan PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PerMendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, PerMendiknas nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan, PerMendiknas nomor 24 tahun 2006 tentang Standar Proses, PerMendiknas nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru, serta PerMendiknas nomor 13 tentang Sertifikasi Kepala Sekolah. Ketentuan perundang-undangan tersebut merupakan hajat publik untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk karakter warga masyarakat Indonesia yang bermartabat.

Standar Nasional Pendidikan menetapkan 8 standar, yaitu: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelola, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan. Tenaga Kependidikan di tingkat satuan pendidikan terdiri atas: Kepala TK/RA, Kepala SD/MI, Kepala SMP/MTs, Kepala SMA/MA, Kepala SMK/MAK, Kepala SDLB/SMPLB, dan SMALB, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan.

Standar Kompetensi Kepala Sekolah meliputi (1) kompetensi kepribadian, (2) kompetensi manajerial, (3) kompetensi supervisi, dan (4) kompetensi sosial. Sub-Kompetensi kepribadian terdiri atas: (1) memiliki integritas sebagai pemimpin, (2) memiliki keinginan yang kuat dalam mengembangkan diri sebagai


(10)

Kepala Sekolah, (3) bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi, (4) mengendalikan diri dalam menghadapi masalah sebagai Kepala Sekolah, dan (5) memiliki bakat dan minat jabatan sebagai pemimpin pendidikan.

Dalam rangka meningkatkan mutu kinerja Kepala Sekolah senantiasa diselenggarakan DIKLAT berbasis kompetensi. Untuk mendukung kompetensi kepribadian Kepala Sekolah maka disiapkan bimbingan teknis Diklat Pengembangan Kepribadian. Diklat Pengembangan Kepribadian disusun menjadi 4 bagian, yakni (1) Psikologi Kepribadian tinjauan Teori dan Praktek, (2) Paradigma Psikologi Kepribadian: Psikoanalitik (3) Paradigma Psikologi Keperibadian Trait, (4) Paradigma Psikologi Kepribadian: Kognitif dan Behavioristik.

B. Dimensi Kompetensi

Dimensi kompetensi yang diharapkan dibentuk pada akhir pendidikan dan pelatihan ini adalah dimensi kompetensi keperibadian.

C. Kompetensi yang Diharapkan Dicapai

Berkepribadian yang patut diteladani oleh warga sekolah.

D. Indikator Pencapaian Hasil

1. Mampu menjelaskan Konsep dan teori Kepribadian secara umum. 2. Mampu menjelaskan Paradigma Psikologi Kepribadian : Psikoanalitik. 3. Mampu menjelaskan Paradigma Psikologi Kepribadian Trait.


(11)

4. Mampu menjelaskan Paradigma Psikologi Kepribadian: Kognitif dan Behavioristik.

E. Materi Diklat dan Alokasi Waktu

Tabel 1.1 Materi Pelatihan dan Alokasi Waktu

NO MATERI PELATIHAN Alokasi

Waktu

A Materi Umum

1 Kebijakan umum Direktorat Pendidikan Menengah Umum dan Kejuruan.

2 Kebijakan Manajemen Keuangan Sekolah dalam Kerangka Otonomi Daerah

B Materi Inti

1 KONSEP PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: TEORI DAN PRAKTIK 2 PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: PSIKOANALITIK

3 PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: TRAIT 4 PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: KOGNITIF

5 PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: BEHAVIORISTIK

C Materi Khusus

1 Pre – test

2 Post – test

3 Evaluasi penyelenggaraan pelatihan Jumlah

F. Skenario

Secara tentatif (dapat dikembangkan lebih lanjut oleh fasilitator pendidikan dan pelatihan), skenario pendidikan dan pelatihan Pengembangan Kepribadian ini sebagai berikut :

1. Perkenalan

2. Penjelasan singkat, jelas, dan terarah tentang dimensi kompetensi, kompetensi, indikator, alokasi waktu dan skenario pendidikan dan pelatihan Pengembangan Keperibadian


(12)

3. Pre-test

4. Eksplorasi pemahaman peserta berkenaan dengan seluk beluk Pengembangan Keperibadian melalui pendekatan andragogi

5. Presentasi materi supervisi akademik dengan pendekataninteraktif dan multi media teknologi, paling tidak dalam bentuk tayangan power point yang menarik dan penuh dengan diagram, gambar, foto-foto praktik pengembangan diri, dan bilamana dimungkinkan diputarkan prilaku diri positif dan prilaku diri negatif

6. Diskusi penyusunan program, indikator keberhasilan, dan teknik evaluasi program pengembangan diri

7. Praktek (simulasi) pengembangan diri, dimana ada seorang yang ditunjuk melakukan prilaku pengembangan diri, ada yang ditunjuk memberikan feed back, ada yang menjadi pengamat dsb.

8. Diskusi kelas, pembahasan hasil simulasi praktek pengambangan diri 9. Post-test

10. Penutup

BAB II

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN TINJAUAN TEORI DAN PRAKTEK SECARA UMUM


(13)

A. Konsep Psikologi Kepribadian

1. Latar Psikologi Kepribadian

Ilmu Psikologi lahir pada akhir abad 18, salah satu topik yang menarik untuk dikaji adalah kepribadian. Sebagai ilmu, psikologi lahir, berusaha memahami manusia seutuhnya (totality), dapat dilakukan melalui pemahaman tentang kepribadian. Teori Psikologi Kepribadian ssmelahirkan konsep-konsep, seperti dinamika tingkah laku, pola tingkah laku, model tingkah laku, dan perkembangan tingkah laku, dalam rangka mengurai kompleksitas tingkah laku manusia. Ahli-ahli psikologi kepribadian melakukan riset yang cermat untuk menguji konsep-konsep itu, memakai kaidah-kaidah ilmiah agar memperoleh teori yang handal, yakni teori yang dapat mengemban fungsi deskriptif dan prediktif dalam kerangka pendekatan psikologik.

Teori psikologi kepribadian bersifat deskriptif dalam rangka menggambarkan organisasi perilaku secara sistematis dan mudah dipahami. Tidak satupun tingkah laku terjadi begitu saja tanpa alasan, pasti ada faktor-faktor antiseden, sebab musabab, pendorong, motivator, saran, tujuan, dan latar belakangnya. Faktor-faktor tersebut harus ditempatkan pada suatu kerangka saling berhubungan yang bermakna, agar mendapat tinjauan analitik dan cermat ketika dilakukan pemerian tingkah laku dan agar perian dilakukan memakai sistematika yang ajeg dan komunikatif. Sifat prediktif teori kepribadian pada sisi lain justru mendapat bukti bahwa konsep-konsepnya teruji kebenarannya. Sekalipun tidak ada prediksi yang benar seratus persen, tetapi psikologi kepribadian dapat membantu proses pengambilan keputusan. Nilai prediktif dapat menjadi handal bila secara terus menerus dilakukan riset dalam psikologi kepribadian.

Kepribadian adalah domain kajian psikologi; pemahaman tingkah laku pikiran, perasaan, dan tindakan manusia, memakai sistemik, metode, dan disiplin ilmu yang lain, seperti biologi, sejarah, ekonomi. Teori psikologi


(14)

kepribadian mempelajari individu secara spesifik, yakni siapa dia, apa yang dimilikinya, dan apa yang dikerjakannya.

Kepribadian merupakan bagian jiwa yang membangun keberadaan manusia menjadi suatu kesatuan (totalitas), tidak terpisah-pisah fungsinya. Memahami kepribadian berarti memahami aku, diri, self atau memahami manusia seutuhnya. Berkaitan dengan memahami kepribadian berarti pemahaman dipengaruhi oleh paradigma yang digunakan untuk mengembangkan teori itu sendiri. Para pakar kepribadian meyakini bahwa paradigma yang berbeda-beda mempengaruhi secara sistemik seluruh pola pemikirannya tentang kepribadian manusia. Paradigma yang berbeda yang dikembangkan oleh para ahli akan menghasilkan teori yang berbeda, tidak saling berhubungan bahkan saling berlawanan. Teori-teori kepribadian dikelompokan berdasarkan paradigma yang digunakan untuk mengembangkannya. Ada empat paradigma yang banyak digunakan sebagai acuan memahami kepribadian individu.

2. Paradigma Psikoanalitik

Dua asumsi dasar bahwa manusia adalah bagian dari dunia binatang dan manusia adalah bagian dari sistem energi. Asumsi ke dua dapat dipandang sebagai kelanjutan asumsi pertama, sebagai binatang manusia adalah organisme hidup yang membutuhkan energi dan hidup berarti mampu mengelola energi yang dimilikinya.

Kunci utama memahami manusia menurut paradigma Psikoanalitik adalah mengenali insting-insting seksual dan agresi dorongan biologik yang membutuhkan kepuasan. Insting yang bersifat heriditer ini berkembang sejalan dengan pertumbuhan usia, dalam mana perkembangan biologik menyediakan bagian-bagian tubuh tertentu untuk menjadi pusat sensasi kepuasan. Sepanjang hidup seseorang akan menghadapi gangguan, mengalami konflik yang mengganggu pencapaian kepuasan. Semua penyebab ketidakpuasan merupakan metafora dari


(15)

virus pengganggu yang harus dieliminasi, jika individu ingin memperoleh kembali hidup dalam kepuasan hidup sehat.

Energi psikis oleh manusia harus dimanfaatkan untuk sesuatu hal yang positif, untuk kemaslahatan diri. Manakala energi psikis dipakai secara salah maka manusia tidak memperoleh kepuasan secara wajar, sehingga muncullah simpton-simpton neurotik. Psikoanalitik mencoba menjelaskan bagaimana membebaskan energi yang digunakan oleh simpton neurotik, mengembalikan jalur energi instingtif ke aktivitas yang dihekendaki.

Teori Psikoanalitik dikembangkan pertama kali oleh Sigmund Freud. Belakangan ini banyak pengikutnya yang mengembangkan teori psikologi kepribadiannya sendiri. Para pengikutnya di ataranya adalah: C.G.Yung, A. Adler, Anna Freud, Karen Horney, Eric Fromm, H.S. Sullivan. Setiap teori memerikan wujud kepribadian, bagaimana struktur, dinamika, dan perkembangan elemen-elemen pendukungnya. Kebanyakan pakar Psikoanalitik berlatar profesi medik (Psikiater), maka mereka menempatkan diri sebagai terapis, teknik yang dipakai catharsis dan free association keduanya dipandang sebagai ”pil ajaib” untuk menyembuhkan penyakit psikis.

