Studi tentang Portein Organ Hati yang Berinteraksi dengan Aflatoksin B1

(1)

STUDI TENTANG PROTEIN ORGAN HATI YANG

BERINTERAKSI DENGAN AFLATOKSIN B

1

EKO SUGENG PRIBADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi dengan judul “Studi tentang Protein Organ Hati yang Berinteraksi dengan Aflatoksin B1” adalah karya saya sendiri dan belum

diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber-sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2006

Eko Sugeng Pribadi SVT/995133


(3)

ii

ABSTRAK

EKO SUGENG PRIBADI. Studi tentang Protein Organ Hati yang Berinteraksi dengan Aflatoksin B1. Komisi Pembimbing: I WAYAN T. WIBAWAN,

FACHRIYAN H. PASARIBU, RIZAL SYARIEF

Biotransformasi dan bioaktivasi aflatoksin merupakan suatu proses metabolisme di dalam tubuh yang berperan penting bagi aktivitas aflatoksin. Kedua proses ini terjadi di dalam organ hati. Satu tipe protein yang berikatan dengan aflatoksin B1

(PAB1) dari organ hati telah diisolasi menggunakan teknik kromatografi affinitas.

AFB1 diikatkan pada matriks nitroselulosa yang diaktifkan dengan Br-CN untuk

menangkap protein kemudian diinkubasi dengan ekstrak hati bebek dan ayam yang mengandung protein. Kandungan protein di dalam ekstrak kasar adalah 0,4310 mg/ml untuk hati bebek dan 0,3946 mg/ml untuk hati ayam yang diukur menggunakan metode Bradford. Ada dua pita PAB1 (66 dan 25 kDa) yang

diisolasi dari protein ayam dan hanya satu pita PAB1 (66 kDa) yang diisolasi dari

protein bebek ketika diisolasi menggunakan teknik SDS-PAGE. Antibodi terhadap PAB1 dihasilkan dengan menggunakan hewan coba kelinci yang disuntik

dengan PAB1 yang telah diisolasi. Keberadaan dan titer antibodi terhadap PAB1

(APAB1) diperiksa menggunakan teknik AGPT. APAB1 yang diperoleh digunakan

untuk memeriksa penyebaran PAB1 di dalam jaringan hati menggunakan teknik

imunohistokimiawi. Penyebaran PAB1 di dalam jaringan hati didapatkan di dalam

preparat jaringan hati bebek dan ayam. Keberadaan PAB1 di dalam organ hati

bebek lebih banyak dan menyebar dibandingkan di dalam organ hati ayam. Kata-kata kunci: aflatoksin B1, PAB1, penyebaran PAB1.


(4)

iii

ABSTRACT

EKO SUGENG PRIBADI. Study on Liver Organ Proteins which Interacted to Aflatoxin B1. Supervised by I WAYAN T. WIBAWAN, FACHRIYAN H.

PASARIBU, RIZAL SYARIEF

Biotransformation and bioactivation of aflatoxin play an important role in activity of aflatoxin. These processes will be took place in liver cell. The soluble intracellular aflatoxin B1-binding protein (PAB1) was isolated with an affinity

chromatography technique. For this, AFB1 was immobilized on Br-CN activated

nitrocellulose, then incubated with duck and chicken liver crude extract containing protein. Protein concentration of crude extract are 0.4310 mg/ml for duck liver and 0.3946 mg/ml for chicken liver measured by Bradford method. Two major protein bands was expressed by isolated PAB1 of chicken liver organs (66 and 25

kDa) and one protein band (66 kDa) for duck determined with SDS-PAGE. Antibodies against PAB1 were produced using rabbits injected with isolated PAB1

and the occurrence and the titre of specific antibodies were confirmed with AGPT. The antibody PAB1 was used to explore the distribution of PAB1 in liver tissues

with immunohistochemistry technique. PAB1 distribution could be detected in

duck as well as chicken liver preparation. The occurrence of PAB1 in duck liver is

clearly disseminate compared to chicken.


(5)

iv

STUDI TENTANG PROTEIN ORGAN HATI

YANG BERINTERAKSI DENGAN

AFLATOKSIN B

1

EKO SUGENG PRIBADI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar DOKTOR pada

Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

v

Judul disertasi : Studi tentang Protein Organ Hati yang Berinteraksi dengan Aflatoksin B1.

Nama : Eko Sugeng Pribadi

NRP : 995133

Program Studi : Sains Veteriner

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. I Wayan T. Wibawan, MS.

Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. H. Rizal Syarief SN, DESS Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana

drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS., Ph.D. Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, MSc.

Tanggal ujian : __________________ Tanggal lulus : __________________


(7)

vi

PRAKATA

Assalaamu’alaikum wr. wb.

Syukur alhamdulillah Penulis panjatkan kepada Allah swt karena kuasaNYA dan rahmatNYA pada akhirnya Penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi “Studi tentang protein organ hati yang berinteraksi dengan aflatoksin B1

menjadi syarat untuk menyelesaikan pendidikan program doktor di Program Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis sangat bersyukur karena memiliki guru-guru besar, hebat dan mengagumkan yang diantaranya adalah Dr. drh. I Wayan T. Wibawan, MS., Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu dan Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief SN, DESS, yang telah bersedia dengan sabar selalu mengajak diskusi, membimbing dan mengarahkan Penulis selama menempuh pendidikan dan selalu memberi dorongan untuk menyelesaikan pendidikan ini. Rasa bangga juga Penulis rasakan karena memiliki kolega-kolega, seperti Dr. Setyo Widodo, Dr. Soeripto, Prof. Djokowoerjo Sastradipradja, Dr. Dewi Apri, drh. Gani, drh. Oetoro, drh. Sukobagyo, dr. Soedjasmiran dan masih banyak yang tidak mungkin disebutkan semuanya, yang selalu memberikan semangat untuk TETAP menyelesaikan pendidikan ini. Ucapan terima kasih kepada drh. Dewa Made Ngurah Dharma. Ucapan terima kasih khusus untuk drh. Ida Lestari, drh. Ketut Karuni, MSi, drh. Pudji, Ph.D. dan seluruh rekan di BPMSOH. Terima kasih kepada drh. Lia, drh. Yuni, drh. Wandi, Bapak Medi dan Ibu Yeni atas bantuan selama Penulis memanfaatkan fasilitas penelitian di PT. Bio Farma (Persero). Ucapan terima kasih kami haturkan kepada drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D. yang walaupun dengan kondisi kesehatan yang kurang namun masih bersemangat berbagi pengetahuan tentang uji imunohistokimiawi. Juga, kepada drh. Adi Winarto, Ph.D. dan drh. Ketut Mudite Adnyane, Msi. yang selalu membantu dan menemani ketika kami hampir merasakan kejenuhan sewaktu melakukan uji imunohistokimiawi.

Terima kasih untuk tim khusus gerak cepat, yaitu Pak Aria, Pak Agus Somantri, Sastra “Abeng” Gumilar, Dodi dan Ika, atas bantuan selama penelitian


(8)

vii

dan kesediaan menemani selama penelitian. Juga Pak Rudi, Pak Said, Pak Rafi, Pak Kosasih untuk informasi kolokium, Pak Kosasih dan Pak Budi atas seluruh dukungannya.

Sujud saya kepada Bapak dan Ibu yang selalu penuh doa dan harapan agar Penulis dapat segera menyelesaikan semua ini, almarhum Papa yang selalu mengingatkan Penulis dengan perbincangan terakhirnya dan Mama. Pelukan dan ciuman hangat untuk istriku Rina, atas kesabaran dan pengertiannya menemani hingga disertasi ini selesai dikerjakan, dan tak lupa untuk Vira.

Penulis tidak dapat menyebutkan semua pihak yang selama ini telah membantu dan mendorong Penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini. Penulis hanya berharap agar semua kebaikan yang sudah diberikan selama ini akan dibalas dengan rahmat yang berlipat dari Allah swt.

Akhir tulisan, Penulis sembahkan tulisan ini untuk pengembangan ILMU PENGETAHUAN.

Wassalaamu’alaikum wr. wb.

Bogor, Desember 2006 Eko S. Pribadi


(9)

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pendopo-Palembang pada tanggal 5 Juni 1964 dari pasangan Ponimin dan Markomah. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara.

Pendidikan dasar dan menengah pertama dilalui Penulis di Jambi. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Bogor, Penulis meneruskan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Proyek Perintis II (jalur tanpa ujian). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana kedokteran hewan pada tahun 1987 dan dokter hewan pada tahun 1988 pada Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Pendidikan pascasarjana program magister di Program Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana IPB ditempuh selama penulis masih bekerja di sektor swasta sebagai konsultan dan program tersebut dapat diselesaikan pada tahun 1991. Program Doktor mulai dijalani sejak tahun 1999 di Program Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana IPB.

Begitu lulus dokter hewan, Penulis langsung menjalani karir di sektor swasta sebagai technical advisor di PT. Pyridam. Setahun kemudian, Penulis berkarir sebagai konsultan bidang AMDAL dan lingkungan hidup paruh waktu di beberapa kantor konsultan. Tahun 1992 menjadi pegawai negeri sipil di IPB. Saat ini Penulis terdaftar sebagai staf pengajar di Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Penulis menikahi Ir. Iriana Ekasari pada tahun 1993 yang berkarir di sektor swasta dan dikaruniai seorang putri bernama Savira Anjani yang saat ini sudah duduk di kelas VI SD.


(10)

ix

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ……… xi

DAFTAR TABEL ……… xii

DAFTAR LAMPIRAN………. xiii

PENDAHULUAN……… 1

Latar belakang ……… 1

Tujuan penelitian ………. 4

Hipotesis ……….. 4

Manfaat hasil penelitian ………. 5

TINJAUAN PUSTAKA ……….. 6

Cendawan Aflatoksigenik ………. 6

Sifat Fisik dan Kimiawi Aflatoksin sebagai Racun ………... 7

Biosintesis Aflatoksin ……… 9

Organ Hati dan Proses Biotransformasi Aflatoksin ………. 13

Pencemaran Aflatoksin dalam Pakan dan Bahan Makanan ………. 18

Gangguan Kesehatan Ternak dan Manusia oleh Aflatoksin ………. 22

Teknik-Teknik untuk Mendeteksi Aflatoksin dan Mendiagnosa Aflatoksikosis……….. 25

Pengendalian Mikotoksin ……….. 26

Pengobatan terhadap Aflatoksikosis ……… 30

BAHAN DAN METODE PENELITIAN ……….. 32

Tempat dan Waktu Penelitian ……… 32

Bahan Penelitian ………... 32

1. Hewan Percobaan ………... 32

2. Organ Hati ………... 34

3. Bahan Kimia ……… 34

Metode Penelitian ………. 34

1. Ekstraksi Sel Hati ………. 34

2. Penentuan Kadar Protein ……… 35

3. Pembuatan Matriks AFB1 ……… 35

4. Pemurnian PAB1 ………. 36

5. Karakterisasi PAB1 ………. 36

6. Produksi Anti-Protein (APAB1) ……… 37

7. Uji Keberadaan Anti-Protein (APAB1) ……… 37

8. Pemeriksaan Histologik Ikatan PAB1 dan APAB1 di Organ Hati ………... 39

8.1 Pewarnaan Hematoksilin-Eosin ………. 39

8.2 Pewarnaan Imunohistokimiawi ……….. 40


(11)

x

HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 43

Ekstraksi Hati ……… 43

Matriks AFB1 ………. 44

Protein yang Berikatan dengan AFB1 murni (PAB1) ………. 45

Antibodi Poliklonal PAB1 ……… 48

Gambaran Histologik PAB1 di Preparat Jaringan Hati Sehat ……… 50

SIMPULAN DAN SARAN ………. 57

Simpulan .……… 57

Saran ……… 57


(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal

1. Gambaran Jalur Poliketida yang merupakan jalur awal ………… 10 metabolisme untuk sintesis aflatoksin

2. Peranan beberapa prekursor dalam tahapan sintesis aflatoksin …. 11

3. Bagan proses biotransformasi dan bioaktivasi AFB1 yang terjadi ... 14

di sitokrom P450 organ hati primata non-manusia

4. Peranan mikrosoma CYP1A2 dan CYP3A4 dalam bioaktivasi ... 15 AFB1 menjadi AFB1-8,9-epoksida

5. Hewan percobaan kelinci yang digunakan untuk memproduksi ... 33 APAB dipelihara dalam kan-dang bertingkat (Lokasi: Ruang

