33 ibarat air mengalir; berdoa selalu siang malam tanpa henti. Memuji Allah kapan saja dan dimana
saja”. Bagi Malang Sumirang, shalat yang merupakan representasi syariat merupakan ritual yang penting namun seharusnya tak terbatasi oleh lima waktu saja. Allah dapat dan harus senantiasa
diingat di dalam hati setiap saat dan dimana pun. Dalam Babad Jaka Tingkir, di pupuh ke XXII, untaian tembang Mijil, dituliskan
dengan nada memuji bahwa Malang Sumirang ikhlas menerima usulan Sunan Bonang yang
menghendaki dirinya menjalani hukuman mati dengan cara dibakar hidup-hidup di ‘tumangan’ api unggun
81
. Hukuman mati terhadap Malang Sumirang membuktikan bahwa situasi ketika itu tidak memungkinkan seseorang mengambil sikap bersebrangan dengan cara, pemikiran maupun
pemahaman keagamaan yang diikuti oleh penguasa, alhasil kekuasaan dari pemegang otoritas untuk melakukan interpretasi dalam bidang agama bertindak dengan memberangus tubuh
siapapun yang menurut mereka mencoba menafsirkan agama sesuka hatinya.
82
Jaka Tingkir juga merekrut seorang pujangga besar bernama Pangeran Karanggayam, penulis karya filosofis berjudul Serat Nitisruti yang berisi ajaran moral dan mistisme Islam Jawa.
Salah satu ungkapannya yang merepresentasikan struktur nalar mistik adalah, “bersumpahlah atas nama mati dan mempraktikkan cara bertapa ala leluhur. Tak henti melihat segala hal di
muka bumi. Langit seisinya semuanya adalah hamba Allah. Teks ini dapat ditafsirkan sebagai hasrat untuk menjauhkan kebutuhan-kebutuhan duniawi. Kebutuhan utama adalah menghadirkan
Allah di dalam jiwanya. Apabila Allah sudah hadir dalam jiwa manusia, secara otomatis kebutuhan apapun sudah tercukupi, manusia tidak akan menjadi serakah dan haus akan harta
benda maupun kekuasaan yang dapat merugikan orang lain
83
.
81
Moelyono Sastronaryatmo. Babad Jaka Tingkir – Babad Pajang, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1981, hal. 5
82
Hariwijaya. Islam Kejawen. Jogjakarta : Gelombang Pasang, 2006, hal. 203.
83
Rahmat Subagyo. Agama Asli Indonesia. Jakarta : Sinar Harapan,1981, hal.293.
34 Dalam Lingkungan Istana, Jaka Tingkir berusaha menciptakan atmosfer yang Islami,
yang ditandai dengan adanya tata tertib, sensitifitas dan estetika dengan memanfaatkan Adat Budaya Jawa seperti yang dicontohkan Sunan Kalijaga. Dikalangan istana terdapat adat walon,
yakni tata krama yang diberikan sejak kecil. Misal : cara berpakaian, cara makan, cara bergaul dengan keluarga, tetangga, orang lain, dan sebagainya. Untuk memperhalus perasaan diberikan
pelajaran kesenian dan sejumlah pendidikan seperti Pendidikan kasatupan, yaitu pendidikan pembentukan karakter yang ditempuh dengan melalui laku atau cara-cara tertentu. Hal itu sesuai
dengan upacara ngelmu iku kelakone kanthi laku artinya ilmu pengetahuan itu dapat diperoleh dengan cara yang tidak mudah. Pendidikan itu bersifat lahirah dan batiniah. Pendidikan ini
meliputi ngelmu jaya kawijayan, yakni pendidikan bertujuan agar seseorang memiliki kesaktian. Untuk mendapat tujuan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara. Seperti bertapa, berpantang,
dan berpuasa. Ngelmu pangawikan, yakni pendidikan yang bertujuan agar seseorang menguasai berbagai ilmu, misalnya, ilmu tentang menjinakkan kuda, harimau, buaya, burung perkutut, dan
benda pusaka. Ngelmu kasantikan, yakni pendidikan yang bertujuan agar seseorang memiliki kebijaksanaan dan kesempurnaan hidup. Dengan metode semacam itulah, pada akhirnya Jaka
Tingkir sebagai Penguasa Kerajaan Pajang berdakwah dengan memberi panutan kepada masyarakat bagaimana cara hidup sebagai seorang Muslim yang baik
84
.
