Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Kata Dan Bahasa Dalam Akta Notaris

(1)

TESIS

Oleh

VIDYA NANDRA KESUMA

087011128/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN KATA DAN

BAHASA DALAM AKTA NOTARIS

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

VIDYA NANDRA KESUMA

087011128/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN KATA DAN BAHASA DALAM AKTA NOTARIS Nama Mahasiswa : Vidya Nandra Kesuma

Nomor Pokok : O87011128 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn)

Pembimbing Pembimbing

(Notaris Syafnil Gani, S.H., M.Hum) (Chairani Bustami, S.H., Sp.N., M.Kn)

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum


(4)

Telah diuji pada :

Tanggal 21 Desember 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Notaris Syahril Sofyan, SH, M.Kn. Anggota : 1. Notaris Syafnil Gani, S.H., M.Hum.

2. Chairani Bustami, S.H., Sp.N., M.Kn. 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN


(5)

ABSTRAK

Pasal 27 Undang-Undang No. 24 Tahun 2009, menentukan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi Negara, yang dimaksud “dokumen resmi negara” adalah antara lain surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, putusan pengadilan. Penyusunan suatu akta notaris menggunakan Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa kesatuan Negara Republik Indonesia. Penulisan bertujuan untuk menjelaskan penerapan ketentuan penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris pada praktek notaris, hambatan yang dihadapi notaris dalam penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris dan penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi kesalahan penggunaan kata dan bahasa dalam suatu akta notaris.

Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris pada praktek notaris.

Hasil penelitian pada praktek notaris diketahui bahwa terdapat kekurangan dalam akta notaris, baik dari segi kaidah bahasa Indonesia, kesalahan tulis, dan penafsiran ganda yang dapat menimbulkan akibat hukum. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang penerapan penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris. Notaris dituntut memiliki kemampuan menelaah maksud dan kehendak para pihak dengan baik, mengutamakan ketelitian dalam membuat dan menuangkan perbuatan hukum yang dimaksud ke dalam akta untuk meminimalisir kesalahan serta perbedaan penafsiran antara para pihak sehingga tidak melanggar ketentuan yang ada dan untuk menghindari atau menindaklanjuti perkara yang terjadi di kemudian hari. Hambatan yang dihadapi dalam penggunaan kata dan bahasa yang tepat antara lain, kurangnya sumberdaya notaris dalam menerapkan penggunaan kata dan bahasa akta yang tepat, kelalaian notaris, dan perbedaan pemahaman antara notaris dengan klien. Sedangkan hambatan dari masyarakat, yaitu kurangnya kesadaran hukum dan pemahaman masyarakat terhadap bahasa hukum, dan adanya penafsiran yang berbeda dari para pihak. Penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi kesalahan

adalah dengan menggunakan lembaga renvooi dan perubahan akta dengan membuat

akta baru atau pembatalan akta. Disarankan kepada masyarakat terkait pembuatan akta, agar menyampaikan keterangan, maksud dan tujuan, serta memberikan surat dan dokumen yang diperlukan secara jelas, jujur, dan benar. Hendaknya notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tetap berpegang teguh dengan berpedoman pada ketentuan undang-undang yang berlaku, mengutamakan tanggung jawab, ketelitian, dan kehati-hatian dalam melaksanakan tugas profesi notaris dengan baik dan benar.


(6)

ABSTRACT

Article 27 of Law No.24/2009 says that Bahasa Indonesia is compulsory to be used in any state official documents such as a decree, share certificate, (educational) certificate, official letter of statement, official letter of self-identification, trading certificate, agreement/contract, and court decision. The making of a notarial act should use Bahasa Indonesia which is a unitary language of the Republic of Indonesia. The purpose of this study was to describe the application of the sipulation of using word and language in a notarial act within a notarial practice, the constraints faced by notaries is using word and language in a notarial act, and the solution taken by notaries when mistakes occurred in using word and language in a notarial act.

This study employed an analitycal descriptive research method with normative juridical approach to describe / explain and to analyze the use of word and language in a notarial act within a notarial practice.

The result of this study revealed that in notarial practices were found several problems either in terms of principles of Indonesian language, miswritten words, or dual interpreting that can result in a legal consequence. There was no special stipulation regulating the application of the use of legal word and legal language in a notarial act. A notary is demanded to have capability of analyzing what is meant and intended by the parties involved well, to prioritize accuracy in making and writing a legal act meant in a notarial act to minimize the mistakes and differences in interpreting between the parties involved that there will be no violation of existing stipulation and the avoid or follow-up the case which may occur in the future. The constraints faced in using the accurate words and language, among other things were the notary had a lack of ability in using accurate act/legal words and language, the notary may be careless, and there was a misunderstanding between the notary and his client in interpreting the word and language used. The constraint come form the community members were that day lacked of legal awareness and understansing the act/legal language and the different interpretation by the parties involved the solution taken when the mistakes occurred was the use of renvooi institution or the change the act by making a new act or canceling the existing act. When making the notarial act, the community members are suggested to give and provide a correct, honest, and clear explanation, Intention and all of the documents needed. In his daily practice, a notary should be strict based on the existing legislations, prioritizing responsibility, accurate and careful in conducting his notarial duty and profession well and properly.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan sampaikan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini

dengan judul

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN KATA DAN

BAHASA DALAM AKTA NOTARIS

”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan

amat terpelajar Bapak Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn. Bapak Notaris Syafnil Gani, S.H., M.Hum., dan Ibu Chairani Bustami, S.H., Sp.N., M.Kn.

selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(8)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku ketua program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah. 6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.

7. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2008 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 8. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih

sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ayahandadan Ibunda serta Saudara-saudariku yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis.

Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada uami tercinta dan anakku yang selama ini telah menjadi inpirasi dan memberikan semangat sehingga menjadi motivasi warna tersendiri dalam kehidupan dan juga dalam penyelesaian tesis pada di Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(9)

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Medan, Desember 2010 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Vidya Nandra Kesuma

Tempat /Tgl. Lahir : Banda Aceh, 12 September 1982

Alamat : Jl. Jenderal Sudirman No. 102 Banda Aceh

Status : Kawin

Agama : Islam

II. KELUARGA

Suami : Mukhsin Putra Haspy, SH, SpN

Anak : Nasywa Azzahra

Ayah : Syaiful Bahri, BA

Ibu : Dra. Zurestiani

III. PENDIDIKAN

SD Negeri No. 51 B.Aceh : Lulus Tahun 1994

SLTP Negeri 17 B. Aceh : Lulus Tahun 1997

SMU Negeri 1 B. Aceh : Lulus Tahun 2000

S1 Ilmu Hukum Unsyiah : Lulus Tahun 2005


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………... i

ABSTRACT .……... ii

KATA PENGANTAR ……... iii

RIWAYA HIDUP... vi

DAFTAR ISI ………….……… vii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar belakang …... 1

B.Perumusan Masalah ... 11

C.Tujuan Penelitian ... 12

D.Manfaat Penelitian …... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ………... 14

G.Metode Penelitian ... 33

BAB II. PENERAPAN KETENTUAN PENGGUNAAN KATA DAN BAHASA DALAM SUATU AKTA NOTARIS PADA PRAKTEK NOTARIS ... 38

A.Pengertian Akta dan Akta Otentik……….. 38

B.Ruang Lingkup Kewenangan, Tugas dan Kode Etik Notaris ... 49

C.Kaidah Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Akta Notaris ………... 68

D.Ketentuan Penerapan Penggunaan Kata dan Bahasa dalam Akta Notaris pada Praktek Notaris ………. 71

