Menikahi orang musyrik prespektif Al-Jashash dan Al-Qurtubi : analisa surat Al-Baqarah : 221 dalam tafsir Ahkam Al-Quran dan Jami'li Ahkam Al-Quran

(1)

DAN AL-QURTUBI

(ANALISA TERHADAP SURAT AL-BAQARAH : 221 DALAM

TAFSIR AHKAM AL-

QUR’AN

DAN

AL-

JAMI’ LI AHKAM

AL-QURAN

)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.i)

Oleh Budy Prestiawan NIM : 107034001793

JURUSAN TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(ANALISA TERHADAP SURAT AL-BAQARAH : 221 DALAM

TAFSIR AHKAM AL-

QUR’AN

DAN

AL-

JAMI’ LI AHKAM

AL-QURAN

)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.i)

Oleh Budy Prestiawan NIM : 107034001793

Pembimbing

Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA NIP : 19550725 200012 2 001

JURUSAN TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul : “Menikahi Orang Musyrik Perspektif al-Jashash dan al-Qurtubi

Analisa terhadap Surat al-Baqarah : 221 dalam Tafsir Ahkam al-Quran dan al-Jami’

li Ahkam al-Quran” diajukan dalam Sidang Muaqosyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 September 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Tafsir Hadis.

Jakarta, 03 Oktober 2014

Sidang Munaqosyah

Ketua Sekretaris

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA Jauhar Azizy, MA NIP: 19711003 199903 2 001 NIP: 19820821 200801 101 2

Penguji I Penguji II

Dr. Abd. Moqsith, MA Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA NIP: 19710607 200501 1 002 NIP: 19711003 199903 2 001

Pembimbing

Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA NIP: 19550725 200012 2 001


(4)

tidak berjalan baik sesuai dengan apa yang kita harapkan …

BANGKITLAH !!!

“INGATLAH MIMPI-MIMPI YANG DAHULU INGIN KAU CAPAI,

GENGGAMLAH SELALU MIMPIMU DAN JANGAN PERNAH KAU

LEPASKAN”

“YAKINLAH DENGAN APA YANG KAU JALANI SAAT INI ADALAH

SALAH SATU CARA TUHAN UNTUK MEWUJUDKAN MIMPI-

MIMPIMU”

MIMPI ITU TIDAK AKAN TERCAPAI DENGAN KESENANGAN DAN

KEBAHAGIAAN,

MIMPI

ITU

MEMBUTUHKAN

KERJAKERAS,

SEMANGAT, KERINGAT BAHKAN

AIR MATA”

“YAKINLAH

BAHWA SKENARIO TUHAN AKAN INDAH PADA

WAKTUNYA”

Budy Prestiawan

(Mahasiswa TH ’07)

Nb.

Skripsi ini saya persembahkan khusus kepada teman-teman TH angkatan 2007

yang tidak dapat menyelesaikan masa studi S1 di UIN Jakarta.


(5)

iii

Puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya pemulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang begitu berjasa dalam mencurahkan kebaikan kepada seluruh manusia.

Dalam proses penulisan skripsi ini penulis merasakan tantangan dan halangan yang begitu berat. Di sela-sela kesibukan penulis dalam bekerja, penulis harus menyempatkan diri mencari buku-buku referensi serta mengetik hasil temuan tersebut dengan harapan dapat segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Sebagai karya tulis hamba yang dha’if, tentunya di dalam penelitian ini masih

terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, ada kemungkinan ditemukan bagi mereka yang ingin menelaahnya dengan lebih teliti. Segala kesalahan tersebut tidak lain adalah sebuah keterbatasan pengetahuan penulis di dalam melakukan penelitian ini.

Bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak serta kritikan, sangat berharga dalam penyusunan tugas akhir ini. Maka, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Segenap civitas akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.

Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Masri Mansoer MA, (Dekan Fakultas Ushuluddin), Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si (Pembantu Dekan Bidang Akademik), Dr. M. Suryadinata, M.Ag (Pembantu Dekan Bidang


(6)

Administrasi Umum), Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA (Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan), Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A (Ketuan Jurusan Tafsir-Hadis), Jauhar Azizy, MA (Sekretaris Jurusan Tafsir-Hadis)

2. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA Selaku pembimbing yang telah dengan sabar

dan tidak bosan-bosannya membantu, membimbing dan mengarahkan serta menasehati penulis dalam penulisan skripsi ini, semoga beliau selalu diberi perlindungan dan kesehatan oleh Allah SWT (Amin).

3. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, Khususnya dosen-dosen di Jurusan

Tafsir-Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, dari semenjak penulis masuk di Fakultas Ushuluddin sampai saat ini, sehingga berkat jasa beliau-beliaulah penulis mendapatkan berbagai pengetahuan, semoga Allah SWT selalu melindungi beliau-beliau semua (Amin).

4. Kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan, semangat, motivasi

kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini, serta senantiasa menghembuskan nafas untuk mendoakan penulis agar kelak menjadi manusia yang sukses serta bermanfaat bagi banyak orang. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat, hidayah, perlindungan dan kesehatan kepada mereka (Amin).

5. Kakak penulis (Didik Irawan) yang sudah banyak berkorban membantu

penulis mengeluarkan sebagian penghasilannya dalam menyelesaian skripsi ini, semoga Allah SWT melancarkan dan memberikan keberkahan atas rejekinya (Amin)


(7)

6. Teman-teman penulis di Jurusan Tafsir Hadis angkatan 2007: Mustar, Mi’roji, Husnul Aqib, Fiqri Aulia Ilhamny, Daud Catur Wicaksono, Irwan Muhibbudin, Muhammad Rusli, Arfan Akbar, Muhammad Berbudi, Muhammad Badrul Munir, Ismail Amir, Syaifuddin, Dian Kusnadi, Uchil, Redhitya Bagus, dan kepada teman-teman lain yang penulis tidak bisa cantumkan namanya satu persatu dalam kata pengantar ini, semoga Allah SWT melindungi mereka semua dimanapun berada (Amin).

7. Kepada Rahayu, Stella, dan teman-teman seperjuangan lain yang telah dengan

sukarela memberikan motivasi, dukungan, inspirasi, dan kekuatan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan-kebaikan mereka (Amin)

8. Akhirnya, harapan penulis, semoga segala aktivitas yang kita kerjakan selalu

diberi kemudahan dan menjadi nilai ibadah di sisi-Nya. Sekali lagi dari lubuk hati yang paling dalam penulis haturkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya.

Jakarta, 21 September 2014


(8)

vi

Nama : Budy Prestiawan

Tempat/ Tanggal Lahir : Jakarta 04 Mei 1989

NIM : 107034001793

Jurusan : Tafsir Hadis

Judul Skripsi : “Menikahi Orang Musyrik Perspektif al-Jashash dan al-Qurtubi

(Analisa terhadap Surat al-Baqarah : 221 dalam Tafsir Ahkam

al-Quran dan al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an)”.

Dosen Pembimbing : Dr. Faizah Syibromalisi, MA

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 21 September 2014


(9)

vii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tinjauan Pustaka ... 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

E. Metode dan Teknik Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG JASHASH DAN AL-QURTUBI ... 13

A. Sekilas tentang al-Jashash dan Tafsir Ahkam al-Qur’an ... 13

1. Riwayat Hidup ... 13

2. Profil TafsirAhkam al-Qur’an ... 14

3. Karya-karya al-Jashash ... 17

B. Sekilas tentang al-Qurtubi dan Tafsir al-Jami’ Li Ahkam Al -Qur’an ... 18

1. Riwayat Hidup ... 18

2. Profil Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an ... 20


(10)

BAB III PENAFSIRAN AL-JASHASH DAN AL-QURTUBI TERHADAP

SURAT AL-BAQARAH : 221 ... 24

A. Penafsiran al-Jashash terhadap Surat al-Baqarah : 221 ... 24

B. Penafsiran al-Qurtubi terhadap Surat al-Baqarah : 221 ... 31

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PENAFSIRAN AL-JASHASH DAN AL-QURTUBI TERHADAP SURAT AL-BAQARAH : 221 ... 37

A. Pemaknaan Musyrik ... 37

B. Hukum Menikahi Orang Musyrik ... 39

C. Keterkaitan al-Baqarah : 221 dengan al-Maidah : 5 ... 42

BAB V PENUTUP ... 47

A. Kesimpulan ... 47

B. Saran ... 48


(11)

ix

A. Konsonan Huruf Arab

Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

ب B ط t

ت T ظ z

ث Ts ع

ج J غ gh

ح H ف f

خ Kh ق q

د D ك k

ذ Dz ل l

ر R م m

ز Z ن n

س S و w

ش Sy ـه h

ص S ء `

ض D ي y

B. Vokal

Vokal Tunggal : ... = a ... = i ... = u Vokal Panjang : ... = â ... = î ... = û Vokal Rangkap : ... = ai ... = au

C. Alif Lam (al)

Alif lam ta’rîf (لا) dalam lafadz atau kalimat, baik yang bersambung

dengan huruf qamariyyah maupun syamsiyyah ditulis dengan huruf kecil (al), dan

diikuti dengan kata penghubung ” –“. Namun, jika terletak diawal kalimat, maka ia ditulis dengan huruf besar (Al). Contoh:


(12)

1. Al ditulis dengan huruf kecil

- al-Qur’an = seperti, “sebagai mana disebutkan dalam al-Qur’an”

- al-Baihaqî = seperti, “menurut al-Baihaqi, bahwasannya…”

2. Al ditulis dengan huruf besar

- Al-Baihaqi = seperti, “Al-Baihaqi menyatakan bahwa….”