3. Paradigma Trait

Paradigma Trait ini berbeda jauh dengan Psikoanalitik, berkembang menjadi Psikologi Eksperimen. Pakar Psikologi Eksperimen adalah Wilhelm Wundt. Psikologi Eksperimen memandang psikologi adalah ilmu yang mempelajari kesadaran. Wundt mencoba menemukan elemen dasar dari pengalaman, memakai teknik-teknik yang semula digunakan untuk eksperimen fisiologi dan pengindraan, dan teknik introspeksi. Menurutnya, untuk memahami tingkah laku harus diketahui terlebih dahulu unsur-unsur terkecil yang mendukung terjadinya tingkah laku di dalam diri manusia. Pendekatan ini yang pada awalnya berkembang dan dikenal sebagai


(16)

Psikologi Strukturalisme yang pada akhirnya berkembang luas di awal sejarah psikologi

Pada perkembangan berikutnya strukturalisme dipandang tidak pragmatis dan metode introspeksi eksperimen terbukti kurang obyektif. Akhirnya muncul pemikiran baru yaitu bidang Psikologi Fungsionalisme, Psikologi Gestalt, dan Psikologi Behaviorime.

Tradisi Fungsionalisme menguraikan tentang habit, ingatan, berfikir, motivasi, dan fungsi jiwa yang lain. William James memandang bahwa manusia adalah kumpulan potensi-potensi dan kepribadian adalah aktualisasi potensi-potensi, bagaimana potensi digunakan dalam kehidupan. Pemahaman dan pengukuran besarnya potensi manusia menjadi domain kajian tradisi Psikologi Pengukuran. Tes psikologi mengukur aktualisasi suatu potensi kemudian menyimpulkan bagian dari potensi yang sudah difungsikan walaupun bagian yang masih laten. Metode kuesioner untuk mempelajari perbedaan individu yang dikembangkan oleh psikologi pengukuran yang tidak terpisahkan dengan psikologi kepribadian.

Teori Trait dipelopori oleh William James, Murray, Abraham Maslow, R.Cattel, Eysenck, Allport, dan yang lainnya. Muara teori kepribadian adalah pengenalan terhadap model-model fungsi kepribadian dalam kehidupan. Cattel dan Eysenck memakai analisis faktor untuk menemukan faktor yang saling asing dan Murray memakai pendekatan eklektik-interdisiplin dari metoda observasi-interview-kuesioner-proyektif-eksperimen untuk menemukan jenis-jenis need. Kepribadian diamati dalam kaitannnya dengan fungsinya terhadap lingkungan. Paradigma Trait lebih banyak membahas prediksi-prediksi tingkah laku. Nilai praktis dari psikologi kepribadian menjadi sangat tinggi di bidang pendidikan, industri, militer, dan lainnya, dalam arti memprediksikan keberhasilan individu dalam bidang tertentu, memilih atau menempatkan seorang yang tepat pada tempat yang tepat pula.


(17)

4. Paradigma Kognitif

Gestalt adalah kesatuan, keseluruhan, pola konfigurasi. Pengalaman manusia selalu membentuk kesatuan yang memiliki pola dan konfigurasi tertentu. Max Wertheimer membangun teori Gestalt dari temuannya phy nomenon: ilusi bahwa mobil yang kita naiki sedang berhenti terasa bergerak ketika mobil di sebelah kita bergerak. Itu pertanda atau bukti bahwa pengalaman baru sesudah diterima indra tidak dipersepsi apa adanya, tetapi digabung lebih dahulu dengan pengalaman lama. Teori Gestalt berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia sebagai pemeroses informasi.

Paradigma kognitif menggunakan kontekstualisme sebagai akar metafora. Konsep dasarnya adalah: keyakinan dan pikiran seseorang menjadi kunci memahami tingkah laku. Ingatan, pikiran, dan keyakinan ini mempunyai referensi khusus terhadap dunia. Persepsi adalah hasil kerja simultan antara dunia (stimulus) dengan pemerhati (kecenderungan untuk memproleh gestalt yang bagus).

Dunia pendidikan dan sekolah terbantu oleh teori Gestalt, yang secara intensif meneliti bagaimana pikiran, motivasi, perasaan, dan ingatan bekerja dalam kesatuan menangkap sensasi-sensasi baru, bagaimana seseorang mempelajari pengalaman baru.

Para pakar kepribadian meyakini paradigma kognitif seperti: Kurt Lewin, George Kelly, Carl Rogers, Mechael dan Bandura, cenderung akrab dengan filsafat humanisme. Carl Rogers berpendapat bahwa yang paling tahu tentang diri seseorang adalah diri orang itu sendiri. Setiap orang memiliki kemampuan untuk memilih yang terbaik bagi dirinya, dan jika terjadi kesalahan tingkah laku, hanya si penderita sendirilah yang dapat mengkoresinya. Proses itu dilakukan di tengah-tengah lingkungan yang berperan sebagai fasilitator, sumber informasi, dan penyedia alternatif. Teknik empathy dan unconditioning positive regard dikembangkan sebagai


(18)

penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ketika membantu mengatasi tingkah laku yang tidak dikehendaki, penekanannya bukan sekadar mengatakan kepada orang itu bahwa ada masalah dengan pikirannya, tetapi paradigma kognitif berusaha mengungkapkan bahwa cara pandang seseorang mencerminkan bagaimana dunia itu bergerak dan cara bagaimana otaknya bekerja. Tetapi kognitif berusaha mendorong orang untuk mengubah keberadaannya di dunianya; mendorong orang untuk berpikir yang baik tentang dirinya sendiri, di samping mendorong orang untuk memilih lingkungan yang tepat dengan dirinya.

5. Paradigma Behaviorisme

Kondisioning meyakini bahwa manusia adalah mesin. Tingkah laku manusia itu fungsi stimulus, artinya, diterminan tingkah laku tidak berada di dalam diri manusia tetapi berada di lingkungan. Metafora mekanis semacam itu mungkin dapat dimasukkan ke dalam semua paradigma, walaupun yang paling cocok adalah masuk ke dalam psikologi eksperimen, khususnya behaviorisme. Pendekatan Psikoanalitik bersifat mekanistik karena memandang tingkah laku manusia fungsi dari pengalaman masa lalu. Artinya tingkah laku orang dewasa sekarang bukan ditentukan oleh situasi dorongan pertimbangan rasional sekarang, tetapi ditentukan oleh pengalaman masa kecil di bawah 5 tahun. Pendekatan Trait dan Kognitif juga memakai jargon sebab-akibat, yang berarti merefleksikan model berpikir mekanisme.

Teori Behaviorisme lebih dekat dengan teori belajar. Pakar behaviorisme berusaha menjelaskan bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungan dan bagaimana tingkah laku dapat berubah sebagai dampak dari interaksi itu. Perubahan tingkah laku, apakah itu pengembangan tingkah laku yang lama atau perolehan tingkah laku baru, semuanya disebut belajar. Teori belajar menjadi teori psikologi kepribadian ketika yang dipelajari tingkah laku yang kompleks, yang repertoirnya membutuhkan waktu cukup panjang.


(19)

Pavlov, Skinner, Watson dalam berbagai eksperimen mencoba menunjukkan betapa besarnya pengaruh lingkungan terhadap tingkah laku. Semua tingkah laku termasuk tingkah laku yang tidak dikehendaki diperoleh melalui belajar, dan mengubah tingkah laku itu dilakukan juga dengan mempelajari tingkah laku baru sebagai pengganti. Faktor pendorong agar orang bersedia bertingkah laku mengikuti kemauan lingkungan, di sebut reinforcement. Modifikasi tingkah laku pada paradigma behaviorisme tidak lain dan tidak bukan adalah management reinforcement. Pada anak-anak dan orang dewasa yang kemampuan kecerdasan dan berpikirnya rendah, pengubahan tingkah laku dengan menajemen reinforcement menjadi pilihan yang lebih luas dipakai.

B. Pengertian Kepribadian

Kepribadian merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu personality.

Kata Personality sendiri berasal dari bahasa latin pesona, yang berarti topeng yang digunakan oleh para aktor dalam suatu permainan atau pertunjukan. Pada saat pertunjukan para aktor tidak menampilkan kepribadian yang sesungguhnya menyembunyikan kepribadiaannya yang asli, dan menampilkan dirinya sesuai dari topeng yang digunakannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kata kepribadian digunakan untuk menggambarkan (1) identitas diri, jati diri seseorang, seperti: “Saya seorang yang pandai bergaul dengan siapa saja”, atau “Saya seorang pendiam”, (2) kesan seseorang tentang diri anda atau orang lain, seperti “Dia agresif”, atau “Dia jujur”, dan (3) fungsi-fungsi kepribadian yang sehat atau bermasalah, seperti: “Dia baik”, atau “Dia pendendam”. Beberapa istilah dalam teori psikologi kepribadian diberi makna yabg berbeda-beda. Istilah yang berdekatan maknanya antara lain:

1. Personality (kepribadian): penggambaran tingkah laku secara deskriptif tanpa memberi nilai (devaluative).


(20)

2. Character (karakter): penggambaran tingkah laku dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk) baik secara eksplisit maupun implisit.

3. Dispotition (watak): karakter yang telah lama dimiliki dan sampai sekarang belum berubah.

4. Temperamen (temperamen): kepribadian yang berkaitan erat dengan determinan biologik atau fisiologik, disposisi hereditas.

5. Traits (sifat): respon yang senada (sama) terhadap sekelompok stimuli yang mirip, berlangsung dalam kurun waktu yang (relatif) lama.

6. Type–attribute (ciri): mirip dengan sifat, namun dalam kelompok stimuli yang lebih terbatas.

7. Habit: kebiasaan respon yang sama cenderung berulang untuk stimulus yang sama pula.

Untuk memperoleh pemahaman tentang kepribadian, berikut dikemukakan beberapa pengertian dari para ahli.

1. Hall dan Lindzey mengemukakan bahwa secara populer, kepribadian dapat diartikan sebagai (1) keterampilan atau kecakapan sosial (social skill), dan (2) kesan yang paling menonjol, yang ditunjukkan oleh seseorang terhadap orang lain (seperti orang yang dikesani sebagai agresif, atau pendiam).

2. Woodworth mengemukakan bahwa kepribadian merupakan “kualitas tingkah laku total individu”.

3. Stern mengemukakan bahwa kepribadian adalah kehidupan seseorang secara keseluruhan, individual, unik, usaha mencapai tujuan, kemampuannya bertahan dan membuka diri, kemampuan memperoleh pengalaman.


(21)

4. Guilford mengemukakan bahwa kepribadian adalah pola trait-trait yang unik dari seseorang.

5. Pervin mengemukakan kepribadian adalah seluruh karakteristik seseorang atau sifat umum banyak orang yang mengakibatkan pola yang menetap dalam merespon suatu situasi.