Pemeliharaan Hewan, Laboratorium Monitoring Hewan PT. Bio Farma (Persero)

6. Penyuntikan PAB1 kepada hewan coba kelinci melalui …………. 38

v. auricularis (a). Serum diambil setiap lima hari setelah penyuntikan untuk dilakukan pemantauan keberadaan dan titer APAB1 (b)

7. Kurva baku yang diperoleh untuk menghitung kadar protein …… 44 di dalam contoh ekstrak

8. Bagan pengaktifan nitroselulosa dengan menggunakan bromsian …. 45 (CNBr) menjadi matriks penangkapan AFB1 dan PAB1

9. Pita protein hasil uji elektroforesis terhadap PAB1 dari …………... 47

hati ayam (A), bebek (B) dan penanda (marker, P)

10. Hasil reaksi positif uji presipitasi yang diwujudkan dalam bentuk…. 48 garis presipitasi (tanda panah) antara antibodi poliklonal APAB1

(lubang pinggir) antigen PAB1 (lubang tengah) dari protein

hati bebek (A) dan ayam (B)

11. Titer antibodi APAB1 yang diha-silkan oleh kelinci yang ………… 49

disuntik dengan PAB1 melalui v. auricularis

12. Garis presipitasi (tanda panah) dari hasil uji silang antara PAB1 ….. 50

dari organ hati bebek dengan APAB1 yang digertak oleh PAB1


(13)

xii

APAB1 yang digertak oleh PAB1dari organ hati bebek (b)

13. Gambaran histologik jaringan hati ayam yang sehat ………. 51 (Pewarnaan: HE. Pembesaran: 10x)

14. Gambaran histologik jaringan hati bebek yang sehat ……… 51 (Pewarnaan: HE. Pembesaran: 10x)

15. Hasil pewarnaan imunohistokimiawi terhadap hati ayam (a) dan … 52 bebek (b). Endapan berwarna coklat-kehitaman (tanda panah)

menandakan dilokasi tersebut terdapat PAB1. Pembesaran: 10x.

16. Keberadaan PAB1 di dalam endothelial pembuluh darah vena ……. 52

sentralis (tanda panah) dari hati bebek yang diwarnai dengan teknik imunohistokimiawi. Pembesaran: 20x

17. Posisi protein yang berikatan dengan AFB1 pada sel hati ayam (a) .. 54

dan bebek (b). Lokasi protein (tanda panah) berada di daerah sinusoid. Sedangkan hepatosit tidak terwarnai (h) (Pembesaran 100x)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal

1. Sifat fisik dan kimiawi aflatoksin ……… 8

2. Gen yang terlibat dalam proses biosintesis AFB1 ... 12

3. Kandungan aflatoksin pada sampel kacang tanah dan produk ... 21 olahannya di Indonesia

4. Nilai absorbansi larutan baku BSA yang digunakan untuk ………… 43 membuat kurva baku


(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Hal

1. Perhitungan statistika untuk menentukan nilai keragaman ……….. 77 populasi PAB1 pada jaringan hati bebek dan ayam


(15)

1

PENDAHULUAN

Latarbelakang

Indonesia yang beriklim tropis memberikan kondisi yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan berbagai cendawan. Salah satu diantara cendawan tersebut adalah Aspergillus. Tiga spesies Aspergillus yang memiliki peran penting dalam dunia kesehatan, terutama kesehatan hewan, adalah A. fumigatus, A. flavus dan A. parasiticus. A. flavus dan A. parasiticus dikenal sebagai cendawan pencemar lapang dan gudang karena kemampuannya bertindak sebagai pencemar bagi produk-produk pertanian sejak penanganan pasca panen di ladang hingga produk tersebut disimpan di gudang-gudang penyimpanan.

A. flavus dan A. parasiticus dikenal juga sebagai cendawan toksigenik. Salah satu mikotoksin yang sangat dikenal yang dihasilkan oleh kedua spesies ini adalah toksin aflatoksin. Aflatoksin dapat dihasilkan oleh kedua spesies ketika menghadapi kondisi yang ekstrim baik saat masih di ladang/kebun maupun di gudang-gudang penyimpanan. Cekaman (stres) yang dialami cendawan akibat peningkatan suhu gudang penyimpanan, atau cekaman akibat serangan serangga gudang dapat menggertak cendawan untuk menghasilkan aflatoksin. Jagung dan kacang tanah, merupakan komoditi pertanian yang paling rentan terhadap pencemaran oleh aflatoksin. Pencemaran oleh aflatoksin terhadap jagung dan kacang tanah mendapat perhatian yang serius karena jagung merupakan komponen utama penyusun pakan ternak. Sedangkan banyak makanan tradisional Indonesia yang menggunakan kacang tanah, seperti bumbu-bumbu pecel, gado-gado, sate dan sebagainya. Aflatoksin tidak mengalami kerusakan terhadap proses pengolahan makanan, seperti pemanasan karena sifatnya yang termotoleran hingga suhu mencapai 220 oC (Syarief et al. 2003).

Cemaran aflatoksin di dalam pakan ternak dapat memicu gangguan kesehatan pada ternak-ternak yang memakan pakan yang tercemar tersebut. Gangguan kesehatan pada ternak yang disebabkan oleh karena memakan pakan yang tercemar aflatoksin dikenal dengan sebutan aflatoksikosis. Beberapa


(16)

2

kejadian aflatoksikosis pada ternak telah terekam dalam beberapa hasil penelitian. Kerugian yang ditimbulkan oleh kejadian aflatoksikosis tidak dapat dihindari karena aflatoksin menyerang organ hati sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan ternak. Dampak yang diakibatkan oleh aflatoksikosis tidak hanya selama ternak dipelihara saja, tetapi setelah ternak dipanenpun masih menyisakan permasalahan. Residu aflatoksin dan metabolitnya pada produk-produk asal hewan menjadi permasalahan lain lagi. Pribadi dan Patriana (1996) mendapati akumulasi residu aflatoksin pada beberapa bagian karkas ayam dalam skala penelitian. Tidak tertutup kemungkinan untuk mendapatkan hasil yang sama bila dilakukan pengamatan yang lebih mendalam pada karkas-karkas ayam yang dijual. Aflatoksin M1 pun dapat saja ditemukan di produk susu segar dari peternakan sapi

perah yang pakannya tercemar aflatoksin. Walaupun penelitian telah merekam keberadaan residu aflatoksin dalam beberapa produk asal hewan, namun masih jarang diperoleh penelitian-penelitian yang memusatkan perhatiannya pada kesehatan konsumen setelah memakan produk-produk yang berpotensi tercemari oleh aflatoksin.

Satu survei yang pernah dilakukan oleh Tsuboi et al. (1984) melaporkan bahwa 20% sukarelawan yang dinyatakan sehat pada waktu itu mengandung aflatoksin B1 di dalam darahnya. Sebanyak 23% penderita primary hepatocellular carcinoma (PHC) akut dan kronis di dalam darahnya juga mengandung aflatoksin B1. Sedangkan pada ternak ayam (karena komoditi daging ayam merupakan komoditi tertinggi yang dikonsumsi masyarakat), akumulasi aflatoksin terjadi di organ hati, limpa dan ginjal dengan tingkat kerusakan terparah pada organ hati (Pribadi dan Patriana 1996). Intoksikosis aflatoksin yang bersifat akut dapat menyebabkan kematian ternak ayam tanpa memperlihatkan gejala klinis. Pemeriksaan dengan melakukan bedah bangkai akan menemukan perubahan patologik berupa pembesaran hati (hepatomegali) (Espada et al. 1992). Sedangkan ternak bebek dan kalkun memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan ternak ayam.


(17)

3

Rusaknya sel-sel hati yang diakibatkan oleh aflatoksin telah diamati oleh beberapa peneliti baik pada hewan (Chen et al. 1994; Jenning et al. 1994) maupun pada manusia (Cole et al. 1989; Begue et al. 1988). Beberapa tanggap seluler sel hati dari hewan yang mengalami aflatoksikosis dapat berupa terjadinya peroksidasi lipida (Shen et al. 1994), perubahan keutuhan membran dan penghambatan enzim glutathione-S-transferase (Jenning et al. 1994), peningkatan aktivitas sangat tinggi pada sitokrom dari sel-sel hepatik yang mengiringi proses pembesaran organ hati (Iwaki et al. 1990).

Tingkat kerusakan sel-sel hati dalam kasus karsinoma hepatoseluler pada hewan percobaan telah diteliti oleh beberapa peneliti. Nunez et al. (1991) mendapati bahwa organ hati yang mengalami karsinoma hepatoseluler akan kehilangan hubungan antara hepatosit dan sinusoid, antara hepatosit dan sistem saluran empedu dan antar hepatosit itu sendiri. Sedangkan Pritchard dan Butler (1988) mendapatkan bahwa perkembangan pembentukan tumor hati dapat ditandai dengan adanya nodul-nodul yang bersifat eosinofilik di dalam sel.

Proses biotransformasi yang terjadi di dalam organ hati merupakan tahap awal yang sangat penting bagi aflatoksin. Aflatoksin mengalami bioaktivasi setelah melalui proses biotransformasi sehingga bersifat radikal, toksik dan memberikan efek karsinogenik. Proses biotransformasi aflatoksin dimulai dengan terjadinya oksidasi di dalam sitokrom P-450 dan selanjutnya akan menghasilkan berbagai metabolit aflatoksin dengan tingkat toksisitas yang tidak lebih rendah dari senyawa awalnya (Eaton dan Groopman 1994).

Muncul satu pemikiran setelah mengetahui beberapa tahapan proses biotransformasi aflatoksin, yaitu (i) mekanisme apa yang terjadi sehingga aflatoksin dapat masuk ke dalam sel hati?, dan (ii) apakah memungkinkan untuk mengganggu mekanisme masuknya aflatoksin ke sel hati? Hao et al. (1999) yang melakukan penelitian dengan okhratoksin A mendapatkan bahwa ada protein di dalam sel hati yang mampu terikat dengan toksin tersebut. Aflatoksin dapat diikat dengan protein dinding sel bakteri asam laktat (LAB) (Haskard et al. 2001) dan protein susu (Pierides et al. 2000). Dengan memanfaatkan hasil penelitian tersebut,


(18)

4

maka dikembangkan suatu pemikiran (iii) apakah ada sejenis protein yang berada di dalam organ hati yang dapat berikatan dengan aflatoksin?; (iv) seandainya memang protein ini yang bertanggungjawab terhadap kejadian aflatoksikosis, apakah keberadaan protein di organ hati dapat digunakan sebagai parameter tingkat kepekaan antar spesies hewan terhadap aflatoksin?

