1. Al ditulis dengan huruf kecil - al-
Qur’an = seperti, “sebagai mana disebutkan dalam al-Qur’an” - al-Baihaq
î = seperti, “menurut al-Baihaqi, bahwasannya…” 2. Al ditulis dengan huruf besar
- Al- Baihaqi = seperti, “Al-Baihaqi menyatakan bahwa….”
- Al-Bukhari = seperti, “Al-Bukhari, didalam kitabnya menegaskan…”
D. Singkatan
SWT = Subhânahu wa ta’âlâ
H = Hijriyah
as =
‘Alaih al-salâm ra
= Radiya Allâ h ‘anhu
M = Masehi
w = Wafat
Q.S = al-
Qur’ân; surat h
= Halaman saw
= Sholla Allahu ‘alaih wa sallam
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al- Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad memiliki banyak
sekali fungsi, dan fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh alam. Petunjuk yang dimaksud adalah agama, atau yang biasa juga disebut syariat.
1
Menurut Yusuf Qardhawi, al- Qur’an dan sunnah merupakan dua sumber untuk
mengenali hukum dan ajaran islam yang berkaitan dengan akhlak, ibadah, penetapan hukum, aqidah, adab sopan santun, dan bidang-bidang kehidupan
lainnya.
2
Jika dilihat dari sejarah diturunkannya al- Qur’an, tujuan pokok al-Qur’an
salah satunya adalah petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya
secara individual atau kolektif, termasuk pula dalam hal tauhid agar manusia tidak terjerumus kedalam kemusyrikan.
3
Jika kita perhatikan tentang sejarah awal mula terjadi kemusyrikan tidak terlepas dari kisah Nabi Nuh dan pengikutnya, sebagaimana riwayat yang shahih
dari Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas berkata: Dan setelah sepuluh abad berlalu setelah masa Nabi Adam, munculah orang-orang shalih yang nama-nama
mereka disebutkan Allah
4
. Mereka ialah, Wadd, Suwa, Yaghuts, Yauq, dan nasr.
5
1
M.Quraish Shihab, Membumikan al- Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994, h. 27.
2
Yusuf Qardhawi, Al- Qur’an dan As-Sunnah Refensi Tertinggi Umat Islam; Beberapa
Kaidah dan Rambu dalam Menafsirkan, Jakarta: Rabbani Press,1997, h. 15.
3
Yusuf Qardhawi, Al- Qur’an dan As-Sunnah Refensi Tertinggi Umat Islam; Beberapa
Kaidah dan Rambu dalam Menafsirkan, h. 40.
4
Mereka ini adalah orang-orang shalih yang bertauhid, ahli ibadah dan juga berdakwah menyeru kaum mereka kepada Allah. Mereka amat dicintai oleh kaum
mereka, dan lebih dari itu, mereka adalah tauladan yang penuh pesona bagi mereka. Tapi justru malapetaka kemudian muncul dari arah ini; yaitu rasa
ketergantungan mereka kepada orang-orang shalih tersebut melahirkan sikap pengkultusan dan ghuluw pada diri mereka.
6
Ibnu Taimiyah rahimahullah pun menjelaskan hal yang serupa tentang kemusyrikan yang dilakukan kaum Nabi Nuh :
“Nama-nama yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah nama-nama orang sholih dari kaum Nuh. Ketika orang-
orang sholih tersebut wafat, maka orang-orang mulai i’tikaf di kubur-kubur
mereka, kemudian berlalulah waktu hingga mereka membuat bentuk untuk orang- orang sholih tersebut dengan wujud patung. Dan perlu dipahami bahwa berdiam
beri’tikaf di kubur, mengusap-ngusap kubur, menciumnya dan berdo’a di sisi kubur serta semacam itu adalah asal dari kesyirikan dan asal mula penyembahan
berhala. ”
7
23. Dan mereka berkata: Jangan sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan wadd, dan jangan pula
suwwa, yaghuts, yauq dan nasr. Q.S. Nuh : 23.
5
wadd, suwwa, yaghuts, yauq dan Nasr adalah nama-nama berhala yang terbesar pada qabilah-qabilah kaum Nuh.