6. Maddy atau Burt mengemukakan bahwa kepribadian adalah seperangkat karakteristik dan kecenderungan yang stabil yang menentukan keumuman dan perbedaan tingkah laku psikologik (berpikir, perasaan, dan perbuatan) dari seseorang dalam waktu yang panjang dan tidak dapat difahami secara sederhana sebagai hasil dari tekanan sosial dan tekanan biologik saat itu.

7. Dashiell mengartikannya sebagai “gambaran total tentang tingkah laku individu yang terorganisasi”.

8. Allport mengemukakan lima tipe definisi kepribadian sebagai berikut: a. Rag-Bag (omnibus), yang merumuskan kepribadiannya dengan

cara enumerasi (menjumlahkan). Contohnya definisi dari Morton Prince, yaitu “kepribadian merupakan sejumlah disposisi biologis, impuls-impuls, kecenderungan-kecenderungan, dan insting-insting bawaan, dan disposisi lain yang diperoleh melalui pengalaman.

b. Integratif dan Konfiguratif, yang menekankan kepada organisasi cir-ciri pribadi, seperti definisi dari Warren dan Carmichaeles “kepribadian sebagai organisasi tentang pribadi manusia atau individu pada setiap tahap perkembangan”.

c. Hirarchis, seperti yang dikemukakan oleh Wlliam James, yaitu kepribadian itu dinyatakan dalam empat pribadi (selves): material self, social self, spiritual self, dan puriego atau self of self.


(22)

d. Adjustment, seperti definisi dari Kempfis, yaitu sebagai “integrasi dari sistem kebiasaan individu dalam menyesuaikan dirinya dalam lingkungannya”.

e. Distinctiveness (Uniqueness), seperti yang dikemukakan oleh Shoen, yaitu “sistem disposisi dan kebiasaan yang membedakan antara individu yang satu dengan yang lainnya dalam satu kelompok yang sama.

Selanjutnya Allport mengemukakan pendapatnya sendiri tentang pengertian kepribadian ini, yaitu “Personality is the dinamic organization within the individual of those psychophysical systems that determine his unique adjustment to his environtment”. Maksudnya adalah “kepribadian merupakan organisasi yang dinamis dalam individu tentang sistem psikofisik yang menentukan penyesuaiannya yang unik terhadap lingkungannya”.

Pengertian tersebut dapat diartikan sebagai berikut :

1. Dynamic, merujuk kepada perubahan kualitas perilaku (karakteristik) individu, dari waktu ke waktu, atau dari situasi ke situasi.

2. Organization, yang menekankan pemolaan bagian-bagian struktur kepribadian yang independen, yang masing-masing bagian tersebut mempunyai hubungan khusus satu sama lainnya. Ini menunjukkan bahwa kepribadian itu bukan kumpulan sifat-sifat, dalam arti satu sifat ditambah dengan yang lainnya, melainkan keterkaitan antara sifat-sifat tersebut, yang satu sama lainnya saling berhubungan atau berinterelasi.

3. Psychophysical Systems, yang terdiri atas kebiasaan, sikap, emosi, motif, keyakinan, yang kesemuanya merupakan aspek psikis, tetapi mempunyai dasar fisik dalam diri individu, seperti: syaraf, kelenjar, atau tubuh individu secara keseluruhan. Sistem psikofisik ini meskipun mempunyai fondasi pembawaan, namun dalam


(23)

perkembangannya lebih dipengaruhi oleh hasil belajar, atau diperoleh melalui pengalaman.

4. Determine, yang menunjuk pada peranan motivasional sistem psikofisik. Dalam diri individu, sistem ini mendasari kegiatan-kegiatan yang khas, yang mempengaruhi bentuk-bentuk. Sikap, keyakinan, kebiasaan, atau elemen-elemen sistem psikofisik lainnya muncul melalui sistem stimulus, baik dari lingkungan, maupun dari dalam diri individu sendiri.

5. Unique, yang menunjuk pada keunikan atau keragaman tingkah laku individu sebagai ekspresi dari pola sistem psikofisiknya. Dalam proses penyesuaian diri terhadap lingkungan, tidak ada reaksi atau respon yang sama dari dua orang, meskipun kembar identik.

Berdasarkan pengerian teori dan kepribadian di atas maka, istilah teori kepribadian dapat diartikan sebagai “Seperangkat asumsi tentang kualitas tingkah laku manusia beserta definisi-definisi empirisnya.

Mengenai asumsi ini dapat diberikan contohnya sebagai berikut: 1. Semua tingkahlaku dilatarbelakangi motivasi.

2. Kecemasan yang tinggi menyebabkan penurunan mutu kegiatan bekerja atau belajar.

3. Perkembangan (psikofisik) individu dipengaruhi oleh pembawaan, lingkungan, dan kematangan. Asumsi ini sering dinyatakan dalam formula.

4. P (I)= F (H.E.T/M), dimana P= Person, I= Individu, F= Function, H= Heredity (pembawaan/keturunan), E= Environment (lingkungan), T= Time, dan M= Maturation (kematangan).

Menurut Pervin teori kepribadian itu merupakan upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan “what, how, dan why”. Pertanyaan “what” terkait dengan karakteristik seseorang dan bagaimana karakteristik tersebut diorganisasikan


(24)

ajeg, dan memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi?” Pertanyaan “how” merujuk kepada faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian, seperti “Bagaimana faktor genetika dan lingkungan berinteraksi dalam mempengaruhi kepribadian?” Sementara pertanyaan “why” merujuk kepada faktor motivasional individu berperilaku, seperti pertanyaan “Mengapa seseorang mengalami depresi?” Jawabannya mungkin, karena dia dihina orang, kehilangan orang yang dikasihinya, atau karena dia tidak lulus ujian.

Selanjutnya ia mengemukakan hakikat kepribadian manusia, yaitu sebagai berikut.

1. Manusia merupakan makhluk yang unik dibandingkan dengan makhluk (species) lainnya, seperti hewan. Dibandingkan dengan hewan, manusia lebih tergantung kepada faktor psikologis, ia kurang tergantung kepada faktor biologis. Manusia mempunyai kemampuan berfikir konseptual, dan berbahasa atau berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol, sedangkan hewan tidak memilikinya. Dengan kata lain yang membedakan manusia dan hewan adalah kemampuan berbahasa. Namun dalam hal kematangan, manusia lebih lambat dibandingkan dengan hewan.

2. Tingkah laku manusia bersifat kompleks. Untuk memahami kepribadian harus mampu mengapresiasi tentang kompleksitas tingkah laku manusia. Seringkali terjadi satu perilaku muncul disebabkan oleh beberapa faktor, seperti masalah “depresi” yang telah dikemukakan di atas. Satu perilaku yang sama pada beberapa orang, mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda-beda, seperti: Surini mengalami stress, karena dia takut tidak lulus ujian; sementara Budi mengalami stress, karena di PHK (diputus hubungan kerja) oleh kantornya.

3. Manusia tidak selalu menyadari atau dapat mengontrol faktor-faktor yang menentukan tingkah lakunya. Pernyataan ini menunjukkan


(25)

bahwa dalam suatu saat manusia tidak dapat menjelaskan mengapa melakukan sesuatu, atau akan melakukan sesuatu dengan suatu cara yang sebenarnya berlawanan dengan keinginannya sendiri.

C. Pola Kepribadian

Elizabeth B. Hurlock (1978) mengemukakan bahwa pola kepribadian merupakan suatu penyatuan struktur yang multidimensi yang terdiri atas “ self-concept” sebagai inti atau pusat gravitasi kepribadian dan “traits” sebagai struktur yang mengintegrasikan kecenderungan pola-pola respon. Setiap pola itu dibahas dalam paparan berikut.

1. Self-concept (Concept of self )

Self-concept ini dapat diartikan sebagai (a) persepsi, keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya sendiri; (b) kualitas penyikapan individu tentang dirinya sendiri; dan (c) suatu sistem pemaknaan individu tentang dirinya sendiri dan pandangan orang lain tentang dirinya.

Self-concept ini memiliki tiga komponen, yaitu: (a) perceptual atau physical self-concept, citra seseotang tentang penampilan dirinya (kemenarikan tubuh atau bodinya), seperti: kecantikan, keindahan, atau kemolekan tubuhnya; (b) conceptual atau psychological self-concept, konsep seseorang tentang kemampuan (keunggulan) dan ketidakmampuan (kelemahan) dirinya, dan masa depannya, serta meliputi kualitas penyesuaian hidupnya: honesty, self-confidence, independence, dan courage; dan (c) attitudinal, yang menyangkut perasaan seseorang tentang dirinya, sikapnya terhadap keberadaan dirinya sekarang dan masa depannya, sikapnya terhadap keberhargaan, kebanggaan, dan kepenghinaannya. Apabila seseorang sudah masuk masa dewasa,


(26)

komponen ketiga ini juga terkait dengan aspek-aspek: keyakinan, nilai-nilai, idealita, aspirasi, dan komitmen terhadap way of life hidupnya.

Dilihat dari jenisnya, Self-concept ini terdiri atas beberapa jenis, yaitu sebagai berikut.

a. The Basic Self-concept. Jane menyebutnya “real-self”, yaitu konsep seseorang tentang dirinya sebagaimana adanya. Jenis ini meliputi : persepsi seseorang tentang penampilan dirinya, kemampuan dan ketidakmampuannya, peranan dan status dalam kehidupannya, dan nilai-nilai, keyakinan, serta aspirasinya.

b. The Transitory Self-concept. Ini artinya bahwa seseorang memiliki “self-concept” yang pada suatu saat dia, memegangnya, tetapi pada saat lain dia melepaskannya. “ self-concept” ini mungkin menyenangkan tapi juga tidak menyenangkan. Kondisinya sangat situasional, sangat dipengaruhi oleh suasana perasaan (emosi), atau pengalaman yang lalu.

c. The Social Self-concept. Jenis ini berkembang berdasarkan cara individu mempercayai orang lain yang mempersepsi dirinya, baik melalui perkataan maupun tindakan. Jenis ini sering juga dikatakan sebagai “mirror image”. Contoh: jika kepada seorang anak dikatakan secara terus-menerus bahwa dirinya “naughty” (nakal), maka dia akan mengembangkan konsep dirinya sebagai anak yang nakal. Perkembangan konsep diri sosial seseorang dipengaruhi oleh jenis kelompok sosial dimana dia hidup, baik keluarga, sekolah, teman sebaya, atau masyarakat. Jersild mengatakan bahwa apabila seorang anak diterima, dicintai, dan dihargai oleh orang-orang yang berarti baginya (yang pertama orang tuanya, kemudian guru,


(27)

dan teman) maka anak akan dapat mengembangkan sikap untuk menerima dan menghargai dirinya sendiri. Namun apabila orang-orang yang berarti (signifant others) itu menghina, menyalahkan, dan menolaknya, maka anak akan mengembangkan sikap-sikap yang tidak menyenangkan bagi dirinya sendiri.

d. The Ideal Self-concept. Konsep diri ideal merupakan persepsi seseorang tentang apa yang diinginkan mengenai dirinya, atau keyakinan tentang apa yang seharusnya mengenai dirinya. Konsep diri ideal ini terkait dengan citra fisik maupun psikhis. Pada masa anak terdapat diskrepansi yang cukup renggang antara konsep diri ideal dengan konsep diri yang lainnya. Namun diskrepansi itu dapat berkurang seiring dengan berkembangnya usia anak (terutama apabila seseorang sudah masuk usia dewasa).