Tujuan Penelitian

Sampai saat ini hasil-hasil penelitian yang secara tegas mengarah ke upaya mencari jawaban atas pemikiran-pemikiran di atas belum tercatat, namun dari hasil yang sudah ada dapat dirangkai pemikiran-pemikiran melalui penelitian ini. Penelitian yang dilakukan ini bertujuan:

1. Isolasi protein pada organ hati yang dapat berikatan dengan aflatoksin B1 (AFB1). Protein yang telah diisolasi dapat dikatakan sebagai protein

yang terikat AFB1 (PAB1);

2. Identifikasi dan karakterisasi protein PAB1;

3. Pengamatan keberadaan protein PAB1 di organ hati ayam dan bebek.

Keberadaan PAB1 dan pola penyebarannya di jaringan hati akan

digunakan untuk menjelaskan perbedaan kepekaan antara bebek dan ayamterhadap aflatoksikosis.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah

H0 : didapatkan protein di dalam organ hati yang bereaksi dengan AFB1

dan menyebar pada organ hati bebek dan ayam

H1 : tidak didapatkan protein di dalam organ hati yang bereaksi dengan


(19)

5

Manfaat Hasil Penelitian

Informasi mengenai protein terikat AFB1 masih belum banyak dilaporkan

dan dari penelitian ini diharapkan diperoleh informasi mengenai:

1. adanya protein yang memiliki kemampuan untuk berikatan dengan AFB1 (PAB1),

2. sifat antigenik PAB1 sehingga mampu menggertak untuk

memproduksi antibodi (APAB1),

3. PAB1 yang dapat digunakan sebagai penentu perbedaan kepekaan

antara bebek dan ayam terhadap AFB1,

4. adanya peluang pemanfaatan ikatan antara APAB1 dan PAB1 yang

dapat memodifikasi proses biotransformasi AFB1 sehingga

memiliki peranan dalam pencegahan aflatoksikosis pada hewan maupun manusia.


(20)

6

TINJAUAN PUSTAKA

Cendawan Aflatoksigenik

Indonesia yang beriklim tropis memberikan kondisi yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan berbagai cendawan. Salah satu diantara cendawan tersebut adalah Aspergillus sp. A. flavus dan A. parasiticus dikenal sebagai cendawan toksigenik karena kedua spesies ini mampu menghasilkan aflatoksin. Namun demikian, masih ada keraguan dari para ahli apakah Penicillium puberulum dan A. nomius memiliki kemampuan untuk memproduksi aflatoksin. Hal ini dikarenakan proses identifikasi yang dinilai masih belum tepat (Syarief et al. 2003).

Semula hanya dikenal aflatoksin B1, B2, G1, G2, M1, dan M2 saja. Akan

tetapi, dengan semakin maju teknik pemeriksaan saat ini telah dikenal beberapa aflatoksin berikut metabolit-metabolitnya selain yang telah dikemukakan sebelumnya, diantaranya adalah B2 B3, GM1, G2 , M1, M2, M2 , GM2, P1, Q1, Ro,

RB1, RB2, AFL, AFLH, AFLM dan turunan metoksi, etoksi dan asetoksi (Bhat

1991; Kuilman et al. 1998; Kuilman 1999).

A. flavus merupakan cendawan patogen oportunistik. Cendawan ini banyak terdapat di lingkungan karena spesies ini mampu hidup dengan bahan-bahan organik yang ada. A. flavus memiliki kemampuan untuk menginfeksi tanaman, insekta, hewan dan manusia. Tanaman dapat terinfeksi oleh A. flavus ketika tanaman masih berada di kebun/ladang selama dan setelah proses pematangan. Permasalahan akan menjadi berkembang bila tanaman yang terinfeksi terbawa sampai ke gudang-gudang penyimpanan. Tanaman terinfeksi yang terbawa ke gudang berarti telah membawa A. flavus masuk ke areal pergudangan dan berpeluang untuk mencemari produk-produk lainnya yang disimpan di areal yang sama. A. flavus optimum menghasilkan toksin pada kadar air bahan kesetimbangan 15-30% (tergantung komoditi yang tercemari), kondisi suhu 25-30oC dan kelembaban nisbi kesetimbangan 85% atau aktivitas air (aw)


(21)

7

penyebaran spora-spora cendawan untuk menjadi pencemar. Insekta-insekta yang terinfeksi A. flavus dapat menjangkau setiap sudut di dalam lokasi gudang sehingga memperluas wilayah pencemaran yang dilakukan oleh cendawan ini. Perluasan pencemaran di dalam gudang dapat terjadi dalam jangka waktu 24 jam (Cotty, 1991).

Sifat Fisik dan Kimiawi Aflatoksin sebagai Racun

Sejak kejadian luar biasa berupa kematian kalkun di Inggris pada tahun 1961, aflatoksin kini telah dikenal sebagai racun. Aflatoksin merupakan racun yang sangat toksik, karsinogenik, mutagenik, dan menekan sistem kebal. Sebanyak 18 tipe aflatoksin telah diidentifikasi. Namun, hanya enam tipe saja yang dikenal, yakni aflatoksin B1, B2, G1, G2, M1 dan M2. Aflatoksin B1 (AFB1)

merupakan racun yang paling berbahaya. Secara fisik, AFB1 murni berbentuk

kristal putih kekuningan yang tidak berbau. AFB1 larut dalam pelarut methanol,

kloroform, aseton dan asetonitril. Aflatoksin dikelompokan ke dalam difuranokoumarin (difuranocoumarin) dan berdasarkan struktur kimiawinya dikelompokan dua kelompok, yaitu (i) difurokoumarosiklopentenon (difurocoumarocyclopentenone) yang terdiri dari AFB1, AFB2, AFB2 , AFM1,

AFM2, AFM2 dan aflatoksikol; dan (ii) difurokoumarolakton

(difurocoumarolactone) yang terdiri dari AFG1, AFG2, AFG2 , AFGM1, AFGM2,

AFGM2 dan AFB3. Sifat toksik aflatoksin dipengaruhi kekompakan dihidrofuran

yang mengandung cincin ganda furan dan kekompakan koumarin. Sifat toksisitas, karsinogenisitas dan mutagenisitas aflatoksin dapat juga dilihat dari nilai LD50

yang dicari menggunakan anak bebek umur sehari (karena bebek adalah hewan yang paling rentan). Dari nilai tersebut dapat diurutkan toksisitas aflatoksin adalah AFB1 > AFG1 > AFB2 > AFG2. Aflatoksin memendarkan sinar fluoresen yang

kuat di bawah sinar ultraviolet (dengan = 365 nm). AFB1 and AFB2

memendarkan sinar fluoresen berwarna biru dan AFG1 dan AFG2 memendarkan


(22)

8

Penelitian-penelitian yang mempelajari reaksi kimiawi aflatoksin telah banyak dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan cara terbaik mendetoksifikasi aflatoksin. Pada lingkungan kering, aflatoksin merupakan senyawa yang sangat stabil terhadap panas sampai mencapai titik leburnya (Tabel 1). Peningkatan suhu akan membuka cincin lakton sehingga akan terjadi dekarboksilasi (decarboxylation) yang menyebabkan rusaknya aflatoksin. Kekompakan lakton akan mengalami hidrolisis di dalam larutan alkali. Namun, bila larutan basa tersebut dilakukan upaya untuk mengasamkannya (asidifikasi), maka proses hidrolisis ini membalik kembali (reversible) yang diikuti dengan proses resiklisasi (recyclization). Cincin dapat dibuka dengan menaikkan suhu sampai mencapai 100

o

C yang diikuti dengan dekarboksilasi. Bila proses ini dipertahankan, maka akan terjadi kehilangan kelompok metoksi dari cincin aromatik. Proses serupa dapat terjadi dengan menggunakan amonia dan beberapa senyawa amin. AFB1 dan

AFG1 dapat berubah menjadi AFB2 dan AFG2

di dalam larutan asam-asam mineral karena terjadi penambahan air terkatalisasi asam pada ikatan ganda cincin furan. Turunan asetoksi dari AFB1 dan AFG1 akan terbentuk dengan adanya

reaksi asam asetat anhidrida dan HCl. Metabolit yang sama juga akan diperoleh dengan adanya formic acid-thionyl chloride, acetic acid-thionyl chloride dan

Tabel 1. Sifat fisik dan kimiawi aflatoksin

--- Aflatoksin Rumus molekul Berat molekul Titik lebur (oC) --- B1 C17 H12O6 312 268-269

B2 C17 H14O6 314 286-289

G1 C17 H12O7 328 244-246

G2 C17 H14O7 330 237-240

M1 C17 H12O7 328 299

M2 C17 H14O7 330 293

B2 C17 H14O7 330 240

G2 C17 H14O8 346 190

--- Sumber: Reddy dan Waliyar (2000)


(23)

9

trifluoroacetic acid. Molekul aflatoksin akan kehilangan sifat pendaran fluoresennya bila direaksikan dengan senyawa-senyawa pengoksidasi seperti sodium hypochlorite, potassium permanganate, chlorine, hydrogen peroxide, ozon dan sodium perborate. Proses reduksi melalui hidrogenasi pada AFB1 dan AFG1

akan menghasilkan AFB2 dan AFG2. Proses reduksi AFB1 oleh hidrogen 3 mol

akan menghasilkan tetrahidroksiaflatoxin. Reduksi AFB1 dan B2 dengan sodium

borohidrida akan menyebabkan terbukanya cincin lakton dan terjadi reduksi pada kelompok asam dan kelompok keto di dalam cincin siklopentena. Proses ini akan menghasilkan AFRB1 dan AFRB2 (Reddy dan Waliyar 2000).

Biosintesis Aflatoksin

Aflatoksin merupakan salah satu metabolit sekunder yang dihasilkan oleh A. flavus dan A. parasiticus yang tumbuh subur pada kondisi tropis dan subtropis. Aflatoksin dikategorikan sebagai metabolit sekunder karena tidak memiliki peranan dalam pertumbuhan dan perkembangan cendawan yang menghasilkannya. Sebaliknya, beberapa metabolit primer dan antara (intermediate) ada yang berperan sebagai bahan baku untuk memproduksi metabolit sekunder ini.

Kendati kedua cendawan mampu berperan sebagai pencemar pada berbagai produk pertanian, tetapi tidak pada semua produk pertanian tersebut kedua cendawan ini mampu menghasilkan aflatoksin. Bahan-bahan kaya minyak, seperti kacang tanah dan biji kapas (cottonseed) merupakan komoditi yang sangat disukai untuk menghasilkan toksin. Produksi aflatoksin dirangsang oleh lipida dan protein yang dikandung oleh substrat. Setelah pemecahan lipida oleh enzim lipase, asam-asam lemak dimetabolisasi menjadi asetil-koenzim A oleh -?oksidasi. Selanjutnya, asetil-koenzim A akan masuk ke dalam sistem metabolisme melalui jalur poliketida (Deacon 1997). Bagan jalur poliketida terpapar dalam Gambar 1 berikut.


(24)

10

Beberapa protein berperan sebagai prekursor dalam tahap-tahap sintesis aflatoksin. Prekursor yang sudah dikenali diantaranya asam norsolorinat, averantin, averufanin, averufin, 1’-hidroksiversikolorona, asetat hemiacetal versikonal, versiconal, versikolorin A, dimetilsterigmatosistin, sterigmatosistin, o -metilsterigmatosistin (Bhatnagar et al. 1987; McCormick et al. 1987; Bhatnagar et al 1989; Yabe et al. 1989; Yabe et al. 1998; Sakuno et al. 2003; Yabe et al. 2003). Peranan masing-masing prekursor pada tahap sintesis aflatoksin terpapar

dalam Gambar 2 berikut. Enzim yang berperan sebagai katalisator dalam biosintesis aflatoksin diantaranya dua metiltransferase masing-masing memiliki bobot molekul 168 dan 48 kDa dan reduktase dengan bobot molekul 38 kDa (Keller et al 1993).