- Al-Bukhari = seperti, “Al-Bukhari, didalam kitabnya menegaskan…”

D. Singkatan

SWT = Subhânahu wa ta’âlâ H = Hijriyah

as = ‘Alaih al-salâm ra = Radiya Allâh ‘anhu

M = Masehi w = Wafat

Q.S = al-Qur’ân; surat h = Halaman


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad memiliki banyak sekali fungsi, dan fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh alam.

Petunjuk yang dimaksud adalah agama, atau yang biasa juga disebut syariat.1

Menurut Yusuf Qardhawi, al-Qur’an dan sunnah merupakan dua sumber untuk

mengenali hukum dan ajaran islam yang berkaitan dengan akhlak, ibadah, penetapan hukum, aqidah, adab sopan santun, dan bidang-bidang kehidupan

lainnya.2

Jika dilihat dari sejarah diturunkannya al-Qur’an, tujuan pokok al-Qur’an

salah satunya adalah petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif, termasuk pula dalam hal tauhid agar manusia tidak

terjerumus kedalam kemusyrikan.3

Jika kita perhatikan tentang sejarah awal mula terjadi kemusyrikan tidak terlepas dari kisah Nabi Nuh dan pengikutnya, sebagaimana riwayat yang shahih dari Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas berkata: Dan setelah sepuluh abad berlalu setelah masa Nabi Adam, munculah orang-orang shalih yang nama-nama

mereka disebutkan Allah4. Mereka ialah, Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan nasr.5

1

M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), h. 27. 2

Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan As-Sunnah Refensi Tertinggi Umat Islam; Beberapa

Kaidah dan Rambu dalam Menafsirkan, (Jakarta: Rabbani Press,1997), h. 15. 3

Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan As-Sunnah Refensi Tertinggi Umat Islam; Beberapa

Kaidah dan Rambu dalam Menafsirkan, h. 40.









 

 





  


(14)

Mereka ini adalah orang-orang shalih yang bertauhid, ahli ibadah dan juga berdakwah menyeru kaum mereka kepada Allah. Mereka amat dicintai oleh kaum mereka, dan lebih dari itu, mereka adalah tauladan yang penuh pesona bagi mereka. Tapi justru malapetaka kemudian muncul dari arah ini; yaitu rasa ketergantungan mereka kepada orang-orang shalih tersebut melahirkan sikap

pengkultusan dan ghuluw pada diri mereka.6

Ibnu Taimiyah rahimahullah pun menjelaskan hal yang serupa tentang

kemusyrikan yang dilakukan kaum Nabi Nuh : “Nama-nama yang disebutkan

dalam ayat tersebut adalah nama-nama orang sholih dari kaum Nuh. Ketika

orang-orang sholih tersebut wafat, maka orang-orang-orang-orang mulai i’tikaf di kubur-kubur

mereka, kemudian berlalulah waktu hingga mereka membuat bentuk untuk orang-orang sholih tersebut dengan wujud patung. Dan perlu dipahami bahwa berdiam (beri’tikaf) di kubur, mengusap-ngusap kubur, menciumnya dan berdo’a di sisi kubur serta semacam itu adalah asal dari kesyirikan dan asal mula penyembahan berhala.”7

23. Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr". (Q.S. Nuh : 23).

5

wadd, suwwa', yaghuts, ya'uq dan Nasr adalah nama-nama berhala yang terbesar pada qabilah-qabilah kaum Nuh.

6

Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al „Azhim, (T.tp: Dar Ibn al-Jauzi, 1431 H), Cet. I, Juz 7,

h. 390. Ghuluw adalah sikap berlebih-lebihan atau melampaui batas. Pengkultusan adalah Pengkeramatan sang tokoh, sejak tokoh tadi hidup bahkan sampai ia meninggal dunia. Barang-barang yang berkaitan dengan sosok tadi pun dicari-cari dan diagung-agungkan, dijadikan jimat dan tidak lupa untuk dikeramatkan.Tambah parah lagi, makamnya senantiasa ramai dipadati oleh

para pengagum dan simpatisan yang ingin “mencari berkah” dari kubur sang tokoh. Bahkan ketika

tiba saat ulang tahun kematian dan kelahiran tokoh, semaraknya kubur lebih dibandingkan dengan semaraknya masjid-masjid Allah.

7Iyad bin ‘Abdul Lathief bin Ibrahim Al Qoisi

, Tafsir Syaikh al-Islam Ibn at-Taimiyah, (T.Tp, Dar Ibn al-Jauzi, 1432 H), Cet. I


(15)

Imam al-Bukhari juga menjelaskan di dalam kitab shahihnya tentang kemusyrikan yang dilakukan kaum Nabi Nuh ternyata menyebar sampai ke orang arab Jahiliyah :

أ أ أ ك ٌد أ ، أع عأ ا ف أ أ ق ف أ ك أ ا ثأ أْا

ص

ف أ أ فأ طغ ث دا أ

ف أ غ أ أ أ ك عا س أ أ أ ا

ء أسأ ،عَ أ ا أ ح أ ف أس أ ا أ أ ف أ ع أ إ س أ ع

إ ا أ صأ ا أ أ أ ق إ طأ ش ا ح أ أ اأ ه ف أ أ ق أ أ ح ص ج

ا إ ح أ أع أ ف اأ ع ف أ ئ أسأ هأ س صأ أ أ س أ اأ ك أ ا أ س

أ ع أ عأ ا س أ ه

.

Artinya : “berhala-berhala yang dulu (disembah) pada kaum Nuh menjadi

(di-sembah) Oleh orang-orang arab (jahiliyah) setelah itu. Berhala Wad menjadi milik kabilah Kalb di Daumah al-Jandal, berhala Suwa' milik kabilah Hudzail, Yaghuts adalah milik kabilah murad kemudian menjadi milik Bani Ghuthaif di al-Jauf di negeri Saba`, berhala Ya'uq milik kabilah Hamdan, dan berhala nasr milik kabilah himyar untuk keluarga Dzu al-Kala'. (mereka sebenarnya) adalah nama-nama laki-laki yang shalih dari kaum Nuh. Ketika mereka meninggal, maka setan membisikkan kepada kaum mereka untuk mendirikan patung (arca) di tempat duduk mereka yang biasa mereka duduki. Lalu mereka menamakan patung tersebut dengan nama mereka. Mereka pun melakukannya dan tidak disembah, hingga ketika kaum tersebut telah wafat, dan ilmu telah lenyap, maka berhala-berhala itupun disembah.”8

Bahkan pada masa Nabi Muhammad SAW pun kemusyrikan masih saja

merajalela. Hal ini dapat dilihat pada saat itu di sekeliling ka'bah ada sekitar 360 berhala dan arca yang ditancapkan oleh setiap kabilah untuk disembah dan dijadikan perantara antara mereka dengan Allah. Namun berkat bimbingan Allah yang terus menerus kepada Nabi Muhammad, sistimatika dalam berdakwah, dan pribadi Nabi yang sangat mengesankan, akhirnya berhala-berhala tersebut bisa dihancurkan dan pada akhirnya Mekah dan ka'bah bisa dikembalikan sesuai

dengan tujuan didirikannya semula yaitu menjadi kiblat kaum muslimin.9

8

Shahih al-bukhari, no. 4920. 9

Lihat http://www.iiq.ac.id/index.php?a=artikel&d=2&id=89, diakses pada tanggal 5 Oktober 2014, pukul 16.50. Artikel ditulis oleh: DR. KH. Ahsin Sakho Muhammad.