Perkembangan self-concept dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tertera pada gambar berikut.


(28)

Gambar 2.1 Diagram Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-concept 2. Traits (Sifat-sifat)

Traits ini berfungsi untuk mengintegrasikan kebiasaan, sikap, dan keterampilan kepada pola-pola berpikir, merasa, dan bertindak. Sementara konsep diri berfungsi untuk mengintegrasikan kapasitas-kapasitas psikologis dan prakarsa-prakarsa kegiatan.

Traits dapat diartikan sebagai aspek atau dimensi kepribadian yang terkait dengan karakteristik respon atau reaksi seseorang yang relatif konsisten (ajeg) dalam rangka menyesuaikan dirinya secara khas. Dapat diartikan juga sebagai kecenderungan yang dipelajari untuk mereaksi rangsangan dari lingkungan.

Deskripsi dan definisi traits di atas menggambarkan bahwa traits

merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dipelajari untuk (a) mengevaluasi situasi dan (b) mereaksi situasi dengan cara-cara tertentu.

Setiap traits mempunyai tiga karakteristik: (a) Uniqueness, kekhasan dalam berperilaku, (b) likeableness, yaitu bahwa trait itu ada yang

Pengalaman keyakinan beragama

Efek Media Massa

Tuntutan Sekolah Ekspektasi

orang tua

Kematanga n Biologis

Dinamika dalam

keluarga KondisiFisik

Status sosial ekonomi keluarga

Self Conce


(29)

disenangi (liked) dan ada yang tidak disenangi (disliked), sebab traits itu berkontribusi kepada keharmonisan atau ketidakharmonisan, kepuasan atau ketidakpuasan orang yang mempunyai traits tersebut. Traits yang disenangi seperti: jujur, murah hati, sabar, kasih sayang, peduli, dan bertanggung jawab. Sedangkan yang tidak disenangi seperti: egois, tidak sopan, ceroboh, pendendam, dan kejam/bengis. Sikap seseorang terhadap traits ini merupakan hasil belajar dari lingkungan sosialnya; dan (c) consistency, artinya bahwa seseorang itu diharapkan dapat berperilaku atau bertindak secara ajeg.

Sama halnya dengan “self-concept”, “traits” pun dalam perkem-bangannya dipengaruhi oleh faktor hereditas dan belajar. Faktor yang paling mempengaruhi adalah (a) pola asuh orang tua, dan (b) imitasi anak terhadap orang yang menjadi idolanya. Beberapa trait dipelajari secara “trial dan error”, artinya belajar anak lebih bersifat kebetulan, seperti perilaku agresif dalam mereaksi frustasi. Contohnya: anak menangis sambil membanting pintu kamarnya, gara-gara tidak dibelikan mainan yang diinginkannya. Apabila dengan perbuatan agresifnya itu, orang tua akhirnya membelikan mainan yang diinginkan anak, maka anak cenderung akan mengulangi perbuatan tersebut. Demikian terjadi pada orang dewasa bersikap kurang percaya kepada orang lain sehingga menunjukkan perilaku suka protes seperti “unjuk rasa” sambil berperilaku brutal terhadap ketidakpuasan manajerial perusahaan atau menuntut kenaikan gaji kepada perusahaan. Para pengunjuk rasa melakukan aksi protes dengan cara brutal tersebut apabila pada akhirnya dipenuhi oleh perusahaan maka cara-cara protes demikian akan diulang-ulang untuk mengintimidasi para pengambil kebijakan.

Anak juga belajar (memahami) bahwa traits atau sifat-sifat dasar tertentu sangat dihargai (dijunjung tinggi) oleh semua kelompok budaya secara universal, seperti: kejujuran, respek terhadap hak-hak orang lain, disiplin, tanggung jawab, dan sikap apresiatif.


(30)

D. Perubahan Kepribadian

Meskipun kepribadian seseorang itu relatif konstan, namun dalam kenyataan sering ditemukan bahwa perubahan kepribadian itu dapat dan mungkin terjadi. Perubahan itu terjadi dipengaruhi oleh faktor gangguan fisik dan lingkungan.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kepribadian di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Faktor Fisik, seperti: gangguan otak, kurang gizi (malnutrisi) mengkonsumsi obat-obat terlarang (NAPZA atau NARKOBA), minuman keras, dan gangguan organik (sakit atau kecelakaan).

2. Faktor Lingkungan Sosial Budaya, seperti: krisis politik, ekonomi, moral, dan keamanan dapat menyebabkan terjadinya masalah pribadi (stress, depresi) dan masalah sosial (pengangguran, premanisme, dan kriminalitas).

3. Faktor Diri Sendiri, seperti: tekanan emosional (frustasi yang berkepanjangan), dan identifikasi atau imitasi tehadap orang lain yang berkepribadian menyimpang.

Secara garis besar, faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian, yaitu: hereditas (genetika) dan lingkungan (environment).

1. Faktor Genetika (Pembawaan)

Perpaduan bawaan ayah dan ibu baik fisik maupun psikis akan menentukan potensi-potensi hereditas anak. Beberapa riset tentang perkembangan pranatal (sebelum kelahiran atau masa dalam kandungan) menunjukkan bahwa kemampuan menyesuaikan diri terhadap kehidupan setelah kelahiran (post natal) bersumber pada saat konsepsi.


(31)

Pada saat dalam kandungan dipandang sebagai masa (periode) kritis perkembangan kepribadian, sebab bukan saja sebagai masa pembentukan pola-pola kepribadian, tetapi juga sebagai masa pembentukan kemampuan-kemampuan yang menentukan jenis penyesuaian individu terhadap kehidupan setelah kelahiran.

Pengaruh pewarisan orang tua terhadap kepribadian, sebenarnya tidak secara langsung, karena yang dipengaruhi genetikan secara langsung adalah (a) kualitas sistem syarat, (b) keseimbangan biokimia tubuh, dan (c) struktur tubuh.

Lebih lanjut ditemukenali bahwa fungsi hereditas kaitannya dengan perkembangan kepribadian adalah: (a) sebagai sumber bahan mentah (raw materials) kepribadian seperti: fisik, inteligensi, dan temperamen dan (b) membatasi kondisi lingkungannya sangat kondusif, perkembangan kepribadian (sekalipun perkembangan kepribadian itu tidak dapat melebihi kapasitas atau potensi hereditas) dan mempengaruhi keunikan kepribadian.

Sebagaimana dikemukakan oleh Cattel, dkk. bahwa kemampuan belajar dan penyesuaian diri individu dibatasi oleh sifat-sifat yang inheren dalam organisme individu itu sendiri. Misalnya fisik (perawakan, energi, kekuatan, dan kemenarikan) dan kapasitas intelektual (cerdas, normal, atau terbelakang). Walaupun begitu, batas-batas perkembangan kepribadian, bagaimanapun lebih besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Misalnya, seorang anak laki-laki yang tubuhnya kurus, ia akan mengembangkan konsep diri yang kurang nyaman (negatif), bila ia berkembang dalam lingkungan sosial yang sangat menghargai nilai-nilai keberhasilan atletik dan merendahkan kesuksesan dalam bidang lain yang diperolehnya. Demikian seorang anak perempuan yang wajahnya kurang menarik, ia akan merasa rendah diri bila berada di lingkungan keluarga


(32)

atau lingkungan sosial yang sangat menghargai perempuan dari segi kecantikannya.

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa hereditas mempengaruhi konsep diri individu sebagai dasar individualitasnya (keunikannya) sehingga tidak ada dua orang yang mempunyai pola-pola kepribadian yang sama, sekalipun kembar identik. Menurut C.S. Hall, dimensi-dimensi temperamen: emosionalitas, aktivitas, agresivitas, dan reaktivitas bersumber dari gen demikian halnya dengan inteligensi.

Berikut ini studi tetang pengaruh hereditas terhadap kepribadian yang dilakukan oleh Pervin (dalam Yusuf, 2002). Keragaman konstitusi (postur) tubuh, bahwa karakteristik fisik berhubungan dengan kepribadian. Hippocrates meyakini bahwa temperamen manusia dapt dijelaskan berdasarkan cairan-cairan tubuhnya. Kretschemer mengklasifikasikan postur tubuh individu pada tiga tipe utama,dan satu tipe campuran.

Tipe Piknis (stenis): pendek, gemuk, perut besar, dada dan bahunya bulat. Tipe Asthenis (leptosom): tinggi dan ramping, perut kecil, dan bahu sempit. Tipe Atletik: postur tubuhnya harmonis (tegap, bahu lebar, perut kuat, otot kuat). Tipe Displastis: tipe penyimpangan dari ketiga bentuk di atas

Tipe-tipe tersebut berkaitan dengan: (a) gangguan mental, seperti tipe piknis berhubungan dengan manik depresif dan asthenis dengan schizophrenia, dan (b) karakteristik individu yang normal seperti tipe piknis mempunyai sifat-sifat: bersahabat dan tenang sedangkan asthenis bersifat serius, tenang, dan senang menyendiri.

Sebagaimana Sheldon telah mengklasifikasikan postur tubuh manusia adalah: endomorphy, mesomorphy, dan ectomorphy. Klasifikasi ini didasarkan pada hasil pengukuran terhadap aspek-aspek struktural individu yang diambil dari 4000 foto pria telanjang dari posisi depan, belakang, dan samping. Dalam mengembangkan skema untuk mengukur


(33)

temperamen Sheldon menyusun 650 sifat-sifat menjadi 50 sifat dipilih sebagai dasar penilaian terhadap 33 orang pria yang diwawancarai secara intensif. Hasilnya ia mengkategorikan 3 temperamen, yaitu: viscerotonia, somatotonia, dan cerebrotonia.

