Tinjauan tentang perkawinan Usia Muda

4 Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5 Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini. 6 Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

A. Tinjauan tentang perkawinan Usia Muda

1. Pengertian perkawinan usia muda Sehubungan dengan perkawinan usia muda, maka ada baiknya kita terlebih dahulu melihat pengertian daripada remaja dalam hal ini yang dimaksud rentangan Golongan remaja muda adalah para gadis berusia 13 sampai 17 tahun, ini pun sangat tergantung pada kematangan secara seksual, sehingga penyimpangan- penyimpangan secara kasuistik pasti ada. Dan bagi laki-laki yang disebut remaja muda berusia 14 tahun sampai 17 tahun. Dan apabila remaja muda sudah menginjak 17 sampai dengan18 tahun mereka lazim disebut golongan muda atau anak muda. Sebab sikap mereka sudah mendekati pola sikap tindak orang dewasa, walaupun dari sudut perkembangan mental belum matang sepenuhnya. Soerjono Soekanto, 2004. Usia muda adalah anak yang ada pada masa peralihan diantara masa anak-anak dan masa dewasa dimana anak-anak mengalami perubahan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap dan cara berfikir dan bertindak, tetapi bukan orang dewasa yang telah matang Zakiah Daradzat, 1997 :33. Menurut Elizabeth B. Hurlock 1994:212 menyatakan secara tradisional masa muda dianggap sebagai “badai dan tekanan” yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Menurut Konopka, 1976:241 menjelaskan bahwa masa muda dimulai pada usia dua belas tahun dan diakhiri pada usia 15 tahun sama halnya dengan teori yang diungkapkan oleh Monks 1998:262 batasan usia secara global berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun dan pembagian 12-15 tahun masa muda awal, 15-18 tahun masa muda pertengahan, 18-21 tahun masa muda akhir. Menurut Sarlito Wirawan 1991:51 masa muda adalah masa peralihan dari anak- anak ke masa dewasa bukan hanya psikologisnya saja, akan tetapi juga fisiknya. Bahkan perubahan fisik itulah merupakan gejala primer dari pertumbuhan usia muda sedangkan perubahan-perubahan psikologis itu muncul sebagai akibat dari perubahan fisik. Berdasarkan pendapat diatas, masa muda adalah seseorang yang telah menginjak usia 12 tahun dan berakhir pada usia 21 tahun, yang disebut juga dengan masa badai dan tekanan sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar yang mana sangat berpengaruh pada psikologi usia muda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkawinan usia remaja adalah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang pada hakekatnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan baik secara biologis, psikologis maupun sosial ekonomi. Dengan penjelasan diatas maka perkawinan usia muda dapat di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri di usia yang masih muda atau remaja. Usia muda menunjukkan usia belia, ini bisa digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang dilakukan sebelum batas usia minimal. Dengan demikian pernikahan usia muda berarti pernikahan yang dilaksanakan di bawah umur enam belas tahun. Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun1974, pasal 1 merumuskan arti perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk melangsungkan suatu perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua orang tua. Seperti halnya juga telah dijelaskandalam UU Republik Indonesia Nomor 1 pasal 1 tahun 1974 tentang perkawinan,yang menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara umum perkawinan usia muda adalah perkawinan di usia belia atau perkawinan yang dilakukan di bawah usia minimal yang diperbolehkan dalam aturan. Terdapat perselisihan antara konsep agama dan negara dalam memaknai perkawinan usia muda. Perkawinan yang dilakukan melewati batas minimal undang-undang perkawinan, secara hukum kenegaraan dianggap tidak sah. Jadi, istilah perkawinan menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, perkawinan usia muda ialah perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh, perkawinan usia muda berarti perkawinan yang dilaksanakan di bawah umur enam belas tahun. Menurut Diane E. Papalia dan Sally Wendkos dalam bukunya Human Development 1995, mengemukakan bahwa usia terbaik untuk melakukan pernikahan bagi perempuan adalah 19 sampai dengan 25 tahun, sedangkan untuk laki-laki usia 20 sampai 25 tahun diharapkan sudah menikah. Karena ini adalah usia terbaik untuk menikah baik untuk memulai kehidupan rumah tangga maupun untuk mengasuh anak pertama. Bagi seorang wanita yang tidak direstuidizinkan maka sebagai walinya adalah wali hakim. Dispensasi dari pengadilan itu adalah sebagai pengganti izin dari orang tua, dimana orang tua atau wali yang disebut dalam pasal 6 ayat 3,4, dan 5 enggan menikahkan mereka. Secara hukum pernikahan mereka sah, sebab semua rukun dan syarat telah terpenuhi. Dalam pernikahan, usia dan kedewasaan memang menjadi hal yang harus diperhatikan bagi para pria dan wanita yang ingin melangsungkan pernikahan. Karena bila kita melihat fenomena yang ada, pada orang yang dewasa ketika berumah tangga dipandang akan dapat mengendaliakn emosi dan kemarahan yang sewaktu-waktu akan muncul dalam keluarga. Ini dimungkinkan karena kualitas akal dan mentalnya sudah relatif stabil sehingga dapat mengontrol diri sendiri maupun dengan pasangan dan lingkungan sekitar. Kedewasaan dalam bidang fisik-biologis, sosial ekonomi, emosi dan tanggung jawab serta keyakinan agama, ini merupakan modal yang sangat besar dan berarti dalam upaya meraih kebahagiaan. Masih banyaknya pernikahan usia muda di masyarakat disebabkan oleh berapa faktor: 1. Adanya ketentuan hukum atau undang-undang yang membolehkan kawin usia muda sebagaimana pada UUP No. 1 tahun 1974; 2. Masih adanya salah pandang terhadap masalah kedewasaan dimana anak yang sudah menikah berapun umurnya dianggap sudah dewasa; 3. Faktor sosial ekonomi yang cendurung mendorong orang tua untuk cepat-cepat menikahkan anaknya terutama anak perempuan dengan maksud agar beban ekonomi keluarga berkurang; 4. Rendahnya kesadaran dan tingkat pendidikan orang tua dan anak yang memandang pendidikan formal tidak penting sehingga lebih baik kalau segera dinikahkan; 5. Faktor budaya yang sudah melekat di masyarakat bahwa jika punya anak perempuan harus segera dinikahkan agar tidak menjadi perawan tua; 6. Pergaulan bebas para remaja yang mengakibatkan kehamilan sehingga memaksa orangtua untuk menikahkan berapapun umurnya Sementara itu menurut Nadhif 2003 Sebab-sebab perkawinan usia muda diantaranya adalah sebagai berikut : a. Takut berbuat zina. Dikalangan anak muda sekarang banyak kita jumpai sebelum akad sudah pacaran terlebih dahulu. Agar tidak terjerumus kejalan yang tidak dibenarkan maka mereka melaksanakan akad nikah walaupun usianya belum memungkinkan. b. Lingkungan. Ada sebagaian orang tua berpandangan bahwa jika anak gadisnya tidak secepatnya dinikahkan kelak akan menjadi perawan tua. Juga karena pengaruh masyarakat disekitarnya memang menghendaki anaknya harus menikah walaupun masih belum cukup umur. c. KecelakaanHamil sebelum Nikah, karena pengaruh pergaulan bebas,mas media baik cetak maupun elektronik, sehingga kita tidak bisa mengendalikan diri akhirnya terjadi hamil diluar nikah. Kalau hal ini terjadi kecelakaan maka mereka akan datang ke KUA minta untuk segera dinikahkan walaupun umurnya masih relatif muda. d. Putus Sekolah atau tidak punya kegiatan tetap. Kondisi ini sangat berpengaruh kepada generasi muda untuk mencari peluang agar dapat secepatnya mencari pendamping hidup. Merasa dirinya tidak ada kegiatan , akhirnya mengambil jalan pintas dengan harapan siapa tahu dengan menikah semua urusan bisa selesai. 2. Dampak yang ditimbulkan akibat dari Perkawinan Usia Muda 1. Kehilangan kesempatan pendidikan. Menikahkan usia muda dapat menyebabkan anak kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan, karena anak akan terhambat untuk memperoleh pendidikan. Padahal pendidikan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan akan berpengaruh langsung terhadap kesempatan lapangan pekerjaan. Pekerjaan akan menentukan penghasilan keluarga. Selain itu, pendidikan akan memperluas cakrawala berfikir, mempengaruhi kedewasaan cara berfikir dan akan mempengaruhi status sosial di masyarakat. 2. Kehilangan kesempatan untuk berkembang dan berekspresi. Pernikahan usia muda akan menghalangi anak mengekspresikan dan berpikir sesuai usianya, karena ia akan dituntut dengan tanggungjawab dalam keluarga sebagai suami atau istri. Kehilangan kesempatan untuk berkreasi, bermain, bergaul dengan teman sebaya, beristirahat dan memanfaatkan waktu luang. Pada kenyataanya anak yang menikah pada usia muda, belum bisa mengurus keluarga maupun anak-anaknya, bahkan mengurus dirinya sendiri saja terkadang belum bisa. Rentan terhadap gangguan kesehatan reproduksi, seperti kangker cervix dan penyakit seksual menular lainnya. Perempuan yang menikah di bawah usia 20 tahun, 58,5 persen lebih rentan terkena kanker serviks. Organ reproduksi yang belum siap atau matang untuk melakukan fungsi reproduksi, beresiko terhadap bahaya pendarahan dan kerusakan organ yang dapat menyebabkan kematian, cenderung melakukan aborsi yang sering disertai komplikasi dan kematian. 3. Rentan terhadap masalah kehamilan dan janin. Pengantin anak atau remaja biasanya dipaksa untuk sesegera mungkin mendapatkan kehamilan dan melahirkan anak setelah pernikahannya. Hal ini berarti dapat meningkatkan angka kematian pada ibu hamil karena pada usia 15- 19 tahun rentan terkena komplikasi kehamilan dan persalinan serta “fistula obstetric”. Perempuan yang menikah dini juga rentan mengidap kanker serviks kanker mulut rahim. Dengan demikian, praktik ini dipandang memiliki banyak dampak negatif bila ditinjau dari sudut pandang kedokteran. Kurangnya pengetahuan ibu yang menikah di usia muda, tentang gizi bagi ibu hamil sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin. Perempuan yang mengandung, melahirkan dan mengurus anak karena usia mereka yang masih muda, atau belum dewasa ada beban psikologis sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak yang dikandungnya. 4. Rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Karena keterbatasan dan ketidakmatangan untuk berumah tangga, anak perempuan yang terpaksa menjadi seorang istri di usia yang masih sangat belia itu tidak mempunyai posisi tawar-menawar yang kuat dengan suaminya, sehingga sangat rawan menjadi korban dan sasaran kekerasan dalam rumah tangga. Begitupun anak laki-laki yang menikah di usia muda, karena keterbatasan dan ketidakmatangan emosi untuk berumah tangga akan cenderung menjadi pelaku kekerasan. 5. Pernikahan usia muda berinfestasi pada masalah sosial yang lebih kompleks di masa mendatang. Perkawinan usia muda akan memicu berbagai persoalan sosial di masa yang akan datang. Ketidaksiapan mental, sosial dan ekonomi anak untuk berumah tangga dapat mengakibatkan terjadinya masalah kekerasan dalam rumah tangga, banyaknya anak yang terlantar dan terabaikan pengasuhannya, masalah status dan kesehatan ibu dan anak, banyaknya anak lahir menyandang masalah kesehatan, pengangguran, dll. Jumlah anak-anak yang menjadi korban perkawinan dini tercatat di Indonesia sangat banyak, yakni 34,5 dari total perkawinan di seluruh Indonesia yang berjumlah antara 2 sampai 2,5 juta pasangan setiap tahun. Ini sangat mengkhawatirkan, karena selain menjadi pemicu tingginya angka perceraian, juga penyebab tetap tingginya angka kematian bayi di Indonesia.

C. Tinjauan Tentang Perceraian