(16)

Jika kita melihat tentang perbuatan-perbuatan orang musyrik tersebut,

maka al-Qur’an secara tegas melarang kita untuk berhubungan dengan orang

musyrik karena dikhawatirkan hubungan tersebut akan berdampak buruk bagi aqidah kita, seperti apa yang Allah tegaskan dalam firman-firmannya :























































Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman

kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh Telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”. (Q.S. Al-Imran : 118).



















































Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi

pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang Telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman”. (Q.S. Al-Maidah : 57)



































































































Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku

dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), Karena rasa kasih sayang; padahal Sesungguhnya


(17)

mereka Telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu Karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, Karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya dia Telah

tersesat dari jalan yang lurus”. (Q.S. Al-Mumtahanah : 1).

al-Qur’an dengan tegas telah melarang kita untuk menjalin hubungan dengan orang-orang musyrik, entah itu hanya sebatas hubungan pertemanan, hubungan rekan kerja, hubungan percintaan ataupun hubungan yang lebih erat lagi seperti hubungan pernikahan, karena hal ini dikhawatirkan hubungan-hubungan tersebut akan dimanfaatkan oleh mereka (orang musyrik) untuk mempengaruhi aqidah kita menjadi kearah kesesatan.

Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang

pernikahan, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Dzariyat ayat 49 :





















Artinya : “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu

mengingat kebesaran Allah. (Q.S. Al-Dzariyat : 49) Dan Surat Yasin ayat 36 :

























Artinya : “Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan

semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (Q.S. Yasin : 36).

Meskipun di dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat tentang

pernikahan, namun perlu diketahui bahwa ada beberapa batasan yang perlu diperhatikan dalam hal memilih pasangan hidup, salahsatunya yaitu kita harus berhati-hati dalam memilih pasangan hidup, terutama dengan orang musyik.


(18)

Manusia cenderung mengikuti naluri lahiriyahnya dalam hal mencari pasangan. Perbedaan latar belakang keyakinan dan kepercayaan kini tidak lagi dipersoalkan dalam hal mencari pasangan, menurut mereka yang penting adalah ada kecocokan antar satu dengan yang lainnya dan juga rasa kasih dan sayang antar sesama pasangan. Sehingga terjadi hubungan spesial (pacaran) antara seorang muslim dan musyrik, bahkan tidak sedikit yang melanjutkan hubungan itu ke jenjang yang lebih serius lagi, yaitu pernikahan.

Sebelum melangkah lebih jauh lagi, penulis terlebih dahulu akan

menjelaskan pengertian dan definisi ”Pernikahan” atau “Nikah”. Nikah dalam

bahasa Arab terdiri dari tiga huruf, yaitu : “nun”, “kaf” dan “ha” yang bermakna

untuk menunjukan sesuatu rakiban alaihi (menaiki di atas). Hal ini diambil dari

Abu Ali al-Farisi yang berkata bahwa pecahan-pecahan bahasa Arab memperhalus

makna dari “nakaha” tersebut menjadi “aqada” yang berarti “ikatan”. Namun

menurut para ahli bahasa bahwasanya tidak ada makna yang lebih tepat bagi “nikah” kecuali “al-Wad’u” yakni “hubungan seksual”.10 Secara etimologi pernikahan berarti “persetubuhan” adapula yang mengartikan “perjanjian”. Pernikahan menurut Abu Hanifah adalah “akad yang dikukuhkan untuk

memperoleh kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja”.11

Di dalam agama Islam, pernikahan diatur dengan sangat baik, yaitu dengan adanya syarat-syarat dan rukun-rukun dalam pernikahan. Salah satu syarat dalam pernikahan yaitu calon pasangan suami dan istri harus sama-sama beragama

10

Isham al-Shabbaythi, et Shahih Muslim bi Syarah Nawawi, (Qahirah: Dar

al-Hadits, 1994), Juz 5, h. 187. 11

M. Ali Hasan, Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja


(19)

Islam.12 Kemudian yang jadi permasalahan adalah bagaimana jika pernikahan tersebut dilakukan dengan orang musyrik?

Agar permasalahan ini menemui titik terang, penulis akan mencoba

mengkaji surat al-Baqarah ayat 221 yang berkaitan dengan kemusyrikan. Tidak

hanya itu, penulis juga akan memaparkan pendapat dua orang mufassir besar,

yaitu al-Jashash dan al-Qurtubi, untuk melihat bagaimana penafsiran al-Jashash dan al-Qurtubi dalam menyikapi persoalan tentang pernikahan dengan orang

musyrik, kemudian penulis akan membandingkan dua pendapat mufassir tersebut

untuk bisa menemukan titik terang dari permasalahan tentang menikahi orang musyrik ini.

Jashash memiliki nama lengkap Imam Ahmad bin Ali Abu bakar

Al-Razi, beliau dikenal dengan sebutan “ Al-Jashash” (penjual kapur rumah), beliau

lahir di Baghdad tahun 305 H dan wafat tahun 370 H.13 Beliau salah satu Imam

fiqih mazhab Hanafi pada abad empat hijriyah. Dan kitabnya Tafsir Ahkam

al-Qur’an dipandang sebagai kitab tafsir fiqih terpenting, terutama bagi pengikut mazhab Hanafi.

Al-Jashash terlalu fanatik terhadap mazhab Hanafi sehingga

mendorongnya untuk memaksa-maksakan penafsiran ayat dan penta’wilannya,

guna mendukung mazhabnya. Dari tafsirnya ini nampak jelas bahwa al-Jashash

menganut paham Mu’tazilah.14

12

Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1993), h. 850. 13

As-Sayid Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Minhajuhum, (Teheran:

t.p, 1414), h. 107; Muhammad Husain Al Zahabi, Al Tafsir wa Al Mufassiruun, (Mesir:

Daar Al-Maktabah Al-Harisah, 1976), h. 439. 14 Manna’ Qaththan,

Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu


(20)

Berbeda dengan tafsir Al-Jashash, kitab tafsir Al-Qurtubi dikarang oleh Abdullah Muhammad bin Ahamd bin Aby Bakr bin Farah al-Anshori al-Khazroji Al-Qurtubi, yang lahir di Spanyol pada tahun 580 H / 1184 M, meninggal 671 /

1273 M.15 beliau merupakan penganut mazhab Maliki, Al-Qurtubi di dalam

tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’antidak membatasi diri pada ayat-ayat hukum

semata-mata, tetapi juga menafsirkan al-Qur’an secara menyeluruh. Beliau sangat

luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum, dan tidak fanatik terhadap mazhabnya. Melalui dua kitab tersebut, penulis akan mencoba mengkomparasikan penafsiran al-Jashash dan Al-Qurtubi dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 221, sehingga dari studi komparasi ini dapat diketahui bentuk penafsiran antara Al-Jashash dan Al-Qurtubi dalam menafsirkan ayat tentang menikahi orang musyrik ini, sehingga permasalahan pernikahan seseorang yang melakukan kemusyrikan akan dapat diketahui status hukumnya.

Alasan yang mendasari untuk meneliti kedua tafsir tersebut adalah bahwa kedua pengarang memiliki latar belakang yang berbeda, baik kehidupan pengarang, keilmuan, letak geografis atau daerah pengarang tinggal dan juga masa yang berbeda. Sehingga nantinya pasti akan berpengaruh terhadap pola berfikir

dan hasil karya dari kedua mufassir tersebut, termasuk dalam menafsirkan surat

al-Baqarah ayat 221. Maka tidak dipungkiri jika nantinya dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 221 ini ditemukan persamaan dan perbedaan dalam memahami isi, maksud dan kandungan yang terdapat dalamnya.

15 Manna’ Qaththan,

Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu


(21)

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menyusun sebuah skripsi ini dengan

mengangkat judul “Menikahi Orang Musyrik Perspektif al-Jashash dan

Al-Qurtubi Analisa terhadap Surat al-Baqarah : 221 dalam Tafsir Ahkam

al-Qur’an dan al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan alasan penulisan diatas, maka penulis akan membatasi skripsi ini pada surat al-Baqarah ayat 221 saja yang selalu dijadikan referensi para ulama dalam menjelaskan tentang pernikahan dengan orang musyrik.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah :

“Bagaimana pandangan al-Jashash dan al-Qurtubi tentang menikahi orang musyrik melalui surat al-Baqarah ayat 221?”