Tabel 2.1 Tipologi Temperamen Oleh Sheldon

SOMATOTIPE TEMPERAMEN SIFAT-SIFAT

1. Endomorp= piknis (pendek, gemuk)

viscerotonia Tenang, pandai bergaul, senang bercinta, gemar makan, tidur nyenyak

2. Mesomorp= atletik (tubuh harmonis)

somatotonia Aktif, asertif, kompetetif, teguh, dan agresif

3. Ectomorp= astenis (tinggi, kurus)

cerebrotonia Introvert (senang menyendiri), menahan diri, peragu, kurang berani bergaul dengan orang banyak, (sociophobia), kurang berani berbicara di depan orang banyak Tabel 2.2 Tipologi Temperamen Oleh Galenius

TEMPERAMEN SIFAT-SIFAT

1. Sanguinis a. Sifat dasar: periang, optimis, percaya diri

b. Sifat perasannya: mudah menyesuaikan diri, tidak stabil, baik hati, tidak serius, kurang dapat dipercaya karena kurang begitu konsekuen

2. Melankolis a. Sifat dasar: pemurung, sedih, pesimistis, kurang percaya diri

b. Sifat lainnya: merasa tertekan dengan masa lalunya, sulit menyesuaikan diri, berhati-hati, konsekuen, dan suka menepati janji

3. Koleris a. Sifat dasar: selalu merasa kurang puas, bereaksi negatif, dan agresif


(34)

tidak sabaran, tidak toleran, kurang memiliki rasa homor, cenderung beroposisi, dan banyak inisiatif (usaha)

4. Plegmatis a. Sifat dasar: pendiam, tenang, netral (tidak ada aura perasaan), stabil

b. Sifat lainnya: merasa cukup puas, tidak peduli (acuh tak acuh), dingin hati (tidak mudah haru), pasif, tidak mempunyai banyak minat, bersifat lambat, sangat hemat, dan tertib/teratur

2. Faktor Lingkungan (environment)

Faktor lingkungan mempengaruhi kepribadian adalah: keluarga, kebudayaan, dan sekolah.

a. Keluarga

Keluarga dipandang sebagai faktor penentu utama terhadap kepribadian anak. Alasannya adalah (1) keluarga merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat identifikasi anak, (2) anak banyakmenghabiskan waktunya di lingkungan keluarga, dan (3) para anggota keluarga merupakan “significant others” bagi pembentukan kepribadian anak.

Keluarga dipandang sebagai suatu lembaga atau unit yang dapat memenuhi kebutuhan individu, terutama kebutuhan pengembangkan kepribadian dan pengembangan ras manusia. Melalui perlakuan dan pengasuhan yang baik oleh orangtua anak dapat memenuhi kebutuhannya, baik fisik-biologis, maupun sosio-psikologisnya. Jika anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, maka dia cenderung berkembang menjadi seorang pribadi yang sehat.


(35)

Perlakuan orangtua dengan penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan baik agama maupun sosial-budaya merupakan faktor kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan warga masyarakat yang sehat dan produktif.

Iklim keluarga sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis dan agamis yaitu yang dapat memberikan curahan kasih sayang, perhatian, dan bimbingan dalam beragama, maka perkembangan kepribadian anak cenderung positif, sehat (welladjusted). Sebaliknya anak yang dibawa pengasuhan lingkungan keluarga broken home, kurang harmonis, orangtua bersikap keras, kurang memperhatikan nilai-nilai agama, maka perkembangan kepribadiannya cenderung mengalami distorsi atau mengalami kelainan dalam menyesuaikan diri (maladjusted).

Dorothy Law Nolte (Hurlock, 1978: Yusuf, 2002), menggambarkan pengaruh keluarga terhadap perkembangan kepribadian anak sebagai berikut:

“Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki”

“Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi” “Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri” “Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri” “Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri” “Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri” “Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai”

“Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakukan, ia belajar keadilan”

“Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya”

“Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang, ia belajar menemukan cinta”


(36)

Demikian Baldwin, dkk (Yusuf, 2002) mengemukakan temuan penelitiannya bahwa anak yang dikembangkan dalam iklim pengasuhan demokratis, maka ia cenderung memiliki kepribadian lebih aktif, lebih bersikap sosial, lebih memiliki harga diri (percaya diri), lebih memiliki keinginan dalam bidang intelektual, lebih orisinil, dan lebih konstruktif dibandingkan dengan anak yang dibesarkan dalam iklim otoriter.

Schaefer (Yusuf, 2002) mengkombinasikan pola tingkah laku ibu terhadap anak antara love (cinta kasih sayang) atau hostility

(permusuhan), dan control atau autonomy. Kombinasi pola perlakuan ibu digambarkan bagian berikut:

Gambar 2.2 Pola Tingkah Laku b. Kebudayaan

Kluckhohn berpendapat bahwa “kebudayaan meregulasi kehidupan kita sejak lahir sampai mati, baik disadari maupun tidak yang mempengaruhi kita untuk mengikuti pola-pola perilaku tertentu yang telah dibuat orang lain untuk kita”.


(37)

Pola-pola perilaku yang sudah terkembangkan dalam masyarakat (bangsa) tertentu (seperti bentuk adat istiadat) sangat memungkinkan mereka untuk memiliki karakteristik kepribadian tertentu yang sama. Kesamaan karakteristik ini mendorong berkembangnya konsep kepribadian dasar (Kardiner: Yusuf, 2002) dan karakter nasional atau bangsa (Gorer: Yusuf, 2002).

Berikut contoh tipe kepribadian suku Indiana Maya dan Alorese. Suku Indiana memiliki karakteristik: rajin, kurang peka terhadap penderitaan, fatalistik, tidak takut mati, independen namun tidak kompetitif, tidak demonstratif dalam mengekspresikan perasaan, dan jujur. Sementara suku Alorese berkarakteristik: cemas, curiga, kurang percaya diri, kurang berminat ke dunia luar, sangat membutuhkan dorongan kasih sayang, kurang memiliki dorongan untuk mengembangkan keterampilan, dan suka mengkompensasi perasaan rendah dirinya dengan membuat dan membangga-banggakan diri.

Setiap bangsa di dunia memiliki kepribadian dasar yang relatif berbeda, sebagaimana bangsa Indonesia memiliki kepribadian dasar: religius, ramah, kurang disiplin, bangsa Jepang: ulet, kreatif, dan disiplin; dan bangsa Amerika: optimis, perspektif, disiplin, ulet dalam menyelesaikan sesuatu, namun individualistik.

Pentingnya peranan kebudayaan terhadap perkembangan kepribadian seseorang tergantung pada tiga prinsip di antaranya: (a) pengalaman awal dalam kehidupan dalam keluarga, (b) pola asuh orangtua terhadap anak, dan (c) pengalaman awal dalam kehidupan anak dalam masyarakat. Jika anak-anak memiliki pengalaman awal kehidupan yang sama dalam suatu masyarakat maka mereka cenderung akan memiliki karakteristik kepribadian yang sama pula. c. Sekolah


(38)

Lingkungan sekolah dapat mempengaruhi kepribadian anak. Faktor yang dipandang berpengaruh itu di antaranya adalah:

1) Iklim emosional kelas

Suasana kelas yang sehat (guru yang ramah, respek antar siswa) memberi dampak posif bagi perkembangan psikis anak, mereka menjadi aman, nyaman, bahagia, mau bekerjasama, termotivasi untuk belajar, mau mentaati peraturan. Sebaliknya kelas yang tidak sejuk (guru bersikap otoriter, tidak menghargai siswa) berdampak kurang baik bagi perkembangan anak, mereka merasa tegang, nervous, mudah marah, malas belajar, berperilaku mengganggu di kelas, tidak tertib.

2) Sikap dan perilaku guru

Sikap dan perilaku guru tercermin dalam hubungannya dengan siswa (human relationship). Hubungan guru-siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: strerotip budaya terhadap guru (pribadi dan profesi), positif atau negatif, sikap dan pola pembimbingan guru terhadap siswa, metode mengajar, penegakan disiplin di kelas, dan penyesuaian pribadi guru. Sikap dan perilaku guru secara langsung mempengaruhi “ self-concept” siswa, melalui sikap-sikapnya terhadap tugas akademik (kesungguhan dalam mengajar), kedisiplinan dalam mentaati peraturan sekolah, dan perhatiannya terhadap siswa. Secara tidak langsung, pengaruh guru ini terkait dengan upayanya membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan penyesuaian sosialnya.

3) Disiplin

Penegakan tata tertib di lingkungan sekolah akan membentuk sikap dan tingkah laku siswa. Disiplin yang kaku


(39)

akan mengembangkan sifat-sifat pribadi siswa yang tegang,

nervous, dan antagonistik. Disiplin yang bebas, cenderung membentuk sifat siswa yang kurang bertanggungjawab, kurang menghargai otoritas, dan egosentris. Sementara disiplin yang demokratis, cenderung mengembangkan perasaan berharga, merasa bahagia, perasaan tenang, dan sikap bekerjasama.

4) Prestasi Belajar

Pencapaian prestasi belajar atau peringkat kelas mempengaruhi peningkatan harga diri dan sikap percaya diri siswa

5) Penerimaan Teman Sebaya

Siswa yang diterima oleh teman-temannya, ia akan mengembangkan sikap positif terhadap dirinya, dan juga orang lain. Ia merasa menjadi orang yang berharga.

E. Karakteristik Kepribadian

Salah satu kata kunci dan definisi kepribadian adalah “penyesuaian (adjustment)”. Menurut Alexander A. Schneiders (1964), penyesuaian itu dapat diartikan sebagai “Suatu proses respon individu, baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, tegangan emosional, frustasi dan konflik; dan memelihara keharmonisan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan”.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan atau memecahkan masalah yang dihadapi, ternyata tidak semua individu mampu menampilkannya secara wajar, normal atau sehat (well adjustment); di antara mereka banyak juga yang mengalaminya secara tidak sehat (maladjustment).


(40)

E.B. Hurlock (1987) mengemukakan bahwa penyesuaian yang sehat atau kepribadian yang sehat (healty personality) ditandai dengan karakteristik sebagai berikut.

1. Mampu menilai diri secara realistik. Individu yang berkepribadian sehat mampu menilai dirinya sebagaimana apa adanya, baik kelebihan maupun kekurangan atau kelemahannya, yang menyangkut fisik (postur tubuh, wajah, keutuhan, dan kesehatan) dan kemampuan (kecerdasan, dan keterampilan).