84
Sudewa. Serat Panaitisastra : Tradisi, Resepsi dan Transformasi.Yogjakarta : Disertasi Pascasarjana UGM, 1989, hal. 45
35
B. Transisi dari Maritim ke Agraris
Pada masa Kesultanan Demak, Islamisasi banyak terjadi di wilayah Pesisir. Hal ini disebabkan karena Pantai menjadi tempat bertemunya berbagai macam kebudayaan dari luar
Nusantara. Hal tersebut berakibat pada tumbuhnya perkampungan pedagang Arab di Pesisir Utara Jawa. Dalam perkembangan selanjutnya, koloni dagang para pedagang Arab ini mulai
memberikan kontribus dalam penyebaran Islam . Hal ini mempengaruhi pula perkampungan pedagang lain yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan Asia Tenggara
85
Disadari atau tidak, tumbuhnya Bandar-bandar baru itu dimana banyak Saudagar asing yang datang untuk berdagang, turut memberikan kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi
Kesultanan Demak pada awal masa Kekuasaanya
86
. Bukan hanya menyumbang devisa terhadap negara, makin intensnya komunikasi yang
terjalin antara para penyebar islam baik itu mubaligh, kiai maupun sufi dengan para pedagang menciptakan hubungan Patron-Client, bahkan banyak diantara para saudagar yang menduduki
jabatan penting di kerajaan
87
. Tidak salah jika dikatakan bahwa, berdirinya Kesultanan Demak adalah kemenangan kelas saudagar dari Kerajaan Maritim terhadap Aristokrat Feodal pedalaman
yang menguasai Imperium Majapahit
88
. Tidak hanya berhenti menjadi Penguasa Bandar Dagang, Demak bertransformasi menjadi
Penguasa Lautan dengan menjalin Kerjasama militer bersama Kerajaan Aceh dan Kepangeranan Jepara. Pada tahun 1513, berkoalisi dengan angkatan laut Aceh, Demak melakukan penyerangan
melawan Portugis di Malaka. Mereka membawa sekitar 100 kapal perang dengan kekuatan
85
J.C van Leur,Indonesia Trade and Society. Bandung: Sumur Bandung, 1960,hlm.91
86
Mundzirin Yusuf. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit PUSTAKA, 2006,hal.33
87
J.C van Leur,Indonesian Trade and Society. Bandung: Sumur Bandung, 1960,hlm.268-284
88
Samodra Wibawa. Negara-Negara di Nusnatara : dari negara-kota hingga negara-bangsa dari Modernisasi hingga Reformasi Adminsitrasi. Yogyakarta : UGM Press,2001,hal.18
36 12.000 kelasi. Kapal laksamana pemimpin perangnya diberi panser dari kapur. Meriam yang
dibawa untuk menggempur Portugis di Malaka ini semua berasal dari Jawa. Begitu pun dengan Jepara. Dibawah pimpinan Ratu Kalinyamat, Jepara mengirimkan bantuan militer kepada
Kerajaan Aceh yang berperang melawan Portugis di Malaka
89
. Setelah Demak runtuh, kekuasaan pindah ke Pajang, di mana pusat kekuasaan beralih
dari kawasan pesisir ke kawasan pedalaman. Peralihan pusat kekuasaan tersebut memberi dampak terhadap corak pemerintahan, lambat laun kehilangan taring khas bangsa maritim dan
terkungkung dalam eksotisme budaya agraris
90
Pusat bentang alam Pajang yang asli adalah desa Pengging, yang sekarang letaknya di sekitar Boyolali. Wilayah pusat Pajang luasnya sekitar 300 km2 dan merupakan triple junction
antara kali Pepe, kali Dengkeng, dan Bengawan Solo. Kali Pepe dan Kali Dengkeng datang dari Merapi, Bengawan Solo datang dari Gunung Lawu. Bisa dibayangkan, ini adalah wilayah yang
sangat subur. Oleh karena itu masyarakat Pajang amat mengandalkan pada sumberdaya agraris yang dimilikinya. Karakter Agraris khas Jawa ini sangat dominan hingga amat menentukan
dinamika politik dibanding pulau-pulau lain di wilayah Nusantara
91
. Letak Kerajaan Pajang yang demikian, amatlah mirip seperti tipe Kerajaan-kerajaan
Hindu Kuno yang berpusat di Pedalaman, contohnya Majapahit. Kerajaan tipe ini biasanya terletak di lembah yang subur, diantara-sungai sungai dan kompleks gunung berapi di Jawa.
Penduduknya hidup sebagai Petani, di desa-desa kecil dimana sawah mereka dialiri menggunakan sistem irigasi
92
. Disini tampak jelas, ditinjau dari pemilihan lokasi, Jaka Tingkir
89
Djuliati Suroyo, Dillenia Supangat Nia Hasanah. Sejarah Maritim Indonesia I: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad ke-17. Semarang: Jeda,2007,hal.300-301
90
Askandar. Jiwa bahari sebagai warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Jakarta : Biro Sejarah Maritim,1973,hlm.68
91
M. C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008,Jakarta : Penerbit Serambi Ilmu Semesta, 2008,hal.52-53
92
Fachry Ali Bachtiar Effendy. Merambah Jalan Baru Islam. Bandung : Mizan,1986,hal.19-20
37 tidak melupakan asal usulnya sebagai keturunan Majapahit dan latar belakangnya itu ia jadikan
Legitimasi untuk memimpin kerajaannya dengan baik. Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras selama
abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendah tempat bertemunya sungai Pepe dan Dengkeng ke dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi dengan
Bengawan Solo. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjang tahun cukup untuk mengairi sawah sehingga pertanian di Pajang maju.