BAB III. HAMBATAN YANG DIHADAPI NOTARIS DALAM PENGGUNAAN KATA DAN BAHASA DALAM AKTA NOTARIS ... 83

A.Hambatan yang berasal dari Notaris sebagai Pembuat Akta……… 87


(12)

B.Hambatan yang Berasal dari Klien Pengguna Jasa

Notaris ……… 91

BAB IV. PENYELESAIAN YANG DITEMPUH APABILA TERJADI KESALAHAN PENGGUNAAN KATA DAN BAHASA DALAM SUATU AKTA NOTARIS ... 95

A.Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta ……. 95

B.Kesalahan Penggunaan Kata Dan Bahasa Dalam Suatu Akta Notaris ……….. 109

C.Penyelesaian yang Ditempuh Apabila Terjadi Kesalahan Penggunaan Kata dan Bahasa Dalam Suatu Akta Notaris ……….. 123

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 136

A. Kesimpulan ……... 136

B. Saran ……... 138

DAFTAR PUSTAKA ……... 140


(13)

ABSTRAK

Pasal 27 Undang-Undang No. 24 Tahun 2009, menentukan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi Negara, yang dimaksud “dokumen resmi negara” adalah antara lain surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, putusan pengadilan. Penyusunan suatu akta notaris menggunakan Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa kesatuan Negara Republik Indonesia. Penulisan bertujuan untuk menjelaskan penerapan ketentuan penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris pada praktek notaris, hambatan yang dihadapi notaris dalam penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris dan penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi kesalahan penggunaan kata dan bahasa dalam suatu akta notaris.

Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris pada praktek notaris.

Hasil penelitian pada praktek notaris diketahui bahwa terdapat kekurangan dalam akta notaris, baik dari segi kaidah bahasa Indonesia, kesalahan tulis, dan penafsiran ganda yang dapat menimbulkan akibat hukum. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang penerapan penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris. Notaris dituntut memiliki kemampuan menelaah maksud dan kehendak para pihak dengan baik, mengutamakan ketelitian dalam membuat dan menuangkan perbuatan hukum yang dimaksud ke dalam akta untuk meminimalisir kesalahan serta perbedaan penafsiran antara para pihak sehingga tidak melanggar ketentuan yang ada dan untuk menghindari atau menindaklanjuti perkara yang terjadi di kemudian hari. Hambatan yang dihadapi dalam penggunaan kata dan bahasa yang tepat antara lain, kurangnya sumberdaya notaris dalam menerapkan penggunaan kata dan bahasa akta yang tepat, kelalaian notaris, dan perbedaan pemahaman antara notaris dengan klien. Sedangkan hambatan dari masyarakat, yaitu kurangnya kesadaran hukum dan pemahaman masyarakat terhadap bahasa hukum, dan adanya penafsiran yang berbeda dari para pihak. Penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi kesalahan

adalah dengan menggunakan lembaga renvooi dan perubahan akta dengan membuat

akta baru atau pembatalan akta. Disarankan kepada masyarakat terkait pembuatan akta, agar menyampaikan keterangan, maksud dan tujuan, serta memberikan surat dan dokumen yang diperlukan secara jelas, jujur, dan benar. Hendaknya notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tetap berpegang teguh dengan berpedoman pada ketentuan undang-undang yang berlaku, mengutamakan tanggung jawab, ketelitian, dan kehati-hatian dalam melaksanakan tugas profesi notaris dengan baik dan benar.


(14)

ABSTRACT

Article 27 of Law No.24/2009 says that Bahasa Indonesia is compulsory to be used in any state official documents such as a decree, share certificate, (educational) certificate, official letter of statement, official letter of self-identification, trading certificate, agreement/contract, and court decision. The making of a notarial act should use Bahasa Indonesia which is a unitary language of the Republic of Indonesia. The purpose of this study was to describe the application of the sipulation of using word and language in a notarial act within a notarial practice, the constraints faced by notaries is using word and language in a notarial act, and the solution taken by notaries when mistakes occurred in using word and language in a notarial act.

This study employed an analitycal descriptive research method with normative juridical approach to describe / explain and to analyze the use of word and language in a notarial act within a notarial practice.

The result of this study revealed that in notarial practices were found several problems either in terms of principles of Indonesian language, miswritten words, or dual interpreting that can result in a legal consequence. There was no special stipulation regulating the application of the use of legal word and legal language in a notarial act. A notary is demanded to have capability of analyzing what is meant and intended by the parties involved well, to prioritize accuracy in making and writing a legal act meant in a notarial act to minimize the mistakes and differences in interpreting between the parties involved that there will be no violation of existing stipulation and the avoid or follow-up the case which may occur in the future. The constraints faced in using the accurate words and language, among other things were the notary had a lack of ability in using accurate act/legal words and language, the notary may be careless, and there was a misunderstanding between the notary and his client in interpreting the word and language used. The constraint come form the community members were that day lacked of legal awareness and understansing the act/legal language and the different interpretation by the parties involved the solution taken when the mistakes occurred was the use of renvooi institution or the change the act by making a new act or canceling the existing act. When making the notarial act, the community members are suggested to give and provide a correct, honest, and clear explanation, Intention and all of the documents needed. In his daily practice, a notary should be strict based on the existing legislations, prioritizing responsibility, accurate and careful in conducting his notarial duty and profession well and properly.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lembaga Notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul dari kebutuhan dalam pergaulan masyarakat berkenaan dengan hubungan hukum keperdataan antara sesama individu yang menghendaki suatu alat bukti diantara mereka.1 Di Indonesia, pengaturan mengenai Lembaga Notariat diatur dalam Undang–Undang No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN, LN 2004, No. 117, TLN 4432). Berdasarkan UUJN tersebut diatur bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.2

Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan.3 Menurut M.U. Sembiring akta adalah suatu tulisan yang memenuhi dua kualifikasi, yaitu :

1. Tulisan itu harus ditandatangani,

2. Tulisan itu diperbuat dengan tujuan untuk dipergunakan menjadi alat bukti.4 Apabila suatu tulisan tidak dimaksudkan sebagai alat bukti meskipun ditandatangani oleh yang membuatnya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah akta.

1

Chairunnisa Said Selenggang, “Profesi Notaris sebagai Pejabat Umum di Indonesia”,

Makalah disampaikan pada Program Pengenalan Kampus untuk Mahasiswa/i Magister Kenotariatan Angkatan 2008, Depok, 2008.

2

Indonesia, Undang-Undang No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 1 Angka 1.

3 Ibid.,

Pasal 1 Angka 7.

4

M.U.Sembiring, Teknik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat, Fakultas


(16)

Misalnya sebagaimana dikemukakan oleh M.U. Sembiring bahwa surat seorang anak yang dikirim dari kota tempat tinggalnya kepada orang tuanya di kampung halamannya, meskipun ditandatangani olehnya, surat tersebut bukanlah akta karena tidak dikandungnya maksud untuk mempergunakan akta tersebut sebagai alat bukti melainkan hanya sebagai berita kemajuan sekolahnya.5

Akta ditinjau dari pembuatannya, dikenal dengan akta dibawah tangan dan akta otentik. Suatu akta otentik ialah “suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.6 Sedangkan akta di bawah tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1878 KUH Perdata, yaitu “sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum”.7

Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur ensensial agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:

1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang

2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum

3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat umum yang berwenang untuk itu

dan di tempat dimana akta itu dibuat.8

5

Ibid., hal 3-4.