2. Mampu menilai situasi secara realistik. Individu dapat menghadapi situasi atau kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistik dan mau menerimanya secara wajar. Dia tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai suatu yang harus sempurna.

3. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik. Individu dapat menilai prestasinya (keberhasilan yang diperolehnya) secara realistik dan mereaksinya secara rasional. Dia tidak menjadi sombong, angkuh atau mengalami “ superiority complex”, apabila memperoleh prestasi yang tinggi atau kesuksesan dalam hidupnya. Apabila mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan frustasi, tetapi dengan sikap optimistik (penuh harapan).

4. Menerima tanggung jawab. Individu yang sehat adalah individu yang bertanggung jawab. Dia mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.

5. Kemandirian (autonomy). Individu memiliki sifat mandiri dalam berpikir dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.


(41)

6. Dapat mengontrol emosi. Individu merasa nyaman dengan emosinya. Dia dapat menghadapi situasi frustasi, depresi atau stress secara positif atau konstruktif, tidak destruktif (merusak).

7. Berorientasi tujuan. Setiap orang memiliki tujuan yang ingin dicapainya. Namun, dalam merumuskan tujuan itu ada yang realistik ada yang tidak realistik. Individu yang sehat kepribadiannya dapat merumuskan tujuannya berdasarkan pertimbangan secara matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar. Dia berupaya untuk mencapai tujuan tersebut dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan, perilaku) dan keterampilan.

8. Berorientasi keluar. Individu yang sehat memiliki orientasi keluar (ekstrovert). Dia bersifat respect, empati terhadap orang lain mempunyai kepedulian terhadap situasi, atau masalah-masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berpikirnya. Barret Leonard mengemukakan sifat-sifat individu yang berorientasi keluar, yaitu (a) menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya sendiri; (b) merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain; (c) tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan tidak mengorbankan orang lain karena kekecewaan dirinya. 9. Penerimaan sosial. Individu dinilai positif oleh orang lain, mau

berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial, dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.

10. Memiliki filsafat hidup. Dia mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup yang berakar dari agama, keyakinan, way of life yang dianutnya.

11. Berbahagia. Individu yang sehat, situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan. Kebahagiaan ini didukung oleh faktor-faktor


(42)

orang lain), dan affection (perasaan dicintai atau disayangi orang lain).

Berikut ini karakteristik kepribadian yang tidak sehat: 1. Mudah marah (tersinggung), panik

2. Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan berlebihan 3. Sering merasa tertekan (stres dan dipresi)

4. Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang umurnya lebih muda atau terhadap binatang (sikap intimidasi)

5. Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang sekalipun sudah diperingatkan atau dihukum

6. Mempunyai kebiasaan berbohong, berdusta 7. Hiperaktif

8. Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas 9. Senang mengkritik/mencemooh orang lain 10. Sulit tidur

11. Kurang memiliki rasa tanggung jawab

12. Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan bersifat fisiologis)

13. Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama 14. Bersikap pesimis dalam menghadapi kehidupan

15. Kurang bergairan dalam kehidupan (“loyo”)

Kelainan perilaku di atas berkembang bilamana anak hidup dalam lingkungan yang tidak kondusif dalam perkembangannya. Misalnya, lingkungan


(43)

keluarga yang kurang berfungsi (disfunctional family) bercirikan “broken home”, hubungan antar anggota keluarga kurang harmonis, kurang menjunjung nilai-nilai agama, orangtua bersikap keras atau kurang memberikan perhatian dengan kasih sayang kepada putra-putrinya.

Berkembangnya kelainan kepribadian pada umumnya disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang baik, maka upaya pencegahan sebaiknya dilakukan oleh pihak keluarga, sekolah, dan pemerintah bekerja sama untuk menciptakan iklim lingkungan yang memfasilitasi atau memberikan kemudahan kepada anak untuk mengembangkan potensi atau tugas-tugas perkembangannya secara optimal, baik menyangkut fisik, psikis, sosial, dan moral-spiritual.

F. Aplikasi Psikologi Kepribadian

Teori psikologi kepribadian sebagaimana disebut diatas aplikasinya dalam bidang organisasi, leadership, pendidikan, konseling dan psikoterapi adalah:

1. Psikologi Organisasi

Seting organisasi di lingkungan industri dan lingkungan sekolah, rumah sakit, militer dan olah raga. Psikologi kepribadian berusaha untuk memperoleh keseimbangan antara keefektifan organisasi dengan kepuasan anggotanya, membantu pemecahan problem anggota dan motivasi kelompok. Pakar kepribadian banyak mengaplikasikan perspektif lingkungan yang menekankan saling ketergantungan antara individu dengan organisasi. Aplikasi psikologi organisasi di dunia persekolahan dibutuhkan kehadiran pemimpin yang berpotensi mengayomi anggota, berperilaku jujur, kasih sayang kepada sesama, perhatian, terbuka, disiplin, bertanggungjawab, kreatif, menantang terhadap peluang perkembangan, dan sebagainya.


(44)

Senada dengan psikologi klinik, psikologi konseling menangani gangguan tingkah laku yang ringan, penderita masih dapat melakukan tugas sehari-hari dengan baik, bekerja dan atau berkomunikasi layaknya orang normal. Konselor memberi bantuan kepada konseli memilih jurusan dan karir masa depan, menangani hambatan penyesuaian dalam kaitannya dengan belajar, sosial, pekerjaan, perkawinan, dan kondisi fisik.

3. Psikologi Pendidikan

Psikologi kepribadian membantu mengembangkan kepribadian guru, mengenali kepribadian peserta didik dan memanfaatkannya untuk mengoptimalkan prestasi pendidikan, melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kebutuhan sekolah dengan tuntutan masyarakat.

G. Evaluasi

1. Refleksi Diri

Setelah mengkaji latar psikologi kepribadian, pola-pola kepribadian, faktor pembentuk kepribadian, karakteristik kepribadian, dan aplikasinya maka peserta diharapkan merefleksi pengalaman diri dalam kehidupan dan kinerja profesionalitasnya untuk menyelesaikan tugas berikut:

1. Menemukan instisari kepribadian menurut pemahaman bahasa sendiri!

2. Kenalilah karakter/watak/temperamen/trait pribadi anda yang positif dan negatif!

3. Kenalilah faktor penyebab pembetukan pribadi positif dan/atau negatif anda!

4. Kenalilah karakter pribadi anda yang cocok menggambarkan profil manajer pendidikan di SMA/MA!


(45)

2. Latihan Gambaran Diri

Hasil refleksi diri digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan diri dalam latihan berikut:

Tujuan latihan adalah mengenali profil diri menurut pandangan diri sendiri dan penilaian orang lain.

Latihan Dalam Kelompok

1. Bentuklah kelompok kecil 5-6 orang

2. Tugas setiap peserta mengumpulkan

karakter/watak/temperamen/trait anda menurut penilaian teman-teman sebanyak 25 yang berbeda dalam waktu 5 menit. Ambil selembar kertas dan balpoin, catatlah karakter anda menurut teman.

3. Cocokkan hasil penilaian teman dengan penilaian diri anda 4. Temukan berapa banyak karakter/watak/temperamen/trait yang

sama dan berbeda nilai antara diri dan penilaian teman.

5. Interpretasikan temuan pada nomor 4. Caranya mengelompokkan penilaian yang sama dan penilaian yang berbeda. Selanjutnya simpulkan sendiri bahwa anda cenderung berkepribadian seperti apa!


(46)

BAB III

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: PSIKOANALITIK

A. Paradigma Psikoanalitik Carl Gustav Jung

Ada beberapa tokoh Psikoanalitik di antaranta Carl Gustav Jung. Jung pada mulanya seorang pengikut setia Freud, namun kemudian mempunyai beberapa pandangan penting yang berbeda. Pertama, Jung menolak pandangan Freud mengenai pentingnya seksualitas. Menurutnya, kebutuhan seks setara dengan kebutuhan manusia lainnya, seperti makan, kebutuhan spiritual, dan pengalaman religius.

Kedua, Jung menentang pandangan mekanistik terhadap dunia dalam dari Freud; bagi Jung tingkah laku manusia dipicu bukan hanya oleh masa lalu tetapi juga oleh padangan orang mengenai masa depan, tujuan dan aspirasinya. Pandangan Jung bersifat purposive-mechanistic; event masa lalu dan antisipasi masa depan dapat mempengaruhi atau membentuk tingkah laku. Freud memandang kehidupan sebagai usaha memusnahkan atau menekan kebutuhan insting yang terus menerus timbul, sedang Jung memandang kehidupan sebagai perkembangan yang kreatif.

Ketiga, Jung mengumakakan teori kepribadian yang bersifat racial atau

phylogenis (Filogenik: evolusi genetika yang berkait dengan sekelompok makhluk hidup). Asal muasal kepribadian secara filogenik berada pada garis keturunan, melalui jejak ingatan dari pengalaman masa lalu ras manusia). Dasar kepribadian bersifat persona, earth mother, child, wise old man, dan anima, semuanya menjadi predisposisi bagaimana orang menerima dan merespon dunia.


(47)

B. Struktur Kepribadian C.G Jung

Kepribadian atau psyche adalah mencakup keseluruhan pikiran, perasaan dan tingkah laku, kesadaran dan ketidak sadaran. Kepribadian membimbing orang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Sejak awal kehidupan, kepribadian adalah kesatuan atau berpotensi membentuk kesatuan. Ketika mengembangkan kepribadian, orang harus berusaha mempertahankan kesatuan dan harmoni antar semua elemen kepribadian.

Kepribadian disusun oleh sejumlah sistem yang beroperasi dalam tiga tingkat kesadaran; ego beroperasi pada tingkat sadar, kompleks beroperasi pada tingkat tak sadar pribadi, dan arkhetip beroperasi pada tingkat tak sadar kolektif. Di samping sistem-sistem yang terikat dengan daerah operasinya masing-masing, terdapat sikap (introvers-ekstravers) dan fungsi (pikiran-perasaan-persepsi-intuisi) yang beroperasi pada semua tingkat kesadaran. Ada juga self yang menjadi pusat kepribadian. Struktur kepribadaian Jung digambarkan pada Gambar berikut.


