Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Akta Notaris (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan)

(1)

TESIS

OLEH

ZULIANA MARO BATUBARA

087011134/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

T E S I S

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ZULIANA MARO BATUBARA

087011134/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(NotarisSyahril Sofyan, SH, MKn) (Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn


(5)

dalam pembuatan akta tersebut. Semua kegiatan yang dilakukan oleh Notaris khususnya dalam membuat akta akan selalu dimintakan pertanggungjawaban.

Apabila akibat kelalaian atau kesalahan Notaris dalam membuat akta dapat dibuktikan maka kepada Notaris yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban baik secara pidana (Pasal 66 UUJN) maupun perdata (Pasal 84 UUJN). Oleh karena itu guna melindungi dirinya, sikap kewaspadaan dan kehati-hatian sangat dituntut dari seorang Notaris. Namun demikian, dalam prakteknya tidak sedikit Notaris yang mengalami masalah sehubungan dengan akta yang telah dibuatnya dinyatakan batal demi hukum oleh putusan pengadilan sebagai akibat ditemukannya cacat hukum dalam pembuatannya misalnya ternyata dokumen yang diberikan salah satu pihak tidak benar.

Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian normatif, dengan metode pendekatan penelitian yuridis normatif, artinya penelitian ini cenderung menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Analisis data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Selanjutnya dilakukan evaluasi dan analisis secara kualitatif untuk membahas permasalahan berdasarkan peraturan perundangan dengan metode deduktif. Uraian hasil analisis dideskripsikan secara kualitatif dengan menggunakan interpretasi dan logika hukum sehingga memperoleh gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang sudah ada untuk menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab suatu akta menjadi batal atau dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan adalah dengan tidak dipenuhinya syarat materil maupun syarat formil dalam suatu akta yaitu syarat subjektif dan syarat objektif perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Apabila terjadi cacat hukum dalam suatu akta Notaris tersebut dapat ditolak sebagai alat bukti dalam suatu proses peradilan.

Tanggung jawab Notaris apabila terbukti secara pidana telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka Notaris dapat dijatuhi hukuman pidana dan akta tersebut dapat menjadi batal apabila ada upaya untuk membatalkan akta tersebut melalui proses peradilan perdata di pengadilan dan apabila dalam persidangan perdata Notaris terbukti salah maka Notaris tersebut diwajibkan memberikan ganti rugi, biaya, dan bunga kepada para pihak yang menderita kerugian.

Putusan pengadilan negeri yang telah berkekuatan hukum tetap dimana isi putusannya telah menjadikan akta yang dibuat Notaris batal demi hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum, dapat dimintakan pembatalannya dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membatalkan akta tersebut sesuai dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.


(6)

that whether it is because of the notary’s fault, or probably because of the clients’ error by giving the wrong documents or information in the process of making the deeds. All activities done by the notary in making the deeds will be the notary’s responsibility.

If the notary’s negligence and error in making the deeds can be proved, he will be charged guilty with a criminal act (Article 66 of UUJN) or with civil act (Article 84 of UUJN). Therefore, in order to protect himself from being charged guilty, he has to be on the alert and cautious. In practice, however, many notaries experience such problems that the deeds he has made are canceled by the Court’s ruling since it is found out that they are legally deficient; for instance, one of the documents is false.

The type of the research was a normative study with judicial normative method. It meant that this research tended to use the primary and secondary legal materials. The nature of this research was descriptive analytic. The data were obtained by collecting the primary and secondary data and evaluated and analyzed qualitatively. The problems discussed were based on legal provisions with deductive method. The results of the analysis were described qualitatively by using legal interpretation and logic so that a new description was obtained or strengthened in order to answer and to draw the conclusions and worthwhile suggestions.

Some factors which cause a deed to be canceled or abrogated by the Court’s ruling are the absence of legal materials or formal requirements in a deed; namely, the subjective and the objective requirements of an agreement as it is stipulated in Article 1320 of the Civil Code. If there is a legal deficiency in a notarial deed, it can be dismissed as evidence in a court’s hearing. If it has been proven that the notary violates legal provisions, he can be imposed to prison and the deed can be canceled if there is an effort to cancel it through the process in the Civil Court. If in the civil Court’s hearing the notary is charged guilty, he has to give compensation, cost, and interest to the parties who have suffered financial loss.

The District Court’s ruling which has final and conclusive states that the notarial deed is legally canceled and does have any legal force, can be asked for the cancellation by filing a complaint to the State Administrative Court to cancel the deed which is in line with the authority of the State Administrative Court, based on Article 53 of Law No. 9/2004 on the amendment of Law No.5/1986 on State Administrative Court.


(7)

menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan faktor teknis yang sangat terbatas.

Tesis ini berjudul ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA NOTARIS (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)

merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan segala keterbatasan penulis berharap kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi masyarakat.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan selesai dengan baik tanpa bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak terutama komisi pembimbing, baik yang bersifat moril maupun materiil. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis dengan segala kerendahan hati menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS. CN selaku Ketua Komisi Pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.


(8)

6. Bapak Syafnil Gani, SH. M.Hum dan Ibu Chairani Bustami, SH. SpN. MKn masing-masing selaku dosen penguji.

yang telah banyak membantu penulis dengan memberikan bimbingan, petunjuk dan dorongan semangat serta motivasi untuk kesempurnaan hingga terselesaikannya penulisan tesis ini. Atas segala bantuan tersebut penulis berdo’a kepada Allah SWT semoga Bapak / Ibu senantiasa mendapat lindungan, rahmat, hidayah dan kasih-Nya dalam menjalani kehidupan serta pengabdian tugasnya kepada nusa, bangsa dan agama.

Ucapan terima kasih tiada terhingga penulis haturkan kepada :

1. Kedua orang tua tercinta, ayahanda H. Mawardi Batubara dan ibunda Hj. Rodiah Nasution yang telah membesarkan dan mendidik dengan memberikan kasih sayang yang tulus dan semangat kepada penulis, sehingga penulis menjadi kuat dan tabah dalam menghadapi dan menjalani kehidupan yang penuh cobaan ini, juga kedua mertua yaitu H. Hamdan Lubis dan Hj. Rosmaida Hasibuan yang telah memberikan semangat dan kasih sayangnya.

2. Suami tercinta Zelfikri Oktiva Lubis, ST yang senantiasa memanjatkan doa kepada Allah SWT dan memberikan semangat, dukungan dengan kasih sayang penuh pengorbanan serta mendorong penulis hingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Saudara saudari penulis Marwan Maro Batubara, Jehan Maro Batubara, Islahati Batubara, Hamidah Midrawati Lubis, Syukri Muammar Ismail Lubis, dan Adhi Nugraha Putra Lubis, yang telah banyak memberikan dukungan baik moril maupun materiil, semoga Allah SWT memberi kesehatan, keselamatan dan rejeki yang berlimpah.


(9)

baik langsung maupun tidak langsung yang tidak mampu penulis sebut satu persatu.

Penulis telah berusaha untuk menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-baiknya namun sebagai manusia, penulis menyadari adanya kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam tesis ini. Oleh karena itu penulis berharap kiranya para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang produktif.

Medan, Agustus 2011 Penulis


(10)

Nama : Zuliana Maro Batubara Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 23 Agustus 1985

Alamat : Jl. Karya Dharma No. 1 B Lingk XIII P.