C. Tinjauan Pustaka

Dari hasil penelusuran Penulis mengenai “Menikahi Orang Musyrik

Perspektif al-Jashash dan al-Qurtubi Analisa Terhadap Surat al-Baqarah : 221

dalam Tafsir Ahkam al-Qur’an dan al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an”, penulis

menemukan skripsi dan buku-buku yang berkaitan, yaitu sebagai berikut :

1. Perkawinan antar Agama menurut al-Qur’an dan Hadis, Dewi

Sukarti, Jakarta: PBB UIN, 2003. Isi buku ini menitikberatkan kepada tataran praktis dalam bidang fiqih dan tidak ada kajian tafsir yang mendetail.


(22)

2. Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama; Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Ansor, Maria Ulfa, Jakarta: KAPAL Perempuan, 2004. Pembahasan buku ini lebih menekankan sisi gender dan pluralisme dan cenderung lebih menjelaskan realitas saat ini.

3. Konsep Nikah beda agama dalam al-Qur’an, Dede Setiawan, Jakarta:

UIN, 2005. Pembahasan skripsi ini lebih menekankan kepada isi

tafsiran al-Qur’an dan argumen ulama tafsir, tetepi mayoritas

kebanyakan tafsiran al-Shabuni.

4. Pernikahan Beda Keyakinan dalam al-Qur’an (Analis Penafsiran

al-Maraghi atas Q.S al-Baqarah 2:221 dan Q.S al-Maidah 5:5), Dedi Irawan, Jakarta: UIN, 2011. Pembahasan skripsi ini lebih menekankan kepada tafsiran al-Maraghi dan argumennya tentang pernikahan beda agama.

Adapun skripsi yang penulis susun ini lebih menitikberatkan kepada

tafsiran al-Qur’an dan argumen para ulama tafsir tidak secara umum saja, tetapi

lebih khusus tentang argumen al-Jashash dan al-Qurtubi tentang menikahi orang

musyrik dalam surat al-Baqarahayat 221.

Dari hasil penelusuran yang dilakukan penulis, penulis tidak menemukan kajian yang serupa dengan judul penelitian ini. Maka menurut penulis, penelitian ini patut untuk dilakukan guna menambah wawasan dan khazanah keilmuan, khususnya dalam memahami penafsiran al-Jashash dan al-Qurtubi tentang


(23)

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dan manfaat penelitian skripsi ini yaitu :

1. Untuk mengetahui pandangan al-Jashash tentang menikahi orang

musyrik.

2. Untuk mengetahui pandangan al-Qurtubi tentang menikahi orang

musyrik.

3. Untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana program

strata satu (S-1) pada jurusan Tafsir-Hadits.

E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Studi ini merupakan penelitian kepustakaan (Librabry Research) yaitu

menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksudkan untuk menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah ditentukan oleh para ahli terdahulu, mengikuti perkembangan penelitian dibidang yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas mengenai topik yang dipilih, memanfaatkan

data sekunder serta menghindarkan duplikasi penelitian.16

Karena studi ini menyangkut tentang al-Qur’an secara langsung, maka

sumber yang pertama adalah al-Qur’an dan terjemahannya. Sumber-sumber

lainnya adalah tafsir-tafsir, seperti tafsir al-Jashash, al-Qurtubi dan karya-karya tafsir dan buku-buku lainnya yang bersangkutan dengan tema skripsi ini sebagai data sekunder.

16

Masri Singarimbun dan Sofwan Effendi, Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES,


(24)

2. Metode Penelitian

Sebuah karya ilmiah pada suatu bidang keilmuan dalam setiap pembahasan menggunakan metode tertentu dalam menganalisa permasalahan-permasalahan yang sedang digelutinya. Adapun metode yang penulis gunakan dalam menyusun skripsi ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif, analisis, komparatif.

Metode deskriptif adalah suatu metode yang meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, kondisi, sistem pemikiran ataupun peristiwa. Tujuannya adalah untuk membuat deskriptif (gambaran) secara sistematis, faktual, dan akurat

menenai fakta-fakta, sifat-sifat dan hubungan antara fenomena yang diselidiki.17

Sedangkan yang dimaksud dengan studi analisis ialah untuk menganalisa (menguji) hipotesa-hipotesa dan mengadakan interpretasi yang lebih mendalam

tentang hubungan fakta-fakta, sifat-sifat antar fenomena yang diselidiki.18

Adapun metode komparatif digunakan untuk mengkomparasikan (membandingkan) pemikiran al-Jashash dan al-Qurtubi.

3. Tekhnik Penulisan

Untuk tekhnik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Sripsi, Tesis, dan Disertasi” yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007.

17

Muhammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), Cet. Ke-3, h. 63.

18


(25)

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam memahami skripsi ini, maka penulis membagi skripsi ini menjadi lima bab, dan masing-masing bab terbagi lagi kedalam sub bab, adapun sistematika pembahasan tersebut yaitu :

Bab Pertama : Pendahuluan, bab ini merupakan acuan bagi penulis dalam penyusunan skripsi ini dan menjadi landasan dalam pembahasan bab-bab selanjutnya. Bab ini mengemukakan latar belakang masalah dan signifikasinya, hal ini akan menjadi penjelas mengapa penulis mengangkat judul ini, dilanjutkan dengan pokok permasalahan, tujuan penelitian, hal ini berguna untuk menjelaskan pokok kajian yang akan penulis bahas, kemudian tinjauan pustaka, metode penulisan serta sistematika penulisan penelitian ini.

Bab Kedua : Gambaran umum tentang al-Jashash dan al-Qurtubi, dalam hal ini tokoh pertama yang dikemukakan adalah Al-Jashash dengan kitabnya Ahkam al-Qur’an, dimulai dari riwayat hidupnya, profil Tafsir Ahkam al-Qur’an, dan karya-karya Jashash lainnya. Tokoh kedua yang dibahas adalah

Al-Qurtubi dengan kitabnya Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, dimulai dari riwayat

hidupnya, profil Tafsir Ahkam al-Qur’an, dan karya-karya Al-Qurtubi lainnya.

Bab Ketiga : Penafsiran Jashash dan Qurtubi terhadap Surat al-Baqarah : 221 dengan sub bab yang pertama di bahas adalah Penafsiran al-Jashash terhadap surat al-Baqarah : 221 kemudian dibahas Penafsiran al-Qurtubi terhadap Surat al-Baqarah : 221


(26)

Bab Keempat : Persamaan dan Perbedaan Penafsiran Jashash dan al-Qurtubi Terhadap Surat al-Baqarah : 221, point pertama yang akan dibahas dalam bab ini adalah tentang Pemaknaan Musyrik, kemudian akan dibahas Hukum Menikah dengan Orang Musyrik dan yang terakhir akan dibahas tentang Keterkaitan surat al-Baqarah : 221 dengn surat al-Maidah : 5.

Bab Kelima : Penutup, pada bab ini penulis menarik jawaban yang diambil berdasarkan perumusan masalah dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan juga penulis membuat saran-saran serta pada akhir tulisan penulis menjabarkan referensi-referensi yang dapat dijadikan rujukan penulis dalam penulisan penulisan ini.


(27)

15

GAMBARAN UMUM TENTANG AL-JASHASH DAN AL-QURTHUBI

A. Sekilas Tentang al-Jashash dan Tafsir Ahkam al-Qur’an

1. Riwayat Hidup

Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ahmad Ibn Ali Al-Razi, yang

terkenal dengan sebutan Al-Jashash.1 Ia lahir di Baghdad tahun 305 H. Beliau

merupakan seorang ahli tafsir dan ahli ushul fiqih ternama yang terkenal dengan panggilan Al-Jashash (penjual kapur rumah). Beliau disebut demikian, karena dalam mencari nafkah hidup ia bekerja sebagai pembuat dan penjual kapur

rumah.2

Pada masanya ia adalah imam pengikut madzhab Hanafi, beliau berguru kepada Abu Sahal Al-Zujaj, Abu Al-Hasan Al-Harakhi, dan kepada orang alim fiqih lainnya pada saat itu. Proses belajarnya menetap di baghdad, dan perjalanan mencari ilmunya pun berakhir di sana. Al-Jashash berguru tentang zuhud kepada Imam Al-Harakhi, saat Al-Jashash mencapai maqam zuhud, beliau diminta untuk

menjadi seorang penghulu (qadhi), tapi ia tolak. Dan ketika diminta lagi ia tetap

tidak menerimanya.3

Al-Jashash adalah salah seorang Imam fiqih Hanafi pada abad ke 4 H, dan

kitabnya Ahkam al-Qur’an dipandang sebagai kitab fiqih terpenting, terutama

bagi pengikut mazhab Hanafi. Al-Jashash terlalu fanatik buta terhadap mazhab Hanafi sehingga mendorongnya untuk maksakan penafsiran ayat dan

1

Muhammad Husain Al Zahabi, Al Tafsir wa Al Mufassiruun, (Mesir: Daar Al Maktabah Al Harisah, 1976), h. 485.

2

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:

Djambatan, 1992), h. 485. 3


(28)

penakwilannya, guna mendukung mazhabnya, ia sangat ekstrim dalam menyanggah mereka yang tidak sependapat dengannya dan bahkan berlebih-lebihan dalam menta’wilkan sehingga menyebabkan pembaca tidak suka meneruskan bacaannya, karena ungkapan-ungkapannya dalam membicarakan

mazhab lain sangat pedas.4 Al-Jashash tergolong seorang ulama pilihan yang alim.

Banyak ulama lain yang mengembalikan permasalahan yang berkaitan dengan mazhab Hanafi kepadanya berdasarkan bukti dan dalil yang ada. Al-Jashash wafat

tahun 370 H.5

2. Profil Tafsir Ahkam al-Qur’an

Al-Qur’an al-Karim itu laksana samudra ilmu dan keunikannya tidak akan

pernah sirna sampai kapanpun, banyak sekali para ulama yang mengkaji al-Qur’an

sampai saat ini, sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan metode yang beraneka ragam. Kitab-kitab tafsir yang memenuhi perpustakaan merupakan bukti nyata yang menunjukkan betapa tingginya semangat dan besarnya perhatian para ulama untuk menggali dan memahami kandungan makna-makna kitab suci al-Qur’an.6

Dalam perkembangan berikutnya, bersamaan dengan kehadiran buku-buku

tafsir al-Qur’an yang bersifat umum atau keseluruhan, lahir pula sejumlah kitab

tafsir yang lebih berorientasi kepada hukum, bahkan lebih dari itu ada yang membatasi pembahasan kitab tafsirnya khusus pada ayat-ayat hukum. Kitab-kitab inilah yang kemudian populer dengan sebutan kitab tafsir ayat ahkam atau tafsir

4Manna’ Khalil Al

-Qattan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Terj. Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu

Qur’an, (Jakarta: Litera Antara Nusa, 2000), Cet. V, h. 518. 5

Muhammad Husain Al-Zahabi, Al Tafsir wa Al Mufassiruun, h. 439. 6

Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudlu’iy, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,


(29)

ahkam.7 Salah satunya kitab Tafsir Ahkam yang tergolong tua dan terdiri atas tiga jilid, dengan tebal halaman secara keseluruhan masing-masing 540 halaman, jilid 1 (diatur daftar isi) 494 halaman, jilid 2 dan 479 halaman, untuk jilid 3 yang tanpa halaman daftar isi. Kitab ini disusun oleh Imam Hujj Al-Islam Abi Bakr Ahmad bin Ali Al-Razi Al-Jashash (305-370 H), salah seorang ahli fiqih dari kalangan

mazhab Hanafi.8

Kitab tafsir Ahkam al-Qur’an karya Al-Jashash termasuk dalam tafsir bi

al-ma’tsur (bi al-riwayah), yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan

perkataan sahabat atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in,

disamping itu ia juga mengemukakan beberapa pendapat berdasarkan pada

pemikirannya.9

Tafsir Ahkam al-Qur’an karya Al-Jashash dikategorikan pada tafsir yang

menggunakan metode analitik (tahlili) yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an

dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-maknanya yang tercakup di dalamnya

sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat

tersebut.10

Tafsir Ahkam al-Qur’an karya Al-Jashash ini termasuk tafsir yang bercorak fiqih. Al-Jashash membatasi diri pada ayat yang berhubungan dengan

7

Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 141.

(Prof. Dr. Drs. KH. MA, SH) 8

Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 142. 9

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2000), h. 32-33. 10

Ahmad Arif Junaidi, Pembaharuan Metodologi Tafsir Al-qur’an, (Semarang: Gunung


(30)

hukum-hukum cabang (masalah-masalah furu’iyah) dengan menjelaskan

maknanya dengan hadis dan mengutip beberapa pendapat Imam mazhab.11

TafsirAhkam al-Qur’an ini sesungguhnya lebih layak dikategorikan dalam kelompok buku-buku fiqih. Selain pemaparannya tidak pernah menunjukkan nomor ayat yang hendak ditafsirkan, juga daftar isinya yang lebih

memperkenalkan tema-tema yang akan dibahas daripada ayat al-Qur’annya

sendiri, karenanya para pembaca sedikit mengalami kesulitan dan harus bersabar

ketika mencari tafsir ayat-ayat tertentu dalam Tafsir Ahkam al-Qur’an.

Sehubungan dengan itu Muhammad Husain Al-Dzahabi berkomentar bahwa penyimpangan Al-Jashash yang terlalu fanatik terhadap mazhab Hanafi itu

dalam membahas masalah-masalah fiqhiyah dan khilafiyah sering meluas dan

melebar sehingga pengalihan arah pembicaraannya sering-sering dirasakan tidak

lagi sesuai dengan ayat yang dibicarakan.12

Apabila dibaca dan dikaji Tafsir Ahkam al-Qur’an ini merupakan salah

satu karya tafsir yang menggunakan metode tafsir tahlili.13 Biasanya mufassir

menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat

demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat yang

lain, baik sebelum dan sesudahnya (munasabat), dan tidak ketinggalan

11Manna’ Khalil Al

-Qattan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Terj. Mudzakir, Studi

Ilmu-Ilmu Qur’an, h. 518. 12

Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 142. 13

Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar


(31)

pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik

yang disampaikan oleh Nabi, Sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya.14

Dalam kitabnya, Al-Jashash membatasi diri pada penafsiran ayat yang berhubungan dengan hukum-hukum cabang, ia mengemukakan satu atau beberapa

ayat lalu menjelaskan maknanya dengan atsar dan memaparkan masalah fiqih

yang berhubungan dengannya baik hubungan itu dekat maupun jauh, serta mengemukakan berbagai perbedaan pendapat antar mazhab sehingga pembaca merasa bahwa ia sedang membaca sebuah kitab fiqih, bukan kitab tafsir. Tafsir

Al-Jashash termasuk dalam tafsir bi al-ma’tsur (bi al-riwayah) yaitu menafsirkan

al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan perkataan sahabat atau dengan apa yang

dikatakan tabi’in, di samping itu juga beliau mengemukakan beberapa pendapat

berdasarkan pada pemikirannya.15

3. Karya-Karya Al-Jashash

Karya-karya beliau banyak sekali, ada yang berupa bentuk buku atau kitab, diantara karya-karyanya adalah:

1. Ushul Al-Jashash 2. Tafsir Ahkam al-Qur’an 3. Syarah Mukhtashar Al-Karkhi 4. Syarah Mukhtashar Al-Tahawi

5. Syarah jami’ Al-Saghir Wa Al-Jami’ Al-Kabir

6. Syarah Asma’ Al-Husna 7. Jawab Al-Massa’il.16

14

Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, h. 31.

15

Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, h. 31.

16


(32)

B. Sekilas Tentang Al-Qurthubi dan Tafsir al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an

1. Riwayat Hidup

Al-Qurthubi adalah salah seorang mufassir dan seorang yang alim.17 Nama

lengkap beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Ali Abi Bakar

bin Faraj Al Ansari Al Hajraji Al-Andalusi Al-Qurthubi.18 Beliau dilahirkan di

Spanyol tahun 580 H / 1184 M. beliau adalah hamba Allah yang saleh, bijaksana, wara’ dan zuhud. Beliau menghabiskan waktunya untuk urusan-urusan akhirat dan untuk mencari keridhoan Allah, beribadah dan mengarang beberapa kitab.