6
Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al „Azhim, T.tp: Dar Ibn al-Jauzi, 1431 H, Cet. I, Juz 7,
h. 390. Ghuluw adalah sikap berlebih-lebihan atau melampaui batas. Pengkultusan adalah Pengkeramatan sang tokoh, sejak tokoh tadi hidup bahkan sampai ia meninggal dunia. Barang-
barang yang berkaitan dengan sosok tadi pun dicari-cari dan diagung-agungkan, dijadikan jimat dan tidak lupa untuk dikeramatkan.Tambah parah lagi, makamnya senantiasa ramai dipadati oleh
para pengagum dan simpatisan yang ingi
n “mencari berkah” dari kubur sang tokoh. Bahkan ketika tiba saat ulang tahun kematian dan kelahiran tokoh, semaraknya kubur lebih dibandingkan dengan
semaraknya masjid-masjid Allah.
7
Iyad bin ‘Abdul Lathief bin Ibrahim Al Qoisi, Tafsir Syaikh al-Islam Ibn at-Taimiyah, T.Tp, Dar Ibn al-Jauzi, 1432 H, Cet. I
Imam al-Bukhari juga menjelaskan di dalam kitab shahihnya tentang kemusyrikan yang dilakukan kaum Nabi Nuh ternyata menyebar sampai ke orang
arab Jahiliyah :
أ أ أ ك ٌد أ ، أع عأ ا ف أ أ ق ف أ ك أ ا ثأ أْا ص
ف أ أ فأ طغ ث دا أ ف أ غ أ أ أ ك عا س أ أ أ ا
ء أسأ ،عَ أ ا أ ح أ ف أس أ ا أ أ ف أ ع أ إ س أ ع إ ا أ صأ ا أ أ أ ق إ طأ ش ا ح أ أ اأ ه ف أ أ ق أ أ ح ص ج
ا إ ح أ أع أ ف اأ ع ف أ ئ أسأ هأ س صأ أ أ س أ اأ ك أ ا أ س أ ع أ عأ ا س أ ه
.
Artinya : “berhala-berhala yang dulu disembah pada kaum Nuh menjadi di-
sembah Oleh orang-orang arab jahiliyah setelah itu. Berhala Wad menjadi milik kabilah Kalb di Daumah al-Jandal, berhala Suwa milik kabilah Hudzail,
Yaghuts adalah milik kabilah murad kemudian menjadi milik Bani Ghuthaif di al- Jauf di negeri Saba`, berhala Yauq milik kabilah Hamdan, dan berhala nasr
milik kabilah himyar untuk keluarga Dzu al-Kala. mereka sebenarnya adalah nama-nama laki-laki yang shalih dari kaum Nuh. Ketika mereka meninggal, maka
setan membisikkan kepada kaum mereka untuk mendirikan patung arca di tempat duduk mereka yang biasa mereka duduki. Lalu mereka menamakan patung
tersebut dengan nama mereka. Mereka pun melakukannya dan tidak disembah, hingga ketika kaum tersebut telah wafat, dan ilmu telah lenyap, maka berhala-
berhala itupun disembah.
”
8
Bahkan pada masa Nabi Muhammad SAW pun kemusyrikan masih saja merajalela. Hal ini dapat dilihat pada saat itu di sekeliling kabah ada sekitar 360
berhala dan arca yang ditancapkan oleh setiap kabilah untuk disembah dan dijadikan perantara antara mereka dengan Allah. Namun berkat bimbingan Allah
yang terus menerus kepada Nabi Muhammad, sistimatika dalam berdakwah, dan pribadi Nabi yang sangat mengesankan, akhirnya berhala-berhala tersebut bisa
dihancurkan dan pada akhirnya Mekah dan kabah bisa dikembalikan sesuai dengan tujuan didirikannya semula yaitu menjadi kiblat kaum muslimin.
9
8
Shahih al-bukhari, no. 4920.
9
Lihat http:www.iiq.ac.idindex.php?a=artikeld=2id=89, diakses pada tanggal 5 Oktober 2014, pukul 16.50. Artikel ditulis oleh: DR. KH. Ahsin Sakho Muhammad.