Masyhur Medan Johor Kota Medan 20143

II. ORANG TUA

Ayah : Ir. H. Mawardi Batubara

Ibu : Hj. Rodiah Nasution

III.MERTUA

Bapak : Drs. H. Hamdan Lubis, MSi

Ibu : Hj. Rosmaida Hasibuan

IV. SUAMI

Nama : Zelfikri Oktiva Lubis, ST

V. PENDIDIKAN

SD Negeri 173651 Taput : Lulus Tahun 1997 SLTP Negeri 2 Medan : Lulus Tahun 2000

SMU Negeri 2 Medan : Lulus Tahun 2003

S1 Fakultas Hukum USU : Lulus Tahun 2007 S2 Magister Kenotariatan USU : Lulus Tahun 2011

VI. PEKERJAAN

Agustus 2009 – Juli 2011 : Pegawai Negeri Sipil pada Pengadilan Negeri Medan.

Agustus 2011 – sekarang : Pegawai Negeri Sipil pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.


(11)

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAH HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 10

1. Kerangka Teori ... 10

2. Landasan Konsepsional ... 20

G. Metode Penelitian ... 24

1. Jenis Sifat dan Pendekatan... 24

2. Sumber Data... 25

3. Teknik Pengumpulan Data... 26

4. Alat Pengumpulan Data ... 26

5. Analisis Data ... 27

BAB II. AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN A. Karakter Yuridis Akta Notaris ... 28

B. Nilai Pembuktian Akta Notaris ... 42

C. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Suatu Akta Menjadi Batal Atau Dapat Dibatalkan ... 54


(12)

B. Tanggung Jawab Notaris Secara Pidana ... 61 C. Sanksi Administratif ... 65

BAB IV. PANDANGAN BADAN PERADILAN DALAM

MEMBATALKAN AKTA NOTARIS

A. Kewenangan Badan Peradilan Dalam Membatalkan

Akta Notaris ... 76 B. Faktor-Faktor Yang Menjadi Pertimbangan Hakim

Dalam Membatalkan Akta Notaris ... 82 1. Kasus Perdata No. Perk. 297/Pdt.G/2009/PN.Mdn

yang terjadi antara Deliana Siregar, SE melawan

Baharuddin, dkk ... 84 2. Kasus Perdata No. Perk. 302/Pdt.G/2010/PN.Mdn

yang terjadi antara Ny. Hj. Rusniar Malik melawan

Irwansyah alias Iwan Melayu, dkk ... 91 3. Kasus Pidana No. Perk. 3036/Pid.B/2009/PN.Mdn

dimana terdakwanya adalah Notaris San Smith, SH ... 97 C. Eksekusi Terhadap Putusan Pengadilan Yang Telah

Berkekuatan Hukum Tetap ... 107

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 112 B. Saran... 113

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(13)

dalam pembuatan akta tersebut. Semua kegiatan yang dilakukan oleh Notaris khususnya dalam membuat akta akan selalu dimintakan pertanggungjawaban.

Apabila akibat kelalaian atau kesalahan Notaris dalam membuat akta dapat dibuktikan maka kepada Notaris yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban baik secara pidana (Pasal 66 UUJN) maupun perdata (Pasal 84 UUJN). Oleh karena itu guna melindungi dirinya, sikap kewaspadaan dan kehati-hatian sangat dituntut dari seorang Notaris. Namun demikian, dalam prakteknya tidak sedikit Notaris yang mengalami masalah sehubungan dengan akta yang telah dibuatnya dinyatakan batal demi hukum oleh putusan pengadilan sebagai akibat ditemukannya cacat hukum dalam pembuatannya misalnya ternyata dokumen yang diberikan salah satu pihak tidak benar.

Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian normatif, dengan metode pendekatan penelitian yuridis normatif, artinya penelitian ini cenderung menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Analisis data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Selanjutnya dilakukan evaluasi dan analisis secara kualitatif untuk membahas permasalahan berdasarkan peraturan perundangan dengan metode deduktif. Uraian hasil analisis dideskripsikan secara kualitatif dengan menggunakan interpretasi dan logika hukum sehingga memperoleh gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang sudah ada untuk menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab suatu akta menjadi batal atau dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan adalah dengan tidak dipenuhinya syarat materil maupun syarat formil dalam suatu akta yaitu syarat subjektif dan syarat objektif perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Apabila terjadi cacat hukum dalam suatu akta Notaris tersebut dapat ditolak sebagai alat bukti dalam suatu proses peradilan.

Tanggung jawab Notaris apabila terbukti secara pidana telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka Notaris dapat dijatuhi hukuman pidana dan akta tersebut dapat menjadi batal apabila ada upaya untuk membatalkan akta tersebut melalui proses peradilan perdata di pengadilan dan apabila dalam persidangan perdata Notaris terbukti salah maka Notaris tersebut diwajibkan memberikan ganti rugi, biaya, dan bunga kepada para pihak yang menderita kerugian.

Putusan pengadilan negeri yang telah berkekuatan hukum tetap dimana isi putusannya telah menjadikan akta yang dibuat Notaris batal demi hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum, dapat dimintakan pembatalannya dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membatalkan akta tersebut sesuai dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.


(14)

that whether it is because of the notary’s fault, or probably because of the clients’ error by giving the wrong documents or information in the process of making the deeds. All activities done by the notary in making the deeds will be the notary’s responsibility.

If the notary’s negligence and error in making the deeds can be proved, he will be charged guilty with a criminal act (Article 66 of UUJN) or with civil act (Article 84 of UUJN). Therefore, in order to protect himself from being charged guilty, he has to be on the alert and cautious. In practice, however, many notaries experience such problems that the deeds he has made are canceled by the Court’s ruling since it is found out that they are legally deficient; for instance, one of the documents is false.

The type of the research was a normative study with judicial normative method. It meant that this research tended to use the primary and secondary legal materials. The nature of this research was descriptive analytic. The data were obtained by collecting the primary and secondary data and evaluated and analyzed qualitatively. The problems discussed were based on legal provisions with deductive method. The results of the analysis were described qualitatively by using legal interpretation and logic so that a new description was obtained or strengthened in order to answer and to draw the conclusions and worthwhile suggestions.

Some factors which cause a deed to be canceled or abrogated by the Court’s ruling are the absence of legal materials or formal requirements in a deed; namely, the subjective and the objective requirements of an agreement as it is stipulated in Article 1320 of the Civil Code. If there is a legal deficiency in a notarial deed, it can be dismissed as evidence in a court’s hearing. If it has been proven that the notary violates legal provisions, he can be imposed to prison and the deed can be canceled if there is an effort to cancel it through the process in the Civil Court. If in the civil Court’s hearing the notary is charged guilty, he has to give compensation, cost, and interest to the parties who have suffered financial loss.

The District Court’s ruling which has final and conclusive states that the notarial deed is legally canceled and does have any legal force, can be asked for the cancellation by filing a complaint to the State Administrative Court to cancel the deed which is in line with the authority of the State Administrative Court, based on Article 53 of Law No. 9/2004 on the amendment of Law No.5/1986 on State Administrative Court.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perbuatan hukum pada prinsipnya dapat dilakukan bebas bentuk. Pada prinsipnya perjanjian terbentuk secara konsensuil, bukan formil. Bagi suatu perbuatan hukum satu-satunya yang dipersyaratkan ialah adanya kehendak yang tertuju pada suatu akibat hukum tertentu, yakni sebagaimana terejawantahkan dalam suatu pernyataan. Semakin penting suatu perbuatan hukum dan semakin banyak pihak ketiga yang terkait pada perbuatan hukum tersebut, semakin besar tuntutan sifat terbukanya bagi umum. Di sini bentuk akta, baik dalam bentuk akta Notaris maupun di bawah tangan merupakan syarat konstitutif untuk perbuatan hukum tersebut. Dengan demikian, akta tersebut merupakan syarat mutlak untuk adanya perbuatan hukum tersebut. Dasar pemikiran diwajibkannya perbuatan hukum dilakukan dalam bentuk tertentu adalah sebagai perlindungan pihak lemah terhadap dirinya sendiri dan terhadap pihak lawan (karena kedudukan tidak seimbang).

Bagi perjanjian yang digolongkan pada perjanjian formil, seperti hibah, jual beli benda tetap, pembebanan jaminan fidusia, dan pendirian perseroan terbatas mensyaratkan adanya bentuk tertentu, yaitu akta Notaris atau akta otentik sehingga akta di sini berfungsi sebagai salah satu unsur perjanjian yaitu syarat mutlak untuk


(16)

adanya perjanjian tersebut. Tanpa adanya akta yang disyaratkan menyebabkan tidak mempunyai akibat hukum yang dalam konteks juridis dogmatis adalahnonexistent.1

Lembaga Notaris timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia yang menghendaki adanya alat bukti tertulis baginya. Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada pihak yang membutuhkan akta jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain.2

Notaris selain merupakan pejabat umum yang ditunjuk oleh undang-undang dalam membuat akta otentik sekaligus juga merupakan perpanjangan tangan Pemerintah. Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang di buatnya, yakni tanggung jawab hukum dan tanggung jawab moral.

1Dr. Herlien Budiono,Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Penerbit

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, Hal. 375.

2 Arinia Vitanti Achiral, Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Yang Dibatalkan Oleh

Pengadilan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 1440 K/Pdt/1996 tanggal 30 Juni 1996), Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, http : // lontar.cs.ui.ac.id/gateway/file?file=digital/85658-T 16344a.pdf, tanggal 24 Maret 2010.


(17)

Notaris merupakan salah satu profesi yang kepadanya dituntut suatu tanggung jawab untuk membuat akta otentik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Tanggung jawab melekat pada diri Notaris mulai dari Notaris diambil sumpahnya atau janjinya sampai dengan Notaris pensiun pada usia yang telah ditentukan oleh Peraturan Jabatan Notaris (Stb. 1860-3) sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004.

Dalam melaksanakan tugasnya, Notaris tunduk serta terikat dengan aturan-aturan yang ada yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan peraturan hukum lainnya yang berlaku umum. Keberadaan Notaris sebagai pejabat umum yang bertugas untuk membuat akta-akta dalam setiap hubungan hukum perdata dibutuhkan masyarakat.

Akta yang dibuat Notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan agar tercapai sifat otentik dari akta itu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek, dan adanya kausa yang halal, misalnya mencantumkan identitas para pihak, membuat isi perjanjian yang dikehendaki para pihak, menandatangani akta dan segalanya. Sebelum ditandatangani, akta terlebih dahulu dibacakan kepada penghadap dan saksi-saksi yang dilakukan oleh Notaris yang membuat akta tersebut. Pembacaan akta tidak dapat diwakili oleh orang lain atau didelegasikan pembacaan akta tersebut kepada pegawai kantor Notaris melainkan harus dilakukan oleh Notaris sendiri. Tujuan


(18)

pembacaan akta ini adalah agar para pihak saling mengetahui isi dari akta tersebut yang mana isi dari akta itu merupakan kehendak para pihak yang membuat perjanjian, pembacaan akta ini juga dilakukan agar pihak yang satu tidak merasa dirugikan apabila terdapat keterangan serta bunyi akta yang memberatkan atau merugikan pihak lain.3

Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Apabila akta yang dibuatnya ternyata di belakang hari mengandung cacat hukum maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris atau kesalahan para pihak yang tidak memberikan dokumen atau keterangan yang sebenarnya dalam pembuatan akta tersebut. Semua kegiatan yang dilakukan oleh Notaris khususnya dalam membuat akta akan selalu dimintakan pertanggungjawaban.

Pengenaan sanksi terhadap Notaris bergantung pada besarnya kesalahan yang dibuat Notaris. Sanksi yang dapat dikenakan kepada Notaris, misalnya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 39 dan Pasal 40 UUJN yang berakibat akta yang dibuat oleh Notaris tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan akibat lainnya adalah Notaris yang bersangkutan berkewajiban untuk membayar biaya ganti kerugian kepada yang berkepentingan.

3G.H.S. Lumban Tobing,Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan ke-5, Erlangga, Jakarta, 1999,


(19)

Disadari atau tidak jika akta yang dibuat oleh Notaris dipersengketakan oleh para pihak, maka tidak menutup kemungkinan Notaris diposisikan pada posisi yang tidak menguntungkan.

Apabila akibat kelalaian atau kesalahan Notaris dalam membuat akta dapat dibuktikan maka kepada Notaris yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban baik secara pidana (Pasal 66 UUJN) maupun perdata (Pasal 84 UUJN). Oleh karena itu guna melindungi dirinya, sikap kewaspadaan dan kehati-hatian sangat dituntut dari seorang Notaris. Namun demikian, dalam prakteknya tidak sedikit Notaris yang mengalami masalah sehubungan dengan akta yang telah dibuatnya dinyatakan batal demi hukum oleh putusan pengadilan sebagai akibat ditemukannya cacat hukum dalam pembuatannya misalnya ternyata dokumen yang diberikan salah satu pihak tidak benar. Sebagai contoh seperti apa yang dialami oleh Notaris San Smith, SH yang terkait kasus pidana di Pengadilan Negeri Medan sebagaimana terdaftar dengan nomor perkara 3036/Pid.B/2009/PN.Mdn dan Notaris Djaidir, SH yang terkait kasus perdata di Pengadilan Negeri Medan sebagaimana terdaftar dengan nomor perkara 297/Pdt.G/2009/PN.Mdn.

Kelalaian Notaris akibat ketidakhati-hatian Notaris bukanlah merupakan sebab utama pembatalan akta Notaris tersebut melalui putusan pengadilan. Selain kesalahan dan kelalaian Notaris, pembatalan akta Notaris juga dapat disebabkan kesalahan dan kelalaian kedua belah pihak maupun salah satu pihak mengakibatkan adanya atau timbulnya gugatan dari salah satu pihak dalam akta.


(20)

Di dalam Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris diatur secara khusus akibat pelanggaran yang dilakukan Notaris terhadap ketentuan-ketentuan tertentu. Akibat pelanggaran tersebut dapat menyebabkan akta Notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, tetapi dapat pula suatu akta menjadi batal demi hukum. Adalah sangat penting untuk mengetahui bahwa pelanggaran-pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris berkaitan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52.

Istilah batal demi hukum (nietig) merupakan istilah yang biasa dipergunakan untuk menilai suatu perjanjian jika tidak memenuhi syarat objektif, yaitu suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp) dan sebab yang tidak dilarang (een geoorloofde oorzaak), dan istilah dapat dibatalkan jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toetsemming van

degenen die zich verbinden) dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de

bekwaamheid om eene verbindtenis aan te gaan).4

Pasal 1333 KUHPerdata menegaskan suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya yang di kemudian hari jumlah (barang) tersebut dapat ditentukan atau dihitung. Ketentuan Pasal 1333

4Habib Adjie,Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,


(21)

KUHPerdata ini sebagai bentuk perjanjian mempunyai hal yang ditentukan. Mengenai syarat suatu hal tertentu ini, dalam Pasal 1335 KUHPerdata ditegaskan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan. Tetapi menurut Pasal 1336 KUHPerdata, bahwa jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal ataupun jika ada sesuatu sebab lain daripada yang dinyatakan persetujuannya, namun demikian adalah sah. Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata).5

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana suatu akta Notaris dapat menjadi batal oleh suatu putusan Pengadilan? 2. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap akta yang menjadi batal demi hukum

oleh suatu putusan Pengadilan ?

3. Bagaimana pandangan badan peradilan khususnya Pengadilan Negeri Medan dalam pertimbangannya dalam membatalkan akta Notaris ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :


(22)

1. Untuk mengetahui suatu akta Notaris dapat menjadi batal oleh suatu putusan Pengadilan.

2. Untuk mengetahui tanggung jawab Notaris terhadap akta yang menjadi batal demi hukum oleh suatu putusan Pengadilan.

3. Untuk mengetahui pandangan badan peradilan khususnya Pengadilan Negeri Medan dalam membatalkan akta Notaris.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan masukan untuk penambahan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum kenotariatan, yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan ilmu hukum bidang kenotariatan pada khususnya yaitu mengenai pembatalan akta Notaris pada Pengadilan Negeri Medan.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat, aparat pemerintah yang terkait dengan pembatalan akta Notaris, aparat penegak hukum yang berwenang secara hukum dalam menangani masalah pembatalan akta


(23)

Notaris yang terjadi secara umum di seluruh Pengadilan Negeri di Indonesia maupun secara khusus di wilayah Pengadilan Negeri Medan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di perpustakaan dan tata usaha Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, khususnya pada program studi Magister Kenotariatan bahwa penelitian dengan judul “ Analisis Yuridis terhadap Pembatalan Akta Notaris Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan ” belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini adalah asli, dan secara akademis dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun ada peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah akta Notaris yang dibatalkan, namun secara substansi pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan pembatalan akta Notaris yang pernah dilakukan adalah :

1. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat Dan Berindikasi Perbuatan Pidana, oleh : Agustining (087011001).

Permasalahan :

a) Faktor apakah yang menyebabkan Notaris diperlukan kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana ?

b) Bagaimana tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum terhadap akta otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana ?


(24)

c) Bagaimana fungsi dan peranan Majelis Pengawas Daerah terhadap pemanggilan Notaris pada pemeriksaan perkara pidana ?

2. Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), oleh : Yusnani (057011100).

Permasalahan :

a) Bagaimana pertanggungjawaban Notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu ?

b) Bagaimana sanksi yang diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik ?

c) Bagaimana akibat hukumnya terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu ?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Konsep teori menurut M. Solly Lubis ialah :

“ Kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya, ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti ”.6


(25)

Pengertian teori itu sendiri adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dengan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu penjelasan atas suatu gejala.

Jadi teori adalah seperangkat proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.7

Sedangkan fungsi teori dalam penelitian adalah untuk mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.8

Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.9

Lalu lintas hukum dalam kehidupan bermasyarakat menimbulkan suatu tuntutan akan adanya kepastian hubungan-hubungan antar subjek hukum, terlebih pada masyarakat yang sedang membangun. Keberadaan Notaris senantiasa diperlukan

7Maria S.W. Sumardjono, Pedoman, Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta,

1989, hal. 12-13 dan Koentjaraningrat,Metode-Metode Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia, Jakarta, 1989, hal. 19.

8M. Solly Lubis (I),Op Cit, hal. 17.


(26)

masyarakat yang memerlukan jasanya di bidang hukum. Notaris sebagai pejabat umum harus dapat selalu mengikuti perkembangan hukum sehingga dalam memberikan jasanya kepada masyarakat, Notaris dapat membantu memberikan jalan keluar yang dibenarkan oleh hukum kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya.

Teori hukum yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah teori tentang tanggung jawab hukum oleh Hans Kelsen. Satu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subjek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.10

Teori tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara tanggung jawab Notaris yang berkaitan dengan kewenangan Notaris berdasarkan UUJN yang berada dalam bidang hukum perdata. Kewenangan ini salah satunya adalah menciptakan alat bukti yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak, kemudian menjadi suatu delik atau perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana.11

Profesi Notaris merupakan suatu pekerjaan dengan keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan umum dan inti tugas Notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik

10Hans Kelsen ( Alih Bahasa oleh Somardi),General Theory of Law & State ), Teori Umum

Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Jakarta, BEE Media Indonesia, 2007, hal. 81, dikutip dari Agustining, Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat Dan Berindikasi Perbuatan Pidana, Tesis, Fakultas Pascasarjana Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hal. 36.


(27)

hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa Notaris.

Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut :

1. Memiliki integritas moral yang mantap;

2. Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri; 3. Sadar akan batas-batas kewenangannya;

4. Tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.12

Jabatan yang dipangku Notaris adalah jabatan kepercayaan dan justru oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya. Sebagai seorang kepercayaan, Notaris berkewajiban untuk merahasiakan semua apa yang diberitahukan kepadanya selaku Notaris.13 Kewajiban merahasiakan dapat dilakukan dengan upaya penuntutan hak ingkar, yang merupakan pengecualian terhadap ketentuan dalam Pasal 1909 KUHPerdata bahwa setiap orang yang dipanggil sebagai saksi wajib memberikan kesaksian di muka pengadilan.

Selain itu juga, Notaris dalam melaksanakan jabatannya dituntut untuk dapat memenuhi dan mentaati ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam UUJN. Akta otentik yang dibuat oleh / di hadapan Notaris diharapkan mampu menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Untuk mencapai tujuan tersebut

12Liliana Tedjosaputro,Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2003, hal.

93.


(28)

diperlukan suatu pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris, agar Notaris tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran yang ditentukan dalam UUJN.

Pengawasan terhadap Notaris berdasarkan Pasal 67 ayat (1) UUJN dilakukan oleh Menteri, untuk selanjutnya dibentuk suatu Majelis Pengawas. Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawasan Notaris. Pengawasan meliputi perilaku dan pelaksanaan jabatan Notaris sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 67 ayat (3) UUJN.

Menurut Herlien Budiono, dalam lalu lintas hubungan-hubungan hukum privat, Notaris menikmati kewenangan eksklusif untuk membuat akta-akta otentik.14 Terhadap akta otentik tersebut diberikan kekuatan bukti yang kuat dalam perkara-perkara perdata, sehingga Notaris yang secara khusus berwenang membuat akta-akta otentik demikian menempati kedudukan yang penting dalam kehidupan hukum.15

Akta yang dibuat oleh Notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat akta yang menguraikan secara otentik sesuatu yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat oleh pembuat akta itu, yakni Notaris itu sendiri, di dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Akan tetapi akta Notaris dapat juga berisikan suatu cerita

14 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2006, hal. 257.


(29)

dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di hadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalam melaksanakan jabatannya dan untuk keperluan tersebut pihak lain itu sengaja datang di hadapan Notaris, agar keterangan atau perbuatannya itu dituangkan oleh Notaris ke dalam suatu akta otentik.

Berdasarkan uraian di atas, akta Notaris dapat dibedakan atas 2 (dua) bentuk, yaitu:

a. Akta yang dibuat oleh (door enn) notaris atau yang dinamakan “akta relaas” atau “akta pejabat” (ambtelijke akten). Akta jenis ini di antaranya akta berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan dan akta berita acara penarikan undian.16

b. Akta yang dibuat di hadapan Notaris atau yang dinamakan “akta partij” (partij aktan). Akta jenis ini di antaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian kredit dan sebagainya.17

Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat objektif yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian

16G.H.S. Lumban Tobing,Op Cit, hal. 51-52. 17Ibid.


(30)

itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak, yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang.18

Dalam hukum perjanjian ada akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang berkepentingan. Pembatalan karena ada permintaan dari pihak yang berkepentingan, seperti orang tua, wali atau pengampu disebut pembatalan yang relative atau tidak mutlak. Pembatalan relatif ini dibagi 2 (dua) yaitu :19

a. Pembatalan atas kekuatan sendiri, maka atas permintaan orang tertentu dengan mengajukan gugatan atau perlawanan, agar hakim menyatakan batal (nietig verklaard) suatu perjanjian. Contohnya jika tidak dipenuhi syarat subjektif (Pasal 1446 KUHPerdata).

b. Pembatalan oleh hakim, dengan putusan membatalkan suatu perjanjian dengan mengajukan gugatan. Contohnya Pasal 1449 KUHPerdata. Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancaman untuk dibatalkan oleh para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar ancaman seperti itu tidak terjadi, maka dapat dimintakan penegasan dari mereka yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat para pihak. Jika syarat

18Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau

terlarang, maka persetujuan tersebut tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUHPerdata). Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah (Pasal 1336 KUHPerdata).

19 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Bale Bandung “Sumur Bandung”,


(31)

objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (nietig), tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun. Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi, jika suatu perjanjian yang dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, karena perjanjian sudah dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apapun.20 Misalnya jika suatu perjanjian wajib dibuat dengan akta (Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tapi ternyata tidak dilakukan, maka perbuatan hukum atau perjanjian tersebut batal demi hukum.

Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak21 dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat

20Jika perjanjian sudah tidak memenuhi syarat objektif, ternyata masih ada yang mengajukan

gugatan atau tuntutan atas hal tersebut, maka hakim diwajibkan karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan, R. Subekti,Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005, hal. 22.


(32)

dibatalkan.22 Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta tersebut batal demi hukum.23 Oleh karena Pasal 38 ayat (3) huruf a UUJN telah menentukan bahwa syarat subjektif dan syarat objektif bagian dari badan akta, maka timbul kerancuan, antara akta yang dapat dibatalkan dengan akta yang batal demi hukum, sehingga jika diajukan untuk membatalkan akta Notaris karena tidak memenuhi syarat subjektif, maka dianggap membatalkan seluruh badan akta, termasuk membatalkan syarat objektif. Syarat subjektif ditempatkan sebagai bagian dari awal akta, dengan alasan meskipun pembatalan dengan cara gugatan dari orang-orang tertentu, maka isi akta yang berisi syarat objektif tetap mengikat para pihak, hal ini berbeda jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka akta dianggap tidak pernah ada.24

Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang hal ini merupakan salah satu karakter akta Notaris. Meskipun ada ketidaktepatan dalam Pasal 38 ayat (3) huruf a UUJN yang telah menempatkan syarat subjektif dan syarat objektif sebagai bagian dari badan akta, maka kerangka akta Notaris harus menempatkan kembali syarat subjektif dan syarat objektif akta Notaris

22 Akta Notaris yang dapat dibatalkan berarti akta tersebut termasuk ex nunc, yang berarti

perbuatan dan akibat dari akta tersebut dianggap ada sampai saat dilakukan pembatalan. Habib Adjie,

Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hal. 39.

23Akta Notaris yang batal demi hukum berarti akta tersebut termasuk ex tunc, yang berarti

perbuatan dan akibat dari akta tersebut dianggap tidak pernah ada (inexistence).Ibid.

24 Meskipun pada dasarnya akibat dari perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif

dianggap perjanjian tidak pernah ada, hal ini bisa berjalan jika objek perjanjian, berupa benda/barang (secara natura) masih ada pada mereka yang bersangkutan, sehingga keadaan bias dikembalikan seperti semula dan diterima oleh para pihak dan para pihak tidak mempermasalahkannya, tapi jika ternyata benda atau barang tersebut telah mengalami perubahan atau telah beralih kepada pihak lain, hal semacam itu sangat sulit untuk dilakukan atau untuk dikembalikan seperti semula. Jika terjadi seperti ini, maka atas permohonan para pihak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan, dan hakim dapat memutuskan dan menentukan keadaan seperti itu.Ibid.


(33)

yang sesuai dengan makna dari suatu perjanjian dapat dibatalkan dan batal demi hukum, oleh karena itu kerangka akta notaris harus terdiri dari :

1. Kepala atau awal akta, yang memuat : a. judul akta;

b. nomor akta;

c. pukul, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan

d. nama lengkap dan tempat kedudukan notaris, dan wilayah jabatan Notaris25;

e. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;

f. keterangan mengenai kedudukan bertindak menghadap;

g. nama lengkap, tempat tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

2. Badan akta yang memuat kehendak dan keinginan dari para pihak yang berkepentingan yang diterangkan atau dinyatakan di hadapan Notaris atau keterangan-keterangan dari Notaris mengenai hal-hal yang disaksikannya atas permintaan yang bersangkutan.

3. Penutup atau akhir akta, yang memuat :

25 Notaris berkedudukan di daerah Kabupaten atau Kota (Pasal 18 ayat (1) UUJN), dan


(34)

a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7);

b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta bila ada;

c. nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta, dan

d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.

Akta Notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada Hakim.

2. Landasan Konsepsional

Konsepsi adalah satu tahapan terpenting dari teori. Peraturan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Dengan demikian konsepsi dapat diartikan pula sebagai sarana untuk mengetahui gambaran umum pokok penelitian yang akan dibahas sebelum memulai


(35)

penelitian (obervasi) masalah yang akan diteliti. Konsep diartikan pula sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut definisi operasional.26Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.27 Pentingnya definisi operasional bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran.

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.28

Dalam penelitian tesis ini ada beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi untuk dapat menjawab permasalahan penelitian, yaitu sebagai berikut :

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan

26Sumadi Surya Brata,Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 28. 27Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984, hal. 23.

28 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, PT. Gramedia


(36)

perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta.29

Dari pengertian tersebut ada beberapa hal yang penting yang tersirat yaitu ketentuan dalam permulaan pasal tersebut, bahwa Notaris adalah pejabat umum

(openbaar ambtenaar), dikatakan demikian karena erat hubungannya dengan

wewenangnya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta-akta otentik.30 Pasal 1 angka 7 UUJN menguraikan definisi dari akta Notaris sebagai akta otentik yang dibuat oleh / di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang.

Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata diartikan sebagai suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh / di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud tersebut, dan di tempat dimana akta tersebut dibuat.

Menurut R. Subekti :

Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh Hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan ia memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Ia merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna.

29Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasa1 1 huruf (1) jo. Pasal 15

ayat (2).

30R. Soegondo Notodisoerjo,Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, CV. Rajawali,


(37)

Kekuatan pembuktian akta otentik, demikian juga akta Notaris, adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan bahwa ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu. Dalam pemberian tugas ini terletak kepercayaan kepada para pejabat tersebut dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang dibuat mereka.31

Dengan adanya otentitas akta tersebut akan secara otomatis memberikan perlindungan kepada Notaris, pihak yang bersangkutan, dan termasuk juga pihak-pihak yang membutuhkan jasanya. Perlindungan hukum terhadap diri Notaris dan pihak-pihak yang membutuhkan jasanya, perlindungan hukum terhadap diri Notaris dan pihak-pihak yang membutuhkan jasanya sangat penting karena itu Notaris harus menguasai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jabatannya. Dengan Notaris menguasai peraturan perundang-undangan maka akta Notaris yang dibuat akan terhindar dari kecacatan hukum, yang dapat menimbulkan akta tersebut batal demi hukum.


(38)

G. Metode Penelitian

1. Jenis, Sifat dan Pendekatan

Penelitian ini bertitik tolak dari suatu pengertian bahwa penelitian pada hakekatnya mencakup kegiatan pengumpulan data, pengolahan data, analisa data dan konstruksi data yang semuanya dilaksanakan secara sistematis dan konsisten.32

Data adalah gejala yang akan dicari untuk diteliti, gejala yang diamati oleh peneliti dan hasil pencatatan terhadap gejala yang diamati oleh peneliti.33

Sesuai dengan pokok masalah, jenis penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif atau penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis dalam buku maupun hukum yang diputuskan oleh Hakim melalui proses pengadilan.34 Pendekatannya bersifat deskriptif analitis. Adapun maksud deskriptif disini yang bertujuan untuk mengambil data secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu mengenai sifat atau faktor tertentu.35

Dalam penelitian normatif digunakan beberapa pendekatan berikut Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dan Pendekatan Analitis.

Penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan akan lebih akurat bila digunakan penelitian yang menggambarkan tentang

32 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peran Dan Penggunaan Perpustakaan Di Dalam

Penelitian Hukum, Jakarta : PDHUI, 1979, hal. 2.

33Ibid, hal. 1.

34Bismar Nasution,Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Perbandingan Hukum, Makalah

Fakultas Hukum USU tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.

35Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,


(39)

bagaimana dikatakan pembatalan akta Notaris menurut ketentuan undang-undang ataupun peraturan-peraturan maupun realitas dalam praktek objek penelitian.

Adapun tahap-tahap dari analisis yuridis normatif adalah :36

a) Merumuskan asas-asas hukum, baik dari data sosial maupun dari data hukum positif tertulis ;

b) Merumuskan pengertian-pengertian hukum ; c) Pembentukan standar-standar hukum ; dan d) Perumusan kaidah-kaidah hukum.

2. Sumber Data

Dalam pelaksanaan penelitian ini, menggunakan 3 (tiga) sumber data yaitu: a. Bahan hukum primer, berupa perundang-undangan yang bersumber dari

peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya seperti KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.

b. Bahan hukum sekunder, baik yang bersumber dari buku-buku, dokumen-dokumen, hasil tulisan berupa tesis dan bahan-bahan yang terkait mengenai pembatalan akta Notaris yang dapat digunakan sebagai acuan dan membantu dalam penelitian.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer,

36 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo


(40)

sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah penelitian kepustakaan

(library research) yaitu untuk mendapatkan data dengan melakukan penelaahan

bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku dan karya ilmiah lainnya maupun bahan hukum tersier yaitu berupa kamus, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal ilmiah.

4. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data dapat dilakukan dengan cara studi dokumen. Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif maupun sosiologis), karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif.

Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Setiap bahan hukum ini harus diperiksa ulang validitas dan reliabilitasnya, sebab, hal ini sangat menentukan hasil suatu penelitian.37


(41)

5. Analisis Data

Suatu analisis kualitatif pada hakikatnya menekankan pada metode deduktif sebagai pegangan utama. Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan setiap saat pengumpulan data di lapangan secara berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi data agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksi-abstraksi teoretis terhadap informasi lapangan, dengan mempertimbangkan menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sangat memungkinkan dianggap mendasar dan universal.38


(42)

BAB II

AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN

A. Karakter Yuridis Akta Notaris

Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang sah atau diakui oleh hukum terdiri dari :

a. Bukti tulisan;

b. Bukti dengan saksi-saksi; c. Persangkaan-persangkaan; d. Pengakuan;

e. Sumpah;

Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.39 Tulisan-tulisan otentik berupa akta otentik, yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang, dibuat di hadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang diberi wewenang dan di tempat dimana akta tersebut dibuat.40 Akta otentik tidak saja dapat dibuat oleh Notaris, tapi juga oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang dan Pegawai Kantor Catatan Sipil. Tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta di bawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa perantara atau tidak

39Pasal 1867 KUHPerdata. 40Pasal 1868 KUHPerdata.


(43)

di hadapan pejabat umum yang berwenang.41Baik akta otentik maupun akta di bawah tangan dibuat dengan tujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti. Dalam kenyataan ada tulisan yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti, tapi dapat dipergunakan sebagai alat bukti, jika hal seperti ini terjadi agar mempunyai nilai pembuktian harus dikaitkan atau didukung dengan alat bukti lainnya. Perbedaan yang penting antara kedua jenis akta tersebut, yaitu dalam nilai pembuktian, akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna. Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut.42 Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak, jika para pihak mengakuinya, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana akta otentik,43 jika salah satu pihak tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada Hakim. Baik alat bukti akta di bawah tangan maupun akta otentik keduanya harus memenuhi rumusan mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, dan secara materil mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata) sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak (pacta sunt servanda).

41Pasal 1874 KUHPerdata.

42Habib Adjie,Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004

Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 121.


(44)

Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris bentuknya sudah ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. Sebagai bahan perbandingan kerangka atau susunan akta yang tersebut dalam Pasal 38 UUJN berbeda dengan yang dipakai dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN). Dalam PJN kerangka akta atau anatomi akta terdiri dari :44

1. Kepala (hoofd) Akta : yang memuat keterangan-keterangan dari Notaris mengenai dirinya dan orang-orang yang datang menghadap kepadanya atau atas permintaan siapa dibuat berita acara ;

2. Badan Akta : yang memuat keterangan-keterangan yang diberikan oleh pihak-pihak dalam akta atau keterangan-keterangan dari Notaris mengenai hal-hal yang disaksikannya atas permintaan yang bersangkutan ;

3. Penutup Akta : yang memuat keterangan dari Notaris mengenai waktu dan tempat akta dibuat, selanjutnya keterangan mengenai saksi-saksi, di hadapan siapa akta dibuat dan akhirnya tentang pembacaan dan penandatanganan dari akta itu.

Perbedaan antara Pasal 38 dengan PJN mengenai kerangka akta terutama dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan b mengenai awal atau kepala akta dan badan akta. Dalam PJN kepala akta hanya memuat keterangan-keterangan atau yang menyebutkan tempat kedudukan Notaris dan nama-nama para pihak yang datang atau menghadap Notaris, dan dalam Pasal 38 ayat (2) UUJN kepala akta memuat judul akta, nomor akta, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. Satu perbedaan yang perlu untuk diperhatikan, yaitu mengenai identitas para pihak atau para penghadap. Dalam PJN identitas para pihak atau para


(45)

penghadap merupakan bagian dari kepala akta, sedangkan menurut Pasal 38 ayat (2) UUJN, identitas para pihak atau para penghadap bukan bagian dari kepala akta, tapi merupakan bagian dari badan akta (Pasal 38 ayat (3) huruf a), dan dalam PJN bahwa badan akta memuat isi akta yang sesuai dengan keinginan atau permintaan para pihak atau para penghadap.

Adanya perubahan mengenai pencantuman identitas para pihak atau para penghadap yang semula dalam PJN yang merupakan bagian dari kepala atau, kemudian dalam Pasal 38 ayat (3) huruf b UUJN identitas para pihak atau para penghadap diubah menjadi bagian dari badan akta menimbulkan kerancuan dalam menentukan isi akta, sehingga muncul penafsiran bahwa identitas para pihak dalam akta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan isi akta. Pencantuman identitas para pihak merupakan bagian dari formalitas akta Notaris, bukan bagian dari materi atau isi akta. Dalam hal ini Pasal 38 ayat (2) dan (3) telah mencampuradukkan antara komparisi dan isi akta.45

Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat objektif yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian


(46)

itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak, yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang.46

Dalam hukum perjanjian ada akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang berkepentingan. Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancaman untuk dibatalkan oleh para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar ancaman seperti itu tidak terjadi, maka dapat dimintakan penegasan dari mereka yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat para pihak. Jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun. Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi, jika suatu perjanjian yang dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum,47 karena perjanjian sudah dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apapun. Misalnya jika

46Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau

terlarang, maka persetujuan tersebut tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUHPerdata). Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah (Pasal 1336 KUHPerdata), dikutip dariIbid.

47 Menurut Peter Mahmud Marzuki bahwa azas kebebasan berkontrak merupakan suatu

kebutuhan bagi masyarakat mana saja yang telah menerima budaya industri dan perdagangan, dengan kata lain apabila suatu masyarakat telah memasuki atau paling tidak telah bersentuhan dengan budaya industri dan perdagangan, eksistensi azas kebebasan berkontrak hendaklah diteria di masyarakat tersebut, Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yudika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 18, Nomor 3, Mei 2003, hal. 203, dikutip dariIbid, hal. 124.


(47)

suatu perjanjian wajib dibuat dengan akta (Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tapi ternyata tidak dilakukan, maka perbuatan hukum atau perjanjian tersebut batal demi hukum.

Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak48 dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat dibatalkan. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta tersebut batal demi hukum. Oleh karena Pasal 38 ayat (3) huruf a UUJN telah menentukan bahwa syarat subjektif dan syarat objektif bagian dari badan akta, maka timbul kerancuan, antara akta yang dapat dibatalkan dengan akta yang batal demi hukum, sehingga jika diajukan untuk membatalkan akta Notaris karena tidak memenuhi syarat subjektif, maka dianggap membatalkan seluruh badan akta, termasuk membatalkan syarat objektif. Syarat subjektif ditempatkan sebagai bagian dari awal akta, dengan alasan meskipun syarat subjektif tidak dipenuhi sepanjang tidak ada pengajuan pembatalan dengan cara gugatan dari orang-orang tertentu, maka isi akta


(48)

yang berisi syarat objektif tetap mengikat para pihak, hal ini berbeda jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka akta dianggap tidak pernah ada.49

Akta Notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada Hakim.

Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN,50hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik yaitu :51

1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku), 2. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum.

Pasal 1868 KUHPerdata merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum,

49Habib Adjie,Op Cit, hal. 125. 50Pasal 1 angka 7 UUJN.

51Philipus M. Hadjon,Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya Post, 31


(49)

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,

c. Pejabat umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.

Menurut C.A.Kraan akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.

b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang.

c. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi, ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya c.q. data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut).

d. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya.

e. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.

Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : a. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang Pejabat Umum.


(50)

Pasal 1 angka 7 UUJN menentukan bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, dan secara tersirat dalam Pasal 58 ayat (2) UUJN disebutkan bahwa Notaris wajib membuat daftar akta dan mencatat semua akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris.

Akta yang dibuat oleh Notaris dalam praktek Notaris disebut akta relaas atau akta berita acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat di hadapan Notaris, dalam praktek Notaris disebut akta pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris.52

Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan


(51)

saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Notaris.53

Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta Notaris dan Notaris, jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka :

1. Para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut. 2. Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu

pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta Notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka Hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan. Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hukum.

Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban Penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta Notaris. Dalam kedua posisi tersebut, Penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta Notaris.


(52)

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie Voor De Notarissen Residerende In Nederlands Indie dengan Stbl No. 11, tanggal 7 Maret 1822, kemudian dengan Reglement Op Het Notaris Ambt In Indonesie (Stb. 1860 : 3), dan Reglement ini berasal dari Wet Op Het Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN.54 Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara kelembagaan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN.55

c. Pejabat umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu :

1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu. Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga berwenang membuatnya di samping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang Notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang

54 Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve,

Jakarta, 1994, hal. 362.


(53)

umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Pasal 15 UUJN telah menentukan wewenang Notaris.56 Wewenang ini merupakan suatu batasan, bahwa Notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang tersebut.

2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.

Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Meskipun Notaris dapat membuat akta untuk setiap orang, tapi agar menjaga netralitas Notaris dalam pembuatan akta, ada batasan bahwa menurut Pasal 52 UUJN Notaris tidak diperkenankan untuk membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.

56Kewenangan Notaris yang lainnya yaitu :

(2) Notaris berwenang pula :

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus;

b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. Membuat akta risalah lelang;

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.


(54)

3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat. Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai dengan keinginannya mempunyai tempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota (Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Pengertian pasal-pasal tersebut bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah jabatan seluruh propinsi. Hal ini dapat dijalankan dengan ketentuan :

a. Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta) di luar tempat kedudukannya, maka Notaris tersebut harus berada di tempat akta akan dibuat.

b. Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten) pembuatan dan penyelesaian akta.

c. Menjalankan tugas jabatan di luar tempat kedudukan Notaris dalam wilayah jabatan satu propinsi tidak merupakan suatu keteraturan atau tidak terus-menerus (Pasal 19 ayat (2) UUJN).

4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan untuk menjalankan tugas


(55)

jabatannya. Agar tidak terjadi kekosongan, maka Notaris yang bersangkutan dapat menunjuk Notaris Pengganti (Pasal 1 angka 3 UUJN).

Karakter yuridis akta Notaris, yaitu :

1. Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang (UUJN).

2. Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak, dan bukan keinginan Notaris.

3. Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam hal ini Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta.

4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapa pun terikat dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta tersebut.

5. Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.


(56)

B. Nilai Pembuktian Akta Notaris

Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian : 1. Lahiriah

Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta Notaris. Parameter untuk menentukan akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada minuta dan salinan serta adanya awal akta (mulai dari judul) sampai dengan akhir akta.

Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris sebagai akta otentik, bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan kepada syarat-syarat akta Notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke Pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi objek gugatan bukan akta Notaris.57


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pada intinya faktor-faktor yang menjadi penyebab suatu akta menjadi batal atau dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan adalah dengan tidak dipenuhinya syarat materil maupun syarat formil dalam suatu akta yaitu syarat subjektif dan syarat objektif perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Apabila terjadi cacat hukum dalam suatu akta Notaris tersebut dapat ditolak sebagai alat bukti dalam suatu proses peradilan.