Beliau merantau keluar daerahnya untuk belajar ilmu-ilmu agama,

sehingga menjadi sarjana yang teliti dan kehidupannya cenderung asketisisme19

dan selalu meditasi tentang kehidupan setelah mati. Al-Qurthubi telah belajar ilmu-ilmu agama kepada para ulama dimasanya. beliau mengembara ke Timur dan menetap di Andalusia. Di sana beliau berguru kepada: Syaih Abu Abbas Ahmad bin Umar Al-Qurthubi, al-Hafizh Abu Ali al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad al-Bakry. Diantara para gurunya yang terkenal adalah Abu Abbas Ahmad bin Umar Al-Qurthubi yang mempunyai kitab Shahih Muslim. Tokoh ini

merupakan seorang guru ulama salaf yang terkenal sebagai ahli bahasa Arab.20

Setelah Al-Qurthubi menuntut ilmu ke arah timur di dataran tinggi Mesir dari beberapa guru, reputasinya menjadi besar, beliau juga belajar ilmu hadis. Seperti Imam Nawawi telah mengutip dari kitab mufhimnya di beberapa tempat dari karya-karyanya yang menyebutkan ada dua tokoh dari siapa Al-Qurthubi

17

As-Sayyid Muhammad ‘Ali Iyaziy, Al Mufassiruun Hayatuhum wa Minhajuhum

wizarah as-saqafah wa Al-Irsyad Al Islamy, (Teheran: tp, 1414 H), h. 409. 18

Muhammad Husain Al Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz , (Mesir: Daar

Al-Maktabah Al Harisah, 1976), h. 457. 19

Paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban. 20


(33)

telah belajar ilmu hadis, yaitu dari Al Hafidz Abu Ali Hasan Ali bin Muhammad

bin Ali Hafzi bin Yahsubi dan Abu Abbas Ahmad bin Umar Al-Qurthubi.21 Dari

beberapa ulama pada masanya beliau belajar agama dan belajar bahasa arab serta belajar ilmu hadis dari tokoh ulama di Mesir, beliau menjadi paham agama serta meneruskan cita-citanya untuk mengarang dan menulis kitab yang berguna pada masanya.

Al-Qurthubi mempunyai sifat-sifat yang menjadikan para ulama menyebut-nyebut keagungannya. Al-Hafizh Abdul Karim berkata tentangnya : “Dia termasuk hamba Allah yang shalih, ulama yang arif, zuhud akan selalu

menyibukkan diri dengan urusan-urusan akhirat”. Dalam sejarah al-Kitaby juga

terdapat pujian baginya “Dia seorang syaikh, mempunyai karangan-karangan yang berfaedah yang menunjukkan pada ketinggian ilmunya, diantaranya adalah tafsir Qur’an. Al-Dzahabi menyampaikan dalam sejarah Islam, “Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Imam al-Qurthubi pemilik lautan ilmu”. Dia mempunyai karangan-karangan yang berfaedah yang

menunjukkan pada ketinggian ilmu kejeniusan otak dan keutamaannya.22

Imam Al-Qurthubi kemudian berdomisili di Munyah Ibnu Kasib, selanjutnya beliau meninggal dan dimakamkan di Munyah pada malam senin 9

Syawal 671 H.23

21

Muhammad Husain Al Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, h. 512 22

Muhammad Husain Al Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, h. 512 23

Al-Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz I, (Dar Al-Kutub Al-Misriyyah, 1967),


(34)

2. Profil Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an

Tafsir Jami’i Ahkam al-Qur’an Wa al-Mubayyi Lima Tadhammanahu min al-Sunnah Wa Ayi al-Qur’an (himpunan hukum-hukum al-Qur’an dan penjelasan

terhadap isi kandungannya dari as-Sunnah dan ayat-ayat al-Qur’an) tergolong

dalam salah satu kitab-kitab tafsir yang sangat tebal dengan berbagai jilid. Ada yang sepuluh jilid tebal, dan ada pula yang terdiri 22 jilid dengan jumlah halaman 723.

Tafsir ini ditulis oleh Abu Abdullah Muhammad Al-Qurthubi, beliau merupakan salah satu ulama yang sangat produktif dimasanya. Ibn Farhun seperti

dikutip Al-Dzahabi, menilai tafsir al-Qur’an ini sebagai salah satu kitab tafsir

yang sangat bermutu dan paling besar manfaatnya. Ini dibuktikan bahwa semua

kitab tafsir yang lahir sesudah generasi Al-Qurthubi banyak merujuk kepada

Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an.24

Tafsir Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Al-Qurthubi termasuk dalam tafsir Al-Ra’yi. Yaitu suatu metode penafsiran al-Qur’an yang pola pemahamannya

dilakukan melalui ijtihad setelah seorang mufassir al-ra’yi mengetahui beberapa

syaratnya.25 Untuk menggunakan penafsiran al-ra’yi, terlebih dahulu seorang

mufassir harus mencari makna ayat-ayat al-Qur’an yang terdapat dalam al-Qur’an

itu sendiri, lalu pada sunnah Nabi SAW, perbuatan para sahabat dan tabi’in. jika

tidak menjumpai dalil yang terdapat pada beberapa sumber diatas, barulah seorang mufassir menggunakan kekuatan akal pikirannya (ijtihad).26

Berbeda dengan tafsir al-Qur’an karya para ulama lainnya, Tafsir al-Jami’

Li Ahkam al-Qur’an lebih menekankan pada pemahaman hukum islam dari segi

24

Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 144-145.

25

M. Nur Ichwan, Memasuki Dunia Al Qur’an, (Semarang: Lubuk Raya, 2001), h. 180.

26


(35)

fungsinya sebagai petunjuk bagi umat islam untuk mencapai kebahagian hidup di

dunia dan akhirat, karena inilah tujuan utama menafsirkan al-Qur’an. Tafsir

al-Qurthubi merupakan tafsir yang paling besar manfaatnya dan faedahnya paling universal, merupakan referensi paling diperhatikan dalam ilmu tafsir, melihat bahwa muatan atau isi tafsir ini sangat lengkap, tentang hukum-hukum faedah bahasa, menyebutkan bacaan-bacaan, naskh dan mansukh serta muhkam dan mutasyabih. Kitab ini mengalami banyak revisi karena banyak diminati dan

menjadi referensi utama dalam pemahaman al-Qur’an dibanyak kalangan.

Metode yang digunakan Al-Qurthubi dalam menyusun tafsirnya dapat di golongkan sebagai tafsir tahlili atau analitik, karena dalam penyusunannya dengan

menafsirkan ayat-ayat sesuai dengan runtutan dalam mushaf al-Qur’an, sedangkan

dalam rangka menerangkan maknanya yang terkandung dalam ayat dilakukan melalui beberapa ciri yaitu ciri kebahasan, munasabah ayat, hubungan ayat

dengan hadis, hubungannya dengan sosial histori kultural.27

Metode ini biasanya mufassir menguraikan makna yang dikandung oleh

al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut, menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabat), dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya.28

27

Muhammad Ali Iyazi, al-Mufassiruun Hayatuhum wa Minhajuhum Wizarah

as-Saqafah wa Al-Irsyad Al Islamy, h. 411. 28


(36)

Beliau bermadzhab maliki, di dalam tafsirnya Al-Qurthubi termasuk tafsir yang bercorak fiqih, beliau tidak membatasi diri pada ayat-ayat hukum semata,

tetapi juga menafsirkan al-Qur’an secara menyeluruh. Ia mengemukakan

masalah-masalah khilafiyah, mengetengahkan dalil bagi setiap pendapat.29 Metode yang

ditempuh Al-Qurthubi adalah dengan menyebutkan sebab-sebab nuzul,

mengemukakan macam-macam qiro’at dan i’rab, menjelaskan lafadz-lafadz yang

gharib, menghubungkan pendapat-pendapat kepada yang mengatakannya,

menyediakan paragraf khusus bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari para

ahli sejarah.

Tafsir Al-Qurthubi termasuk penafiran bi al-ra’yi dan menafsirkan

ayat-ayat al-Qur’an harus menggunakan kerangka berfikir yang sistematis. Yaitu

terlebih dahulu harus mencari makna ayat-ayat al-Qur’an yang terdapat dalam

al-Qur’an sendiri, sunnah Nabi, perkataan para sahabat dan tabi’in kalau tidak menjumpai beberapa dalil yang terdapat pada beberapa sumber diatas barulah

seorang mufassir menggunakan kekuatan akal pikirannya (ijtihad).