93
. Titik berat kehidupan adalah sebagai petani tanpa ada perimbangan sebagai pelaut. Juga
dalam konsumsi makanannya ikan dan hasil laut lainnya tidak mempunyai peran penting dibanding konsumsi beras. Gambaran rakyat Jawa saat itu juga terlihat pada keseluruhan rakyat
Nusantara, yaitu orientasi ke daratan jauh lebih besar ketimbang ke lautan
94
. Akan tetapi kehidupan ekonomi kerajaan Pajang yang terpaku pada kehidupan agraris
ternyata berlangsung untuk waktu yang lebih lama, karena Pajang kurang begitu bisa menguasai perniagaan yang berbasis laut yang pada saat itu sedang berkembang dengan pesat diwilayah
Pasundan dengan Banten sebagai pelopornya. Pergantian sifat dari Maritim ke Agraris kurang begitu membuat nama Pajang dapat bersaing dengan Demak yang dahulu menjadi wilayah transit
para pedagang. Karena Pajang berada didaerah pedalaman maka masyarakatnya tidak bisa begitu lihai menguasai wilayah lautan seperti yang dilakukan kerajaan-kerajaan sebelum Pajang.
Kehidupan ekonomi Pajang tidak bisa hanya bertumpu pada bidang pertanian, Jaka Tingkir mencoba memikirkan dengan cermat cara mengganti hilangnya pendapatan negara yang
biasanya didapatkan lewat sektor perniagaan bahari. Pada masa keemasan Demak, komoditas asal Demak yang diperdagangkan di luar negeri termasuk di kawasan Asia Tenggara, mencakup
93
Soejono Leirizza. Sejarah Nasional Indonesia Jilid V.Jakarta: Balai Pustaka,2010,hal.54
94
Kusnadi. Jaminan Sosial Nelayan.Yogyakarta : LKIS,2007,hlm.23
38 pula barang barang bernilai tinggi, seperti logam mulia emas dan perak, perhiasan, barang
tenunan, barang barang pecah belah dan berbagai kerajinan, rempah rempah, wangi wangian, obat obatan dan lain lain. Pergantian orientasi ekonomi atau kehilangan daya genggam terhadap
pelabuhan serta kota-kota martim tentu berdampak besar pada perekonomian dengan defisitnya neraca keuangan negara
95
. Jaka Tingkir memiliki inovasi baru untuk memecahkan masalah tersebut, yaitu dengan
menggenjot pertumbuhan ekonomi lewat menggalakan perniagaan berbasiskan pengembangan komoditas seni-budaya yang sofistikatif. Hal itu dapat terlihat dari bandar laweyan dimana Jaka
Tingkir mendukung berdirinya kampung kerajinan seperti Kampung Batik Laweyan, kampung mutihan dan beberapa kampung kerajinan lainnya yang membuat Pajang menjadi kerajaan yang
terkenal kala itu. Seni budaya masa Jaka Tingkir juga mendapat perhatian tatkala Demak saat itu menjadi kadipaten dibawah kekuasaan Pajang. Selanjutnya keraton Kerajaan Pajang diperindah
oleh Hadiwijaya, membangun masjid beserta makam dikampung Laweyan dan kemajuan dibidang lainnya
96
. Selain itu terjadi pula peralihan dibidang kultur budaya dari pedagang maritim yang
bersifat luwes dan kosmopolit ke petani agraris yang bersifat statis dan Feodal. Hal ini berdampak pula dalam hal religiusitas yang bersifat rasional dengan adanya pertukaran informasi
dengan adanya kegiatan maritim ke religiusitas yang bersifat mistis khas pedalaman.
97
Menghilangnya pengaruh maritim Demak yang digantikan oleh Pengaruh Agraris- Pedalaman ala Pajang yang akan bertahan terus hingga berdirinya Mataram Islam, makin
menguatkan Teori Domestikasi yang dicetuskan oleh Harry J Benda dan dikutip oleh Bachtiar
95
J.C van Leur,Indonesian Trade and Society. Bandung: Sumur Bandung, 1960,hlm.198
96
Arswendo Atmowiloto. Kitab Solo. Surakarta : Pemerintah Kota Surakarta, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,2009,hal.38
97
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi Bandung: Mizan, 1991h.30