60
2. Status Nasab Anak Dalam Perkawinan Wanita Hamil Menurut KHI
Dengan kebolehan wanita hamil melangsungkan perkawinan seperti Pasal 53 ayat 1, 2 dan 3 KHI, maka timbul satu masalah penting, yakni pada
penentuan nasab anak yang dilahirkan. Untuk mengantisipasi hal terscbut, KHI sebenamya tidak menyodorkan konsep redaksi yang tegas untuk
memberikan penyelesaian hukumnya. Tetapi apabila dipahami dari Pasal 99 poin a, KHI menyatakan bahwa
anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, bahwa pasal ini berarti mengakui kawin hamil. Pemahaman ini diambil dari teks Pasal
tersebut anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam, ini memberikan isyarat bahwa ada wanita hamil. Kemudian dalam masa hamilnya dia kawin
dengan laki-laki, lalu dalam masa perkawinan tersebut lahir anak, anak tersebut dmyatakan anaknya. Dengan demikian, jelas kawin hamil telah
dinyatakan boleh sebelumnya, Mengenai status nasab anak yang lahir juga dapat menjadi anak yang sah
dari laki-laki yang mengawimnya, Hal ini dipahami dari teks anak yang sah yaitu anak sah dari suami ibunya. Jika demikian, berarti anak tersebut
mempunyai nasab kepada suami ibunya
12
.
Status nasab anak dalam
perkawinan juga telah diatur dalam Undang- Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 92. Undang-
12
Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan No 1 1974, Jakarta: Tinta Mas, 1996, h. 125
61
Undang ini merupakan dasar hukum dalam melangsungkan perkawinan di Indonesia.
3. Korelasi Pendapat Para Imam Mazhab Dengan KHI Tentang
Perkawinan Wanita Hamil
Menyoroti pendapat para imam mazhab tentang keabsahan perkawinan wanita hamil dan menghubungkannya dengan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia tampak keduanya masih bias dikatakan sealan. Hal ini apabila mengambil pendapat Imam Hanafi dan Imam Syafii. Inti pendapat tersebut
adalah kebolehan perkawinan wanita hamil. Adapun status nasab anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil
dalam KHI dinasabkan kepada suami ibunya hal ini sejalan dengan pendapat Imam Hanafi yang mengaitkan nasab
anak kepada pemilik bibit secara umum.
Perbedaannya adalah, apabila ternyata pemilik bibit itu bukan orang yang mengawini wanita hamil itu. Imam Hanafi menghubungkannya bukan
kepada laki-laki yang mengawininya, tetapi kepada pemilik bibit yang menyebabkan lahirya anak tersebut
13
. Sedangkan KHI tetap menghubungkan nasab anak kepada laki-laki yang
mengawini wanita hamil tersebut Dengan demikian, penulis melihat bahwa pembuat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mencerminkan sikap kehati-
hatian, terikat sepenuhnya dengan hokum Islam, tetapi tidak mengacu kepada
13
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan kompilasi hukum islam Bandung: Citra Umbara, 2007, h. 263
62
fiqh mazhab tertentu. Jika melihat kepada pendapat imam mazhab dan KHI yang berlaku di Indonesia, maka dalam hal status perkawinan wanita hamil
dengan lakilaki, KHI lebih bersifat kehati-hatian, yang hanya membolehkan kawin dengan laki-laki yang mcnghamilmya.
Bagaimana kalau perkawinannya itu dilangsungkan dalam keadaan hamil tua, maka pendapat Imam Syafii lebih menyelematkan kepada status anak.
Karena menurut Imani Syafii bahwa pengakuan status anak itu ditentukan dengan masa kehamilan dalam perkawinannya dengan seorang laki-laki, yaitu
apabila perkawmannya itu adalah enam bulan, lalu anak lahir, maka anak tersebut memiliki hubungan nasab kepada suaminya. Seandainya kurang dari
enam bulan, maka nasab anak rersebut dihubungkan kepada ibunya. Sedangkan dalam KHI tidak ada menyebutkan usia kehamilanya, mi
berarti bahwa apabila seorang wanita hamil kemudian kawin dengan laki-laki maka anak yang dalam kandungannya adalah anak laki-laki yang
mengawininya. Ini berarti KHI sejalan dengan pendapat Imam Hanafi yang mengajLtkan nasab anak kepada pemilik bibitnya. Hanya saja Imam Hanafi
membolehkan kawin dengan laki-laki yang bukan menghamilinya. DaliI
Yang Dipergunakan Para
Ulama dalam Mendukung Pendapatnya Para ulama menggunakan dalil Alquran dalam menentukan hokum status
perkawinan wanita hamil, terutama bagi Imam Hanafi dan Imam Syafii, yaitu memahami AIquran pada surah An-Nur ayat 2. Sedangkan Imam Malik dan
Imam Ahmad bin Hanbal tidak memahami ayat tersebut, tetapi
63
memberlakukan dalil lain. Karenanya terjadilah perbedaan dalam menentukan hukum status perkavinan wanita hamiL Hanbal
Disamping dalil Alquran, para ulama menggunakan hadis Nabi
Muhammad
SAW. baik dalam menentukan status perkawinan, status nasab anak maupun akibat hukum yang timbul. Baik Imam Hanafi dan SyafiI
yang membolehkan perkawinan wanita hamil, maupun Imam Malik dan Imam Abroad bin Hanbal yang melarang perkawinan wanita hamil,
mereka menggunakan dalil atau alasan dari hadis-hadis Nabi SAW. Tetapi hadts-hadis yang dipergunakan berbeda bunyinya, sehingga berbeda pula
kesimpulan hukumnya. Di samping kedua dalil tersebut Alquran dan hadis para ulama
mempergunakan
ijtihad. Penggunaan ijtihad tampak terlihat ketika menentukan status nasab anak. Jumhur ulama berijtihad dengan
memahami lafaz nikah dalam ard secara istilahi sedangkan Imam Hanafi memahami dalam arti hakiki.
Dalil-dalil yang dipergunakan oleh para ulama dalam mendukung pendapat dan nya itu sesuai dengan dasar-dasar istinbath hukum
Islam
yang ditetapkan oleh konsensus ulama. Memperhatikan dalil-dalil atau alasan yang dipergunakan oleh para ulama dan KHI, maka pendapat ulama
dan KHI yang membenarkan perkawinan wanita hamil, walaupun dengan laki-laki yang menghamilinya, maka janganlah kawin hamil semakin
terbiasa, tetapi semestinya rasa tabu bagi pelakunya. Sebenamya pendapat
64
para ulama dan KHI. hanya memberikan jalan keluar bagi mereka yang telah terlanjur hamil sebelum menikah. Ini bukan berarti memberikan
peluang untuk hamil
sebelum
menikah berbuat zina, sebab perbuatan zina suatu perbuatan yang sangat jahat dan dosa besar.
C. Status