6

Lihat Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

7

Lihat Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

8

Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya 2003,


(17)

Akta yang dibuat di hadapan notaris merupakan bukti otentik bukti sempurna, dengan segala akibatnya.9

Jabatan dan profesi notaris sebagai produk hukum, sumbangsih dan peran sertanya semakin dibutuhkan untuk mengayomi masyarakat dan mendukung tegaknya supremasi hukum. Notaris tidak hanya bertugas membuat akte otentik semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, tetapi juga harus dapat berfungsi membentuk hukum karena perjanjian antara pihak berlaku sebagai produk hukum yang mengikat para pihak.10

Akta yang dibuat notaris dan PPAT memuat atau menguraikan secara otentik

mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang disaksikan oleh para penghadap dan saksi-saksi, atau dapat juga dikatakan bahwa akta notaris

merupakan rangkaian suatu cerita mengenai peristiwa yang terjadi, hal ini disebabkan karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak yang membuat perjanjian atau disebabkan oleh orang lain dihadapan notaris.

Akta notaris dapat dibedakan atas 2 (dua) bentuk yaitu : 1. Akta yang dibuat oleh (door een) notaris.

Akta jenis ini diberi nama”akta relaas” atau akta pejabat (ambtelijke akten) atau

akta berita acara”. Akta jenis ini diantaranya akta berita acara rapat para

9

A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal 64

10

http://www.d-infokom-jatim.go.id/, Notaris Harus Dapat Menjamin Kepastian Hukum,


(18)

pemegang saham perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan, akta berita acara penarikan undian.

2. Akta yang diperbuat di hadapan (ten overstaan van een) notaris

Akta ini dinamakan akta pihak-pihak (partij akten). Isi Akta ini adalah catatan notaris yang bersifat otentik mengenai keterangan keterangan dari para penghadap yang bertindak sebagai pihak dalam akta yang bersangkutan. Akta jenis ini diantaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan sebagainya.11

R. Soegondo Notodisoerjo mengemukakan bahwa :

Untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang Advokat, meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, sebaliknya seorang Pegawai Catatan Sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran atau akta kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.12

Menurut A. Kohar akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti.13 Apabila sebuah akta dibuat di hadapan Notaris maka akta tersebut dikatakan sebagai akta notarial, atau otentik, atau akta Notaris. Suatu akta dikatakan otentik apabila dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Akta yang dibuat di hadapan Notaris merupakan akta otentik, sedang akta yang dibuat hanya di antara pihak-pihak yang berkepentingan itu namanya surat di bawah tangan. Akta-akta yang tidak disebutkan dalam undang-undang harus dengan akta otentik boleh saja

11

M.U. Sembiring, Op.Cit., , hal. 22

12

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia (Suatu Penjelasan), ,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993,hal. 43

13


(19)

dibuat di bawah tangan, hanya saja apabila menginginkan kekuatan pembuktiannya menjadi kuat maka harus dibuat dengan akta otentik.

Penyusunan suatu akta notaris menggunakan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa kesatuan Negara Republik Indonesia. Bahasa Indonesia yang dimaksud sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, LN 2009, No. 109, TLN 5053).

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 2009, disebutkan bahwa Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia yangselanjutnya disebut Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 25 UU No. 24 Tahun 2009, bahwa :

(1) Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa.

(2) Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.

(3) Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.


(20)

Pasal 27 Undang-Undang No. 24 Tahun 2009, juga ditentukan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi Negara, yang dimaksud “dokumen resmi negara” adalah antara lain surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, putusan pengadilan. Jadi dokumen negara juga meliputi akta yang dibuat notaris, yaitu akta jual beli, surat perjanjian dan berbagai akta lainnya. Hal ini juga ditentukan dalam UUJN bahwa Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan undang-undang.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat dari segi penggunaan kata dan bahasa hukum dalam sebuah akta juga tidak terlepas dari adanya hubungan antara bahasa dan hukum. Sutan Takdir Alisyahbana yang dikutip Harkristuti Harkrisnowo mengemukakan bahwa :

"…baik bahasa maupun hukum merupakan penjelasan kehidupan manusia dalam masyarakat, yang merupakan pula sebagian dari penjelmaan suatu kebudayaan pada suatu tempat dan waktu . … bahasa dan hukum itu saling berhubungan, saling pengaruh, malahan dianggap sebagai penjelmaan masyarakat dan kebudayaan, yang sebaliknya pula dipengaruhi baik oleh bahasa maupun oleh hukum…”14

14

Harkristuti Harkrisnowo, Bahasa Indonesia Sebagai Sarana Pengembangan Hukum


(21)

Hubungan yang erat antara bahasa dan hukum sebagaimana dilukiskan oleh Alisyahbana di atas, memang sangatlah tidak mungkin untuk diabaikan. Dalam masyarakat manapun, hukum, sebagai salah satu sarana untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban sosial, dirumuskan utamanya melalui bahasa, walau ada simbol-simbol lain yang juga cukup penting untuk menetapkan hukum.15 Hukum hanya dapat berjalan efektif manakala ia dirumuskan dengan tegas dan mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam suatu masyarakat, dan harus dapat dikomunikasikan dengan baik pada subyek-subyek hukum yang dituju. Apabila anggota masyarakat tidak memahami makna ketentuan hukum yang dirumuskan, dapat diduga bahwa akibatnya akan menyebabkan aturan hukum tersebut tidak dapat berjalan. Dari sisi lain, apabila hukum tidak dirumuskan dengan jelas dan para pelaksana dan penerapnya di lapangan pun tidak memahaminya, hal ini jelas akan berdampak pada mutu penegakan hukum tersebut.

Kondisi ini dapat dilihat dari penggunaan bahasa sehari-hari sering ditemui adanya penggunaan istilah-istilah tentang hukum, baik oleh praktisi hukum maupun masyarakat awam. Walaupun demikian terkadang dalam penggunaannya kurang sesuai dengan makna dari istilah yang bersangkutan diukur dari kacamata teori-teori ilmu pengetahuan.16 Demikian pula halnya dalam prakteknya penyusunan atau

15 Ibid

.

16

Khotibul Umam, dkk. Menggali Makna Peristilahan Hukum Dalam Bahasa Hukum


(22)

pembuatan akta notaris tidak terlepas dari adanya berbagai unsur bahasa hukum yang menjamin keotentikan suatu akta.

Khotibul Umam juga menjelaskan bahwa :

Peristilahan hukum yang muncul saat ini, ternyata tidak hanya peristilahan hukum dari bahasa Belanda, beberapa dari bahasa lain baik dari negara-negara Eropa Kontinental, Anglo Saxon, bahkan perkembangan terbaru banyak muncul peristilahan dari bahasa Arab yang lebih banyak dipraktikkan dalam Hukum Lembaga Keuangan. Istilah hukum sendiri sebenarnya berasal dari Bahasa Arab hukm, yang kemudian telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi hukum, termasuk juga istilah keadilan dan kemanfaatan.17 Ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang hukum disebut bahasa hukum Indonesia. Bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum. Perhatian yang besar terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai sejak diadakan Kongres Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober –2 November 1954 di Medan. Bahkan dua puluh tahun kemudian, tahun 1974, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)

menyelenggarakan simposium bahasa dan hukum di kota Medan.18

Mahadi dan Ahmad yang dikutip Sudjiman mengatakan bahwa :

1. Bahasa hukum Indonesia (BHI) adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai karakteristik tersendiri; oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi syarat-syarat dan kadiah-kaidah bahasa Indonesia.

2. Karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah, komposisi, serta gayanya.

17

Ibid.,

18

Sri Hapsari Wijayanti, Bahasa Hukum dalam Surat Perjanjian, http://atmajaya.ac.id/.


(23)

3. BHI sebagai bahasa Indonesia merupakan bahasa modern yang penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat estetika.