2. Tanggung jawab Notaris secara perdata ialah apabila para pihak yang berperkara dapat membuktikan di pengadilan bahwa akta itu menjadi akta yang batal demi hukum maka kepada Notaris dapat diminta ganti kerugiannya akibat penerbitan akta otentik tersebut.

Tanggung jawab Notaris apabila terbukti secara pidana telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka Notaris dapat dijatuhi hukuman pidana dan akta tersebut dapat menjadi batal apabila ada upaya untuk membatalkan akta tersebut melalui proses peradilan perdata di pengadilan dan apabila dalam persidangan perdata Notaris terbukti salah maka Notaris tersebut diwajibkan memberikan ganti rugi, biaya, dan bunga kepada para pihak yang menderita kerugian.

Tanggung jawab Notaris secara administratif menurut Pasal 85 UUJN ada 5 (lima) jenis sanksi yang bisa diberikan kepada Notaris meliputi teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat.


(2)

3. Notaris yang dijadikan tersangka dalam kasus di pengadilan, belum tentu aktanya dapat dibatalkan. Apabila aktanya mau dibatalkan harus diajukan gugatan perdata ke pengadilan negeri tersebut. Lain halnya dalam kasus perdata di pengadilan dimana Hakim yang memutuskan perkara bisa menjatuhkan putusan batal demi hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum dan dapat dibatalkan terhadap akta notaris yang ikut terlibat sebagai Tergugat atau Turut Tergugat dalam suatu kasus perdata di pengadilan. Hakim dalam menjatuhkan putusan juga harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004.

B. SARAN

1. Meskipun undang-undang memberikan perlindungan hukum kepada Notaris dalam hal pemeriksaan perkara khususnya perkara pidana, hendaknya Notaris tetap menjaga kekuatan pembuktian akta otentik yang dibuatnya dengan memperhatikan aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil, sehingga aktanya mempunyai kekuatan hukum yang sempurna, dengan demikian Notaris terhindar dari perbuatan pidana.

2. Hendaknya Notaris dalam membuat aktanya dimana tanah tersebut belum mempunyai sertifikat sebagai alas hak yang sah maka diperlukan lampiran Surat Keterangan Camat yang menguatkan tentang kepemilikan tanah tersebut diikuti dengan adanya Surat Ukur dari BPN. Kemudian tidak adanya silang sengketa yang terjadi atas tanah tersebut. Sehingga kecil kemungkinan Notaris akan dipermasalahkan aktanya dalam proses peradilan umum.

3. Notaris dalam menjalankan tugasnya tidak hanya sebagai pejabat yang berwenang membuat akta, namun Notaris juga harus bisa memberikan penyuluhan hukum/sosialisasi hukum terhadap pihak-pihak yang datang menghadap kepadanya


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Adam, Muhammad,Notaris dan Bantuan Hukum, Sinar Baru, Bandung, 2003.

Adjie, Habib, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik terhadap Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, 2009.

Adjie, Habib,Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, 2009.

Adjie, Habib, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), CV. Mandar Maju, Bandung, 2009.

Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Brata, Sumadi Surya,Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998. Budiono, Herlien, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2006.

Budiono, Herlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008.

Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Friedmann, W,Teori dan Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh Muhammad Arifin dari Buku Aslinya Legal Theory, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.

Fuady, Munir,Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007. Harahap, M. Yahya,Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Harahap, M. Yahya, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi Dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.


(4)

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Bagian Satu Hukum Pidana Bagian Dua, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta. 2005.

Kelsen, Hans,General Theory Of Law And State, Alih Bahasa Oleh Somardi Dengan Judul Teori Hukum Murni, Rindi Press, Jakarta, 1996.

Kie, Tan Thong, Studi Notariat, Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Koesoemawati, Ira dan Rijan, Yunirman,Ke Notaris, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2009. Kohar,Notaris dalam Praktek, Alumni, Bandung, 1983.

Lubis, M. Solly (I), Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. Marzuki, Peter Mahmud,Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005. Marpaung, Leden,Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Liberti, Yogyakarta, 1985. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung,

2000.

Notodisoerjo, R. Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, CV. Rajawali, Jakarta, 1982.

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia,Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan di Masa Datang,PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, 2009.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale Bandung “ Sumur Bandung “, Bandung, 1989.

Sasongko, Hari, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, Mandar Maju, Bandung, 1998.

Sembiring, M. U, Tehnik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1997.


(5)

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Peran Dan Penggunaan Perpustakaan Di Dalam Penelitian Hukum, Jakarta : PDHUI, 1979.

Soekanto, Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984. Subekti, R,Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Internusa, Jakarta, 1980. Subekti, R,Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005. Subekti, R,Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005.

Subekti, R,Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1989.

Suharto, RM, Hukum Pidana Materil, Unsur-Unsur Objektif Sebagai Dasar Dakwaan, Sinar Grafika, Jakarta, 1996.

Sumardjono, Maria S.W., Pedoman, Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, 1989, hal. 12-13, bandingkan dengan Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia, Jakarta, 1989.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1977.

Sutrisno, Diktat Kuliah tentang Komentar Atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Medan, 2007.

Tedjosaputro, Liliana, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2003.

Tobing, G.H.S. Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan ke-5, Erlangga, Jakarta, 1999.

Tong Kie, Tan, Studi Notaris Dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtian Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000.

Untung, Budi,Visi Global Notaris, Andi, Yogyakarta, 2001.

Widjaja, Gunawan & Muljadi Kartini, Hapusnya Perikatan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.


(6)

B. Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitro Soedibio, Cet. 21, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1994.

Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

C. Makalah

Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Perbandingan Hukum, Makalah Fakultas Hukum USU tanggal 18 Februari 2003.

Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus Buku II Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008.

D. Internet

Arinia Vitanti Achiral, Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Yang Dibatalkan Oleh Pengadilan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 1440 K/Pdt/1996 tanggal 30 Juni 1996), Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, http : // lontar.cs.ui.ac.id/gateway/file?file=digital/85658-T 16344a.pdf, tanggal 24 Maret 2010.


Dokumen yang terkait

Kekuatan Pembuatan Akta Otentik Yang Membatalkan Akta Notaris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 347/PDT.G/2012/PN-MDN)

2 91 133

Analisa Yuridis Putusan Pengadila Terhadap Akta Notaris Yang Batal Demi Hukum (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

10 200 88

Analisis Yuridis Atas Perbuatan Notaris Yang Menimbulkan Delik-Delik Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan NO. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

0 60 119

Analisis Yuridis Terhadap Grosse Akta Notaris Sebagai Pengikatan Jaminan Dikaitkan Dengan Kredit Macet (Studi Di Kota Medan)

7 62 138

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN TERHADAP PEMERIKSAAN PERKARA PEMBATALAN AKTA JUAL BELI TANAH Tinjauan Yuridis Tentang Putusan Terhadap Pemeriksaan Perkara Pembatalan Akta Jual Beli Tanah (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Semarang).

0 1 15

PENDAHULUAN Tinjauan Yuridis Tentang Putusan Terhadap Pemeriksaan Perkara Pembatalan Akta Jual Beli Tanah (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Semarang).

0 3 15

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta - Analisa Yuridis Putusan Pengadila Terhadap Akta Notaris Yang Batal Demi Hukum (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisa Yuridis Putusan Pengadila Terhadap Akta Notaris Yang Batal Demi Hukum (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

1 0 21

ANALISA YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP AKTA NOTARIS YANG BATAL DEMI HUKUM (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI MEDAN) SKRIPSI

0 0 11

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA NOTARIS

0 2 69