29
2. Pemberontakan Hasan Tiro dan Lahirnya GAM
Perbedaan kedua
terkait tujuan
pemberontakan. Berbeda
dengan pemberontakan Daud Beureueh yang mulanya hanya menginginkan otonomi di
bidang pendidikan dan penerapan syariat Islam tetapi masih dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI, pemberontakan Hasan Tiro sejak awal
memang bertujuan untuk membentukan Negara Aceh yang merdeka dan terpisahkan Republik Indonesia Schulze, 2004:1.
Dalam ungkapan Sukma 2003:149, tujuan pemberontakan Daud Beureueh sama dengan pemberontakan Darul Islam Aceh yang menginginkan Indonesia
menjadi Negara Islam dan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam. Sedangkan pemberontakan Hasan Tiro bertujuan untuk memisahkan diri secara utuh dari
Indonesia. Aspirasi untuk merdeka yang memotivasi pemberontakan Hasan Tiro ini diperkuat juga oleh adanya sentimen nasionalisme Aceh, terkait dengan konstruksi
identitas Aceh yang berdasarkan pada etnik, bahasa, kultur, sejarah dan geografi Miller, 2008:12.
Pemberontakan Hasan Tiro ini dipicu oleh ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat Aceh dalam hal pengelolaan sumber daya alam Aceh oleh Pemerintah Pusat, di
samping didorong pula oleh sentimen nasionalisme etnik ethno nasionalism yang bertumpu pada kekhasan Aceh dalam hal sejarah, etnisitas, kultur, dan geografi.
Sentiment nasionalisme etnik ini tercermin dari bagaimana Hasan Tiro menarik garis perbedaan tegas antara Indonesia dan Aceh dengan cara menyebut rakyat Aceh
sebagai “bangsa Aceh”. Dengan frasa “bangsa Aceh” ini Hasan Tiro bermaksud
30
memperkenalkan konsep bangsa Aceh sebagai lawan dari bangsa Indonesia Kawilarang, 2008:157.
Pemberontakan Hasan Tiro ini terjadi pada saat Pemerintahan Soeharto, yang mana rezim ini terfokus pada masalah pembangunan ekonomi yang membutuhan
stabilitas politik, sehingga Pemerintah Pusat tidak pernah menolerir adanya aspirasi daerah yang menuntut otonomi, apalagi memisahkan diri. Oleh karena itu, tidak lama
setelah Hasan Tiro memproklamasikan Gerakan Aceh Merdeka GAM, Pemerintah Pusat mengambil langkah tegas, yaitu dengan melancarkan tindakan militer atau hard
power. Sejak Hasan Tiro melancarkan pemberontakan terhadap Pemerintahan Pusat
dengan mendeklasikan GAM dan sebelum tercapai perdamaian pada tahun 2005, ada fase-fase penting yang dialami oleh GAM Schulze, 2004:4.
Pertama, periode kelahiran 1976-1989, ketika GAM masih merupakan sebuah kelompok kecil yang beranggotakan kira-kira 70 orang tetapi memiliki ikatan
ideologi yang kuat. Anggota GAM saat itu terdiri dari orang-orang terdidik, seperti dokter, insinyur, akademi, dan pengusaha. Untuk mematahkan pemberontakan ini,
Soeharto melancarkan operasi militer, sehingga banyak anggota organisasi ini yang tewas dan pemimpinnya banyak yang dipenjara atau melarikan diri. Pada periode ini,
akibat oprasi militer yang keras dari Pemerintah Pusat, pengikut GAM tercerai-berai ke berbagai tempat dan mulai melakukan gerakan bawah tanah. Pada tahun 1986
banyak pemuda Aceh yang dikirim oleh Hasan Tiro untuk mengikuti pelatihan militer di beberapa Negara asing termasuk Libya Schulze, 2004:14. Hal ini dikarenakan
31
Pemerintah Pusat mengirimkan ribuan pasukan ke Aceh dan tidak ada dukungan internasional terhadap GAM, hingga pada akhirnya Hasan Tiro pindah ke Swedia dan
menjadi warganegara disana. Kedua, periode kebangkitan GAM 1989-1998. Pada tahun 1989 banyak
pemuda Aceh yang telah mengikuti pelatihan militer di Libya kembali ke Aceh dan bergabung dengan GAM. Dengan kembalinya pejuang-pejuang yang terampil secara
militer ini GAM mulai mengkonsolidasikan organisasinya, terutama penentuan struktur dan garis komando organisasi di Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh
Timur. Para alumni Libya ini juga merekrut dan melatih ratusan anggota baru mengenai kemiliteran, sehingga jumlah pengikut GAM bertambah banyak. Pada
tahun inilah perlawanan GAM secara militer menunjukkan peningkatan, sehingga Pemerintah Pusat melancarkan Operasi Jaring Merah dan menjadikan Aceh sebagai
Daerah Operasi Militer DOM. Selama DOM ini militer Indonesia menjalankan operasi pembersihan terhadap penduduk atau desa yagn dicurigai memberikan
bantuan logistic dan tempat perlindungan bagi para gerilyawan GAM. Operasi seperti ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi penduduk desa, agar tidak
memberikan dukungan kepada GAM Schulze, 2004:4. Ketiga, Periode kematangan GAM 1998-2005. Pada periode ini perlawanan
GAM berkurang secara signifikan pada 1991. Pada tahun ini, akibat operasi militer Pemerintahan Pusat yang keras, dapat dikatakan GAM sebenarnya sudah habis.
Namun demikian, GAM masih bias eksis karena GAM masih memiliki pemimpin- pemimpin mereka di pengasingan yang terus memperjuangkan kemerdekaan Aceh.
32
Di samping itu, GAM masih bias menyuarakan kemerdekaan Aceh karena beberapa pemimpin mereka melancarkan perjuangan dari Negara tetangga, Malaysiam dengan
dukungan orang Aceh yang tersebar di berbagai tempat di luar negeri. Sekalipun secara fisik keberadaan GAM di Aceh jauh berjurang, tindak kekerasan yang
dilakukan tentara justru melahirkan generasi baru di Aceh yang bersimpati terhadap GAM. Generasi baru inilah yang kelak, ketika Soeharto jatuh pada 1998, menjadi
motor penggerak bagi gerakan massa yang mendesak Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan konflik Aceh.
D. Resolusi Konflik Aceh Oleh Pemerintah RI