4. Ditemukan adanya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum yang sekarang dipergunakan, khususnya di dalam semantik kata, bentuk, dan komposisi kalimat.19

Kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum, seperti terdapat dalam poin keempat di atas, yang tercermin dalam penulisan dokumen-dokumen hukum dapat ditelusuri dari sejarahnya. Sejarah membuktikan bahwa bahasa hukum Indonesia, terutama bahasa undang-undang, merupakan produk orang Belanda. Pakar hukum Indonesia saat itu banyak belajar ke negeri Belanda karena hukum Indonesia mengacu pada hukum Belanda. Para pakar banyak menerjemahkan langsung pengetahuan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia tanpa mengindahkan struktur bahasa Indonesia.20

Mahadi mengatakan bahwa “hukum mengandung aturan-aturan, konsepsi-konsepsi, ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh penguasa pembuat hukum untuk (a) disampaikan kepada masyarakat (b) dipahami/disadari maksudnya, dan (c) dipatuhi”.21 Namun, kenyataannya sebagai sarana komunikasi, bahasa Indonesia di dalam dokumen-dokumen hukum sulit dipahami oleh masyarakat awam. Pemakaian bahasa Indonesia dalam bidang hukum masih perlu disempurnakan.22 Banyak istilah

19

Sudjiman, Panuti. Ragam Bahasa Hukum Indonesia: Lahan Bahasa yang Belum Tergarap.

Lembaga Penelitian Atma Jaya. Jakarta. 1999, hal 52.

20

Adiwidjaya, Soelaeman B. dan Lilis Hartini. Bahasa Indonesia Hukum. Pustaka, Bandung,

1999, hal. 1 -2.

21

Mahadi dan Sabaruddin Ahmad. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia. Badan Pembinaan

Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Binacipta. Jakarta 1979, hal 31.

22


(24)

asing (Belanda atau Inggris) yang kurang dipahami maknanya dan belum konsisten, diksinya belum tepat, kalimatnya panjang dan berbelit-belit.

Penggunaan bahasa ini, dapat dilihat dari penggunaan bahasa hukum dan

bahasa Indonesia yang keduanya dipakai untuk menggambarkan atau

mendeskripsikan perbuatan hukum yang dituangkan dalam akta notaris. Dalam praktek juga diketahui bahwa untuk membuat dan menyusun suatu akta khususnya merumuskan atau menguraikan sesuatu dalam kalimat yang panjang dengan anak kalimat sering ditemukan adanya istilah khusus hukum tidak disertai dengan penjelasan, menggunakan istilah ganda ganda atau samar-samar, istilah asing karena sulit mencari padanannya dalam bahasa Indonesia.

Kondisi ini menempatkan masyarakat pengguna jasa notaris dalam dunia tersendiri seakan terlepas dari dunia bahasa Indonesia umumnya. Tidak heran jika dokumen hukum, seperti peraturan perundang-undangan, surat edaran lembaga, putusan pengadilan, dan berita acara pemeriksaan, bahkan surat perjanjian, akta notaris, sulit dipahami masyarakat awam. Demikian pula halnya di kalangan praktisi hukum sendiri juga masih timbul perbedaan penafsiran terhadap bahasa hukum dan bahasa Indonesia secara umum. Perbedaan penafsiran ini disebabkan karena banyak layanan produk hukum yang berbasis bahasa, termasuk dalam hal ini mengenai penggunaan kata dan bahasa dalam Akta Notaris.

Permasalahan mengenai penggunaan kata dan bahasa ini juga merupakan


(25)

akta notaris. Demikian pula halnya pada praktek notaris di Kota Banda Aceh yang menurut data pada Kanwil Kementrian Hukum dan HAM Provinsi Aceh dan Majelis Pengawas Daerah (MPD) Kota Banda Aceh diketahui terdapat 23 orang Notaris yang aktif melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam penyusunan dan pembuatan akta notaris. Dalam hal ini, notaris dimaksud juga selalu berhadapan dengan penggunaan kata dan bahasa di dalam akta dan masih ditemukan adanya penggunaan kata dan bahasa baik bahasa hukum maupun bahasa Indonesia yang membingungkan masyarakat Hal ini dapat berakibat masyarakat akan dirugikan padahal merekalah yang terikat dan terbebani kewajiban untuk mematuhi dokumen hukum yang dibuat notaris.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut tentang penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris beserta akibat hukumnya. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN KATA DAN BAHASA DALAM AKTA NOTARIS”.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini. Adapun pokok permasalahan tersebut akan dikelompokkan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penerapan ketentuan penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris pada praktek notaris ?


(26)

2. Apakah hambatan yang dihadapi notaris dalam penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris ?

3. Bagaimanakah penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi kesalahan

penggunaan kata dan bahasa dalam suatu akta notaris ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui penerapan ketentuan penggunaan kata dan bahasa dalam suatu

akta notaris pada praktek notaris.

2. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi notaris dalam penggunaan kata dan

bahasa dalam akta notaris.

3. Untuk mengetahui penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi kesalahan penggunaan kata dan bahasa dalam suatu akta notaris.

D. Manfaat Penelitian

Dengan dilaksanakannya kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan khususnya bidang kenotariatan serta menambah khasanah perpustakaan.


(27)

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada praktisi hukum khususnya notaris sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam mempelajari tentang perlindungan hukum terhadap keberlakuan suatu akta sebagai akta notaris dan juga kepada masyarakat pengguna jasa notaris, agar lebih mengetahui tentang kedudukan, hak dan kewajibannya dalam suatu akta yang dibuat notaris, sekaligus pula memberi masukan kepada aparat hukum terkait akan arti pentingnya penggunaan kata dan bahasa yang benar dalam suatu akta notaris dikaitkan dengan kekuatan pembuktiannya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui, penelitian tentang notaris dan kewenangannya antara lain:

1. Tinjauan Yuridis Pemberian Sanksi Hukum Terhadap Notaris yang Melakukan Pelanggaran Oleh Majelis Pengawas Notaris Setelah Keluarnya Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004, Oleh RIKHA ANGGRAINI DEWI/067011124 /MKn.

2. Kekuatan Hukum Akta Notaris yang Bersifat Simulasi, Oleh ARWIN

ENGSUN/037011009/MKn.

3. Tanggung Jawab Notaris terhadap Akta Otentik yang Dibuat dan Berindikasi


(28)

Dari ketiga judul yang disebutkan di atas kesemuanya menyangkut dengan akta dan notaris yaitu yang berhubungan dengan tanggung jawab notaris, kekuatan hukum akta serta pemberian sanksi terhadap notaris, tetapi tidak ada yang membahas tentang penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris. Oleh karena itu, penelitian

dengan judul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN KATA DAN

BAHASA DALAM AKTA NOTARIS”, belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya dan secara akademik dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.23 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.24

23

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hal. 6.

24

J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press,


(29)

Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo “teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka fikir (Frame of thingking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul didalam bidang tersebut“.25 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.26

Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perdata, khususnya bidang kenotariatan dan hukum perjanjian atau kontrak yang menjadi bahan perbandingan, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini.27

Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Snelbecker yang dikutip Lexi J. Moleong mendefenisikan teori sebagai seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat diamati dan fungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.28

Dasar teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah meliputi mazhab

sociological jurisprudence yang dipelopori oleh Roscoe Pound di Amerika, akan

25

Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan

Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, hal. 12.

26

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993,

hal. 35

27

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung 1994, hal. 80.

28


(30)

tetapi sayang bahwa dalam hubungan ini dipergunakan istilah sosiologis, sebenarnya akan lebih tepat dan mengenai bila dipergunakan istilah methode functioneel,

mengingat penelitian ini mengutamakan ketentuan yang mengharuskan adanya penerapan atau penggunaan suatu aturan dalam suatu perbuatan hukum.

Dalam hal ini harus dibedakan ilmu pengetahuan hukum sosiologis dari Pound dengan apa yang disebut sekarang orang sosiologi hukum. Keruwetan yang selayaknya yang disebabkan karena kesamaan istilah-istilah ini merupakan alasan yang lebih kuat untuk memilih nama mazhab fungsional sebagai penamaan yang paling tepat untuk hasil pekerjaan Pound.

Hal tersebut mengilhami lahirnya law as a tool of engineering dari ajaran Roscoe Pound yang beraliran sociological yurisprudence dimana hukum menjadi alat perubah masyarakat. Demikian pula Mochtar Kusumaatmadja yang juga mengatakan teori hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.29

Negara hukum juga berarti negara yang berlandaskan hukum dan menjamin keadilan bagi warganya, di mana segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau di atur oleh hukum. Hal demikian mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya. Negara menjamin agar setiap orang dapat memiliki dan menikmati hak-haknya dengan aman dan semua orang berhak mendapatkan jaminan hukum sebagai hak

29

Lili Rasyidi dan Bernard Arief Sidharta, Filsafat Hukum : Madzhab dan Refleksinya,


(31)

asasinya. Dalam rangka itu negara dan kehidupannya harus didasarkan atas hukum dan menurut hukum seperti yang dituangkan dalam konstitusi, undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.

Mochtar Kusumaatmaja mengemukakan bahwa tujuan pokok hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur.30 Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan jamannya. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang ada padanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.

Fungsi hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan ketertiban. Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai sarana pembaharuan masyarakat. 31 Selanjutnya Sjachran Basah menyatakan fungsi hukum yang diharapkan selain dalam fungsinya yang klasik, juga dapat berfungsi sebagai

30

Mochtar Kusumaatmaja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan

Nasional, Bina Cipta, Bandung, Tanpa Tahun, hal. 2-3

31

Mochtar Kusumaatmaja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina


(32)

pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.32

Apabila dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka penggunaan kata dan bahasa dalam akta notarial dapat disesuai dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perubahan budaya masyarakat guna mewujudkan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan dari akta yang dibuat notaris.

Notaris di Indonesia mulai dikenal pada zaman permulaan abad ke 17, yaitu dengan didirikannya “Oost Indische Compagnie”. Pertama sekali Notaris yang diangkat di Indonesia adalah Melchior Kerchen (dia adalah Sekretaris College Schepenen). Setelah pengangkatannya jumlah notaris terus bertambah sesuai dengan kebutuhan pada waktu itu.33

Perjalanan Notaris Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan hukum negara dan bangsa Indonesia. Hal ini ditandai dengan berhasilnya pemerintahan orde Reformasi mengundang Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2004 ini merupakan pengganti Peraturan Jabatan Notaris yang merupakan terjemahan dari Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860: 3) yang

32

Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara,

Alumni, Bandung, Tahun 1992, hal. 13

33

Herlin Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya


(33)

dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat.34

Dengan demikian pada mulanya ketentuan tentang notaris didasarkan pada ketentuan Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie,

Stb 1860: 3). Penerapan ketentuan tentang Notaris ini tergantung pada sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Namun secara tradisional terdapat dua kelompok tradisi hukum Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Perbedaan keduanya terletak pada peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi.

Negara-negara yang tergolong ke dalam faham tradisi kontinental biasanya menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai akar utama sistem hukumnya. Sebaliknya negara-negara yang tergolong ke dalam faham tradisi Anglo Saxon menempatkan yurisprudensi sebagai akar utama dalam sistem hukumnya.

Bagi negara Indonesia sendiri, sistem hukum yang dianut sesuai dengan asas konkordansi adalah sistem hukum Eropa Kontinental, sehingga Peraturan Hukum yang mengatur tentang jabatan notaris dipengaruhi oleh hukum negeri Belanda. Peraturan Notaris yang dipakai sebelumnya adalah Stb Nomor 3 yang mulai diberlakukan tanggal 1 Juli Tahun 1860, yang kemudian diundangkan sebagai “Notaris Reglement” (Peraturan-peraturan Jabatan Notaris) yang diletakkan sebagai fundamen landasan kelembagaan Notaris di Indonesia. Kemudian Staatblaad Nomor

34

Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,


(34)

3 Tahun 1860 ini dicabut dengan dikeluarkannya Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober Tahun 2004.

Dalam diktum penjelasan UUJN dinyatakan bahwa UUD 1945 menentukan bahwa negara RI adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. Pengertian ini apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 30 Tahun 2004, pengertian notaris adalah :

Pejabat Umum yang membuat Akta Otentik, mengenai semua perbuatan perjanjian, ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau dikehendaki oleh yang berkepentingan dan dinyatakan dalam Akta Otentik, menjamin kepastian tanggal akta, menyimpan akta, memberikan grose, salinan dan kutipan akta sepanjang mengenai akta-akta tersebut tidak


(35)

ditugaskan atau dikecualikan pada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.35

Lebih lanjut Sutrisno menjelaskan bahwa berdasarkan pengertian Notaris yang termuat dalam ketentuan Pasal 1 Jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 dapat ditarik 13 unsur penting, yaitu :36

(1) Pejabat Umum

(2) Membuat Akta Otentik

(3) Mengenai perbuatan

(4) Mengenai perjanjian

(5) Mengenai ketetapan

(6) Diharuskan oleh peraturan perundang-undangan

(7) Dikehendaki oleh yang berkepentingan

(8) Dinyatakan dalam akta otentik

(9) Menjamin kepastian tanggal akta

(10) Menyimpan akta

(11) Memberikan grose, salinan dan kutipan akta

(12) Sepanjang tidak ditugaskan pada orang lain/pejabat lain (13) Sepanjang ditugaskan pada orang lain.

Dari definisi yang dikemukakan pasal tersebut terlihatlah dengan jelas bahwa tugas jabatan notaris adalah membuat akta otentik. Adapun yang dimaksud dengan akta otentik adalah “Suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya (Pasal 1868 KUH Perdata).

Berdasarkan pengertian di atas, notaris sebagai pejabat umum adalah pejabat yang oleh undang-undang diberi wewenang untuk membuat suatu akta otentik,

35

Sutrisno, Tanggapan Terhadap Undang-undang No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris, (Bahan Kuliah Etika Profesi Notaris), MKn USU, 2007, Hal 9-10.

36


(36)

namun dalam hal ini pejabat yang dimaksud bukanlah pegawai negeri. Untuk menjalankan jabatannya Notaris harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004, yakni :

a. Warga Negara Indonesia

b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

c. Berumur paling sedikit 27 tahun d. Sehat jasmani dan rohani

e. Berijazah sarjana hukum dan jenjang strata dua kenotariatan

f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan dan

g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, Advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

Bentuk atau corak Notaris dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama yaitu:

1. Notariat functionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah

didelegasikan (gedelegeerd) dan demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di Negara-negara yang menganut macam/bentuk notariat seperti ini

terdapat pemisahan yang keras antara ”wettlelijke ” dan ”niet

wettelijke”werkzaamheden” yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berdasarkan undang-undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat

2. Notariat profesionel, dalam kelompok ini walaupun pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta Notaris itu tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti, demikian pula kekuatan eksekutorialnya.37

Ciri khas yang tegas untuk menentukan apakah Notaris di Indonesia merupakan Notaris fungsional atau Notaris professional adalah :

37


(37)

a. Bahwa akta yang dibuat di hadapan/oleh Notaris fungsional mempunyai kekuatan sebagai alat bukti formal dan mempunyai daya eksekusi. Akta Notaris seperti ini harus dilihat apa adanya, sehingga jika ada pihak yang berkeberatan dengan akta tersebut maka pihak yang berkeberatan, berkewajiban untuk membuktikannya.

b. Bahwa Notaris fungsional menerima tugasnya dari Negara dalam bentuk delegasi dari Negara. Hal ini merupakan salah satu rasio Notaris di Indonesia memakai lambang Negara, yaitu Burung Garuda. Oleh karena menerima tugas dari Negara maka yang diberikan kepada mereka yang diangkat sebagai Notaris dalam bentuk sebagai jabatan dari Negara.

c. Bahwa Notaris di Indonesia diatur oleh Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op het Notarisambt) Stb 1860 Nomor 3. Dalam teks asli disebutkan bahwa “ambt” adalah “jabatan”.38

Dalam Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris Indonesia dikelompokkan sebagai suatu profesi, sehingga Notaris wajib bertindak profesional (professional dalam tindakan) dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris yaitu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.

Menurut Wawan Setiawan, unsur dan ciri yang harus dipenuhi oleh seorang notaris profesional dan ideal, antara lain dan terutama adalah :

1. Tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, termasuk dan terutama

ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi seorang Notaris, teristimewa ketentuan-ketentuan sebagaimana termaksud dalam Peraturan Jabatan Notaris.

2. Di dalam menjalankan tugas dan jabatannya dan profesinya senantiasa mentaati kode etik yang ditentukan/ditetapkan oleh organisasi/perkumpulan kelompok profesinya, demikian pula etika profesi pada umumnya termasuk ketentuan etika profesi/jabatan yang telah diatur dalam peraturan perundangan.

3. Loyal terhadap organisasi/perkumpulan dari kelompok profesinya dan senatiasa turut aktif di dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi profesinya 4. Memenuhi semua persyaratan untuk menjalankan tugas/profesinya. 39

38


(38)

Dengan demikian, Notaris sebagai salah satu element manusia harus memperhatikan etika dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya, sehingga notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dengan penuh tanggung jawab dengan menghayati keluhuran martabat jabatannya dan dengan keterampilannya melayani kepentingan masyarakat yang meminta jasanya dengan selalu mengindahkan ketentuan undang-undang, etika, ketertiban umum dan berbahasa Indonesia yang baik oleh notaris juga memerlukan suatu Kode Etik Notaris.

Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Kode Etik Notaris 2005, hasil Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia, Bandung, 27 Januari 2005, pengertian Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia berdasarkan keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya para Pejabat Sementara Notaris Pengganti, dan Notaris Pengganti Khusus.40

39

Wawan Setiawan, Notaris Profesional, Media Notariat, Edisi Mei-Juni 2004, hal 23.

40

Sebagai perbandingan lihat hasil rapat Pleno Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, tanggal 29-30 Agustus 1998, di Surabaya, Kode Etik Notaris adalah suatu sikap seorang Notaris yang merupakan suatu kepribadian yang mencakup sikap dan moral terhadap organisasi profesi, terhadap sesama rekan dan terhadap pelaksanaan tugas jabatan.


(39)

Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa secara empiris peran notaris di tengah-tengah masyarakat semakin dibutuhkan tentu hal ini sejalan dengan kemajuan yang dicapai oleh masyarakat itu sendiri hal itulah yang membuat kemajuan masyarakat, pesatnya pertumbuhan kemajuan di bidang barang, jasa terutama dalam bidang perekonomian dimana peran serta notaris sangat diperlukan dalam pembuatan akta dan perjanjian-perjanjian.

Dalam membuat suatu kontrak agar dapat dijadikan sebagai suatu alat bukti yang kuat atau sering disebut akta otentik, para pihak dapat menggunakan jasa notaris. Akta adalah tulisan yang ditanda tangani oleh para pihak yang berkepentingan yang bertujuan menjadi alat bukti.41 Ditinjau dari cara pembuatannya akta dibedakan atas 2 (dua) bagian yakni Akta Otentik dan Akta dibawah Tangan. 1. Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang diisyaratkan dan dibuat

oleh pejabat-pejabat (ambtenaren) yang berwenang yang menurut atau

berdasarkan pada undang-undang dibebani untuk menyatakan apa yang telah disaksikan (waarneming) atau dilakukannya, sedangkan

2. Akta dibawah tangan adalah semua akta yang bukan akta otentik42

Hal ini sebagai diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata bahwa Akta otentik adalah suatu tulisan yang di dalam bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta

41

M.U Sembiring, Op.Cit., hal 3

42

Trimoelja D. Beberapa Permasalahan Tentang Akta Notaris/PPAT, yang disampaikan

pada acara Temu Ilmiah dan Pembinaan serta Pembekalan Anggota Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Garden Palace Hotel, Surabaya tanggal 14 Juni 2003.


(40)

dibuatnya".43

Dari perumusan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa ada 2 (dua) jenis akta otentik, yaitu :

1. Akta yang diperbuat oleh (door een) Notaris

Akta jenis ini biasanya diberi nama akta relaas atau akta pejabat atau akta proses perbal, atau akta berita acara, yang termasuk jenis akta ini antara lain akta berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas, akta berita acara rapat direksi perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventaris harga peninggalan, akte berita acara penarikan undian.

Akta ini merupakan keterangan atau kesaksian dari Notaris tentang apa yang dilihatnya, atau apa yang disaksikannya terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.

2. Akta yang diperbuat dihadapan (ten overstaan van een)

Notaris akta ini dinamakan akta pihak-pihak (partij-akte). Isi akta ini ialah catatan Notaris yang bersifat otentik mengenai keterangan keterangan dari pada penghadap yang bertindak sebagai pihak-pihak dalam akta bersangkutan. Golongan akta ini termasuk akta jual beli, sewa menyewa, perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan sebagainya.44

Dengan demikian, undang-undang dengan menyatakan bahwa suatu akta adalah otentik jika :

1. Bentuknya ditentukan oleh undang-undang. 2. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum.

3. Dibuat dalam wilayah kewenangan dari pejabat yang membuat akta itu.

Bentuk akta otentik ditentukan oleh undang-undang, sedangkan pejabat yang dapat membuatnya tidak dapat dihindarkan agar berbobot yang sama harus pula ditentukan oleh peraturan perundang-undangan setingkat dengan undang-undang.

43

Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 52.

44


(41)

Apabila kita konsisten pada suatu sistem hukum, hingga kini hanya notarislah yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik. Hal ini semata-mata karena mendasarkan pada ketentuan undang-undang yang harus dipenuhi agar suatu akta adalah suatu akta otentik. Pejabat yang berwenang untuk menjalankan sebagian kekuasaan negara dalam bidang hukum perdata disebut pejabat umum, ditunjuk oleh negara melalui undang-undang adalah notaris.

Pasal 1874 ayat (1) KUH Perdata, menyatakan bahwa akta di bawah tangan, yaitu sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda tangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

Selain itu, di dalam akta perlu juga diperhatikan 2 unsur, yaitu : unsur umum dan unsur khusus. Unsur umum dari akta adalah unsur yang harus termuat dalam semua dan setiap akta pada umumnya. Setiap akta otentik misalnya harus mencantumkan nama dan tempat kedudukan dari pejabat dihadapan siapa akta itu diperbuat. Apabila hal itu tidak dicantumkan maka akta itu kehilangan sifat otentiknya. Sedangkan unsur khusus adalah unsur yang secara khusus harus terkandung dalam akta tertentu, akan tetapi keberadaanya itu bukan merupakan keharusan dalam akta lainnya.45

Ditinjau dari cara penyimpananya, maka akta otentik dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu :

1. Akta yang aslinya atau orisinalnya disimpan oleh Notaris dinamakan akta minut,

45


(42)

2. akta yang aslinya atau orisinalnya diserahkan kepada penghadap yang meminta akta diperbuat, dinamakan akta yang dikeluarkan original. 46

Berdasarkan Pasal 1 butir 7 UUJN, juga disebutkan bahwa akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Akta Notaris yang dibuat oleh Notaris memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya, karena undang-undang dan peraturan Jabatan Notaris yang memberikan kewenangan kepada Notaris untuk membuat suatu akta otentik yang fungsinya sebagai alat bukti di pengadilan apabila dikemudian hari terjadi sengketa di antara para pihak yang membuat akta tersebut.