3. Karya-karya Al-Qurthubi

Semasa hidupnya beliau banyak membuat karya-karya ilmiah, antara lain sebagai berikut:

1. Al Jami’ li-Ahkam al-Qur’an

2. Al-Tadzkiratu fi Ahwali al-Mauta wa Umuri al-Akhirati 3. Al-Asna fi Syarkhi al-Asma’ al-Husna

4. al-Tadzkaru fi Afdlali al-Adzkari 5. Al-Tadzkiratu bi al-Umuri al-Akhirati

29

Manna Khalil Akl-Qattan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu


(37)

6. Syarh at-Tuqsho fi al-Hadis al-Nabawi

7. Al-I’lam bima fi Dini al-Nashara min al-Mafasid wa al-Auhani wa Idhari Makhosini Dini al-Islami.30

Komentar-komentar dalam kitab diatas adalah sangat sempurna dan sangat berguna. Kebanyakan para pengarang yang menceritakan tentang Al-Qurthubi mereka mengakui serta mengambil rujukan pendapat dari komentar kitab

Al-Qurthubi. E.J. Brill menjelaskan dalam kaitannya muqodimahnya tafsir Al-Jami’

li Ahkam al-Qur’an, yang menerangkan pada nilai al-Qur’an akan mendapatkan tingkatan yang tinggi dan keutamaan dimata Allah bagi mereka yang membawa

dan mempunyai kemampuan ijtihad untuk menggali isi kandungan al-Qur’an.31

30

Muhammad Hussain al-Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, h. 457. 31


(38)

26

AL-BAQARAH : 221

A. Penafsiran al-Jashash terhadap surat al-Baqarah : 221

Al-Jashash banyak menukil pendapat ulama sebelum menyatakan pendapatnya seputar hukum menikahi orang musyrik. Dalil yang dijadikan sandaran adalah firman Allah SWT:



























Artinya :”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka

beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (Q.S. Al-Baqarah ayat 221).

Mengenai firman Allah SWT :



“dan

janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman”, Ali bin Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Dalam hal ini, Allah SWT telah

mengharamkan untuk menikahi wanita-wanita musyrik.” Al-Jashash menukil


(39)

dalam surat al-Baqarah 221 masih bersifat umum, sehingga mencakup setiap

orang kafir dan ahlul kitab, baik itu wanita maupun laki-laki.1

Seperti firman Allah :











Artinya: “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik

(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum

datang kepada mereka bukti yang nyata”. (Q.S. Al-Bayyinah : 1)

Ibn Umar ketika ditanya tentang menikahi wanita-wanita musyrik, Ibn Umar menjawab bahwa Allah telah mengharamkannya, termasuk wanita Yahudi dan Nasrani haram untuk dinikahi oleh orang muslim, ketika ia ditanya (tentang keharamannya), kemudian Ibnu Umar menjawab bahwa ia tidak mengetahui dari perbuatan syirik yang lebih besar daripada seseorang yang mengatakan bahwa

tuhannya adalah Isa atau salah satu dari hamba Allah.2 Al-Jashash menjelaskan

bahwa Indikasi dilarangnya pernikahan dengan wanita musyrik karena mereka akan mengajak (orang yang menikahinya) ke neraka.

Firman Allah :



Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,

walaupun dia menarik hatimu”. Al-Jashash menjelaskan bahwa memilih seorang budak yang beriman lebih dianjurkan daripada seorang wanita musyrik yang memiliki kelebihan dan derajat.

Al-Jashash mengutip pendapat as-Suddi mengatakan: “Ayat ini turun

berkenaan dengan Abdullah bin Rowahah yang mempunyai seorang budak wanita berkulit hitam. Suatu ketika Abdullah bin Rowahah marah dan menamparnya, lalu

1

Al-Jashash, Bab Nikah al-Musyrikat, h. 15 2


(40)

ia merasa takut dan mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan peristiwa yang terjadi di antara mereka berdua (Abdullah bin Rowahah dan budaknya). Maka Rasulullah SAW bertanya: “Bagaimana budak itu?” Abdullah bin Rowahah menjawab: “Ia berpuasa, shalat, berwudhu’ dengan sebaik-baiknya, dan

mengucapkan syahadat bahwa tidak ada illah yang berhak disembah selain Allah

SWT dan engkau adalah Rasul-Nya.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Wahai

Abu Abdullah, wanita itu adalah mukminah.” Abdullah bin Rowahah mengatakan: “Demi Allah yang mengutusmu dengan hak, aku akan memerdekakan dan menikahinya.” Setelah itu Abdullah pun melakukan sumpahnya itu, maka beberapa orang dari kalangan kaum Muslimin mencelanya serta berujar: “Apakah ia menikahi budaknya sendiri?” Padahal kebiasaan mereka menikah dengan orang-orang musyrikin atau menikahkan anak-anak mereka dengan orang-orang musyrikin, karena menginginkan kemuliaan leluhur mereka.

Maka Allah SWT menurunkan ayat

ْ ْت ْعأ ْ ك ْشُ ٌ ْيخ ٌ ْ ُ ٌ ِ

Seungguhnya wanita budak yang beriman itu lebih baik daripada wanita musrik, walaupun ia menarik hatimu”.3

Firman Allah SWT :





dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman”. Al-Jashash menjelaskan bahwa wanita musyrik dan laki-laki musyrik haram untuk dinikahi, karena ajakan mereka ke neraka menjadi

alasan tegas diharamkannya menikah dengan mereka.4

3

Al-Jashash, Bab Nikah al-Musyrikat, h. 17; lihat pula Ibn Katsir, Lubab at-Tafsir min Ibni Katsir, Alih Bahasa M. Abdu al-Ghofar E.M, cet. ke-1 (Jakarta, Pustaka Imam al-Syafi’i, 2009), jilid I, hlm. 427.

4


(41)

Didalam kitab fiqih madzhab Hanbali disebutkan juga bahwa tidak ada perbedaan pendapat dalam pelarangan seorang wanita muslimah yang menikah dengan seorang laki-laki musyrik/kafir.

ى عت َ ل ق ل حب ف ك ح لس لحي َ

(

ىتح يك ش ح ت َ

ي

)

ك يف فَخ لع َ

)

ه لح ه َ

(

ه ح س ه ق

.

Artinya : “tidak dihalalkan bagi wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir,

karena ayat larangan ini [dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.] dan juga ayat ini [mereka (wanita-wanita Muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka], dan kami tidak mengetahui

adanya perbedaan tentang ini diantara ulama”5

Imam Al-Kasai dari kalangan ulama Madzhab Hanafi, menegaskan larangannya bagi wanita Muslimah dilarang untuk menikah dengan laki-laki musyrik. Beliau berkata:

ى عت ه ْ ق ف ْ ْ ْ ح ْ إ ز ي َف

{

ْ ي ىتح يك ْش ْ ح ْ ت َ

{

“dilarang menikahkan wanita Muslimah kepada laki-laki kafir, karena ayat larangan ini [dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.

لج زع ه ْ قب ي ْْ خآ يف

{

ر َ ى إ عْ ي ك أ

}

ت ْ ْ عْ ي ْ هَ ِ

ر َ ج ي ْف ْ َ ِ ر َ ى إ ٌء ع ْف ْ ى إ ء عُ ْف ْ ى إ

“diakhir ayat, Allah mengatakan: [mereka (orang kafir) mengajak ke neraka],

karena mereka mengajakan untuk menjadi kafir. Dan ajakan menjadi kafir ialah ajakan menuju neraka. Karena orang kafir telah pasti untuk mereka adalah neraka.”6

Firman Allah SWT :







mereka (orang musyrik) mengajak ke neraka”. Menurut al-Jashash menikahi wanita musyrik diawal Islam tidak dilarang oleh al-Qur’an, sampai turunnya ayat



5

Kitab Al-Syarhu Al-Kabir Juz 7, h.507 6


(1)

Perbedaan pendapat di atas dapat dimaklumi karena satu dalil yang sama belum tentu menghasilkan hukum yang sama, karena berbedanya cara pandang, ideologi, keberpihakan mempunyai pengaruh terhadap lahirnya tafsir. Satu hal yang perlu untuk diperhatikan bahwa apaun jenis tafsirnya- membolehkan atau tidak yang jelas pernikahan beda agama pernah terjadi dalam praktek kehidupan sosial umat Islam pada zaman Nabi.