3 CH3CO.CoA + 3CO2

Asetil-Koenzim A

3 HOOC.CH2CO.CoA + 3CO2

Malonil-CoA

Karboksilasi

Asam lemak

Kondensasi

CH3.C.CH2.C.CH2. C.CH2.C

O O O O

Ikatan Protein Rantai ketida Asetil-CoA 3CO2 3CoA Pelingkaran

Proses Sintesis Aflatoksin

3 CH3CO.CoA + 3CO2

Asetil-Koenzim A

3 HOOC.CH2CO.CoA + 3CO2

Malonil-CoA

Karboksilasi

Asam lemak

Kondensasi

CH3.C.CH2.C.CH2. C.CH2.C

O O O O

Ikatan Protein Rantai ketida CH

3.C.CH2.C.CH2. C.CH2.C

O

O OO OO OO

Ikatan Protein Rantai ketida Asetil-CoA 3CO2 3CoA Pelingkaran

Proses Sintesis Aflatoksin

Gambar 1. Gambaran Jalur Poliketida yang merupakan jalur awal metabolisme untuk sintesis aflatoksin (Deacon 1997)


(25)

11

Beberapa penelitian yang difokuskan untuk melihat gen-gen yang terlibat dalam proses biosintesis AFB1 telah banyak diteliti. Ada 6-8 kromosom dengan

ukuran 3 sampai > 7 Mb yang telah diidentifikasi melalui analisis karyotipe (Foultz et al. 1995). Beberapa gen yang telah diidentifikasi terpapar dalam Tabel 2 berikut. JALUR POLIKETIDA HO HO O O HO OH NOR O HO HO O O HO OH AVN O HO HO O O HO OH AVNN O Me HO HO O O HO O AVF O Me HO HO O O HO O HVN OH O HO HO O O HO O VHA OH O O Me HO HO O O HO O VAL OH OH HO HO O O HO O VER A O HO O OH O O DMST OH HO O OMe O O ST O OMe O OMe O O OMST O O OMe O O AFB 1 O JALUR POLIKETIDA HO HO O O HO OH NOR O HO HO O O O HO OH OH NOR O O HO HO O O HO OH AVN O HO HO O O O HO OH OH AVN O HO HO O O HO OH AVNN O Me HO HO O O O HO OH AVNN O Me HO HO O O HO O AVF O Me HO HO O O O HO O AVF O Me HO HO O O O HO O HVN

OH O O HO HO O O HO O VHA OH O O Me HO HO O O O HO O VHA OH O O O Me HO HO O O HO O VAL OH OH HO HO O O O HO O VAL OH OH HO HO HO HO O O O HO O VER A O HO O OH OH O O DMST OH HO O OMe O O ST O HO O OMe O O ST O OMe O OMe O O OMST O OMe O OMe O O OMST O O OMe O O AFB 1 O

Gambar 2. Peranan beberapa prekursor dalam tahapan sintesis aflatoksin.

Keterangan: NOR=asam norsolorinat, AVN=averantin, AVNN=averufa-nin, AVF=averufin, HVN=1’-hidroksiversikolorona, VHA=asetat hemia-cetal versikonal, VAL=versikonal, VER A=versikolorin A, DMST=dime-tilsterigmatosistin, ST=sterigmatosistin, OMST=O-metilsterigmatosistin.


(26)

12

Tabel 2. Gen yang terlibat dalam proses biosintesis AFB1

Gen Proses biosintesis Sintase asam lemak (fas-1 dan

fas-2)

Sintesis dekatida dari malonil KoA Sintase poliketida (pksA) Sintesis dekatida dari malonil KoA

nor-1, norA dan norB Menghasilkan dehidrogenase untuk Pengubahan asam norsolorinat (NOR) menjadi averantin (AVN)

Ketoreduktase (verA) Mengubah versikolorin A (VER A) menjadi demethylsterigmatocystin (DMST)

Monooksigenase sitokrom P-450 (avnA)

Mengubah averantin (AVN) menjadi hidroksiaverantin (HAVN)

Alkohol dehidrogenase (adhA) Mengubah hidroksiaverantin (HAVN) menjadi averufin (AVF)

Oksidase (avfA) Mengubah averufin (AVF) menjadi versikonal hemiasetal asetat (VHA)

Esterase (estA) Mengubah versikonal hemiasetal asetat (VHA) menjadi versikonal (VAL)

Dehidratase (vbs) Mengkatalisis proses siklisasi rantai samping VHA untuk berubah menjadi versikolorin B (VERB) Desaturase (verB) Mengubah versikolorin B (VERB) menjadi

versikolorin A (VERA)

o-methyltransferase (omtA) Mengubah sterigmatosistin (ST) menjadi o -methylsterigmatosistin (OMST)

omtB, dmtA Mengubah demethylsterigmatosistin (DMST) menjadi sterigmatosistin (ST) dan

dehidrodemethylsterigmatosistin (DHDMST) menjadi dehidrosterigmatosistin (DHST)

NADPH dependent monooxygenase (ordA)

Mengubah o-methylsterigmatosistin (OMST) atau dehidro-o-methylsterigmatosistin (DHOMST) menjadi AFB1, AFB2, AFG1 dan AFG2

Sumber: Keller et al. (1993); Yu et al. (1993); Prieto dan Woloshuk (1997); Yabe et al. (1998); Yu

et al. (1998); Yabe et al. (1998); Motomura et al. (1999); Chang et al. (2000); Yu et al.

(2002)

Toksisitas AFB1 ditentukan oleh adanya cincin furan. Aflatoksin B2

(AFB2) yang struktur molekulnya menyerupai AFB1 tidak memiliki toksisitas

seperti yang dimiliki AFB1 karena kehilangan cincin furannya. Demikian pula

dengan aflatoksin G1, G2 dan M1.

Selama periode pertumbuhan A. flavus dan A. parasiticus, biosintesis aflatoksin dapat terganggu oleh faktor genetik, biokimia dan lingkungan. Keberadaan bakteri Bacillus subtilis dan Lactobacillus sp. ternyata mampu mengganggu sintesis aflatoksin. Kedua bakteri akan menghasilkan


(27)

metabolit-13

metabolit yang mengakibatkan substrat pertumbuhan menjadi asam (asidifikasi) dengan pH yang dapat mencapai 3,8 (Karunaratne et al. 1990). Asam glukonat yang dihasilkan oleh Aspergillus niger dan Aspergillus tamarii juga dapat menghambat sintesis aflatoksin. Faktor-faktor lain yang mengganggu sintesis aflatoksin adalah suhu tinggi (lebih dari 40 oC), aw, pH dan beberapa garam/asam

tertentu yang ada di dalam makanan dan bahan makanan dapat menekan produksi aflatoksin oleh A. flavus.

Organ Hati dan Proses Biotransformasi Aflatoksin

Organ hati merupakan satu-satunya organ yang melakukan fungsi detoksikasi. Organ ini menerima berbagai jenis senyawa dari darah yang masuk ke dalam tubuh melalui jalur saluran pencernaan, saluran pernafasan, kulit dan penyuntikan. Bahan toksikan yang masuk ke tubuh akan mengalami proses biotransformasi dalam upaya mendetoksikasi bahan tersebut. Proses ini akan mengubah sifat toksikan yang semula larut lemak menjadi bahan yang mudah larut dalam air sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh (ekskresi). Proses biotransformasi terjadi di retikulum endoplasmik yang melibatkan sistem enzim sitokrom P-450 dan sitosol. Selama proses biotransformasi, toksikan akan mengalami dua fase proses detoksikasi. Fase I terjadi di retikulum endoplasmik dan toksikan akan mengalami pemaparan atau penambahan kelompok-kelompok fungsional oleh 2 sistem enzim. Sistem enzim yang terlibat adalah sistem enzim pada sitokrom P-450 (mixed function oxygenase, MFO) dan mixed function amine oxidase (flavin monooxygenase). Toksikan akan mengalami proses oksidasi, reduksi dan hidrolisis di fase I. Metabolit yang dihasilkan dapat langsung diekskresikan atau masuk ke sistem yang berlaku di Fase II. Fase ini terjadi di sitosol dan enzim-enzim yang terlibat pada fase ini akan mengkonjugasi toksikan. Metabolit yang dihasilkan dari Fase II akan langsung diekskresikan (Sipes dan Gandolfi 1986; Goodsell 2001).

Aflatoksin, yang dikenal sebagai hepatotoksin, menjadikan organ hati menjadi sasaran utama ketika zat ini masuk ke dalam tubuh. Organ hati tidak saja


(28)

14

menjadi sasaran utama, tetapi di dalam organ hati aflatoksin ini akan mengalami perubahan biologik (biotransformasi) dan bioaktivasi. Sehingga yang semula aflatoksin mungkin tidak memiliki sifat toksik setelah masuk ke dalam organ hati

menjadi toksik dan bersifat karsinogenik (Gambar 3).

Hal ini dibuktikan dengan diketemukan senyawa AFB1-8,9-epoksida yang

sangat radikal sesaat setelah diperkirakan AFB1 masuk ke dalam organ hati

(Baertschi et al. 1988). Retikulum endoplasmik dan sitosol merupakan organel sel hati yang berperan dalam proses biotransformasi aflatoksin. Sistem enzim sitokrom P-450 pada retikulum endoplasmik terlibat dalam proses biotransformasi Fase I. Tidak hanya satu jenis sitokrom P-450 yang terlibat, tetapi terdapat berbagai jenis sitokrom P-450 yang terlibat dalam proses biotransformasi AFB1

tersebut (Ramsdell dan Eaton 1990). Wilson et al. (1997) memperlihatkan adanya

Kanker

AFB1 Cyt450 Metabolit terhidroksilasi:

AFM1, AFQ1, AFp1

Cyt450

AFB1-8,9-epoksida

(ekso dan endo) Terikat DNA Perbaikan DNA

Mutasi Glutathion S-transferase

Konjugat AFB1-Glutathion

Ekskresi

Epoksida hidrolase mikrosom

AFB1-8,9-dihidrodiol

pH fisiologik

Fenolat dialdehida

AFB1aldehida

reduktase

AFB1dialkohol

Ekskresi

Pengikatan protein

Kanker

Kanker

AFB1 Cyt450 Metabolit terhidroksilasi:

AFM1, AFQ1, AFp1

Cyt450

AFB1-8,9-epoksida

(ekso dan endo) Terikat DNA Perbaikan DNA

Mutasi Glutathion S-transferase

Konjugat AFB1-Glutathion

Ekskresi

Epoksida hidrolase mikrosom

AFB1-8,9-dihidrodiol

pH fisiologik

Fenolat dialdehida

AFB1aldehida

reduktase

AFB1dialkohol

Ekskresi

Pengikatan protein

Kanker

Gambar 3. Bagan proses biotransformasi dan bioaktivasi AFB1 yang terjadi di


(29)

15

peranan mikrosoma CYP1A2 dan CYP3A4 dalam proses pembuatan radikal AFB1-8,9-epoksida (Gambar 4). Proses biotransformasi Fase II dialami aflatoksin

di sitosol.

Gambar 4. Peranan mikrosoma CYP1A2 dan CYP3A4 dalam bioaktivasi AFB1 menjadi AFB1-8,9-epoksida (Wilson et al., 1997)

Secara umum, proses biotransformasi yang dialami aflatoksin di dalam organ hati dikelompokkan menjadi (i) oksidasi yang terdiri dari epoksidasi, hidroksilasi, o-demetilasi dan pembentukan AFB(G)2 ; (ii) reduksi dan (iii)

konjugasi yang terdiri dari konjugasi glutathion epoksida dan glukoronilasi derivat terhidroksilat.

Epoksidasi merupakan reaksi yang utama dan pertama dalam proses biotransformasi AFB1 dan reaksi ini terjadi melalui sistem sitokrom P-450. AFB1

akan berubah bentuk menjadi AFB1-8,9-epoksida melalui proses epoksidasi.

AFB1-8,9-epoksida merupakan satu radikal yang memiliki toksisitas yang begitu

tinggi. Namun, radikal ini tidak stabil karena dengan cepat akan berubah menjadi AFB1-8,9-dihidrodiol. Dalam waktu tidak lebih dari lima detik radikal ini akan


(30)

16

dalam bentuk radikal seperti ini bila tidak diikat dengan gluthation sangat memudahkan untuk berikatan dengan DNA (Goodsell 2001). Reaksi epoksidasi di dalam sitokrom ini melibatkan enzim epoksida hidrolase. Aflatoxin P1 (AFP1),

Aflatoxin M1 (AFM1) dan Aflatoxin Q1 (AFQ1) merupakan turunan dari AFB1

yang mengalami epoksidasi di sitokrom P-450 (Monroe dan Eaton 1987). Epoksida akan menyebabkan kerusakan oksidatif pada lipida dan lipoprotein yang merupakan komponen sel (Daniels et al. 1990). Akibat kerusakan oksidatif ini menyebabkan munculnya radikal-radikal bebas, seperti O3, radikal bebas hidroksil

dan H2O2. Aktivitas radikal bebas akan menyebabkan kerusakan lipida, enzim,

asam nukleat dan protein yang menandakan terjadinya kerusakan sel dan DNA (Shen et al. 1994). Kerusakan sel-sel hati akan ditandai dengan penglepasan enzim-enzim hati sehingga kadar enzim-enzim hati akan meningkat di dalam plasma darah (Brucato et al. 1986; Karakilcik et al. 2004).

Hidroksilasi yang terjadi di sitokrom P-450 menghasilkan metabolit yang aktivitas biologiknya lebih rendah dibandingkan senyawa utama. AFB1 akan

mengalami proses hidroksilasi dan perubahan yang terjadi pada ikatan di posisi 3 dan 9a dapat mengubah AFB1 menjadi AFQ1 dan AFM1. Kedua metabolit yang

dihasilkan ini tidak mengalami proses epoksidasi sehingga tidak terbentuk metabolit epoksidanya.

Sama halnya dengan proses hidroksilasi, melalui proses o-dimetilisasi

akan mengubah AFB1 menjadi AFP1 dan AFM1. AFP1 dapat membentuk epoksida

sehingga mampu menyebabkan kanker (Ross et al. 1992). Sedangkan AFM1 yang

terbentuk dapat bertindak sebagai substrat dan lansung berubah menjadi 4,9a-dihydroxy AFB1.

Oksidasi dan hidroksilasi mikrosomal menyebabkan terjadi hidrasi pada ikatan ganda pada ujung cincin furan AFB1. Perubahan yang terjadi pada ujung

cincin furan ini akan mengubah AFB1 menjadi AFB2 . Metabolit ini juga

memiliki kemampuan untuk berikatan dengan protein. AFB2 juga terlibat dalam


(31)

17

Proses reduksi dapat mengubah AFB1 menjadi aflatoksikol (AFL). Proses

pembentukan aflatoksikol melibatkan enzim reduktase sitosolik sebagai katalisator di organ hati ayam. AFL dapat menjadi bahan baku kembali untuk menghasilkan AFB1. Sehingga, seringkali dikatakan bahwa AFL merupakan “cadangan” untuk

membuat AFB1 yang tersimpan di dalam tubuh. Toksisitas AFL tidak kalah

dibandingkan dengan senyawa induknya karena AFL masih tetap bersifat karsinogenik dan mutagenik. Bila terjadi oksidasi pada posisi 9a hidroksilasi dari AFL akan membentuk AFL-M1. Senyawa terakhir ini juga dapat dihasilkan dari

reduksi AFM1. AFQ1 dapat direduksi menjadi aflatoksikol H1.

Dua reaksi, yakni konjugasi glutathion (GSH) epoksida dan glukoronidasi metabolit terhidroksilat terjadi dalam proses konjugasi AFB1. Konjugat GSH

AFB1-8,9-epoksida merupakan metabolit utama yang dihasilkan melalui reaksi ini.

Reaksi konjugasi GSH merupakan reaksi yang penting untuk menentukan efek toksin terhadap AFB1 pada beberapa spesies. Reaksi konjugasi terhadap AFB 1

melibatkan enzim glutathion S-transferase sitosolik (Hayes et al. 1991). Beberapa metabolit lain yang dihasilkan melalui proses konjugasi AFB1 diantaranya

glukoronida AFL, AFL-M1 dan AFP1.

Liu et al. (1990) mendapatkan bahwa aktivasi AFB1 tidak hanya terjadi di

sistem enzim sitokrom P-450. Tetapi, proses ini dapat terjadi tanpa melibatkan organel tersebut. Ko-oksigenasi AFB1 dapat terjadi dengan bantuan dari asam

arakhidonat dan prostaglandin H-sintase. Lipoksigenase yang diperoleh dari kedele juga diketahui mampu mengaktiviasi AFB1 menjadi metabolit yang

berikatan dengan DNA (Liu dan Massey 1992). Namun, kadar radikal yang dihasilkan sangat rendah dibandingkan yang dihasilkan sitokrom P-450. Yakni, hanya berkisar 1-2% dibandingkan yang terjadi melalui sitokrom P-450.

Proses biotransformasi AFB1 di dalam tubuh dapat dipengaruhi oleh

kandungan nutrisi dari makanan yang dimakan dan obat-obat yang diberikan. Pembuktian terhadap gangguan proses biotransformasi AFB1 tidak dilakukan

secara langsung, tetapi dengan melihat berkurangnya efek toksik dari AFB1 yang


(32)

18

mendapatkan dosis AFB1. Proses biotransformasi diganggu melalui mekanisme

seperti (i) mencegah ikatan antara AFB1 dan DNA, (ii) meningkatkan aktivitas

mikrosom, (iii) meningkatkan aktivitas konjugasi terhadap AFB1-8,9-epoksida,

(iv) meningkatkan produksi enzim glutathion-S-transferase, dan (v) terjadi penurunan kadar enzim reduktase NADPH-cyt P-450 khusus disebabkan oleh defisiensi riboflavin. Faktor makanan yang dapat mengganggu proses biotransformasi adalah makanan yang mengandung protein berkadar rendah, defisiensi vitamin A, defisiensi riboflavin, brokoli, keberadaan senyawa diallyl sulfida dan ajoene di dalam Allium (kelompok bawang putih) dan capsaicin (Dunaif dan Campbell 1987; Bhattacharaya et al. 1989). Obat-obat yang telah diketahui mengganggu biotransformasi AFB1 adalah butylated-hydroxyanisole,

ethoxyquin, dithiolthion dan oltipraz (Ansher et al. 1986, Williams et al. 1986, Monroe dan Eaton 1987; Liu et al. 1988; Kensler et al. 1992).

Pencemaran Aflatoksin dalam Pakan dan Bahan Makanan

Cendawan-cendawan aflatoksigenik ini dapat tumbuh dengan baik pada sistem perakaran dan tanaman-tanaman yang berdekatan dengan tanah, seperti kacang tanah. Tanaman dan sistem perakaran seperti ini menyediakan bahan untuk kolonisasi cendawan aflatoksigenik di buah-buahan yang berdekatan dengan tanah. A. flavus dapat diisolasi dari selaput di sejumlah kacang tanah yang dibeli dari toko-toko grosir-kacang tanah yang memperlihatkan bercak abu-abu atau hitam di bawah selaputnya. Kacang tanah merupakan komoditas pertanian yang paling rentan tercemari oleh A. flavus. Komiditi pertanian berikutnya yang rentan adalah jagung dan kedele (Pitt et al. 1998). Pencemaran oleh genus Aspergillus tidak hanya terjadi di toko-toko, tetapi telah terjadi sejak di ladang dan gudang penyimpanan. Li et al. (2000) menyatakan ada tiga genus kapang yang hingga saat ini sangat dikenal sebagai cendawan gudang, yakni Penicillium, Aspergillus dan Fusarium. Aspergillus telah diketahui secara luas sebagai pencemar sejak komoditi dipanen di ladang pertanian. Dua spesies dari Aspergillus yang dikenal sebagai cendawan aflatoksigenik, yakni A. flavus dan A. parasiticus yang dapat


(33)

19

tumbuh dengan baik pada kondisi suhu 10-12 oC sampai 42-43 oC. Suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah 32-33 oC dan pH optimumnya sama dengan 6 (Bahri et al. 2004).

Industri pakan ternak merupakan salah satu industri hulu yang memiliki kepedulian terhadap pencemaran aflatoksin. Komponen pakan ternak, misalnya jagung, bungkil kedele, dan bungkil kelapa, merupakan substrat yang sangat cocok untuk pertumbuhan cendawan aflatoksigenik. Cemaran aflatoksin pada pakan ternak, terutama jagung, telah menjadi masalah bagi industri pakan ternak. Perhatian para praktisi industri pakan ternak mulai terusik tatkala beberapa hasil penelitian terhadap bahan mentah penyusun pakan ternak mulai ditampilkan. Purwoko et al. (1991) yang melakukan penyidikan terhadap keberadaan aflatoksin di dalam bahan mentah penyusun pakan ternak/unggas mendapatkan bahwa 91% jagung yang diperiksa mengandung aflatoksin dengan kadar toksin berkisar dari 22-6171 µg/kg dan 100% dedak yang diperiksa mengandung aflatoksin dengan kadar toksin berkisar dari 36-71 µg/kg. Bahri (1998 dan 2001) dan Bahri et al. (2005) mendapati bahwa lebih dari 70% contoh jagung, kacang tanah, dedak, konsentrat dan pakan ayam komersial yang diperoleh dari Lampung dan Jawa Timur mengandung AFB1. Kandungan AFB1 di contoh-contoh yang diperiksa

berkisar 13,5 – 134,2 g/kg. Walaupun secara individu ada contoh yang mengandung AFB1 di bawah baku mutu, tetapi ada juga yang jauh melampui baku

mutu sebanyak 50 ppb yang ditetapkan oleh SNI 01-3929-1995 tentang ransum ayam ras petelur dan SNI 01-4483-1998 tentang jagung bahan baku pakan.

Bahan makanan yang berbahan dasar kacang, terutama kacang tanah, sangat rentan terhadap pencemaran aflatoksin. Pencemaran dapat terjadi sejak di tingkat petani dan penebas. Pencemaran yang cukup tinggi terjadi di tingkat pengecer. Kandungan aflatoksin yang terlacak adalah 7-2000 ppm (Muhilal dan Karyadi 1984; Dharmaputra et al. 2003a; Ginting et al. 2005). Namun, pencemaran di rumah lebih parah lagi karena dalam waktu 28 minggu kandungan aflatoksin sudah dapat mencapai 912 ppb (Muhilal dan Karyadi 1984).


(34)

20

Beberapa bahan makanan yang sangat digemari dan bahan bakunya dari kacang tanah diantaranya bumbu pecel dan makanan yang sejenis, seperti bumbu sate dan kecap, sangat rentan terhadap pencemaran aflatoksin. Pengamatan pencemaran aflatoksin di dalam bahan-bahan makanan telah diselidiki sejak tahun 1979. Beberapa bahan makanan yang diperiksa kala itu telah diketahui mengandung AFB1 dan AFG1 seperti yang terpapar dalam Tabel 3.

Resiko mengkonsumsi makanan asal hewan yang tercemar aflatoksin tergantung pada pakan yang dimakan oleh ternak tersebut. Peluang mengkonsumsi makanan yang mengandung residu aflatoksin semakin besar bila pakan ternak telah tercemari oleh aflatoksin. Aflatoksin yang masuk ke dalam tubuh ternak bersama pakan akan mengalami proses biotransformasi di dalam tubuh ternak dan metabolitnya akan tersimpan di beberapa bagian tubuh ternak atau produk yang dihasilkannya. Tidak hanya metabolitnya, sejumlah aflatoksin yang masih beredar di dalam tubuh ternak pun dapat juga terkumpul. Sejumlah AFB1 telah terlacak berada di beberapa bagian karkas dan jeroan ayam yang di

dalam pakannya mendapatkan perlakuan pemberian sejumlah AFB1 (Pribadi dan

Unang 1996). Pribadi dan Patriana (1994) mendapatkan adanya AFB1 di dalam

telur yang diperoleh dari beberapa peternakan ayam petelur. Sedangkan Maryam et al. 1994 dan Maryam (1996) tidak mendapatkan adanya AFB1 pada contoh

daging dan hati ayam pedaging dan telur ayam ras yang diperiksa. Tetapi, Azzam dan Gabal (1998); Bintvihok et al. (2000) dan Rizzi et al. (2003) menegaskan kembali dengan mendapatkan residu AFB1 dengan kandungan berkisar 9-18 ppb

setelah mendapatkan pakan yang diberi pakan tercemari 200 ppb. Widiastuti (1999) mendapati daging dan hati sapi yang diperoleh dari pasar tradisional dan pasar swalayan mengandung AFB1 dengan kisaran kandungan 0,46-1,14 ppb dan

0,33-1,44 ppb. Makanan bayi yang bahan penyusunnya rentan terhadap infeksi cendawan aflatoksigenik/toksigenik memiliki resiko tinggi terhadap cemaran AFB1. Ramadhani et al. (2004) mendapati 7,27% dari contoh bubur makanan bayi


(35)

21

Tabel 3. Kandungan aflatoksin pada sampel kacang tanah dan produk olahannya di Indonesia

Kacang tanah/produk olahan Kadar aflatoksin B1

(ppb)

Pustaka Biji kacang tanah

Biji kacang tanah dari pedagang di pasar

Biji kacang tanah dari berbagai pedagang

Biji kacang tanah dari pedagang di pasar

Biji kacang tanah dari pedagang pengecer

Polong kacang tanah di petani, penebas, pengumpul

Bumbu kacang tanah Bumbu pecel Gado-gado Karedok Ketoprak Ketupat tahu Kacang goreng Kacang rebus Kacang garing/asin Kacang garing/asin

Kacang telur (flour coated peanut) Kacang telur (flour coated peanut)

Enting-enting gepuk

Selai kacang tanah (peanut butter) Selai kacang tanah (peanut butter) Tempe kacang tanah

Oncom Oncom goreng

Cake manis kacang tanah Minyak kacang tanah Bungkil kacang tanah

180 0 – 1.154

2,5 – 30 < 1 – 206

1,7 - 124 <15 83 0 – 221 12,4 – 52,5

60 10 – 25

10 30 80 td < 5 td < 15 0 – 24

13 10 20 67 41 170 61 126 Muhilal (1979)

Dharmaputra et al. (1989) Ginting et al. (2005) Goto et al. (1999)

Dharmaputra et al. (2003a) Dharmaputra et al. (2003a) Muhilal dan Karyadi (1984) Dharmaputra et al. (2003a); Dharmaputra et al. (2003b) Fardiaz (1997)

Fardiaz (1997) Fardiaz (1997) Fardiaz (1997) Fardiaz (1997)

Muhilal dan Karyadi (1984) Muhilal dan Karyadi (1984) Dharmaputra et al. (2003a) Muhilal dan Karyadi (1984) Dharmaputra et al. (2003a) Dharmaputra et al. (2003a); Dharmaputra et al. (2003b) Muhilal dan Karyadi (1984) Goto et al. (1999)

Goto et al. (1999)

Muhilal dan Karyadi (1984) Muhilal dan Karyadi (1984) Muhilal dan Karyadi (1984) Muhilal dan Karyadi (1984) Muhilal dan Karyadi (1984)


(36)

22

Sapi perah yang pakannya tercemari AFB1 menghasilkan susu yang

mengandung residu AFM1 dengan kadar berkisar 0,04-0,17 ppb (Bahri et al.

1994). Carvajal et al. (2003) mendapatkan data bahwa sebanyak 40% produk susu di Meksiko mengandung AFM1 dengan kadar > 0,05 g/kg (ppb) dan sebanyak

10% mengandung AFM1 dengan kadar <0,05 g/kg.Hasil ini menegaskan bahwa

AFM1 tidak rusak oleh perlakuan selama proses produksi karena aflatoksin baru

akan rusak pada suhu 270 oC (Beuchat 2000 dalam Galvez et al. 2003). Sejumlah residu AFM1 masih dapat terlacak di beberapa jenis produk olahan susu, seperti

keju (40-60%), krim (10%) dan butter (2%) dari kadar AFM1 pada produk

awalnya. Adanya residu AFM1 dibeberapa produk olahan susu tersebut berkaitan

dengan kasein susu (Lòpez et al. 2001).

Pemerintah melalui SNI 01-6366-2000 tentang batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan, telah menetapkan bahwa kadar AFB1 yang diperbolehkan adalah 0,02 mg/kg untuk

produk daging dan telur serta 0,001 mg/kg untuk produk susu. Kuiper-Goodman (1989) mendapatkan dosis aman untuk AFM1 adalah 0,066 mg/kg dengan TD50

sebesar 10,38 mg/kg. Sedangkan Codex Alimentarius Commission menetapkan kadar maksimum AFM1 di dalam produk susu adalah 0,5 g/kg.

Gangguan Kesehatan Ternak dan Manusia oleh Aflatoksin

Belum ada yang memberikan perhatian ketika pada tahun 1944 dan 1946 beberapa babi yang dipotong di rumah potong mengalami primary hepatic carcinoma. Pada tahun 1952, kelainan organ hati dalam bentuk hepatoma pun kerap ditemukan di tikus. Perhatian para praktisi dokter hewan barulah terfokus ketika di tahun 1960 terjadi kematian kalkun dengan angka kematian yang cukup tinggi. Hasil pemeriksaan bedah bangkai terhadap kalkun yang mati mengarahkan ke suatu hasil yang sama, yakni terjadi pembesaran dan hemorhagi pada organ hati. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih mendalam diketahui bahwa ada toksin yang mencemari pakan.


(37)

23

AFB1 menjadikan organ hati sebagai organ sasarannya dan memiliki sifat

hepatokarsinogenik, mutagenik dan teratogenik. Aflatoksin dapat menyebabkan kanker hati pada manusia, hewan laboratorium dan hewan ternak (Brucato et al. 1986; Ronald et al. 1992; Cassand et al. 1993; Harvey et al. 1994; Netke et al. 1997). Dampak aflatoksikosis pada ternak sangat beragam tergantung dari spesies, umur, bangsa dan kandungan protein di dalam pakan. Hewan muda lebih rentan dibandingkan yang tua (FSRIO 2005).

Ternak yang mengalami aflatoksikosis melalui pakannya akan mengalami anoreksia, ikterus, depresi, keluar cairan dari hidung, gangguan pada saluran pencernaan, penurunan fungsi organ reproduksi, asites atau hidrothoraks, penurunan bobot badan, bobot organ hati akan meningkat, penurunan tanggap kebal (imunosupresi), penurunan produksi susu dan telur dan gangguan pertumbuhan (Ghosh et al. 1990; Hegazy et al. 1991; Rao dan Joshi 1991; Kubena dan Harvey 1993; Suzanna et al. 1994; Azzam dan Gabal 1998; Gabal dan Azzam 1998; Glavits dan Salyi 1998; Madden dan Stahr 1999; Sklan et al. 2001; Ortatatli et al. 2002; Rizzi et al. 2003; FSRIO 2005). Beberapa gejala klinis juga telah diamati pada babi (Coppock et al. 1989), kuda (Bortell et al. 1983), sapi (Colvin et al. 1984; Brucato et al. 1986), domba (Abdelsalem et al. 1989), anjing (Liggert et al. 1986; Bastianello et al. 1987) dan unggas (Glavits dan Salyi 1998; Priosoeryanto et al. 2002). Sifat teratogenik AFB1 diperlihatkan dengan adanya

penurunan daya tetas dan abnormalitas pada embryo yang dihasilkan (Widiastuti et al. 1996; Azzam dan Gabal 1998; Celik et al. 2000; Bahri et al. 2005).

Pemeriksaan patologik pada semua ternak penderita memberikan hasil yang hampir mirip karena aflatoksikosis akan menyerang organ hati. Penderita aflatoksikosis akan mengalami hemorrhagi, nekrosis hepatik dan proliferasi pembuluh empedu. Sel-sel hati yang terperangkap oleh proliferasi pembuluh empedu dan jaringan ikat mengalami degenerasi lemak (Junjunan et al. 2000; Priosoeryanto et al. 2002).

Aflatoksin menyebabkan gangguan metabolisme karbohidrat dan pengangkutan lipida yang menghasilkan penurunan kadar glukosa dan


(38)

24

penumpukan lipida di hepatosit. Perubahan-perubahan enzim di dalam serum telah dilaporkan dalam penelitian-penelitian. Beberapa enzim hati, seperti aspartat transaminase, alkalin fosfatase, kreatin fosfokinase, laktat dehidrogenase; urea, trigliserida; kolesterol dan albumin akan meningkat selama mengalami aflatoksikosis (Madden dan Stahr 1999; Karakilcik et al. 2004).

Aflatoksin juga menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Aflatoksikosis pada manusia biasanya disebabkan oleh mengkonsumsi makanan yang tercemari oleh aflatoksin sebagai akibat dari tercemarnya bahan baku pangan, seperti kacang tanah, kacang kedele atau susu (William et al. 2004). Aflatoksikosis pada manusia menimbulkan gejala klinis seperti sakit perut, muntah-muntah, oedema organ paru, oedema di bagian ekstremitas bawah, konvulsi, kerusakan organ hati, koma dan tidak mustahil mengakibatkan kematian. AFB1 telah dinyatakan sebagai salah satu penyebab kanker hati (hepatocelluler

carcinoma, HCC) baik di masyarakat Asia dan Afrika maupun di negara lainnya (Jackson et al. 2001; Hinton et al. 2003; FSRIO 2005; GenNet 2005; Bommakanti dan Waliyar, 2005; Winter 2005). AFB1 telah diketahui sebagai penyebab

gangguan reproduksi berupa infertilitas pada pria (Uriah et al. 2001) dan kekebalan seluler (Jiang et al. 2005).

Aflatoksin juga dikenal sebagai pemicu bagi munculnya penyakit lain. Resiko terinfeksi oleh virus Hepatitis B meningkat dengan adanya intoksikosis AFB1 (Groopman dan Kensler 1999). AFB1 juga berkaitan erat dengan kejadian

kwashiorkor, malnutrisi dan Reye’s syndrome (Nelson et al. 1980; Roberts dan Richard 1992; Fields et al. 1999; Peraica et al. 1999; Gong et al. 2002; Bankole dan Adebanjo 2003; Bennett dan Klich 2003; Williams et al. 2004).

Karena menjadikan organ hati sebagai sasaran kerjanya, maka sebagian besar fungsi organ hati akan mengalami penurunan. Salah satu dari fungsi hati yang mengalami penurunan adalah menurunnya kemampuan tanggap kebal dari hewan atau manusia yang mengalami aflatoksikosis. AFB1 mampu menghambat

proses fagositosis in vitro, pemusnahan intrasel dan menurunkan kemampuan makrofag peritoneal untuk produksi oksigen radikal pada tikus (Cusumano et al.


(39)

25

1990; Ghosh et al. 1991), ayam dan kalkun (Neldon-Ortiz dan Qureshi 1991, 1992) dan babi (Silvotti et al. 1997). AFB1 juga menghambat sintesis dan

menurunkan kemampuan beberapa sitokin peradangan (inflammatory cytokines) pada rodensia (Jakab et al. 1994; Moon et al. 1999), sapi (Kurtz dan Czuprynscki, 1992), manusia (Rossano et al., 1999; Williams et al. 2004). Babi umur 4 minggu yang diberikan AFB1 dengan dosis 140 dan 280 ppb mengalami penurunan sitokin

IL-1ß dan TNF-a, tetapi mengalami peningkatan IL-10 (Liu et al. 2002, Marin et al. 2002). Hasil berbeda diperoleh Turner et al. (2003) yang mendapati bahwa keberadaan AFB1 yang terikat albumin di dalam darah tidak menurunkan fungsi

tanggap kebal seluler, tetapi justru mempengaruhi produksi IgA sekretori (sIgA).

