Efek Samping Indikasi Sediaan Dan Dosis

Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis ertrosit.Obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai asetaminofen 3 dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi Ganiswara, 1995.

2.1.3 Farmakodinamik

Efek asetosal untuk menurunkan suhu tubuh jelas terlihat pada penderita yang demam. Pada orang sehat efek ini tidak jelas. Pada keadaan demam, diduga termostat di hipotalamus terganggu sehingga suhu badan lebih tinggi. Obat-abat golongan salisilat diduga bekerja dengan mengembalikan fungsi termostat ke normal. Pembentukan panas tidak dihambat, tetapi hilangnya panas dipermudah dengan bertambahnya aliran darah ke perifer dan pembentukan keringat. Walaupun pembentukan keringat merupakan efek yang menonjol setelah pemberian asetosal hal tersebut bukan merupakan mekanisme yang esensial. Salisilat tetap menurunkan demam bila pembentukan keringat dihalangi dengan pemberian atropine. Efek penurunan suhu demam diduga terjadi dengan penghambatan pembentukan prostaglandin seperti efek analgesiknya. Prostaglandin E1 adalah pirogen kuat yang bila disuntikkan pada hipotalamus anterior atau ke dalam ventrikel otak, efeknya tidak dapat dicegah oleh obat antipiretik. Pirogen menyebabkan pembentukan prostaglandin E1 dan pembentukan zat ini dihambat oleh salisilat Tanu, 1972.

2.1.4 Efek Samping

Tak jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitivitas dan kelainan darah. Pada pengguna kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis diatas 6 g mengakibatkn necrose hati yang tidak reversible. Hepatotoksisitas ini disebabkan Universitas Sumatera Utara oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutathione suatu tripeptida dengan -SH. Pada dosisi di atas 10 g, persediaan peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat pada protein dengan –SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversibel. Dosis dari 20 g sudah berefek fatal. Overdose bisa menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anorexia. Penanggulangannya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar asam amino N-asetilsistein atau metionin sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi Tjay dan Kirana, 2002.

2.1.5 Indikasi

Penggunaan fenasetin dan asetaminofen sebagai analgetik dan antipiretik adalah sama dengan penggunaan salisilat. Analgesik, fenasetin dan asetaminofen dapat diberikan tiap 3-4 jam untuk keadaan-keadaan, seperti sakit kepala, migren, nyeri haid, artralgia, mialgia, dan lain- lain. Tetapi sebaiknya terapi jangan diberikan terlalu lama. Jika dosis terapeutik biasa tidak member manfaat, dosisi yang lebih besar biasanya juga tidak menolong. Antipiretik, penggunaan fenasetin dan asetaminofen untuk meredakan demam telah terdesak oleh penggunaannya untuk menimbulkan analgesia.Untuk dewasa dosis 325 mg-1000 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 20 mgkg BB, diberikan tiap 4-6 jam, dosis total perhari jangan melebihi 3,6 g Tanu, 1972.

2.1.6 Sediaan Dan Dosis

Untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1 g, maksimum 4 ghari, pada penggunaan kronis maksimum 2,5 ghari. Anak-anak : 4-6 dd 10 mgkg, yakni rata- Universitas Sumatera Utara rata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-12 tahun 240-360 mg, 4-6 x sehari. Rektal 20 mgkg setiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg, 4-6 tahun 4 dd 240 mg, dan 7-12 tahun 2-3 dd 0,5 g Tjay dan Kirana, 2002.

2.2 Tablet