(2)

54 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis menemukan beberapa kesimpulan yang dapat diambil, yaitu :

Al-Jashash dan al-Qurtubi telah mengharamkan untuk menikahi wanita-wanita musyrik”, karena ajakan mereka ke neraka menjadi alasan tegas diharamkannya menikah dengan mereka. Hal ini karena mereka (orang musyrik) dan kita (muslim) berada pada keyakinan yang berseberangan, dan seandainya terjadi perkawinan maka anak-anaknya kelak akan tumbuh dalam kondisi pertengkaran yang terjadi dalam keluarganya dan hal ini pula akan mempengaruhi akhlak mereka yang setiap harinya selalu berada dalam kondisi pertengkaran.

Disini kita dapat mengatakan bahwa menikahi wanita musyrik tentu dilarang dan dibenci oleh Rasulullah saw, karena anak-anak mereka yang lahir karena pernikahan tersebut pasti cenderung akan mengikuti dan mencontoh perilaku ibunya yang musyrik. Ketika ada pilihan antara wanita musyrik dengan wanita budak mukmin maka diharuskan untuk memilih wanita budak mukmin, meskipun wanita musyrik itu mempunyai kedudukan dan kekayaan,

d

isamping itu kekhawatiran beberapa ulama akan adanya ketidakharmonisan perkawinan antara dua orang yang berbeda keyakinan menjadi alasan diharamkannya pernikahan ini.


(3)

55

A.W Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Edisi ke 2, Cet XIV, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997.

Amin, Muhammad. Kualitas Asbab al-Nuzul dalam Tafsir al-Azhar, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007.

Al-Asqalani, Ibn Hajar. Bulugh al-Maram, Surabaya: Nabhan, t.th. Azra, Azyumardi. Sejarah ‘Ulum Al-Qur’an, t.tp: Pustaka firdaus, t.th.

Azzam, Abdul Aziz Muhammad. dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, al-Usrah wa Ahkamuha fi al-Tashri’ al-Islami, terjemahan fiqh munakahat, Jakarta: Sinar Grafika Ofset, 2009.

Al-Baghawi. Ma’alim al-Tanzil, di-tahqiq oleh Muhammad Abdullah al-Namr, cet 1, juz 1, Dar al-Taybah: 1997.

Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Baidan, Nashruddin. Tafsir Maudhui bab Perkawinan Campuran, Cet I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Dirbenpera Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI. 1993.

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Departemen Agama, 1993. Eoh, O. S. Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1996.

Al-Farmawi, Abd. Al-Hayy. Metode Tafsir Maudlu’iy, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996

Hamdani, M. Faisal. Nikah Mut’ah Analisis Perbandingan Antara Sunni dan Syi’ah, cet. 1, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008.

Hasan, M. Ali. Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, cet II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Hasbi, Rusli. Rekontruksi Hukum Islam: Kajian Kritis Sahabat terhadap Ketetapan Rasulullah saw, Jakarta: al-Irfan Publishing, 2007.

Hosen, Ibrahim. Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, Cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.


(4)

56

Hosen, Ibrahim. Fiqih Perbandingan : Dalam Masalah Nikah, Thalaq, Rujuk dan

Hukum Kewarisan, Jakarta: Perpustakaan Islam Yayasan Ihya

Ulumuddin Indonesia, 1971.

http://delapan208.wordpress.com/tag/nikah-muda/ diakses pada hari jum’at 12 Agustus 2014 pukul 18.55 WIB.

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/185877-kepala-bkkbn-desak-revisi-usia-nikah, diakses pada hari jum’at 12 Agustus 2014 pukul 18.40 WIB.

Ichwan, M. Nur. Memasuki Dunia Al Qur’an, Semarang: Lubuk Raya, 2001. ‘Ali-Iyaziy, As-Sayyid Muhammad. Al Mufassiruun Hayatuhum wa Minhajuhum

wizarah as-saqafah wa Al-Irsyad Al Islamy, Teheran: tp, 1414 H. Al-Jashash, Bab Nikah al-Musyrikat.

Al-Jaziri, Abdul Rahman. Kitab al-Fiqh ala Madhahib al-Arba’ah, jilid IV, Beirut: Dar al-Fikr al-Ilmiyah, t.th.

Junaidi, Ahmad Arif. Pembaharuan Metodologi Tafsir Al-qur’an, Semarang: Gunung Jati, 2001.

Katsir, Ibn. Lubab at-Tafsir min Ibni Katsir, Terj. M. Abdu al-Ghofar E.M, jilid I, cet. ke-1, Jakarta, Pustaka Imam al-Syafi’i, 2009.

Kuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Ma’arif, Muhammad Hadi. Sejarah al-Qur’an, Jakarta: Al-Huda, 2007.

Al-Mahali, Jalaluddin. Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Juz 1, Mesir: Darul Hadits, t.th.

Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka SM, 2000.

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa al-. Tafsir al-Maraghi, Juz 2, Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1962.

Muchlas, Imam. Dr. H. MA. al-Qur’an Berbicara Kajian Kontekstual Beragam Persoalan, Cet. I, Surabaya: Pustaka Progresif, 1996.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Madzhab, Cet. IV, Jakarta: Lentera Barsitama, 1999.

Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Edisi ke 2, Cet XIV, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997.


(5)

Nazir, Muhammad. Metode Penelitian, Cet. III, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Pagar, Perkawinan Berbeda Agama : Wacana dan Pemikiran Hukum Islam

Indonesia, Bandung : Ciptapustaka media, 2006.

Al-Qardhâwî, Yûsuf. Berinteraksi dengan al-Qur’an, Cet. I, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Qardhawi, Yusuf. Al-Qur’an dan As-Sunnah Refensi Tertinggi Umat Islam; Beberapa Kaidah dan Rambu dalam Menafsirkan, Jakarta: Rabbani Press,1997.

Al-Qattan, Mannâ Khalîl. Mabâhits fî ˈUlûm al-Qur’ân, t.tp., Mansyurât al-‘Ashr al-Hadîs, 1973.

Al-Qattan, Mannâ Khalîl. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Cet. X, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007.

Al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Terj. Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Cet. V, Jakarta: Litera Antara Nusa, 2000.

Al-Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz I, Dar Al-Kutub Al-Misriyyah, 1967.

Al-Qurtubi. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, terj. Fathurrahman, Tafsir al-Qurtubi, Jakarta: Pustaka Azam, 2007.

Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, terj. As’ad Yasin, dkk, Jilid II Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Rasjidi, M. Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen Jakarta: Bulan Bintang, 1974

Rasyid, Rosiahan A. Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : Rajawali Press, 1991.

Ridha, Muh Rasyid. Tafsir al-Manar, Cairo: Dar al-Manar, 1367, Vol VI. Sabiq, Sayyid. Fiqhus Sunnah, , Jilid 3,Cairo : Pena Publishing, 1994.

Al-Shabbaythi, Isham. et al-Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi, Juz 5, al-Qahirah: Dar al-Hadits, 1994.

Ash-Shabuni, M. ‘Ali. At-Tibyan fii ‘Ulum al-Qur’an, Damaskus: Maktabah al- Ghazali, 1991.


(6)

58

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Kitab Rawa’iu al-Bayyan tafsir Ayyati al-Ahkam, Juz I.

Al-Shâlih, Shubhî. Mabâhits fi ‘Ulûmul al-Qur’ân, Dâr al-‘Ilmi li al-Malâyîn, 1977.

Shihab, M. Quraish Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhi’I atas Perbagai

Persoalan Umat Bandung: Mizan, 1996.

Shihab, M. Quraish. Lentera al-Qur’an:Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 1994.

Shihab, M. Quraish. Sejarah dan ‘Ulûmul al-Qur’ân, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999.

Shihab, M.Quraish. Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.

Singarimbun, Masri. dan Sofwan Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1989.

Soleh, H.E Hasan. Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, Cet, I, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Sosroatmojo, Arso. dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Suma, Moh. Amin. Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta: Rajawali Pers, 2001 Asy-Sya’rawi, Mutawalli. Dosa Dosa Besar, Jakarta: gema insane press, 2000. Syamsuri, Hasani Ahmad. Studi Ulum al-Qur’an, Cet. I, Jakarta: Zikra Press,

2009.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia.

Yuhdi, Masfuk. Masail Fiqhiyah, Cet. X, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997. Zahabi, Muhammad Husain Al- Al Tafsir wa Al Mufassiruun, Mesir: Daar

Al-Maktabah Al-Harisah, 1976.

Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam syafi’I, Jakarta: al-Mahira, 2010.

Zuhayli. Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid IX, Beirut: Dar al-Fikr, 1997.