Teknik-Teknik untuk Mendeteksi Aflatoksin dan Mendiagnosa Aflatoksikosis

Ada tiga tahapan penting yang dilibatkan dalam proses menyidik aflatoksin dalam contoh yang diperiksa. Ketiga tahapan tersebut adalah ekstraksi, pemurnian (purifikasi) dan penentuan (determinasi). Ekstrak contoh untuk penyidikan aflatoksin biasanya menggunakan kombinasi klorohidrokarbon-air, atau metanol-air, atau asetonitril-air. Cukup banyak produk-produk komersial yang dapat digunakan untuk memurnikan ekstrak contoh. Cartridge merupakan salah satu kolom pemurni yang cukup banyak digunakan. Cartridge merupakan kolom mikro yang terbuat dari tabung plastik yang di dalamnya berisi 100-500 mg partikel fase stationer 40 g yang berada di tengah dan ujung dari tabung tersebut. Jenis partikel yang digunakan dapat berupa jel silika, C18, Florisil® dan

phenyl-bounded SPE cartridge. Perkembangan teknologi dan imunologi menghasilkan kolom afinitas. Kolom ini menggunakan lapisan agarose yang mengandung antibodi terhadap aflatoksin yang diperiksa (Trucksess et al. 1991; Carvajal et al. 2003; Bahri et al. 2005).

Setelah dua tahap di atas dilalui, maka pada tahap penetapan aflatoksin digunakan teknik-teknik kimiawi dan imunologik. Kromatografi merupakan teknik kimiawi yang paling sering digunakan untuk penyidikan aflatoksin.


(40)

26

Beberapa jenis teknik kromatografi yang digunakan diantaranya thin layer chromatography (TLC, dengan kemampuan mengidentifikasi dan menghitung kadar aflatoksin < 1 ng/g), high performance thin layer chromatography (HPTLC) dan high pressure liquid chromatography (HPLC) (Coker 1988; AOAC 1990).

Dalam perjalanan waktu, pelaksanaan penyidikan aflatoksin membutuhkan peningkatan sensitifitas, spesifisitas, kecermatan, ketepatan, stabilitas dan kesederhanaan teknik. Biaya yang digunakan untuk melakukan penyidikan diupayakan untuk dihemat. Tuntutan-tuntutan tersebut memicu pengembangan teknik penyidikan. Penyidikan dengan teknik imunologik menjawab hampir semua tuntutan tersebut. Beberapa teknik imunologik digunakan adalah metode agar gel precipitation test (AGPT), radioimmunoassay (RIA), enzyme-linked immunooirbent assay (ELISA) dan immunoaffinity coloumn assay (IACA). Antibodi poliklonal atau monoklonal terhadap aflatoksin yang disidik digunakan dalam teknik-teknik tersebut. Namun, bila menggunakan antibodi monoklonal akan meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas uji yang dilakukan (Koeltzow dan Tanner 1990; Frino et al. 2000).

Pengendalian Aflatoksin

Upaya pengendalian pencemaran aflatoksin harus dilakukan sejak dari kebun sampai di gudang-gudang penyimpanan. Penelitian-penelitian untuk menghasilkan tanaman kacang tanah yang tahan terhadap serangan kapang A. flavus telah dilakukan. Namun, sampai saat ini masih belum diketahui hasil yang dapat diterapkan. Bentuk pencegahan lainnya adalah dengan membuat kondisi bersaing antara kapang aflatoksigenik dan kapang non-aflatoksigenik. Dorner (2005) mendapatkan hasil bahwa kapang toksigenik A. flavus yang dibiarkan bersaing dengan kapang non-toksigenik A. flavus di tanaman kacang tanah ternyata tidak mampu menghasilkan aflatoksin. Upaya yang lain adalah menebarkan isolat kapang dan bakteri yang memiliki sifat antagonistik dengan kapang aflatoksigenik A. flavus. Sejumlah spesies dari kapang Trichoderma, yaitu


(41)

27

T. harzianum, T. viride, T. auroviride, T. longibrachiatum, T. hamatum, Erotium chevalieri, dan Fusarium moniliforme; dan bakteri Pseudomonas telah dicoba ditumbuhkan bersama dengan A. flavus. Pertumbuhan A. flavus mengalami hambatan dengan adanya spesies-spesies tersebut. Dari hasil itu muncul dugaan bahwa spesies-spesies tersebut memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat sehingga mendominasi lingkungan, atau menghasilkan enzim-enzim hidrolitik, atau senyawa anticendawan atau memiliki sifat mikoparasitisme lainnya (Dharmaputra dan Putri 1996; Anonim 2000).

Penyingkiran aflatoksin yang terkandung di dalam bahan makanan dengan memanfaatkan bakteri-bakteri asam laktat (BAL) juga telah diteliti. Lactobacillus rhamnosus galur GG (ATCC 53103) dan L. rhamnosus galur LC-705 (DSM 7061) mampu menyingkir aflatoksin yang diimbuhkan ke dalam media tumbuh bakteri tersebut (Haskard et al. 2001). Selain dua galur tersebut, Lactobacillus amylovorus dan Bifidobacterium juga mampu menyingkirkan aflatoksin dari bahan makanan. Kemampuan bakteri Lactobacillus amylovorus menyingkirkan aflatoksin dapat mencapai 50% dari jumlah awal (Peltonen et al. 2001).

Fokus utama untuk mengendalikan mikotoksin di dalam pakan dan makanan adalah mengendalikan keberadaan aflatoksin di dalam bahan bakunya. Hal ini harus dilakukan bila menginginkan produk akhir yang akan dihasilkan tidak memiliki resiko tercemar aflatoksin. Aflatoksin menjadi fokus kritis dalam proses pengolahan pakan dan makanan karena aflatoksin baru dapat dihancurkan pada suhu 270 oC. Sehingga, walaupun masuk ke dalam proses pengolahan, toksin ini masih tetap ada di dalam produk yang akan dihasilkan (Galvez et al. 2003).

Penyingkiran aflatoksin secara kimiawi pada bahan penyusun pakan dan bahan makanan telah lama diteliti. Penghancuran aflatoksin secara kimiawi dapat dilakukan menggunakan bahan-bahan pengklorinat (sodium hipoklorit, gas klorin), bahan pengoksidasi (hidrogen peroksida, ozon, sodium bisulfit) atau bahan-bahan penghidrolisis (asam, alkalis, amonia, amonia hidroksida) (Marth dan Doyle 1979; Harvey et al. 1993; Abdel-Malik et al. 1995; Wheeler et al. 1995; Dharmaputra dan Ambarwati 1999).


(42)

28

Upaya yang lain untuk menyingkirkan aflatoksin secara kimiawi adalah dengan menggunakan pengikat (binder). Pengikat merupakan partikel kecil dengan area permukaan yang luas yang memiliki kemampuan tinggi untuk menyerap dibandingkan menetralkan. Mabbett (2005) mengemukakan bahwa karakter pengikat yang efektif haruslah memenuhi kriteria-kriteria efektif pada tingkat inklusif yang rendah, dapat tercampurkan dengan cepat dan merata, memiliki stabilitas yang tinggi selama proses pengolahan pakan dan penyimpanan pakan, selektif untuk mikotoksin saja, bekerja cepat, kuat dan mengikat untuk jangka waktu yang lama, efektif mengikat untuk berbagai jenis mikotoksin, efektif bekerja pada kisaran pH yang lebar, dapat terurai di lingkungan dan ramah lingkungan

Pengikat mikotoksin yang pertama kali dikembangkan adalah lumpur mineral anorganik. Ada tiga pengikat dari jenis ini, yaitu bentonit, zeolit dan aluminosilikat. Zeolit, baik yang sintetik maupun yang alami, juga telah digunakan untuk mengikat aflatoksin. Miazzo et al. (2000) mendapati zeolit sintetik yang diberikan dengan kadar satu persen ke dalam pakan yang sebelumnya telah dicampur 2,5 mg/kg AFB1 mampu melindungi ayam pedaging terhadap efek

aflatoksikosis. Pengikat aluminosilikat dinilai lebih efektif. Ketika dicampur air, permukaan segera bereaksi dengan ujung grup fungsional dari mikotoksin dan memegangnya dengan erat. Pemberian hidrated sodium calsium aluminosilicate (HSCAS) 0,5% dapat mengurangi aflatoksikosis pada ayam. Akan tetapi, penggunaan HSCAS masih dinilai belum efesien karena diperlukan 4-10 kg/ton pakan. Kekurangan HSCAS lainnya adalah tidak dapat diuraikan secara biologik, melicinkan lantai kandang, tidak ada nilai nutrisi (malah mengurangi nilai nutrisi karena mengikat tidak selektif terhadap vitamin, mineral dan asam-asam amino), tidak dapat digunakan untuk mikotoksin lainnnya, seperti zearalenon, okhratoksin dan trikhotesen (Mabbett 2005).

Penyingkiran aflatoksin secara biologik dengan memanfaatkan bakteri, khamir, kapang, aktinomises dan alga untuk menghancurkan aflatooksin di dalam makanan telah lama dilakukan. Penelitian-penelitian terakhir lebih memfokuskan


(43)

29

kepada pemanfaatan Lactobacillus rhamnosus, Propionibacterium dan Flavobacterium aurantiacum untuk menguraikan aflatoksin. Ketiga mikroba ini telah terbukti dapat menghancurkan aflatoksin di media pertumbuhan dan produk-produk susu, jagung, minyak jagung, selai kacang, ekstrak kedele, kacang dan susu kacang (Lillehoj dan Ciegler 1968; Chourasia dan Sinha 1995; Line dan Brackett 1995; Pribadi et al. 1998; Bata dan Lasztity 1999; El-Nezami et al.1996; El-Nezami et al.1998; Kankaanpää et al. 2000, Pierides et al. 2000; Souza dan Brackett 2000).

Saat ini telah dicoba untuk memanfaatkan bahan-bahan organik yang memiliki kemampun mengikat dan menyingkirkan aflatoksin. Bahan dinding sel khamir yang terdiri dari glukan dan mannan dinilai memiliki kemampuan untuk mengikat aflatoksin. Bahan tersebut adalah glukomannan teresterifikasi (esterified glucomannan, EGM) dan manan-oligosakarida termodifikasi (modified mannan-oligosaccharide). Kedua bahan ini dinilai memiliki kemampuan tinggi dan mudah terurai di lingkungan. Pengamatan mikroskopik menggunakan mikroskop elektron didapatkan gambaran bahwa luas permukaan EGM yang dapat mengikat aflatoksin mencapai 2,2 hektar. Jauh lebih luas dibandingkan lumpur pengikat. Melalui perhitungan dalam skala laboratorium, sebanyak 300 g EGM sudah cukup sebanding dengan 8 kg pengikat mineral. Suatu angka yang mencerminkan betapa efisien dan efektifnya EGM. EGM memiliki daya kerja mengikat mikotoksin yang cukup luas. Selain mampu mengikat dengan kuat aflatoksin (95%), senyawa ini juga mampu mengikat zearalenon (77%) dan fumonisin (59%).

MOS memiliki kelebihan dapat mengikat lebih cepat, kadar pengikatan lebih tinggi, berspektrum luas (tidak hanya mengikat aflatoksin saja) dan tidak terpengaruhi oleh keadaan pH. Kemampuan pengikatan AFB1 oleh MOS dapat

mencapai 80% pada pH 6,8 dibandingkan hanya 60% pada pH 4,5 (Mabbett 2005).

Bahan aktif yang ada di beberapa bahan makanan pun ada yang dapat berperan mengurangi aflatoksin. Beberapa diantaranya adalah asam linoleat yang ada di kacang kedele (Schultz dan Leudecke 1977; Kim et al. 2000); oleoresin,


(1)

72

characterization of major serum albumin adduct formed by aflatoxin B1 in

vivo in rats. Carcinogenesis 8: 819-824.

Sakuno, E, Yabe, K, Nakajima, H. 2003. Involvement of two cytosolic enzymes and a novel intermediate, oxoaverantin, in the pathway from 5’-hydrooxoaverantin to averuvin in aflatoxin biosynthesis. Appl Environ Microbial 69: 6418-6426.

Schultz, DL, Leudecke, LO. 1977. Effect of neutral fats and fatty acids on aflatoxin production. J Food Protect 40: 304-307.