(48)

1. Kesadaran (Consciusness) dan Ego

Consciusness muncul pada awal kehidupan, bahkan mungkin sebelum dilahirkan. Secara berangsur kesadaran bayi yang umum-kasar, menjadi semakin spesifik ketika bayi itu mulai mengenal manusia dan objek di sekitarnya. Menurut Jung, hasil pertama dari proses diferensiasi kesadaran itu adalah ego. Sebagai organisasi kesadaran ego berperan penting dalam menentukan persepsi, pikiran, perasaan, dan ingatan yang bisa masuk ke kesadaran. Tanpa seleksi ego, jiwa manusia bisa menjadi kacau karena terbanjiri oleh pengalaman yang semua bebas masuk ke kesadaran. Dengan menyaring pengalaman, ego berusaha memelihara keutuhan dalam kepribadian dan memberi orang perasaan kontinuitas dan identitas.

2. Tak Sadar Pribadi (Personal Unconsciuous) dan Kompleks (Complexes)

Pengalaman yang tidak disetujui ego untuk muncul ke sadar tidak hilang, tetapi disimpan daam personal unconscious (tak sadar pribadi mirip dengan prasadar dari Freud), sehingga tak sadar pribadi berisi pengalaman yang ditekan, dilupakan, dan yang gagal menimbulkan kesan sadar. Bagian terbesar dari isi tak sadar pribadi mudah dimunculkan ke kesadaran, yakni ingatan siap yang sewaktu-waktu dapat dimunculkan ke kesadaran.

Di dalam tak sadar pribadi, sekelompok idea (perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, persepsi-persepsi, ingatan-ingatan) mungkin mengorganisir diri menjadi satu, di sebut complexes. Jung menemukan kompleks ini melalui risetnya dalam asosiasi kata. Sering terjadi orang kesulitan dalam ketidaksadaran pribadi berhubungan dengan organisasi pikiran-perasaan-ingatan yang bermuatan emosi yang kuat. Kata apapun yang menyentuh organisasi itu akan menghasilkan respon yang tidak wajar (misalnya respon membutuhkan waktu yang lama sebelum muncul).


(49)

Istilah Kompleks telah menjadi bahasa sehari-hari. Orang dikatakan mempeunyai komplek kalau orang itu jenuh (preoccupied) dengan sesuatu yang mempengaruhi hampir semua tingkah lakunya, sampai-sampai dikatakan oleh Jung, bukan orang itu yang memiliki kompleks, tetapi komplekslah yang memiliki orang itu. Kompleks mempunyai inti, yaitu inti kompleks yang bertindak sebagai magnet menarik atau mengkonsentrasikan berbagai pengalaman kearahnya, sehingga inti itu dipakai untuk menamai kompleks itu. Inti dan unsur yang terkait dengannya bersifat tak sadar, tetapi kaitan-kaitan tersebut dapat dan sering menjadi sadar.

Misalnya, pegawai atau guru baru di sekolah memiliki kompleks inverior, dia terobsesi dengan penilaian bahwa dirinya kurang berkemampuan, kurang berbakat, kurang menarik, dibanding orang lain. Dia yakin (sadar) bahwa inverioritasnya akibat dari prestasi buruknya di sekolah atau di tempat kerja, hanya mempunyai sedikit teman, dan tidak mampu mengemukakan kemauan dan keinginannya. Orang yang mengidap kompleks pemimpin, maka pikiran, perasaan dan perbuatannya dituntun oleh konsepsi tentang pemimpin-profesionalitas, otoritas, kesuksesan seorang pemimpin. Napoleon terobsesi oleh kekuasaan yang membuatnya mampu mendirikan kekaisaran, Tolstoy terobsesi oleh kesederhanaan, dam Michael Angelo terobsesi oleh keindahan.

Mula-mula, Jung berpendapat bahwa pengalaman masa kecil memicu berkembangnya suatu kompleks. Namun sesudah menganalisis bagaimana pengalaman masa kecil itu dapat menimbulkan kekuatan yang sangat besar, Jung menemukan faktor pendukung timbulnya kompleks di dalam tingkat kesadaran yang paling dalam, yaitu tak sadar kolektif.

3. Tak Sadar Kolektif (Collective Unconscious)

Tak sadar kolektif di sebut juga transpersonal unconscious, konsep asli Jung yang paling kontroversial; suatu sistem psikis yang paling kuat


(50)

dan paling berpengaruh, dan pada kasus-kasus patologik mengungguli ego dan ketidaksadaran pribadi. Menurut Jung, evolusi makhluk (manusia) memberi blue-print bukan hanya mengenai fisik atau tubuh tetapi juga mengenai kepribadian. Tak sadar kolektif adalah gudang ingatan laten yang diwariskan oleh leluhur, baik leluhur dalam wujud manusia maupun leluhur pramanusia atau binatang (ingat teori evolusi Darwin). Ingatan yang diwariskan adalah pengalaman-pengalaman umum yang terus menerus berulang lintas generasi. Namun yang diwariskan itu bukanlah memori atau pikiran yang spesifik, tetapi lebih sebagai predisposisi (kecenderungan untuk bertindak) atau potensi untuk memikirkan sesuatu. Adanya predisposisi membuat orang menjadi peka, dan mudah membentuk kecenderngan tertentu, walaupun tetap membutuhkan pengalaman dan belajar. Manusia lahir dengan potensi kemampuan mengamati tiga dimensi, dan kemampuan itu baru diperoleh sesudah manusia belajar melalui pengalamannya. Proses yang sama terjadi pada kecenderungan rasa takut pada ular dan kegelapan, menyayangi anak, serta keyakinan adanya Tuhan.

Tak sadar kolektif merupakan fondasi ras yang diwariskan dalam keseluruhan struktur kepribadian. Di atasnya dibangun ego, tak sadar pribadi, dan pengalaman individu. Jadi apa yang dipelajari dari pengalaman secara substansial dipengaruhi oleh tak sadar kolektif yang menyeleksi dan mengarahkan tingkah laku sejak bayi. Bentuk dunia yang dilahirkan telah dihadirkan dalam dirinya, dan gambaran yang ada di dalam itu mempengaruhi pilihan-pilihan pengalaman secara tak sadar. Tak sadar pribadi dan tak sadar kolektif sangat membantu manusia dalam menyimpan semua yang telah dilupakan atau diabaikan, dan semua kebijakan dan pengalaman sepanjang sejarah. Mengabaikan tak sadar dapat merusak ego, karena delusi dan sipmtom gangguan psikologik. Isi utama dari tak sadar kolektif adalah arsetip, yang dapat muncul ke kesadaran dalam wujud simbolisasi. Sebagaimana digambarkan pada Struktur Kepribadian menurut Jung.


(51)

4. Arsetip (Archetype)

Tak sadar kolektif berisi image dan bentuk pikiran yang banyaknya tak terbatas tetapi Jung memusatkan diri pada image dan bentuk pikirian yang muatan emosinya besar, yang dinamakannya archetype (dinamakan juga dominan, primordial image, imago, mitologic image, atau pola tingkah laku). Seperti gambaran primordial lainnya, arsetip adalah bentuk tanpa isi, mewakili atau melambangkan peluang munculnya jenis persepsi dan aksi tertentu. Mereka memiliki kekuatan yang sangat besar, kekuatan pengalaman manusia yang berusia ribuan tahun.

Arkhetip yang muncul pada pengalaman awal manusia membentuk pusat kompleks yang mampu menyerap pengalaman lain kepadanya. Arkhetip “kekuatan” misalnya; sepanjang sejarah manusia telah dihadapkan dengan kekuatan alam yang dahsyat, arus sungai, air terjun, banjir, badai, petir, kebakaran hutan, gempa bumi, tsunami, lapindo, dan lain-lain. Nenek moyang kita pada generasi manapun mengagumi kekuatan dan berkeinginan kuat untuk menciptakan dan mengontrol kekuatan. Sikap terhadap kekuatan lintas generasi itu akhirnya menjadi unsur yang ikut diturunkan dalam proses kelahiran, dalam bentuk arsetip kekuatan. Bayi yang baru lahir telah memiliki predisposisi untuk mengagumi kekuatan dan hasrat untuk menciptakan dan mengontrolnya. Arsetip ibu menghasilkan gambaran tentang ibu dalam tak sadar kolektif yang kemudian diidentifikasikan dengan ibu yang senyatanya. Dengan kata lain bayi mewarisi kosepsi mengenai ibu yang bersifat umum (yang sudah terbentuk ratusan generasi sebelumnya), yang akan ikut menentukan bagaimana bayi mempersepsikan ibunya. Jadi persepsi bayi kepada ibunya ditentukan oleh arsetip ibu dan pengalaman nyata bayi tersebut dengan ibunya. Kedua faktor itu berpadu secara harmonis, karena arsetip merupakan kumpulan pengalaman universal, yang cocok dipakai siapa saja.


(52)

Jung mengidentifikasi berbagai arsetip; lahir, kebangkitan (lahir kembali), kematian, kekuatan, magi, uniti, pahlawan, Tuhan, setan, orang bijak, ibu pertiwi, binatang, dll. Di antaranya yang paling penting dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku adalah; persona, anima-animus,

shadow, dan self. Keempat archetype ini telah berkembang jauh dan sering dipandang sebagai sistem terpisah dalam kepribadian:

Persona: topeng, wajah yang dipakai menghadapi publik. Itu mencerminkan persepsi masyarakat mengenai peran yang harus dimainkan seseorang dalam hidupnya. Itu juga mencerminkan harapan bagaimana seharusnya diri diamati orang lain. Persona adalah kepribadian publik, aspek-aspek pribadi yang ditunjukkan kepada dunia luar, atau pendapat publik mengenai diri individu- sebagai lawan dari kepribadian diri yang berada di balik wajah sosial.

Persona dibutuhkan untuk survival, membantu diri mengontrol perasaan, pikiran, dan tingkah laku. Tujuannya adalah menciptakan kesan tertentu kepada orang lain dan sering juga menyembunyikan hakekat pribadi yang sebenarnya. Namun manakala orang mengidentifikasi diri seutuhnya dengan personanya, itu akan membuat dirinya asing dengan dirinya sendiri dan dengan perasaan-perasaanya sendiri. Ia menjadi manusia palsu, sekedar pantulan masyarakat, bukan manusia yang otonom. (Dalam beberapa hal persona mirip dengan konsep super ego dari Freud).

Anima dan Animus: Manusia pada dasaranya biseks. Begitu pula dalam kepribadian, ada arsetip femini dalam kepribadian pria, disebut anima, dan arsetip maskulin dalam kepribadian wanita disebut animus. Arsetip itu merupakan produk pengalaman ras manusia. Sesudah mengalami hidup bersama berabad-abad, pria menjadi memiliki sifat feminin dan sebaliknya wanita menjadi memiliki sifat maskulin. Sifat-sifat itulah yang diturunkan dalam bentuk arsetip, anima dan animus. Karakter yang digambarkan oleh Jung itu mewujud pada perilaku Kepala Sekolah


(53)

atau Pemimpin berjenis kelamin perempuan menunjukkan arsetip maskulin di sebut animus, demikian terjadi bagi laki-laki yang berprofesi sebagai Koki cenderung berperilaku gambaran arsetip feminim di sebut anima.

