penduduknya adalah Desa Selowogo dengan jumlah 4.279 jiwa dan yang paling sedikit adalah Desa Patemon sebanyak 2.258 jiwa.
Potensi sektor pertanian Kecamatan Bungatan yang memberikan kontribusi besar diantaranya produksi dari pertanian tanaman pangan, padi,
palawija dan peternakan. Produksi pertanian tanaman pangan diantaranya padi sawah, jagung, padi lading, ubi kayu dan kedelai. Di beberapa lokasi untuk lahan
tegal sistem penanaman dilakukan dengan tumpangsari. Jumlah produksi tanaman padi di Kecamatan Bungatan sebesar 144.755 kwintal dari hasil panen seluas
1.937 Ha. Tanaman perkebunan yang potensial di Kecamatan Bungatan meliputi tembakau, kelapa, tebu, asam jawa dan pinang. Sub sektor peternakan khususnya
ternak sapi diantaranya ternak sapi, kambing dan domba. Di Kecamatan Bungatan khusus untuk pelaku budidaya kerapu HSRT terdapat 44 HSRT dan 8 hatchery
skala perusahaan, yang tersebar di Desa Bletok, Desa Bungatan dan Desa Pasir Putih. Nilai produksi benih kerapu dapat mencapai kisaran 10.000
– 1.500.000 ekor. Dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Situbondo yang
wilayahnya juga terdapat budidaya kerapu, Kecamatan Bungatan dinilai yang paling cocok untuk pembenihan kerapu dari segi iklim dan memiliki perairan laut
yang tenang dibandingkan kecamatan lain seperti Kecamatan Panarukan, Kecamatan Kendit, Kecamatan Besuki dan Kecamatan Banyuglugur.
4.1.3 Undang-undang tentang Perikanan
Potensi perikanan yang dimiliki merupakan potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan
nasional. Pemanfaatan secara optimal diarahkan pada pendayagunaan sumber daya ikan dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan kelestariannya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, meningkatkan penerimaan dari devisa negara,
menyediakan perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing hasil perikanan serta menjamin kelestarian sumber daya
ikan, lahan pembudidayaan ikan serta tata ruang. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan harus seimbang dengan daya dukungnya,
sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat secara terus menerus. Salah satunya dilakukan dengan pengendalian usaha perikanan melalui pengaturan
pengelolaan perikanan. Oleh karena itu, dibutuhkan dasar hukum pengelolaan sumber daya ikan
yang mampu menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dan teknologi. Kehadiran
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan diharapkan dapat mengantisipasi sekaligus sebagai solusi terhadap perubahan yang sangat besar di
bidang perikanan, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode
pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern. Pemerintah sendiri mengatur perihal pembudidayaan ikan dengan Undang-
undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada: a. Pasal 15A tentang pengendalian mutu induk dan benih ikan budidaya.
b. Pasal 18 tentang pengaturan dan pembinaan tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan.
c. Pasal 23 tentang bahan-bahan untuk pengolahan ikan budidaya. d. Pasal 25 terkait pelaksanaan sistem bisnis dan produksi ikan budidaya.
e. Pasal 25A tentang ketentuan standar mutu hasil perikanan budidaya. f. Pasal 25B tentang pemerintah yang wajib memfasilitasi kegiatan pemasaran
usaha perikanan baik di dalam maupun luar negeri. g. Pasal 25C terkait sumber penggunaan bahan baku, tenaga kerja dan kemitraan
antar pembudidaya. Namun pada kenyataannya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan saat ini masih belum mampu mengantisipasi perkembangan teknologi serta perkembangan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan
pemanfaatan potensi sumber daya ikan dan belum dapat menjawab permasalahan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa substansi,
baik menyangkut aspek manajemen, birokrasi, maupun aspek hukum. Kelemahan pada aspek manajemen pengelolaan perikanan antara lain belum terdapatnya
mekanisme koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan perikanan.
Sedangkan pada aspek birokrasi, antara lain terjadinya benturan kepentingan dalam pengelolaan perikanan. Kelemahan pada aspek hukum antara lain masalah
penegakan hukum, rumusan sanksi, dan yurisdiksi atau kompetensi relatif pengadilan negeri terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar
kewenangan pengadilan negeri tersebut.
4.1.4 Deskripsi