Shen, HM, Shi, CY, Lee, HP, Ong, CN. 1994. Aflatoksin B1-induced Lipid Peroxidation in Rat Liver. Toxicol Appl Pharmacology 127(1): 145-150. Shin, HS, Kwon, SK. 2003a. Synthesis of allylthiopiridazine derivatives and

inhibition of aflatoxin B1-induced hepatotoxicity in rats. Arch Pharm Res

26: 351-357.

Shin, HS, Kwon, SK. 2003b. Hepatoprotective of synthetic of 3-alkoxy-6-allylthiopiridazine derivatives on aflatoxin B1-induced chronic and acute

toxicity. Duksung Women’s University J 32: 175-185.

Silvotti, L, Di Lecce, R, Bonomi, A, Borghetti, P, Perillo, A, Piedimonte, G, Corradi,A, Cabassi, E. 1995. In vitro responses of macrophages and lymphocytes of pigs fed with aflatoxin B1 and G1. Eur J Vet Pathol 1: 117-121.

Sipes IG, Gandolfi AJ. 1986. Biotransformation of Toxicants. In. Klaassen, CD

et al. (Ed.). Casarett and Doull’s TOXICOLOGY. The basic Science of Poisons. 3rd ed.Macmillan Publishing Co. NY. p. 64-68.

Sklan, D, Klipper, E, Friedman, A. 2001. The effect of chronic feeding of diacetoxyscirpenol, T-2 toxins, and aflatoxin on performance, health, entibody production in chicks. J Appl Poult Res 10: 79-85.

Souza, DHD, Brackett, RE. 2000. The influence of divalent cations and chelators on aflatoxin B1 degradation by Flavobacterium aurantiacum. J Food

Protect 63: 102-105.

Suematsu M, Aiso S. 2001. Profesor Toshio Ito: a clairvoyant in pericyte biology.

Keio J Med 50(2): 66-71.

Susanto, DW, Pribadi, ES. 1995. Pengaruh Pemberian Antibiotika terhadap Kemampuan Antibodi Humoral pada Ayam Petelur Jantan yang Mendapatkan Pakan Mengandung Aflatoksin. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.


(2)

73

Suzana, Pribadi, ES, Joeniman, B. 1995. Pengaruh pakan yang mengandung aflatoksin terhadap vaksinasi ND pada ayam petelur jantan. Penelitian skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Syarief R, Ega L, Nurwitri CC. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. IPB Press.

Bogor. 398 hal.

Tadi, PP, Teel, RW, Lau, BHS. 1991. Organosulfur compound of garlic modulate mutagenesis, metabolism, and DNA binding of aflatoxin B1. Nutr Cancer

15: 87-95.

Teel, RW. 1991. Effects of capsaicin on rat liver S9-mediated metabolism and DNA binding of aflatoxin. Nutr Cancer 15: 27-32.

Trucksess MW, Stack, ML, Neshem, S, Pagi, SW, Albert, RH. 1991. Immunoaffinity column coupled with solution fluorometry or liquid chromatography postcolumn derivatization for determintation of aflatoxin in corn, peanuts, and peanut butter: Collaborative study. J Assoc Anal Chem 74: 81-88

Tsuboi, S, Kawamura, K, Cruz, ML, Iwamura, N, Imanaka, Y, Wada, T, Kachno, N, Sulaeman, A, Noer, MS, Abadi, P, Rasad, A, Adenan, H, Sastroamidjojo, P, Salamat, LA, Romero, TC, Lingao, AL, Dominso, EO. 1984. Aflatoxin B1 and Primary Hepatocellular Carcinoma in Japan,

Indonesia and Philipines. (Detection Aflatoxin B1 in Human Serum and Urine Samples). ICMR Annals 4: 175-185.

Turner, PC, Moore, SE, Hall, AJ, Prentice, AM, Wild, CP. 2003. Modification of Immune Function through Exposure to Dietary Aflatoxin in Gambian Children. Environ Health Perspect 111(2): 217-220.

Uriah, N, Ibeh, IN, Oluwafemi, F. 2001. A study on the impact of aflatoxin on human reproduction. Afr J Reprod Health 5(1): 106-110.

Wheeler, MH, Bhanagar, D, Bhanagar, D. 1995. Inhibition of aflatoxin production by aspergillus flavus with pentachlorobenzyl alcohol, phthalide and pyroquilon. Pesticide, Biochem Physiol 52(2): 109-115 (abstract). Wibawan, IWT, Lämmler, C, Pasaribu, FH. 1992. Role of hydrophobic surface

proteins in mediating adherence of group B streptococci to epithelial cells. J Gen Microbiol 138: 1237-1242.

Widiastuti, R, Bahri, S, Darminto. 1996. Studi pendahuluan efek immunosupresif pada ayam yang menetas dari telur berembrio yang diinokulasi dengan aflatoksin. Prosiding Temu Ilmiah nasional Bidang Veteriner. Bogor, 12-13 Maret 1996. p. 307-310.


(3)

74

Widiastuti, R. 1999. Residu aflatoksin pada daging dan hati sapi di pasar tradisional dan swalayan di Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 Oktober 1999. p. 609-614.

Wilkinson, J, Rood, D, Minior, D, Guillard, Darre, M, Silbart, LK. 2003. Immune response to a mucosally administered aflatoxin B1 Vaccine. Poult Sci 82:

1565-1572.

Williams, GM, Tanaka, T, Macura, Y. 1986. Dose-related inhibition of aflatoxin B1 induced hepatocarcinogenesis by the phenolic antioxidants, butylated

hydoxyanisole and butylated hydroxytoluene. Carcinogenesis 7: 1043-1050.

Williams, JH, Phillips, TD, Jolly, PE, Stiles, JK, Jolly, CM, Aggarwal, D. 2004. Human aflatoxicosis in developing countries: a review of toxicology, exposure, potential health consequences, and interventions. American J Clin Nutr 80(5): 1106-1122.

Wilson, AS, Williams, DP, Davis, CD, Tingle, MD and Park, BK. 1997. Bioactivation and inactivation of aflatoxin B1 by human, rat and mouse liver preparations: Effect on SCE in human mononuclear leucocytes.

Mutation Res 373: 257-264.

Wilson, R, Ziprin, R, Ragsdale, S, Busbee, D. 1985. Uptake and vascular transport of ingested aflatoxin. Toxicol Lett.29(2-3): 169-76.

Winter, SS. 2005. Hepatocellular Carcinoma. http://www.emedicine.com/ped/byname/hepatocellular-carcinoma.htm

[2 November 2005]

Yabe, K., Ando, Y, Hashimoto, J, Hamasaki, T. 1989. Two distinct o -methyltranferase in aflatoxin biosynthesis. Appl Environ Microbiol 55: 2172-2177.

____, K., Chihaya, N, Hamamatsu, S, Sakuno, E, Hamasaki, T, Nakajima, H, Bennett, JW. 2003. Enzymatic conversion of averufin to hydroxyversicolorone and elucidation of a novel metabolic grid involved in aflatoxin biosynthesis. Appl Environ Microbiol 69: 66-73.

____, K., Matsushima, K, Koyama, T, Hamasaki, T. 1998. Enzymatic formation of G-group aflatoxins and biosynthetic relationship between G- and B-group aflatoxins. Appl Environ Microbiol 65: 3867-3872.

____, K., Nakamura, M, Hamasaki, T. 1999. Purification and characterization of

o-methyltranferase I involved in conversion of demethylsterigmatocystin to sterigmatocystin and of dihydrodemethylsterigmatocystin to


(4)

75

dihydrosterigmatocystin during aflatoxin biosynthesis. Appl Environ Microbiol 64: 166-171.

Yatim, AM, Sachan, DS. 2001. Carnitine Alters Binding of Aflatoxin to DNA and Proteins in Rat Hepatocytes and Cell-Free Systems. J Nutr 131: 1903-1908.

Yu, J, Bhatnagar, D, Ehrlich, KC. 2002. Aflatoxin biosynthesis. Rev Iberoam Mycol 19: 191-200.

____, Cary, JW, Bhatnagar, D, Cleveland, TE, Chang, PK, Ehrlich, KC; Montalbano, BG, Dyer, JM,. 1993. Characterization of the critical amino acids of an Aspergillus parasiticus cytochrome P-450 monooxygenase encoded by ordA that is involved in the biosynthesis of Aflatoxin B1, G1,

B2 and G2. Appl Environ Microbiol 64: 4834-4841.

_____, Chang, PK, Ehrlich, KC; Cary, JW, Montalbano, BG, Dyer, JM, Bhatnagar, D. 1998. Characterization of the critical amino acids of an

Aspergillus parasiticus cytochrome P-450 monooxygenase encoded by

ordA that is involved in the biosynthesis of Aflatoxin B1, G1, B2 and G2.


(5)

ii

ABSTRAK

EKO SUGENG PRIBADI. Studi tentang Protein Organ Hati yang Berinteraksi dengan Aflatoksin B1. Komisi Pembimbing: I WAYAN T. WIBAWAN,

FACHRIYAN H. PASARIBU, RIZAL SYARIEF

Biotransformasi dan bioaktivasi aflatoksin merupakan suatu proses metabolisme di dalam tubuh yang berperan penting bagi aktivitas aflatoksin. Kedua proses ini terjadi di dalam organ hati. Satu tipe protein yang berikatan dengan aflatoksin B1

(PAB1) dari organ hati telah diisolasi menggunakan teknik kromatografi affinitas.

AFB1 diikatkan pada matriks nitroselulosa yang diaktifkan dengan Br-CN untuk

menangkap protein kemudian diinkubasi dengan ekstrak hati bebek dan ayam yang mengandung protein. Kandungan protein di dalam ekstrak kasar adalah 0,4310 mg/ml untuk hati bebek dan 0,3946 mg/ml untuk hati ayam yang diukur menggunakan metode Bradford. Ada dua pita PAB1 (66 dan 25 kDa) yang

diisolasi dari protein ayam dan hanya satu pita PAB1 (66 kDa) yang diisolasi dari

protein bebek ketika diisolasi menggunakan teknik SDS-PAGE. Antibodi terhadap PAB1 dihasilkan dengan menggunakan hewan coba kelinci yang disuntik

dengan PAB1 yang telah diisolasi. Keberadaan dan titer antibodi terhadap PAB1

(APAB1) diperiksa menggunakan teknik AGPT. APAB1 yang diperoleh digunakan

untuk memeriksa penyebaran PAB1 di dalam jaringan hati menggunakan teknik

imunohistokimiawi. Penyebaran PAB1 di dalam jaringan hati didapatkan di dalam

preparat jaringan hati bebek dan ayam. Keberadaan PAB1 di dalam organ hati

bebek lebih banyak dan menyebar dibandingkan di dalam organ hati ayam. Kata-kata kunci: aflatoksin B1, PAB1, penyebaran PAB1.


(6)

iii

ABSTRACT

EKO SUGENG PRIBADI. Study on Liver Organ Proteins which Interacted to Aflatoxin B1. Supervised by I WAYAN T. WIBAWAN, FACHRIYAN H.

PASARIBU, RIZAL SYARIEF

Biotransformation and bioactivation of aflatoxin play an important role in activity of aflatoxin. These processes will be took place in liver cell. The soluble intracellular aflatoxin B1-binding protein (PAB1) was isolated with an affinity

chromatography technique. For this, AFB1 was immobilized on Br-CN activated

nitrocellulose, then incubated with duck and chicken liver crude extract containing protein. Protein concentration of crude extract are 0.4310 mg/ml for duck liver and 0.3946 mg/ml for chicken liver measured by Bradford method. Two major protein bands was expressed by isolated PAB1 of chicken liver organs (66 and 25

kDa) and one protein band (66 kDa) for duck determined with SDS-PAGE. Antibodies against PAB1 were produced using rabbits injected with isolated PAB1

and the occurrence and the titre of specific antibodies were confirmed with AGPT. The antibody PAB1 was used to explore the distribution of PAB1 in liver tissues

with immunohistochemistry technique. PAB1 distribution could be detected in

duck as well as chicken liver preparation. The occurrence of PAB1 in duck liver is

clearly disseminate compared to chicken.