Anima dan animus menyebabkan masing-masing jenis menunjukkan ciri lawan jenisnya, sekaligus berperan sebagai gambaran kolektif yang memotivasi masing-masing jenis untuk tertarik dan memahami lawan jenisnya. Pria memahami wanita berdasarkan animanya, dan wanita memahami kodrat pria berdasarkan animusnya. Namun identifikasi gambaran ideal anima dan animus tanpa menghiraukan perbedaannya dengan kenyataan, bisa menimbulkan kekecawaan karena keduanya tidak identik. Harus ada kompromi antara tuntunan tak sadar kolektif dengan realitas dunia, agar terjadi penyesuaian yang sehat.

Shadow: bayangan adalah arsetip yang mencerminkan insting kebinatangan yang diwarisi manusia dari evolusi makhluk tingkat rendahnya. Menurut Darwin manusia adalah evolusi dari binatang, dan sifat-sifat kebinatangan tetap ada dalam diri manusia, dalam wujud arsetip

shadow atau bayangan. Jadi bayangan adalah sisi binatang dalam kepribadian manusia, arsetip yang sangat kuat dan berpotensi menimbulkan bahaya. Namun karena bermuatan emosi yang kuat, spontanitas, dan dorongan kreatif, bayangan juga menjadi sumber penggerak kehidupan (ingat konsep ego ideal dari Freud).

Bayangan bila diprojeksikan keluar apa adanya akan menjadi iblis atau musuh. Bayangan juga mengakibatkan ke dalam kesadaran muncul pikiran-perasaan-tindakan yang tidak menyenangkan dan dicela masyarakat. Karena itu bayangan disembunyikan di balik persona, atau ditahan oleh tak sadar pribadi. Itulah sebabnya arsetip itu mempengaruhi tak sadar pribadi dan pada gilirannya juga akan mempengaruhi ego.

Apabila bayangan dan ego bekerja sama, kekuatan bayangan tersalur ke dalam tingkah laku yang berguna, dan dampaknya orang


(54)

menjalani hidup dengan penuh semangat. Tetapi jika bayangan tidak tersalur dengan baik, kekuatan bayangan menjadi agresi, kekejian yang merusak diri sendiri dan orang lain. Bayangan adalah insting dasar yang menuntun penyesuaian dengan realita berdasarkan pertimbangan untuk menyelamatkan diri (survival). Insting semacam itu sangat penting dalam situasi yang menuntut keputusan dan reaksi segera, karena bayangan dapat membuat tingkah laku dalam situasi bahaya tetap efektif. Sebaliknya apabila bayangan tidak dapat dimanfaatkan, atau direpress, pikiran sadar dari ego tidak mengambil keputusan dengan cepat, orang akan kebingungan ketika mengahadapi situasi bahaya sehingga tidak dapat bertindak.

Self: Konsep keutuhan dan kesatuan kepribadian dipandang sangat penting oleh Jung. Self adalah arsetip yang memotivasi perjuangan orang menuju keutuhan. Arsetip self menyatakan diri dalam berbagai simbol, seperti lingkaran magis atau mandala (simbol meditrasi Agama budha, mandala dalam bahasa sansekerta artinya lingkaran), dimana self menjadi pusat lingkaran itu. Bentuk mandala itu di dalamnya sering terdapat segi empat. Lingkaran menjadi simbol dari kesatuan-keutuhan, dan segi empat mempunyai banyak makna, bisa arah mata angin, bisa empat elemen dunia: api-air-tanah-angin.

Self menjadi pusat kepribadian, dikelilingi oleh semua sistem lainnya. Self mengarahkan proses individuasi, melalui self aspek kreativitas dalam ketidaksadaran diubah menjadi disadari dan disalurkan ke aktivitas produktif. Kalau digambarkan kesadaran dengan ego berada dipusatnya, dapat dibayangkan proses asimilasi isi-isi tak sadar ke dalam sadar membutuhkan pusat yang mengatur keduanya. Titik tengah-tengah antara sadar dan tak sadar itu menjadi tempat self, yang menyeimbangkan antara sadar dan tak sadar, yang menjamin kepribadian memiliki pondasi baru yang lebih kokoh.


(1)

LAMPIRAN 2 : GAMBARAN DIRI Pengantar

Latihan gambaran diri ini dimaksudkan untuk mengenal konsep diri seseorang, yaitu cara pandang seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep diri seseorang akan mempengaruhi perilaku dia sehari-hari dalam segala aspek kehidupannya, termasuk dalam aktivitas belajarnya.

Latihan gambaran diri kali ini dikhususkan bagi para peserta sebagai insan profesional. Tujuan latihan ini untuk membantu peserta dalam memperoleh gambaran dirinya, khususnya yang berkaitan dengan aktivitasnya.

Latihan 1 :

Latihan ini dilaksanakan dalam kelompok kecil (anggota kelompok 4-6 orang). Waktu yang diperlukan 10 menit.

Di bawah ini terdapat sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan kegiatan akademik dan diri Anda. Jawablah pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan spontan, beri penjelasan secara singkat dan jelas. Tulis jawaban Anda pada lembar kertas yang telah disediakan.

(1) Tujuan dalam bekerja.

— Apakan anda mempunyai tujuan tertentu yang dapat mengarahkan tugas anda?

— Apakah anda mempunyai suatu target dalam bekerja?

— Apakan tujuan anda sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat anda?


(2)

(2) Kesadaran atas realitas

— Apakah tujuan bekerja anda didasarkan pada kemampuan dan keadaan lingkungan anda atau berdasarkan bayangan yang tidak nyata?

— Apakan anda lebih suka merenung atau sebaliknya senang menyibukkan diri dalam melaksanakan tugas?

(3) Prestasi Kerja

— Di mana kedudukan/posisi anda dibandingkan dengan teman-teman anda?

— Apakah anda merasa puas dengan prestasi kerja yang anda peroleh saat ini? Mengapa?

— Adakah faktor yang mempengaruhi tugas anda? Sebutkan! — Adakah faktor yang menghambat tugas anda? Sebutkan! (4) Kondisi emosi

— Apakah anda cenderung bersikap hangat, dingin, apatis, berubah-ubah terhadap seseorang ataupun kejadian di sekeliling anda?

— Apakah anda merasa senang menekuni bidang karir anda sekarang ini atau sebaliknya?

— Apakan anda merasa PD (percaya diri)? Atau cenderung kurang percaya diri?

— Apakah anda menghargai diri anda sendiri?


(3)

(5) Kekhawatiran dan tekanan-tekanan

— Apakah anda sering merasa kesepian?

— Apakah anda mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota kelompok tertentu dan ingin diterima mereka?

— Apakah suasana hati anda mudah berubah-ubah?

— Apakah anda mempunyai rasa khawatir, takut bersalah atau tekanan-tekanan yang lain yang tak dapat diterangkan?

— Apakah anda mampu menghadapi kesulitan dan bahaya dengan jujur dan berbuat sesuatu untuk mengatasinya?

— Apakah anda cenderung menganggap segala sesuatu itu enteng dan bisa diatur serta menghindari situasi yang sulit?

(6) Sejauh mana Anda dapat mengarahkan diri?

— Dapatkah anda mengarahkan energi anda untuk melakukan sesuatu kegiatan yang sudah direncanakan?

— Apakah anda menyerah apabila menemui sebuah kesulitan atau hambatan?

— Apakah anda cenderung kaku dan tidak fleksibel?

Setelah anda selesai menjawab pertanyaan-pertanyaan anda di atas, lanjutkan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

(a) Dalam kegiatan profesional, seperti apakah saya sekarang ini? (b) Menurut orang lain seperti apakah saya ini?


(4)

Latihan 2 :

Setelah anda selesai menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, maka kegiatan berikutnya, setiap anggota kelompok mengemukakan dalam kelompoknya tentang gambaran dirinya (hasil latihan 1). Pada waktu seorang anggota kelompok mengemukakan gambaran dirinya, maka anggota yang lain mendengarkan dan memperhatikan. Setelah selesai, berikutnya anggota kelompok yang lain memberi balikan, seperti apakah anggota kelompok yang baru saja mengemukakan dirinya? Seperti apakah dia pada waktu yang akan datang? Demikian seterusnya hingga semua anggota kelompok giliran.

Perlu diperhatikan, dalam memberikan balikan tidak diperkenankan memberikan penilaian.


(5)

LAMPIRAN 3 : MENGENAL DIRI MEMBUKA DIRI :

Berikan penilaian anda tentang diri anda, yang mengindikasikan seberapa besar anda ingin/bersedia mengungkaokan diri anda. Penilaian bergerak dari score 1 sampai 6.

Score 1 mengindikasikan bahwa anda tidak ingin dan tidak bersedia mengungkapkan apapun tentang diri anda dan Score 6 mengindikasikan bahwa anda mau dan bersedia mengungkapkan segala sesuatu tentang diri anda. Kesediaan saya untuk mengungkapkan :

1. Tujuan hidup saya . . . 2. Kekuatan/kelebihan yang saya miliki . . . . 3. Kekurangan/kelemahan yang saya miliki . . . . 4. Perasaan-perasaan positif saya . . . . 5. Perasaan-perasaan negatif saya . . . . 6. Sistem nilai yang saya anut . . . . 7. Ide-ide/gagasan saya . . . . 8. Keyakinan saya tentang sesuatu . . . . 9. Ketakutan dan ketidak yakinan saya . . . . 10. Kesalahan kekeliruan saya . . . .

Jumlah . . . .

MENERIMA UMPAN BALIK

Berikan penilaian anda tentang sejauh mana anda bersedia menerima umpan balik “feed back”.


(6)

1. Tujuan hidup saya . . . 2. Kekuatan/kelebihan yang saya miliki . . . . 3. Kekurangan/kelemahan yang saya miliki . . . . 4. Perasaan-perasaan positif saya . . . . 5. Perasaan-perasaan negatif saya . . . . 6. Sistem nilai yang saya anut . . . . 7. Ide-ide/gagasan saya . . . . 8. Keyakinan saya tentang sesuatu . . . . 9. Ketakutan dan ketidakyakinan saya . . . . 10. Kesalahan kekeliruan saya . . . .

Jumlah . . . .

JENDELA JOHARI ANDA MENERIMA UMPAN BALIK 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

10 10

15 15

20 20

25 25

30 30

35 35

40 40

45 45

50 50

55 55

60 60