Jika kita melihat tentang perbuatan-perbuatan orang musyrik tersebut, maka al-
Qur’an secara tegas melarang kita untuk berhubungan dengan orang musyrik karena dikhawatirkan hubungan tersebut akan berdampak buruk bagi
aqidah kita, seperti apa yang Allah tegaskan dalam firman-firmannya :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang
menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh Telah kami
terangkan kepadamu ayat-ayat Kami
, jika kamu memahaminya”. Q.S. Al- Imran : 118.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi
pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, yaitu di antara orang-orang yang Telah diberi kitab sebelummu,
dan orang-orang yang kafir orang-orang musyrik. dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-
orang yang beriman”. Q.S. Al-Maidah : 57
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku
dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka berita-berita Muhammad, Karena rasa kasih sayang; padahal Sesungguhnya
mereka Telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan mengusir kamu Karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika
kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku janganlah kamu berbuat demikian. kamu memberitahukan secara rahasia
berita-berita Muhammad kepada mereka, Karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. dan
barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya dia Telah
tersesat dari jalan yang lurus”. Q.S. Al-Mumtahanah : 1. al-
Qur’an dengan tegas telah melarang kita untuk menjalin hubungan dengan orang-orang musyrik, entah itu hanya sebatas hubungan pertemanan,
hubungan rekan kerja, hubungan percintaan ataupun hubungan yang lebih erat lagi seperti hubungan pernikahan, karena hal ini dikhawatirkan hubungan-hubungan
tersebut akan dimanfaatkan oleh mereka orang musyrik untuk mempengaruhi aqidah kita menjadi kearah kesesatan.
Di dalam al- Qur’an banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang
pernikahan, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Dzariyat ayat 49 :
Artinya : “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah ”. Q.S. Al-Dzariyat : 49
Dan Surat Yasin ayat 36 :
Artinya : “Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui
”. Q.S. Yasin : 36. Meskipun di dalam al-
Qur’an banyak terdapat ayat-ayat tentang pernikahan, namun perlu diketahui bahwa ada beberapa batasan yang perlu
diperhatikan dalam hal memilih pasangan hidup, salahsatunya yaitu kita harus berhati-hati dalam memilih pasangan hidup, terutama dengan orang musyik.
Manusia cenderung mengikuti naluri lahiriyahnya dalam hal mencari pasangan. Perbedaan latar belakang keyakinan dan kepercayaan kini tidak lagi
dipersoalkan dalam hal mencari pasangan, menurut mereka yang penting adalah ada kecocokan antar satu dengan yang lainnya dan juga rasa kasih dan sayang
antar sesama pasangan. Sehingga terjadi hubungan spesial pacaran antara seorang muslim dan musyrik, bahkan tidak sedikit yang melanjutkan hubungan itu
ke jenjang yang lebih serius lagi, yaitu pernikahan. Sebelum melangkah lebih jauh lagi, penulis terlebih dahulu akan
menjelaskan pengertian dan definisi ”Pernikahan” atau “Nikah”. Nikah dalam
bahasa Arab terdiri dari tiga huruf, yaitu : “nun”, “kaf” dan “ha” yang bermakna
untuk menunjukan sesuatu rakiban alaihi menaiki di atas. Hal ini diambil dari Abu Ali al-Farisi yang berkata bahwa pecahan-pecahan bahasa Arab memperhalus
makna dari “nakaha” tersebut menjadi “aqada” yang berarti “ikatan”. Namun
menurut para ahli bahasa bahwasanya tidak ada makna yang lebih tepat bagi “nikah” kecuali “al-Wad’u” yakni “hubungan seksual”.
10
Secara etimologi pernikahan berarti “persetubuhan” adapula yang mengartikan “perjanjian”.
Pernikahan menurut Abu Hanifah adalah “akad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita
yang dilakukan dengan sengaja”.
11
Di dalam agama Islam, pernikahan diatur dengan sangat baik, yaitu dengan adanya syarat-syarat dan rukun-rukun dalam pernikahan. Salah satu syarat dalam
pernikahan yaitu calon pasangan suami dan istri harus sama-sama beragama
10
Isham al-Shabbaythi, et al-Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi, al-Qahirah: Dar al- Hadits, 1994, Juz 5, h. 187.
11
M. Ali Hasan, Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, cet II, h. 1.
Islam.