Menurut pendapat umum yang dianut, pada setiap akta otentik, dengan demikian juga pada akta notaris, dibedakan 3 kekuatan pembuktian, yakni:47

1. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijracht);

Dengan kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan, akta yang dibuat dibawah tangan baru pelaku sah, yakni sebagai yang benar-benar berasal dari orang terhadap siapa akta itu dipergunakan, apabila yang menanda tanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu atau dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan. Sepanjang mengenai kekuatan ini, yang merupakan

46Ibid

, hal. 9.

47


(43)

pembuktian lengkap dengan tidak mengurangi pembuktian sebaliknya maka akta partij dan akta pejabat dalam hal ini adalah sama.

2. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht)

Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan, bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya di dalam menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat (ambtelijke akte), akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat umum di dalam menjalankan jabatannya.

3. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht)

Sepanjang yang menyangkut kekuatan pembuktian material dari suatu akta otentik, terdapat perbedaan antara keterangan dari notaris yang dicantumkan di dalamnya. Tidak hanya kenyataan, bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan oleh akta itu, akan tetapi juga isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang menyuruh adakan/buatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya atau yang dinamakan prevue preconcstituee, akta itu mempunyai kekuatan pembuktian material. Kekuatan pembuktian inilah yang dimaksud dalam Pasal 1870, 1871 dan 1875 KUHPerdata, antara pihak yang bersangkutan dan para ahli waris serta penerima hak mereka akta itu memberikan


(44)

pembuktian yang lengkap tentang kebenaran dari apa yang tercantum dalam akta itu, dengan pengeculian dari apa yang tercantum dalam akta itu, dengan pengecualian dari apa yang dicantumkan di dalamnya sebagai hanya suatu pemberitahuan belaka (blote mededeling) dan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan yang menjadi pokok dalam akta itu.

Menurut UUJN, bentuk-bentuk akta terdapat dalam beberapa pasal, diantaranya Pasal 42 UUJN ayat (1), (2) dan (3) yang menentukan bahwa :

a. Akta Notaris dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-putus dan tidak menggunakan singkatan.

b. Ruang dan sela kosong dalam akta digaris dengan jelas sebelum akta ditanda tangani, kecuali untuk akta yang dicetak dalam bentuk formulir berdasarkan peraturan perundang-undangan.

c. Semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam akta, penyebutan tanggal, bulan dan tahun dinyatakan dengan huruf dan harus didahului dengan angka.

Selanjutnya Dalam Pasal 38 Undang-undang Jabatan Notaris, menyebutkan bahwa setiap akta Notaris terdiri atas :

a. Awal akta atau kepala akta memuat : 1. Judul akta

2. Nomor akta

3. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun


(45)

b. Badan akta memuat :

1. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili

2. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap

3. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang

berkepentingan

4. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

c. Akhir atau penutup akta memuat :

1. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1

huruf 1 atau Pasal 16 ayat 7

2. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau

penerjemahaan akta apabila ada

3. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta

4. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.


(46)

2. Konsepsi

Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus,48 yang disebut dengan definisi operasional.

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau definisi operasional sebagai berikut :

1. Analisis yuridis adalah analisis yang dilakukan dan yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif.

2. Penggunaan kata dan bahasa adalah pemakaian kata-kata dan bahasa yang menjelaskan tentang suatu perbuatan hukum di dalam suatu akta oleh pejabat yang berwenang dalam hal ini notaris.

3. Bahasa hukum adalah kata-kata dan bahasa yang digunakan dalam bidang hukum termasuk dalam hal ini bahasa yang digunakan dalam ketentuan perundang-undangan.

48


(47)

4. Bahasa dalam Akta Notaris adalah penggunaan kata dan bahasa untuk

mendeskripsikan perbuatan hukum yang dituangkan dalam akta, baik dari bahasa hukum dalam ketentuan perundang-undangan maupun bahasa

sehari-hari menurut kaidah bahasa Indonesia.

5. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.49

6. Akta notaris adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dalam hal ini notaris dan dapat dipergunakan sebagai alat bukti otentik dan memenuhi semua persyaratan dalam pembuatan akta.

7. Notaris adalah “Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya”50

8. Pejabat Umum adalah “Organ Negara yang diperlengkapi dengan kekuasaan umum (met openbaar gezag bekleed), berwenang menjalankan sebagian dari kekuasaan negara untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang Hukum Perdata”.51

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis

49

Pasal 1 angka 2 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negera serta Lagu Kebangsaan.

50

Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

51


(48)

tentang ketentuan mengenai akta notaris sebagai akta otentik dilihat dari hukum positif secara umum dan unsur-unsur keperdataan serta akibat hukum yang timbul apabila akta notaris tidak memenuhi ketentuan penggunaan kata dan bahasa secara tepat.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif. Namun dalam penelitian ini juga didukung oleh pendekatan yuridis empiris, dengan meneliti masalah penggunaan bahasa dalam akta notaris dilihat dari aspek kenyataan di masyarakat. Hal ini diperlukan untuk mengetahui efektif tidaknya berlaku suatu aturan mengenai penggunaan bahasa dalam akta yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti perubahan pemikiran masyarakat.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya.

Selain itu, guna melengkapi metode penelitian normatif dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan (field research) guna menjamin akurasi


(49)

terhadap hasil penelitian yang dipaparkan, yang dapat berupa wawancara dengan informan sebagai narasumber.

3. Sumber data

Sumber-sumber data kepustakaan diperoleh dari : a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari ;

1) Norma atau kaidah dasar yaitu Pancasila

2) Peraturan dasar Undang-undang Dasar

3) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan bidang kenotariatan dalam hal ini (1) Kitab undang Hukum Perdata (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (LN 2004, No. 117, TLN 4432)danUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan. (LN 2009, No. 109, TLN 5053)

4) Akta notaris atau akta yang dibuat oleh notaris.

b. Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum yang dapat


(50)

dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.

4. Alat Pengumpulan Data

Berdasarkan metode pendekatan penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Studi Dokumen, yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang perjanjian dan klausula baku dalam perjanjian. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting yang merupakan dasar dilakukannya penelitian baik dari ketentuan norma dan perundang-undangan maupun kontrak atau perjanjian yang dibuat para pihak.

b. Wawancara43 dengan menggunakan pedoman wawancara (interview

quide).44 Wawancara dilakukan terhadap narasumber dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya baik secara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam (depth interview).

43

Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, halaman. 71, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden

(interview) informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview)

pedoman wawancara, dan situasi wawancara.

44 Ibid

, halaman. 73. Menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara, menguraikan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan. Isi pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara.


(51)

5. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder maupun tersier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula. Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Artinya penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.52

52


(1)

---, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Ginting, Gloria Gita Putri, Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta yang Mengandung Sengketa, Tesis, Sekolah Pascasarjana USU, Medan, 2005 Hardjana, Agus M., Landasan Etika Profesi, Kanisius, Jakarta, 2004.

Kansil, C.S.T., Pokok-pokok Etika Profesi Hukum, Pradnya Paramitra, Bandung, 1995.

Kastini, Sri, Peraturan Jabatan Notaris, USU Press, Medan, 1997.

Kie, Tan Thong, Buku I Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008.

Kohar, A., Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983 Komar Andasasmita, Notaris I, Sumur Bandung, 1991

Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, Tanpa Tahun.

---, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung Tahun 1995.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung 1994. Lubis, Suhrawardi K., Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.

Mahadi dan Sabaruddin Ahmad. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Binacipta. Jakarta 1979.

Meliala, A. Qirom Samsuddin, Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993


(2)

Muhammad, Abdulkadir Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992. ---, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.

---, Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Nasucha, Yakub, Muhammad Rohmadi, dan Agus Budi Wahyudi. Bahasa Indonesia untuk Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Media Perkasa, Surakarta, 2009.

Nasution, Bismar., dkk, Perilaku Hukum dan Moral Di Indonesia, kumpulan tulisan memperingati 70 tahun Prof. Muhammad Abduh, SH, USU Press, 2004. Natabaya, H.A.S. Dalam Hasan Alwi, Dendy Sugono, Abdul Rozak Zaidan (Ed.).

Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi:Pemantapan Peran Bahasa sebagai Sarana Pembangunan Bangsa. Depdiknas., Jakarta, 2000.

Nico, Tanggung jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Centre For Documentation And Studies Of Business Law (CDSBL), Yogyakarta, 2003.

Notodisoerjo, R. Soegondo, Hukum Notariat Di Indonesia (Suatu Penjelasan), , RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993

Prodjodikoro, R. Wirjono, Asas-asas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Bandung, 1983.

Prinst, Darwan, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, CV.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Rasyidi, Lili., dan Bernard Arief Sidharta, Filsafat Hukum : Madzhab dan Refleksinya, Rosdakarya, Bandung, 1994.

Santoso, Didi, Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Yang Memuat Dua Perbuatan Hukum, Tesis, Magister Kenotariatan, Undip, Semarang, 2005. Sembiring, M.U, Tehnik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1997.

Setiawan, Wawan, Notaris Profesional, Media Notariat, Edisi Mei-Juni 2004.

Sidarta, Moralitas Profesi Hukum (Suatu Tawaran kerangka Berpikir), Refika Aditama, Bandung, 2006.


(3)

Situmorang, Victor M. dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Cet. 1., Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Soegondo Notodisoerjo, R., Hukum Notariat Di Indonesia (Suatu Penjelasan), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986.

Soerodjo, Irawan, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2003

Subekti, R. dan R. Tjitrosidibio. KItab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.

---., Hukum Perjanjian, Intermasa jakarta, 2005.

Sudjiman, Panuti. Ragam Bahasa Hukum Indonesia: Lahan Bahasa yang Belum Tergarap. Lembaga Penelitian Atma Jaya. Jakarta. 1999.

Sugono, Dendy. Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2009.

Suhaemi, Eem, Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Akta Notaris, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2009.

Sumardjono, Etika Profesi Hukum, Cita-cita Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta, tt. Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta

2002.

Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1998. Susanto, Budi, Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, Yogyakarta, Kanisius, 1992. Sutrisno, Komentar atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris, Buku I, SPs Kenotariatan, USU, Medan, 2007.

Sutrisno, Tanggapan Terhadap Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Bahan Kuliah Etika Profesi Notaris), MKn USU, 2007.


(4)

Suyati, Bachtiar Herlina, Serial Contoh akta Notaris dan akta Di bawah Tangan, Buku VI, Contoh-Contoh Akta Notaris Umum, Mandar maju, Bandung, 2002. Tedjasaputro, Liliana, Etika Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 1991.

Thong Kie, Tan, Buku I Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008.

Tjokroamidjojo, Bintoro dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988.

Tobing, G.H.S Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983.

Utorodewo, Felicia N., Lucy R. Montolalu, L. Pamela Kawira. Diktat Bahasa Indonesia Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah. Depok. Program PDPT Universitas Indonesia, 2004.

Widjaja, I.G. Rai. Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Paktik. Megapoin. Bekasi, 2004.

Wijaya, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Wijayanti, Sri Hapsari, Bahasa Hukum dalam Surat Perjanjian, Artikel, HKI, UNIKA Admajaya, September – Desember 2009.

Wuisman, J.J.J. M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, 1996.

B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramitha, Bandung, 2001

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (LN 2004, No. 117, TLN 4432)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan. (LN 2009, No. 109, TLN 5053).


(5)

C. Kamus

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1997.

Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007 D. Internet dan Majalah

Adjie Habib, Akta PPAT Bukan Akta Otentik, http://www. hukumonline.com/klinik.asp, Juli 2010.

Andrea Moller, Bahasa Hukum yang Mulai Kehilangan Roh sumber : www.hukumonline.com, Diakses, Juli 2010.

Disriani, Latifah, Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis yang Mempunyai Kekuatan Pembuktian Yang Sempurna, www, disriani.latifah, January 10, 2009.

Hadif, Mudofir, "Pembatalan Isi Akta Notaris Dengan Putusan Hakim," Varia Peradilan No. 72 September 1991.

Harahap, Harpendi, “Varia Peradilan Tahun XV Nomor 179”, Grosse Akta (Suatu Masalah Hukum Dari Ikatan Kongres Notaris Indonesia Ke XVII, (Agustus 2000).

Harkristuti Harkrisnowo, Bahasa Indonesia Sebagai Sarana Pengembangan Hukum Nasional, Komisi Hukum Nasional. http//:www.legalitas.org/ Diakses Maret 2010

Irma Devita, Perbedaan Akta Otentik Dengan Surat Di Bawah Tangan, http://irmadevita.com.

http://www.d-infokom-jatim.go.id/, Notaris Harus Dapat Menjamin Kepastian Hukum, diakses tanggal Februari 2010.

Khotibul Umam, dkk. Menggali Makna Peristilahan Hukum Dalam Bahasa Hukum Indonesia, http//:www.legalitas.org/ Diakses Maret 2010.

Kusumaatmadja, Mochtar, Pembaharuan Pendidikan Hukum dan Pembinaan Profesi. Majalah dan Pengetahuan Masyarakat. Padjajaran, jilid V Nomor 3-4, 1975.


(6)

Maferdy Yulius, Posisi Notaris di Tengah Kontroversi Payung Hukum http://www.scribd.com/doc/ Diakses Tanggal 12 Juli 2010.

Selenggang, Chairunnisa Said, “Profesi Notaris sebagai Pejabat Umum di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Program Pengenalan Kampus untuk Mahasiswa/i Magister Kenotariatan Angkatan 2008, Depok, 2008.

Suharjono, “Varia Peradilan Tahun XI Nomor 123”, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum (Desember 1995).

Sri Hapsari Wijayanti, Bahasa Hukum dalam Surat Perjanjian, http://atmajaya.ac.id/. Diakses 09 Maret 2010.

Sukemi, F., “Varia Peradilan Tahun IV Nomor 36”, Notaris dan Kode Etik (Desember 1988).

Sumber : Majalah Renvoi, Nomor 2,14,II, Tanggal 3 Juli 2004, hal 20

Suryomurcito, Gunawan. Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar? Capek Deh! Good English? Capek Banget Deh! Makalah dalam Seminar HKI, 15 April 2009 di Unika Atma Jaya.

Trimoelja D. Beberapa Permasalahan Tentang Akta Notaris/PPAT, yang disampaikan pada acara Temu Ilmiah dan Pembinaan serta Pembekalan Anggota Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Garden Palace Hotel, Surabaya tanggal 14 Juni 2003.