12
Kemudian yang jadi permasalahan adalah bagaimana jika pernikahan tersebut dilakukan dengan orang musyrik?
Agar permasalahan ini menemui titik terang, penulis akan mencoba mengkaji surat al-Baqarah ayat 221 yang berkaitan dengan kemusyrikan. Tidak
hanya itu, penulis juga akan memaparkan pendapat dua orang mufassir besar, yaitu al-Jashash dan al-Qurtubi, untuk melihat bagaimana penafsiran al-Jashash
dan al-Qurtubi dalam menyikapi persoalan tentang pernikahan dengan orang musyrik, kemudian penulis akan membandingkan dua pendapat mufassir tersebut
untuk bisa menemukan titik terang dari permasalahan tentang menikahi orang musyrik ini.
Al-Jashash memiliki nama lengkap Imam Ahmad bin Ali Abu bakar Al- Razi, beliau dikenal dengan sebutan
“ Al-Jashash” penjual kapur rumah, beliau lahir di Baghdad tahun 305 H dan wafat tahun 370 H.
13
Beliau salah satu Imam fiqih mazhab Hanafi pada abad empat hijriyah. Dan kitabnya Tafsir Ahkam al-
Qur’an dipandang sebagai kitab tafsir fiqih terpenting, terutama bagi pengikut mazhab Hanafi.
Al-Jashash terlalu
fanatik terhadap
mazhab Hanafi
sehingga mendorongnya untuk memaksa-maksakan penafsiran ayat dan
penta’wilannya, guna mendukung mazhabnya. Dari tafsirnya ini nampak jelas bahwa al-Jashash
menganut pah am Mu’tazilah.
14
12
Ensiklopedi Islam, Jakarta: Departemen Agama, 1993, h. 850.
13
As-Sayid Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Minhajuhum, Teheran: t.p, 1414, h. 107; Muhammad Husain Al Zahabi, Al Tafsir wa Al Mufassiruun, Mesir:
Daar Al-Maktabah Al-Harisah, 1976, h. 439.
14
Manna’ Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu al- Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1992, h. 511.
Berbeda dengan tafsir Al-Jashash, kitab tafsir Al-Qurtubi dikarang oleh Abdullah Muhammad bin Ahamd bin Aby Bakr bin Farah al-Anshori al-Khazroji
Al-Qurtubi, yang lahir di Spanyol pada tahun 580 H 1184 M, meninggal 671 1273 M.
15
beliau merupakan penganut mazhab Maliki, Al-Qurtubi di dalam tafsirnya al-
Jami’ li Ahkam al-Qur’an tidak membatasi diri pada ayat-ayat hukum semata-mata, tetapi juga menafsirkan al-
Qur’an secara menyeluruh. Beliau sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum, dan tidak fanatik terhadap mazhabnya.
Melalui dua kitab tersebut, penulis akan mencoba mengkomparasikan penafsiran al-Jashash dan Al-Qurtubi dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat
221, sehingga dari studi komparasi ini dapat diketahui bentuk penafsiran antara Al-Jashash dan Al-Qurtubi dalam menafsirkan ayat tentang menikahi orang
musyrik ini, sehingga permasalahan pernikahan seseorang yang melakukan kemusyrikan akan dapat diketahui status hukumnya.
Alasan yang mendasari untuk meneliti kedua tafsir tersebut adalah bahwa kedua pengarang memiliki latar belakang yang berbeda, baik kehidupan
pengarang, keilmuan, letak geografis atau daerah pengarang tinggal dan juga masa yang berbeda. Sehingga nantinya pasti akan berpengaruh terhadap pola berfikir
dan hasil karya dari kedua mufassir tersebut, termasuk dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 221. Maka tidak dipungkiri jika nantinya dalam menafsirkan surat
al-Baqarah ayat 221 ini ditemukan persamaan dan perbedaan dalam memahami isi, maksud dan kandungan yang terdapat dalamnya.
15
Manna’ Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu al- Qur’an, h. 411.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menyusun sebuah skripsi ini dengan mengangkat judul
“Menikahi Orang Musyrik Perspektif al-Jashash dan Al- Qurtubi Analisa terhadap Surat al-Baqarah : 221 dalam Tafsir Ahkam al-
Qur’an dan al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah