Tinjauan hukum Islam dan hukum positif terhadap pemerkosaan dalam rumah tangga sebagai alasan perceraian

(1)

SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)

OLEH:

ZUL HAMDI BAKRI TANJUNG 105044101394

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) Oleh:

Zul Hamdi Bakri Tanjung NIM : 105044101394

Pembimbing

Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP : 195505051982031012

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr Wb

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah senantiasa memberikan rahmat ynng berlimpah kepada penulis, sehinnga penulis diberikan kemampuan, kekuatan, serta ketabahan hati dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan shalawat beriring salam tidak lupa penulis haturkan kepada junjungan besar kita Baginda Rasulullah SAW yang telah membawa kita dari alam gelap yang nista ke alam yang penuh limpahan cahaya.

Kini adalah saat yang dinanti-nanti, sebuah perjalanan panjang penuh perjuangan, dan dengan pengorbanan, serta kesabaran, penulis mampu menyelesaikan kuliah di kampus tercinta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalamnya dan masih jauh dari kesempurnaan dalam hal ini tidak terlepas dari sifat manusia yang penuh salah dan lupa.

Selanjutnya penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih atas bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga selaku Dosen


(4)

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H. M.A, dan Bapak Kamarusdiana S.Ag. Masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Al-ahwal Al-syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menularkan ilmunya.

4. Seluruh staf karyawan dan karyawati Fakultas Syariah dan Hukum, Akademik Pusat, Perpustakaan Syariah dan Hukum, dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis, yang selalu memberikan kasih sayang dan ridhonya serta tak henti-hentinya memberikan motivasi. Tarimo Kasih Umak... Tarimo Kasih Ayak…

6. Kepada kakakku Khoiriyah Shofiyah, dan kedua adikku Ahmad Iqbal dan Irham Fuadi jadilah orang yang berguna, dan raihlah mimpi-mimpi kalian serta tunjukkan yang terbaik buat keluarga, agama, dan negara.

7. Kepada Uda Hasyim dan Nanguda, Uda Fakhruddin dan Nanguda, Amangboru

Sahrul, Bou Nanni, Bou Nisma, terimakasih atas dukungan kalian baik moril ataupun materi. Dan kepada koum-koum sudena na mandukung parjuangan on.

8. Kepada kawan-kawan di PA-A, Andre, Maday, Sugi, Zaki, Haris, Danu, Dheni dan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, akan tetapi penulis tidak akan lupa dengan kalian semua. Kepada kawan saya di Komunitas


(5)

kawan di IKA-DM, Bang Yasser, Bang Taufik, Fai, Imam, Hendra Sakti, KM, Ismar, Affan Icha, Ade, May, dan Aniyah terima kasih atas support dan doanya. Dan kepada kawan-kawan IKA-MAN 1 Padangsidimpuan Bre Zaki, Erpina, Erviani, Dewi, Indra, Izhari, Capin, dan lain-lain terimakasih atas supportnya. Serta kepada seluruh kawan-kawan KOMPASS, HIMLAB, HIMAPALAS, HM-MADINA, terima kasih atas dukungannya.

Dan kepada semua pihak yang membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, sehinnga tulisan ini selesai. Hanya doa dan ucapan terima kasih yang bisa penulis lakukan. Semoga segala bantuannya diterima sebagai amal ibadah disisi Allah SWT. Dan memperoleh balasan pahala yang berlipat ganda. Dan mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr,Wb

Jakarta: 6 Agustus 2010 M

26 Sya’ban 1431 H


(6)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Metode Penelitian ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II PEMERKOSAAN DALAM RUMAH TANGGA A. Pengertian Pemerkosaan ... 10

B. Macam-macam Pemerkosaan... 23

C. Sebab Pemerkosaan dan Dampaknya... 26

D. Penanggulangan Pemerkosaan ... 35

BAB III PEMERKOSAAN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG B. Pengertian dan Macam-macam Perceraian ... 41

C. Tata Cara dan Prosedur Perceraian ... 54

D. Pemerkosaan Sebagai Alasan Perceraian dan Cara Penanggulangannya ... 60

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 69

B. Saran... 70 DAFTAR PUSTAKA


(7)

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sebuah pernikahan, setiap pasangan suami istri selalu mendambakan keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Karena tujuan pernikahan ialah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang kekal tentu harus didasari oleh rasa kasih sayang dan saling pengertian antara suami dan istri. Akan tetapi pada kenyataannya banyak terlihat fenomena-fenomena di masyarakat, sering terjadi pertengkaran antara suami istri yang mungkin karena masalah kecil seperti, tidak saling memahaminya antara pihak, sehingga menimbulkan perceraian (talak), yang tidak disukai oleh Allah SWT.

Dalam setiap perceraian pasti ada alasan yang menjadi faktor penyebabnya. Dalam beberapa tahun belakangan ini, banyak terjadi perceraian akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau yang sering disebut (KDRT). Ada pun pengelompokan dari kekerasaan dalam rumah tangga yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Dalam istilah yang berkembang di masyarakat akhir-akhir ini, kekerasan seksual bisa juga disebut, marital rape, pemerkosaan dalam perkawinan, pemerkosaan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya. Akan tetapi untuk pembahasan ini, kami memfokuskannya dalam istilah pemerkosaan dalam rumah tangga saja.


(8)

Pemerkosaan dalam rumah tangga adalah hal yang masih belum banyak dikenal oleh sebagian masyarakat. Mungkin hal ini didasari oleh kebiasaan dan kultur budaya di sebagian masyarakat Indonesia yang belum memahami secara jelas apa itu pemerkosaan dalam rumah tangga. Pada dasarnya pemerkosaan ialah suatu bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh laki-laki atau perempuan. Kekerasan seksual ini bisa dilakukan laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya. Namun yang umum terjadi pelakunya adalah lelaki1.

Perkosaan merupakan perbuatan memaksa dalam melakukan hubungan senggama, baik dengan cara persuasif maupun represif. Singkat kata, perkosaan adalah persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, antara laki-laki dengan laki-laki (homoseksual), perempuan dengan perempuan (lesbian), yang dilakukan tidak atas dasar kesukarelaan dan sarat dengan pemaksaan.

Perkosaan bisa diidentifikasi setidaknya menjadi empat macam yaitu:

Pertama, perkosaan dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban, bisa teman, pacar, rekan kerja, anggota keluarga maupun tetangga. Namun bukan berarti tertutup kemungkinan perkosaan dilakukan oleh orang asing yang tidak dikenal korban. Kedua, perkosaan saat kencan. Perkosaan yang dilakukan oleh pacar atau teman dekat saat sedang kencan. Ketiga, perkosaan dengan ancaman halus. Perkosaan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada korban. Seperti majikan terhadap pembantu, atasan terhadap

1

Mahyuddin Abdusshomad, ”Perkosaan dalam Rumah Tangga?”, artkel diakses pada 20 September 2009 dari http//www.rahima.or.id.


(9)

bawahan, guru terhadap murid, polisi terhadap tahanan dan lain sebagainya. Dan, biasanya, perkosaan itu dilakukan dengan cara bujuk rayu, mengumbar janji dan tipu muslihat. Keempat, perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau mungkin juga sebaliknya, dengan cara memaksa untuk minta dilayani melakukan hubungan badan, tanpa melihat dan mempertimbangkan kesediaan dan kesiapan pasangannya2.

Perkosaan dalam perkawinan atau lazim juga disebut dengan "marital rape" dalam kebiasaan dan budaya hubungun seksual di Indonesia relatif tidak begitu populer. Perkosaan diasumsikan dengan perbuatan cabul seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara memaksa untuk melampiaskan dorongan hawa nafsu seks. Perbuatan itu dilakukan tidak dengan kesediaan dan juga tidak dalam konteks rumah tangga. Terlihat sekali bahwa definisi perkosaan mengalami reduksi. Dan perkosaan dalam rumah tangga tidak dimasukkan dalam kategori perbuatan ini. Maka dari itu, perkosaan dalam rumah tangga masih tergolong kontroversial.

Walaupun demikian, dewasa ini ada di antara kaum perempuan Indonesia cukup gigih untuk memperjuangan wacana bahwa jika suami yang memaksa istri melayani nafsu birahinya padahal istri tidak bersedia melakukannya dengan sukarela dengan alasan isteri mempunyai uzur, maka hal itu termasuk perkosaan

2

Adrina Taslim et.al,: 30-33, “Pemerkosaan dalam Rumah Tangga”, artikel di akses pada 11 September 2009 dari www.rahima.or.id


(10)

dalam rumah tangga. Pemekaran definisi tersebut berangkat dari rumusan bahwa segala hubungan seksual yang ditandai dengan pemaksaan adalah perkosaan.

Menyikapi permasalahan pemerkosaan dalam rumah tangga sebagai alasan perceraian, dan bagaimana Fikih dan Undang-Undang menanggapinya dan adakah solusi tentang penanggulangan dan penyelesaiannya.

Maka untuk itu, penulis tertarik untuk membahas masalah ini dengan penelitian skripsi berjudul: “TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PEMERKOSAAN DALAM RUMAH TANGGA SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, perlu dibatasi masalah yang akan diteliti, sehingga pembatasan permasalahan yang akan dibahas, tidak keluar dari sasaran yang hendak dicapai. Dalam penulisan skripsi ini hanya meneliti tentang apakah pemerkosaan dalam rumah tangga dapat dijadikan alasan perceraian menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Sedangkan akibat dari perceraian dan lainnya tidak menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini. 2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalahnya ialah, dalam Hukum Islam tidak mengatur pemerkosaan dalam rumah tangga sebagai alasan perceraian, sedangkan dalam Hukum Positif, pemerkosaan dalam rumah tangga


(11)

dikategorikan ke dalam kekerasan seksual, yang diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Serta di dalam KHI dan Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur alasan pemerkosaan dalam rumah tangga sebagai alasan perceraian. Dan dalam kenyataannya, sebagian masyarakat sudah menganggap ini sebagai masalah, dan sebagian lagi belum mengerti akan hal ini. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas masalah ini.

Dan rumusan masalah tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa faktor penyebab pemerkosaan dalam rumah tangga dan dampak negatifnya ?

2. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap pemerkosaan dalam rumah tangga sebagai alasan perceraian ?

3. Bagaimana cara menanggulangi pemerkosaan dalam rumah tangga ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap pemerkosaan dalam rumah tangga sebagai alasan percerian.


(12)

b. Untuk mengetahui faktor penyebab dan dampak negatif dari pemerkosaan dalam rumah tangga .

c. Unutuk mengetahui cara menanggulangi pemerkosaan dalam rumah tangga.

d. Untuk mengetahui cara penyelesaian atau perdamaian perceraian.

e. Disamping tujuan yang bersifat akademisi, skripsi ini juga menjadi persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Syariah pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Manfaat Penelitian

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi:

a. Perkembangan Hukum Islam dan Hukum Positif dibidang perkawinan dan perceraian.

b. Bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan golongan akademisi pada khususnya dalam memahami tentang masalah perceraian akibat pemerkosaan dalam rumah tangga.

c. Bermanfaat bagi penulis guna menambah wawasan dan pemahaman tentang masalah perkawinan dan perceraian.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode-metode yang umumnya berlaku dalam penelitian, yaitu:


(13)

Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, literatur-literatur dan yang ada relevasinya dengan judul skripsi ini.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, dalam pengertiannya tidak sekedar menyimpulkan dan menyusun data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi dari data-data yang berhubungan dengan pemerkosaan dalam rumah tangga. 3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif. Pendekatan yuridis yang peneliti gunakan dalam melihat obyek hukum ialah yang berkaitan dengan produk perundang-undangan yaitu UU RI No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Adapun pendekatan normatif dilakukan dengan mendasarkan Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang menjelaskan tentang masalah-masalah yang terjadi dalam rumah tangga. 4. Sumber Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:

a. Data Primer

Data yang digunakan adalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga b. Data Sekunder


(14)

Data yang diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan, seperti buku buku, majalah, surat kabar, internet, dan referensi lain yang mendukung judul skripsi ini.

5. Analisis Data

Dalam proses analisa data, penulis menggunakan metode induktif yaitu pengkajian yang bertitik tolak dari kaidah-kaidah yang bersifat khusus yang kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.

Mengenai tekhnik penulisan, penulis menggunakan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007 cet.1, dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan dan dengan beberapa pengecualian:

1. Penulisan ayat-ayat Al-Qur’an tidak memakai foot note, hanya menyebutkan nama surat dan ayatnya serta diberi syakal dan diberi arti atau terjemahan. 2. Kutipan-kutipan yang diambil dari ejaan lama disesuaikan dengan ejaan yang

disempurnakan, kecuali nama orang ditulis sesuai dengan aslinya. 3. Setiap terjemahan Al-Qur’an dan Al-Hadits diketik satu spasi.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini ditulis dalam empat bab, dengan penjelasan pada masing-masing bab tersebut. Adapun sistematika penulisan ini adalah:


(15)

BAB I Adalah bab pendahuluan yang memuat tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan yang terakhir adalah sistematika penulisan

BAB II Bab ini menjelaskan tentang tinjauan umum pemerkosaan dalam rumah tangga yang di dalamnya terdapat; pengertian pemerkosaan, macam-macam pemerkosaan, sebab dan dampaknya, serta penanggulangannya.

BAB III Bab ini menjelaskan tentang pemerkosaan sebagai alasan perceraian menurut Fikih dan Undang-Undang yang di dalamnya terdapat pengertian dan macam-macam perceraian, syarat sah dan tata cara perceraian, dan pemerkosaan sebagai alasan perceraian dan penanggulangannya.

BAB IV Bab ini memebahas kesimpulan yang di dalamnya terdapat intisari dari pembahasan penelitian, serta ditambah dengan saran guna menambah kesempurnaan penelitian.


(16)

A. Pengertian Pemerkosaan

A.1. Pemerkosaan dalam rumah tangga menurut pandangan hukum Islam

Di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan istilah yang menunjukkan pemerkosaan, baik itu perkosaan di luar perkawinan maupun dalam perkawinan. Al-Qur’an hanya mengenal istilah zina, yakni hubungan seks dengan selain pasangan yang sah secara hukum. Istilah ini mengakomodasi pemerkosaan dalam arti umum karena sama-sama dilakukan di luar nikah dengan tingkat ancaman yang lebih berat karena pemaksaan yang menyertainya dianggap satu bentuk kejahatan. Tetapi tidak menjangkau pemaksaan oleh seorang suami.1

Dalam ikatan perkawinan hubungan suami istri (seks) adalah suatu yang halal tetapi tidak sampai membolehkan kekerasan-kekerasan yang kemungkinan dapat menyertainya. Kedua hal ini harus dipisahkan, karena sangat jauh berbeda. Membolehkan hubungan seks dalam ikatan perkawinan adalah mendukung kelangsungan hidup manusia dan sangat manusiawi, sementara membolehkan kekerasan bukan hanya tidak manusiawi akan tetapi pada tingkat kualitasnya yang tertinggi ia menghentikan derap langkah manusia itu sendiri. Dengan pandangan ini, dapat diduga bentuk ancaman sanksi yang dapat diterapkan. Apabila hal itu terjadi,

1

Alimin M, Bercinta Dalam Ungkapan Kitab Suci (Titik temu Konsep Marital Rape dengan Gagasan Qur’ani), Ahkam VII, No.15 (2005), h.66.


(17)

maka pelakunya semestinya diancam karena kekerasan atau pemaksaan yang dilakukannya. Hal ini dapat dianalogikan dengan tindakan pemerkosaan. Dalam mayoritas pandangan ulama, pelaku tindak pidana pemerkosaan diancam dengan hukuman: Pertama, pelaku tindak pemerkosaan diancam dengan rajam, karena ia telah melakukan zina (apabila dia sudah menikah, sedangkan yang belum menikah di cambuk). Kedua, ia diancam hukuman karena tindak pidana pemaksaan. Dari kedua ancaman tersebut ancaman pertama tentu saja tidak mungkin dijatuhkan kepada suami, sebab hubungan mereka adalah sah dan legal dan tidak mungkin dikategorikan zina. Namun pemaksaannya, tidak berbeda dengan pemaksaan yang dilakukan dalam sebuah pemerkosaan.2

Dalam buku Marital Rape (kekerasan seksual terhadap isteri) yang ditulis oleh Milda Marlia, pemerkosaan dalam rumah tangga harus dilihat dari dua segi, yaitu:

1. Kesamaan hak laki-laki dan perempuan

Terkait dengan relasi laki-laki dan perempuan, Islam mengakui dan mengajarkan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan (sexual equality). Sejumlah ayat Al-Qur’an menegaskan tentang hal ini:

QS Al-Hujurat: 13:

2 Ibid


(18)

Artinya:

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dan, QS An-Nahl ayat 97:

☺ ☯

Artinya:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Dari beberapa ayat Al-Qur’an di atas dapat diambil pelajaran bahwasanya Islam sangat menjunjung tinggi kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Ia tidak hendak melestarikan tatanan kesadaran dan sosial masyarakat Arab, tetapi justru mendekonstruksi pilar-pilar peradaban, kebudayaan, dan tradisi diskriminatif-misioginis yang sekian lama diprektikkan.

Dalam banyak praktik hukum, perempuan dinilai separo dari harga laki-laki. Oleh Islam pandangan dan praktik misoginis-diskriminatif itu diubah dan diganti


(19)

dengan pandangan dan praktik yang adil dan manusiawi. Islam secara bertahap mengembalikan otonomi perempuan sebagai manusia merdeka.3

Para ahli tafsir menyatakan, qawwam berarti pemimpin, penanggung jawab, atau, pengatur dan pendidik. Penafsiran semacam ini memang tidak perlu kita persoalkan lagi. Akan tetapi, secara umum, para ahli tafsir berpendapat, superioritas laki-laki adalah mutlak. Superioritas ini diciptakan Tuhan hingga tidak bisa diubah. Kelebihan laki-laki atas perempuan, menurut ahli tafsir dikarenakan kapasitas akal dan fisiknya.4

Superioritas tersebut kini tidak bisa dipertahankan sebagai suatu yang berlaku pada umum dan mutlak. Artinya, tidak setiap laki-laki pasti lebih berkualitas ketimbang perempuan. Superioritas laki-laki atas perempuan tidak saja dipandang sebagai bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan universal, melainkan juga ditentang oleh fakta-fakta sosial, dan ini menjadi keniscayaan tak terbantahkan.5

Zaman sudah berubah, kini jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-laki dan tugas yang dianggap dulu hanya bisa dikerjakan dan milik lelaki-laki sudah bisa dikerjakan oleh perempuan. Di berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, dan sosial banyak perempuan yang berhasil dalam karir kepemimpinan domestik maupun publik. Oleh karena itu, karekteristik yang menjadi dasar argumen bagi

3

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKIS, 2001), h.19.

4

Ibid, h.20-21. 5


(20)

superioritas laki-laki bukanlah sesuatu yang tetap dan berlaku terus. Ia merupakan produk satu episode saja dari proses sejarah yang terus berkembang dan bergerak dari nomaden menjadi menuju kehidupan tetap (modern), dari ketertutupan menuju keterbukaan, dari kebudayaan yang tradisional menuju kebudayaan yang rasional, dan dari pemahaman tekstual menuju pemahaman substansial.6

2. Seksualitas

Di antara yang diberikan Allah kepada manusia adalah potensi seksual yaitu kekuatan untuk melakukan hubungan seksual, termasuk juga nafsu seks. Nafsu sahwat tercipta seiring dengan penciptaan manusia, dan karenanya ia menjadi sesuatu yang alami dan naluriah dalam diri manusia. Sebagai naluri, nafsu seks ini tentunya akan mendorong pemiliknya untuk memiliki orientasi dan prilaku seksual.7 Akan tetapi, Islam tidak membiarkan begitu saja dorongan seks ini terpenuhi tanpa terkendali. Ada lembaga perkawinan yang melegitimasi aktivitas seksual, agar pelaksanaannya mempunyai nilai tersendiri ketimbang sebuah pelampiasan.8

Secara umum bisa dikatakan, pernikahan laki-laki dan perempuan adalah membina rumah tangga yang bahagia yang berdasarkan pada prinsip yang mulia.

Pertama, dalam rangka membangun ketaatan kepada Allah, sehingga di sini seks

6 Ibid 7

Hamim Ilyas, Orientasi Seksual dari Kajian Islam, dalam S. Edy Santosa, Islam dan Konstruksi Seksualitas, (Yogya: PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, The Ford Foundation dan Pustaka Pelajar, 2002), h.81-82.

8

Andy Dermawan, Marital Rape dalam persfektif Al-Qur’an, dalam Mochamad Sodik (ed), Telaah Ulang Wacana Seksualita, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, Depag RI, dan McGill-IIsep-CIDA, 2004), h.311.


(21)

menjadi sebuah ibadah. Kedua, pernikahan adalah untuk mewujudkan ketentraman (sakinah), rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah), dan seks di sini menjadi kebahagian bersama yang manusiawi. Dan ketiga, saran menciptakan kehidupan yang bersih dari prilaku yang hanya menuruti hawa nafsu belaka, sehingga seks di sini mempunyai makna membangun kualitas komunikasi. Jadi selain berorientasi ibadah, seks juga dimaknai sarana membangun generasi yang baik. Seks adalah sesuatu yang bersih dan bertujuan mulia.9

Dalam kehidupan berumah tangga, tidak hanya suami yang membutuhkan seks, isteri pun tidak bisa membunuh naluri dasariahnya tersebut. Pada dasarnya, seks adalah kebahagian bersama. Salah besar bila menempatkan perempuan (isteri) hanya sebagai objek seks semata.10 Kondisi sakit, capek, tidak mood, dan bahkan menstruasi bukanlah alasan membenarkan penolakan isteri atas ajakan suami untuk berhubungan badan. Diakui atau tidak, suami relatif kurang begitu mempertimbangkan berbagai hal terkait kondisi fisik dan psikis isteri saat hendak mengaj

ak isteri bersetubuh.11

Di sinilah kita harus memperbaharui pemahaman dan penafsiran kita terhadap Al-Qur’an dan Hadis agar lebih mendekati pesan sejati keduanya. Terkait hubungan seksual suami isteri, Al-Qur’an melalui pilihan kata dalam tiap kalimat yang dipakainya, memberi arahan dan metode yang lebih manusiawi. Ada norma dan nilai yang mesti diperhatikan saat melakukan hubungan seksual yang pada dasarnya sakral.

9 Ibid 10

Andy Dermawan, Marital Rape, h.311-312. 11


(22)

Seorang suami digambarkan sebagai petani yang cerdas, dan kecerdasannya itu terbukti dengan tidak menaburkan benihnya keladang secara asal dan sembarangan. Sedangkan seorang isteri digambarkan sebagai ladang, dimana tingkat kesuburannya selain ditentukan oleh diri sendiri, juga oleh ketekunan dan kecerdasan suami sebagai pengga

abaikan kondisi isteri saat melaku

rap.12

Dengan demikian, tragis dan salah kaprah apabila Al-Qur’an, tepatnya surat

Al-Baqarah ayat 223 dipahami secara harfiah. Jika kita memahaminya secara skriptual, ia akan tampak kasar, tak manusiawi, dan meng

kan hubungan yang sejatinya bernilai ibadah ini.13

Dalam pernyataan Al-Qur’an pada surah An-Nisa ayat 19, Al-Baqarah ayat 223, dan Al-Baqarah ayat 187, bisa ditarik pelajaran: pertama, di dalam hubungan seksual, terkandung hak sekaligus kewajiban kedua belah pihak. Sebagai hak hubungan seksual harus bisa diakses dan dinikmati oleh keduanya (suami-isteri). Tak hanya itu, aktivitas senggama, baik suami maupun isteri berkewajiban untuk saling melayani dan memuaskan. Kedua, isteri maupun suami dituntut untuk saling berdandan agar masing-masing bisa saling tertarik. Jika sama-sama tertarik, hampir bisa dipastikan dalam persenggamaan tersebut tidak ada pihak yang merasa dipaksa atau dirugikan. Ketiga, isteri adalah ladang untuk menanam benih dan menyambung keturunan. Oleh karena itu, bila ingin memetik hasil atau keturunan keturunan yang berkualitas, cara bertanamnya pun harus tepat dan benar. Keempat, pakaian adalah

12

Ibid, h.323. 13


(23)

lambang kesopanan, kerapian, kenyamanan dan perasaan aman. Suami dan isteri harus saling menjadi pakaian buat pasangannya. Artinya, saling memberi dan memenuhi apabila salah satunya membutuhkan. Juga saling berbagi pengertian, kasih sayang

ntangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam tentang seksualitas dalam perkawinan.

esusuilaan karenanya berarti

, dan tenggang rasa.14

Dari sini jelaslah, persfektif Al-Qur’an melarang adanya pemaksaan hubungan seksual atau pemerkosaan dalam rumah tangga yang biasanya dilakukan oleh suami terhadap isteri. Karena hal ini berte

A.2. Pemerkosaan dalam rumah tangga menurut hukum Positif

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pengertian pemerkosaan tidak terlepas dari pengertian kesusilaan karena pemerkosaan merupakan salah satu bagian kejahatan kesusilaan yang diatur dalam Bab XIV Pasal 285, 286, 287, dan 288 KUHP. Istilah kesusilaan berasal dari kata susila yang berarti beradab, sopan, tertib, atau adat istiadat yang baik. K

sesuatu yang terkait dengan adab atau sopan santun.15

Sedangkan delik kesusilaan ialah segala perbuatan yang dapat dikenai hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap aturan undang-undang. Dari pengertian kesusilaan ini bisa dikatakan, nilai-nilai kesusilaan tidak hanya terkait

14

Alimatul Qibtiyah, Intervensi Malaikat dalam Hubungan Seksual, dalam Mochamad Sodik dan Inayah Rohmaniyah (ed), Perempuan Tertindas?, Kajian Hadits-hadits ”Misoginis”, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan The Ford Foundation, 2003), h.233-234.

15

Muyassarotussolichah, “Pemanfaatan Perbandingan Hukum Delik Kesusilaan dalam pembangunan Hukum Pidana Nasional”, Sosio-Religia, Vol. 2: 3 (Mei 2003), h.471.


(24)

dengan perkara seksual yang bersifat pribadi, tetapi juga pergaulan rumah tangga, pergaulan orang lain dimasyarakat, dan bahkan kehidupan bermasyarakat dan berneg

HP. Oleh karena itu, perbuatan pemerkosaan disebut jika didalamnya terdapat

atau ancaman kekerasan yang membuat si korban tidak mampu

n biologis. 3.

berusia 15 tahun. KUHP, dengan demikian tidak mengenal pemerkosaan dalam

ara secara luas.16

Pemerkosaan sebagai delik kesusilaan diartikan: pertama, kekerasan atau ancaman kekerasan dengan memaksa perempuan untuk bersetubuh diluar perkawinan. Kedua, kekerasan atau ancaman kekerasan dengan memaksa perempuan yang bukan isterinya untuk melakukan hubungan seksual sebagaimana dalam pasal 285 KU

unsur:

1. kekerasan menolak.

2. keterpaksaan korban dalam melakukan hubunga hubungan biologis yang terjadi secara nyata.17

Pasal 285,.286, dan 287 KUHP menegaskan, yang disebut pemerkosaan adalah pemaksaan hubungan seksual pada perempuan bukan isteri yang sedang sadar, pingsan, maupun belum genap 15 tahun. Pasal 288 KUHP menyebutkan pemerkosaan terhadap isteri, namun terbatas pada isteri yang belum waktunya dikawin atau belum

16

Muyassarotussolichah, Marital Rape, Persfektif Yuridis Viktimologis, dalam Mochamad Sodik, ed. Telaah Ulang Wacana Seksualitas, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, Depag RI, dan McGill-IISEP-CIDA, 2004), h.343.

17


(25)

rumah tangga atau marital rape. Bagi KUHP, yang disebut pemerkosaan hanyalah pemaksaan hubungan seksual pada perempuan bukan isteri.18

Reformasi hukum di Indonesia terjadi dengan dikeluarkan dan dibahasnya RUU KUHP 2000. Akan tetapi, pasal-pasal pemerkosaannya belum juga menunjukkan pembelaannya pada kesederajatan laki-laki dan perempuan.19

Pasal 423 RUU KUHP Tahun 2000, sebagaimana dikutip Aroma Elmina Martha, menyebutkan ketentuan-ketentuan pemerkosaan sebagai berikut:

(1) Tindak pidana pemerkosaan dipidana dengan penjara paling lama 12 tahun dan paling singkat 3 tahun. Sedangkan tindak pidana pemerkosaan yang dimaksud adalah:

a. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, bertentangan dengan kehendak si perempuan.

b. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan tanpa persetujuan. c. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, sedang persetubuhan

itu terwujud lewat ancaman pembunuhan atau paksaan.

d. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan karena si perempuan percaya bahwa ia suaminya yang sah.

e. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan berusia 14 tahun, meski dengan persetujuan.

18

Milda Marlia, Marital Rape Kekerasan Seksual terhadap Istri, h.34. 19


(26)

f. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui si perempuan tidak berdaya dan pingsan.

(2) Dianggap juga melakukan tindak pidana pemerkosaan, bila dalam keadaan sebagaimana dimaksud ayat (1):

a. Laki-laki memasukkan penisnya ke anus atau mulut si perempuan.

b. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuh ke vagina atau anus si perempuan.20

Meskipun Pasal 423 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2000 menyebutkan seseorang dipidana karena memerkosa, dengan penjara paling lama 12 tahun dan paling singkat 3 tahun, namun penjelasan Pasal 423 ayat (1) menyatakan ayat ini tidak berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang terikat perkawinan karena pada hakikatnya dalam sebuah perkawinan tidak mungkin terjadi pemerkosaan suami terhadap isteri.21

Alhasil, RUU KUHP paling baru ini sebetulnya tidak mengakui pemerkosaan dalam rumah tangga yang bisa dikenai sanksi pidana. Carol Smart, seperti dikutip Nursyahbani Karjasungkana, berpendapat, lemahnya kedudukan perempuan sesungguhnya merupakan konsekuensi perbedaan seksualitas manusia.22

Oleh karena itu, diperlukan rumusan baru tentang tindak pidana pemerkosaan yang berorientasi pada relasi pada relasi berkeadilan dan esensi hubungan seksual

20

Aroma Elmina Martha, Perempuan: Kekerasan dan Hukum, Yogyakarta: UII Press), h.55-56.

21

Muyassarotussolichah, Marital Rape, h.350. 22

Nursyahbani Karjasungkana, “Aspek Hukum Kekerasan terhadap Perempuan” dalam Potret Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h.96.


(27)

berdasarkan persetujuan kedua belah pihak tanpa melihat status perkawinannya. Setiap hubungan seksual dilakukan tanpa persetujuan (consent), menurut Nursyahbani Karjasungkana, haruslah dianggap sebagai pemerkosaan.23 Meskipun demikian, perlu disadari apa yang disebut consent tersebut, dalam praktiknya, menjadi sangat problematik dan kompleks bila dihubungkan dengan kemampuan perempuan menggunakan kekuasaanya untuk menyatakan persetujuannya atau tidak, khususnya bila dihubungkan dengan masalah ketidakberdayaan terkait gender dan status sosial (gender and social powerlessness).24

Dan untuk mengakomodir keinginan masyarakat yang menginginkan adanya undang-undang tentang pemerkosaan dalam rumah tangga, maka pada tanggal 17 September 2004, Indonesia telah memiliki Undang-Undang RI tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU RI PKDRT). Dalam undang-undang ini pasal yang mengatur tentang pemerkosaan dalam rumah tangga terdapat pada Pasal 8 yang berbunyi, “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (c) meliputi:

a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu”.25

23 Ibid 24

Ibid 25

Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI, Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004, h.10-11.


(28)

Sehubungan dengan hal tersebut, dinyatakan dalam penjelasan Pasal 8: yang dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.26

Adapun mengenai hukuman bagi para pelakunya terdapat dalam pasal 46 yang berbunyi, “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf (a) dipidana dengan pidana paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah)”.27

Meskipun telah ada undang-undang yang dapat digunakan untuk menuntut suami yang melakukan pemerkosaan dalam rumah tangga. Akan tetapi pada prakteknya pemerkosaan dalam rumah tangga mengalami kendala untuk diproses secara hukum. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

1. Terjadi diruang yang sangat privat sehingga pada umumnya tidak ada orang yang mengetahui selain pelaku dan korban.

2. Sebagaimana bentuk kekerasan dalam rumah tangga lainnya, pemerkosaan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai aib keluarga yang tabu untuk diceritakan pada orang lain.

3. Terjadi pada pasangan yang sah untuk melakukan hubungan seksual, baik menurut hukum Negara, maupun hukum Agama.

26

Ibid, h.11. 27


(29)

4. Sebagaimana perkosaan diatur diluar perkawinan, unsur paksaan pada pemerkosaan dalam perkawinan seringkali sulit dibuktikan secara fisik.28

Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi antara suami isteri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Dimana korban itu sendiri yang melaporkan secara langsung kepada kepolisian, atau memberi kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkannya.

B. Macam-macam Pemerkosaan

Perbedaan antara pemerkosaan didalam dan diluar perkawinan hanyalah terletak pada ada atau tidaknya status perkawinan antara pelaku dan korban. Oleh karena itu, semua bentuk pemerkosaan diluar perkawinan dapat pula terjadi didalam perkawinan. Steven Bek dalam bukunya Power, Crime, Wistification, sebagaimana dikutip oleh Nur Rofiah, membagi jenis perkosaan menjadi lima, yaitu:

1. Sadistic Rape

Yaitu perkosaan dimana pelaku menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksual, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban. Contohnya: isteri yang suaminya mengalami gangguan kejiwaan dan kelainan seks.

28


(30)

2. Anger Rape

Yaitu perkosaan dimana pelaku menganiaya secara seksual dengan menjadikan korban sebagai objek untuk melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Contohnya: suami mendapatkan tekanan di tempat kerjanya atau bermasalah dengan saudara isteri, dan amarahnya itu dia lampiaskan terhadap isterinya.

3. Domination Rape

Yaitu perkosaan dimana pelaku menganiaya secara seksual untuk menunjukkan superioritas atas korban. Contohnya: isteri yang kedudukan ekonomi, intelektual dan sosialnya lebih rendah dari suami.

4. Sudektive Rape

Yaitu perkosaan yang terjadi setelah pelaku dan korban sama-sama menciptakan situasi meransang, namun karena alasan tertentu, seperti tidak siap untuk hamil, korban tetap tidak menghendaki persetubuhan. Contohnya: isteri yang belum siap hamil dikarenakan masalah ekonomi, kesehatan fisik atau masalah kejiwaan isteri yang tidak memungkinkan. Isteri yang sebenarnya hanya ingin bermesraan dengan suami. Karena suami terangsang akhirnya memaksa isteri untuk melakukan persetubuhan.

5. Exploitation Rape

Yaitu perkosaan yang terjadi dimana pelaku diuntungkan oleh lemahnya posisi korban. Contohnya, ketika korban tergantung secara ekonomi maupun sosial


(31)

pada pelaku, juga suami yang diuntungkan oleh tidak adanya perlindungan hukum bagi isteri yang diperkosa oleh suami29.

Nurul Ilmi Idrus dalam sebuah penelitiannya, membagi macam-macam pemerkosaan dalam rumah tangga, yaitu:

1. Hubungan seksual dengan ancaman.

Yaitu berhubungan seksual denagan cara mengancam dengan senjata tajam tapi tidak melukai, atau dengan kekerasan psikologis dan ancaman sosial, misalnya dengan cara mencaci-maki yang menimbulkan penghancuran kepribadian.

2. Hubungan seksual dengan paksaan.

Yaitu berhubungan seksual dengan cara memukul atau menghempaskan korban ketempat tidur apabila korban menolaknya atau pemaksaan hubungan seksual berkali-kali dalam waktu yang bersamaan akan tetapi korban tidak menyanggupinya. 3. Hubungan seksual dengan pemaksaan selera sendiri

Yaitu pemaksaan hubungan seksual sesuai selera yang tidak disukai korban, misalnya, korban dipaksa melakukan anal seks (memasukkan venis kedalam anus), atau oral seks (memasukkan venis kedalam mulut).

4. Hubungan seksual dibawah pengaruh obat-obat terlarang dan minuman keras. Yaitu sebelum melakukan hubungan seksual suami atau isteri memakai obat-obatan atau minuman keras sehingga akal dan pikiran mereka tidak sadar ketika melakukan hubungan tersebut atau bahkan timbul prilaku-prilaku yang tidak normatif dalam berhubungan30.

29

Nur Rofiah, “Larangan Islam atas Perkosaan dalam Perkawinan”, h.2. 30


(32)

C. Sebab Pemerkosaan dan Dampaknya C.1. Sebab pemerkosaan dalam rumah tangga

Berdasarkan penelitian Nurul Ilmi Idrus, diketahui beberapa penyebab pemerkosaan dalam rumah tangga (marital rape) yang secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua macam yaitu penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung pemerkosaan dalam rumah tangga ialah:

1. Libido yang tidak berimbang. Dorongan seksual dimiliki setiap individu, tetapi kadar dan sifatnya berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki biasanya lebih bisa dan berani mengekspresikannya ketimbang perempuan.

2. Penolakan isteri. Penolakan yang antara lain didorong oleh cara suami memperlakukan isteri saat melakukan senggama (misalnya, disertai kekerasan dan ketidakwajaran) atau kondisi isteri yang memang tengah tidak bergairah. Penolakan ini yang biasanya diartikan suami sebagai pembangkangan karena telah menancap kuat keyakinan bahwa melayani suami adalah kewajiban isteri. 3. Suami terpengaruh oleh alkohol atau obat-obatan. Orang mabuk akan bertindak

berlebihan dan tidak terkontrol.31

Sementara penyebab tidak langsungnya ialah:

1. Kurangnya komunikasi. Kebahagian suami isteri terletak pada keterbukaan diantara mereka. Sayangnya seks dalam rumah tangga kurang dibicarakan terang-terangan, hal ini belum lagi diperparah oleh budaya yang menganggap perempuan

31

Andy Dermawan, Marital Rape dalam Persfektif Al-Qur’an, dalam Mochamad Sodik (ed), Telaah Ulang Wacana Seksualitas, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, Depag RI, dan McGill-IISEP-CIDA), h.317-320.


(33)

(isteri) hanya berkewajiban melayani suami, tidak kurang tidak lebih. Hal ini menbuat isteri seringkali malu mengambil inisiatif lebih dahulu dalam masalah seks, meski saat itu ia betul-betul sedang menginginkannya. Maka, ia tampak menerima diri sebagai objek pemenuhan seks suami belaka.

2. Suami pernah diketahui nyeleweng. Selingkuhnya seorang suami dengan perempuan lain, secara tidak langsung memicu kekerasan seksual dalam perkawinan. Isteri akan dengan sendirinya ogah-ogahan saat berhubungan seks dengan suami karena terbayang perbuatan sang suami dengan “simpanannya”. Sikap dingin isteri ini, pada gilirannya, membuat suami agresif, kasar, dan bahkan eksesif (keterlaluan). Atau bisa jadi, suami akan memaksakan cara berhubungan seks yang tidak bisa dilakukan isterinya.

3. Ketergantungan ekonomi. isteri yang tidak mandiri secara ekonomi hanya bersandar kepada suami memiliki posisi tawar (bargaining position) lemah dalam urusan rumah tangga, pun dalam seks. Isteri rentan dipojokkan lagi posisinya bila menolak paksaan suami demi berhubungan intim, lebih-lebih saat disertai ancaman pemutusan suplai ekonomi. Isteri tampak akan mengiyakan, meskipun ia sedang tidak menghendaki.

4. Kawin paksa. Kawin paksa lumrah membuat komunikasi yang baik dan wajar antara suami dan isteri sulit terjalin, persoalan-persoalan rumah tangga pun kemudian jarang dibicarakan secara terbuka, termasuk persoalan seksualitas.32

32


(34)

Patricia Mahoney, sebagaimana dikutip Siti ‘Aisyah, memaparkan sebab-sebab pemerkosaan dalam rumah tangga sebagai berikut:

1. Pengukuhan ulang sebuah kuasa, dominasi, dan kendali. Pemaksaan hubungan intim tidak selalu digerakkan hasrat seksual, ia kerap juga dilakukan sebagai pengukuhan kembali kuasa, dominasi, dan kendali suami terhadap isteri. 2. Wujud kemarahan. Pemaksaan hubungan seksual dilakukan sebagai wujud

kemarahan suami terhadap isteri saat ia tidak memenuhi permintaan atau perintahnya.

3. Stereotip atau “konsepsi” tentang bagaimana seorang isteri atau perempuan bersikap. Misalnya melayani ajakan suami senggama adalah kewajiban isteri, isteri dianggap bisa menikmati senggama yang dipaksakan, atau stereotip

perempuan berkata “tidak” meskipun hatinya “iya”.33

Dan pemerkosaan dalam rumah tangga terjadi karena rentannya posisi perempuan dalam masyarakat terhadap kekerasaan, yang antara lain didukung oleh: 1. Masih dominannya nilai patriarki dalam masyarakat kita. Nilai inilah yang

membentuk aturan tidak tertulis “istri adalah milik suami”. Dengan kata lain, pernikahan dipandang sebagai penyerehan diri sepenuhnya oleh istri terhadap suaminya, dan sudah menjadi tugas istri melayani suami dalam segala hal. Hal inilah yang menjadi sebab bahwa suami itu berhak untuk melakukan kekerasan seperti pemukulan, melukai tubuh, hati atau jiwa istri, melalui bentakan hinaan,

33

Dikutip oleh Siti’Aisyah dari Patricia Mahoney, “The Wife Rape Information : A Frequently asked Question and Resuore”. http://www.wellsley.edu/ww/projets/mrape.htm.


(35)

dan bentuk-bentuk kekerasaan lainnya jika istri menolak keinginan suami untuk berhubungan seksual. Disisi lain, istri yang cara pandangnya sudah dibentuk oleh masyarakat yang mengutamakan kepentingan laki-laki, merasa sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk tetap siap sedia melayani suaminya, sehingga mereka tidak mampu menolaknya ketika mereka sedang tidak inign atau tidak bisa. Akibatnya hubungan seksual sering kali berlangsung dingin dan tidak dinikmati bahkan menyakiti istri, meskipun tanpa perlawanan dan penolakan langsung dari istri.

2. Pemahaman keliru mengenai penafsiran ajaran agama. Sering kali ajaran agama disalah tafsirkam yang berdampak pada perbedaan posisi antara perempuan dan laki-laki atau menghadirkan perlakuan diskriminasi terhadap perempuan. Sebagai contoh dalam hadits riwayat Imam Muslim:

ﺔﻜﺋ

ﻼ ا

ﺎﻬﺘﻨ

نﺎ ﻀﻏ

ﻮهو

ﺑﺄﻓ

ﻪﺳاﺮﻓ

ﻰ ا

ﻪ اﺮ ا

ﺟرﺎ داذا

ﻰﺘﺣ

Artinya: ”jika suami mengajak isterinya senggama, dan isterinya menolak maka para malaikat mengutuk isteri tadi sampai pagi”34.

Apabila hadis ini diartikan secara harfiah, maka menimbulkan ketakutan yang yang besar bagi istri untuk menolak keinginan suami. Padahal menurut Forum Kajian Kitab Kuning (FK 3) yang menelaah Kitab U’qud al Lujjayn (mengatur relasi suami-istri) dalam hadis diatas terdapat kata al-la’anah yang seringkali dipahami secara kurang tepat. Sebaiknya kata laknat dipahami dalam konteks

34


(36)

sosial kemanusian, kasih sayang dan kedamaian dalam kehidupan. Jika diartikan secara kontekstual, hadis ini tidak hanya ditujukan kepada istri saja melainkan juga kepada suami.

KH Muhyiddin Abdusshomad berpendapat bahwa hadis-hadis laknat bagi istri yang tidak melayani suami, itu harus diinterpretasikan sebagai motivasi terhadap istri agar selalu berusaha melakukan penyesuaian dengan suami, dan begitu juga sebaliknya. Istilah laknat itu sendiri tidak berarti haram. Buktinya para ulama fikih masih memberi batas apabila tidak ada udzur syar’i seperti sakit atau capek yang luar biasa.35

Adapun Mustafa Muhammad Imarah mengatakan, bahwa laknat malaikat itu muncul bila penolakan istri dilakukan ”tanpa alasan”. Sedangkan Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa laknat itu terjadi apabila istri menolak senggama, padahal ia ”sedang lonngar dan tidak takut disakiti”.36

C.2. Dampak negatif pemerkosaan dalam rumah tangga

Dampak negatif yang timbul dari pemerkosaan dalam rumah tangga ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu: dampak medis dan dampak psikis.37

1. Dampak Medis

35

KH. Mahyuddin Abdusshomad, ”Perkosaan dalam Rumah Tangga?”, artkel diakses pada 20 September 2009 dari http//www.rahima.or.id

36

Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu, cet.VII, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h. 335.

37

Milda Marlia, Marital Rape (kekerasan seksual terhadap istri), cet.I, (Yogyakarta: PT. Pustaka Pesantren, 2007), h. 24.


(37)

Adapun dampak medis yang terjadi dalam pemerkosaan dalam rumah tangga ialah luka pada vagina dan luka fisik lain yang menyakitkan apabila dalam hubungan suami istri terlalu lama dan dipaksakan misalnya suami masih dalam pengaruh obat terlarang atau minuman keras atau suami melakuakan kekerasan fisik saat senggama. Dan dalam beberapa kasus lain, istri bahkan bisa mengalami memar di wajah, luka kepala, pecah bibir, patah gigi, dan perihnya pendarahan vagina. Ini biasanya diakibatkan dari perlakuan kasar suami ketika berhubungan seks yang dipaksakan ketika istri sedang kelelahan dan ketiduran. Adapun akibat lain dari hubungan seks yang dipaksakan saat istri kelelahan dan ketiduran ialah sulitnya proses persalinan, bayi lahir prematur, dan keguguran.38

Dan akibat yang ditimbulkan apabila suami memaksakan selera seksualnya ialah luka pada dubur (bila hubungan itu dilakukan secara anal), muntah-muntah, penyakit kelamin menular, bahkan AIDS. Adapun istri korban pemerkosaan dalam rumah tangga biasanya tidak mau berobat ke dokter atau tabib dikarenakan malu. Kalaupun ke dokter ia enggan menjelaskan sebab sebenarnya dari penyakitnya karena tidak ingin kehidupan pribadinya diketahui orang lain

2. Dampak Psikis

Dampak psikis yang terjadi dalam pemerkosaan dalam rumah tangga ini ialah dapat menimbulkan kekecewaan yang berkepanjangan atau ketakutan, dan trauma berhubungan seks. Adapun akibat lain, istri tidak lagi percaya diri karena tidak

38

Khairuddin NM, Pelecehan Seksual terhadap Istri, (Yogyakarta: PPK UGM, 1998), h. 72-74.


(38)

mampu melayani suami dengan baik, bahkan merasa dirinyalah penyebab masalah ini. Dan pada tingkat yang parah istri akan mengalami ketakutan yang luar biasa (paranoia), sampai-sampai ia merasa terus terancam oleh lingkungannya.39

Selanjutnya, dampak psikis ini juga terbagi dalam dua kategori yaitu, dampak psikis jangka pendek (sort term effect) dan dampak psikis jangka panjang (long term effect). Damapak psikis jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian. Korban biasanya marah, jengkel, terhina, dan merasa malu. Gangguan emosional ini, pada banyak kasus, ditandai dengan gejala sulit tidur (imsomnia) dan berkurangnya selera makan (lost apatite).40

Adapun dampak psikis jangka panjangnya ialah timbulnya sikap atau persepsi negatif terhadap laki-laki (suami) dan seks karena trauma yang ia tanggung. Trauma adalah luka jiwa yang dirasakan oleh korban usai mengalami hal-hal yang dirasanya diluar batas wajar dan abnormal. Dan apabila mengalami gejal-gejala khas, seperti mimpi-mimpi buruk (nightmares) atau ingat-ingatan mendadak akan kejadian-kejadian sebelumnya (flashback), yang berlanjut terus hingga lebih dari 30 hari, maka sangat mungkin korban menderita stres pasca taruma (post-traumatic stress disorder).41

Menurut Elli Nurhayati, ada tiga kategori gejala paling umum stres pasca trauma yaitu:

39

Milda Marlia, Marital Rape (kekerasan seksual terhadap istri), h. 24. 40

Elli Nur Hayati, Paduan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan: Konseling Berwawasan Gender, (Yogyakarta: Rifka Annisa dan Pustaka Pelajar, 2000), h. 45-46.

41


(39)

a. Hyper aruosal: gejala ini dipengaruhi oleh kerja hormonal tubuh yang ikut berubah seiring perubahan kondisi psikis. Gejala paling sering adalah agresi, insomnia, dan reaksi emosional yang intens, seperti depresi yang bisa membuat korban ingin bunuh diri. Gejala ini indikasinya persistant continuing espectatiaon of danger atau perasaan seakan-akan sebuah kejadian buruk terus-menerus terjadi.

b. Intrusion: dalam diri korban terjadi contant reliving of the traumatic event

(korban tidak mampu lagi menghentikan munculnya ingatan-ingatan akan peristiwa mengerikan yang ia alami). Gejala ini biasanya berupa nigtmares

(mimpi-mimpi buruk) dan flashback (ingatan-ingatan yang terus berulang seperti kilas balik), dan pada tingkat parah berupa kekacauan ingatan.

c. Numbing: mati rasa. Gejala ini wajar adanya, namun tidak wajar bila terus menerus berlangsung hingga si korban menjadi indefferent (dingin dan acuh tak acuh) dan pada akhirnya detached (memencil dan terpencil) dari interaksi sosial.42

Lebih jauh lagi, apabila hal ini terus terjadi secara berkelanjutan dan terus menerus, maka korban akan dihinggapi karakter sebagai berikut yaitu : rendah diri, tidak percaya diri, selalu menyalahkan diri sendiri, dan mengalami gangguan reproduksi (misalnya infertilitas dan ganguan siklus haid) hal ini disebabkan karena merasa tertekan atau stres.43

42

Ibid h. 47-49. 43


(40)

Jadi secara garis besar, dampak pemerkosaan dalam rumah tangga dapat kita simpulkan sebagai berikut:

1. Penderitaan fisik. Hubungan badan yang dipaksakan atau tanpa melalui “pemanasan” (foreplay) terlebih dahulu, biasanya mengakibatkan rasa sakit pada istri diwilayah reproduksinya, hingga ia tak bisa menikmati hubungan seks itu.

2. Penderitaan batin. Karena trauma, korban akan takut melakukan aktivitas seksual. Hubungan seksual bagi korban bukan lagi kebutuhan atau ibadah, tetapi siksaan tak terperi. Pada kasus pemerkosaan dalam rumah tangga ini, biasanya istri yang dijadikan objek seksual yang tidak mempunyai hak secuil pun untuk menunda atau menolak sebuah hubungan seks.

3. Korban pemerkosaan ini sering merasa terasing dari masyarakat. Ia merasa bahwa tindakan suaminya disebabkan kesalahannya. Sebab, menanggung rasa bersalah berlebihan, istri tidak mampu melakukan aktivitas positif untuk masa depan keluarganya. Hal ini tentu mengganggu kelangsungan dan keutuhan keluarga sendiri.

4. Timbulnya konflik yang berakhir dengan perceraian. Karena terus dikerasi dan dikasari oleh pelaku, maka korban terdorong untuk memberontak dan menentang. Dari sini timbul masalah besar yang bisa mengarah pada perceraian.44

44

Andi Dermawan, Marital Rape dalam Persfektif Al-Qur’an, dalam Mochamad Sodiq, ed,. Telaah Ulang Wacana Seksualitas, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kali Jaga, Depag RI dan McGill-IISEP-DIDA, 2004), h.320.


(41)

Dan dari uraian diatas bisa kita tegaskan bahwa problem pemerkosaan dalam rumah tangga adalah problem kekerasan seksual. Sebab, pada pemerkosaan dalam rumah tangga terdapat unsur-unsur pemaksaan seksual sebagaimana yang terjadi pada tindak pemerkosaan reguler. Meskipun pada pemerkosaan reguler si pelaku dan si korban bukan pasangan suami istri, tapi esensinya sama, yakni pemaksaan hubungan seksual.45

D. Penanggulangan Pemerkosaan

Sebuah pepatah mengatakan ”lebih baik mencegah dari pada mengobati”. Mungkin demikianlah kata-kata yang cocok untuk kasus ini. Sebelum semuanya menjadi masalah alangkah baiknya bila dilakukan usaha-usaha pencegahan agar tidak terjadi pemerkosaan dalam rumah tangga yang tidak diinginkan oleh siapa pun, karena apabila ini terjadi, dampak negatifnya sangat berbahaya. Oleh karena itu setiap orang baik itu masyarakat ataupun pemerintah wajib melakukan pencegahan dan penanggulangan agar kasus pemerkosaan dalam rumah tangga ini tidak terjadi.

Sebelum membahas upaya pencegahan yang diatur undang-undang, ada baiknya penanggulangannya melalui pendekatan agama dan ilmu pengetahuan, misalnya memberi pemahaman kepada suami isteri bahwa persamaan hak seks antara suami dan isteri adalah sama, karena seks adalah natur, naluri, dan sarana regenerasi manusia. Keberadaanya melekat dalam nadi kehidupan. Dan tak seorang pun bisa mengintervensi soal urusan seks manusia, sebagaimana juga tak mungkin mengatur

45


(42)

arah kehidupannya. Seks merupakan kedaulatan diri, harga diri, dan mahkota kehidupan. Ia hanya bisa diberikan dan dilakukan lewat kesadaran diri dan lewat kontak (al-’aqd) atau kesepakatan bersama (’an taradh). Perlakuan diluar ini adalah pemerkosaan, pengekangan, dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yang didalam bahasa Al-Qur’an disebut az-zina.46

Pada dasarnya seks menganut kebebasan. Manusia memiliki hak penuh untuk menikmati dan memperlakukan organ-organ seksnya tersebut sesuai dengan kehendak dan kesadarannya, yang tentu saja diharapkan tidak mengabaikan norma-norma yang telah digariskan oleh ajaran agama.47

Islam pada dasarnya, menganut prinsip kesetaraan, dan keadilan dalam hal hubungan seksual laki-laki dan perempuan.48 Inilah yang dinyatakan Al-Qur’an secara metaforik:

...

Artinya:

“…mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka…”

Pakaian adalah merupakan simbol kebutuhan dasar laki-laki dan perempuan. Kebutuhan dasar yang penulis maksud adalah ketentraman, kedamaian, ketenangan. Dalam diri laki-laki, ada ketentraman bagi perempuan, pun sebaliknya, dalam diri perempuan ada kedamaian bagi laki-laki.

46

Marzuki Wahid, “Mendaulatkan Seksualitas Perempuan”, Swara Rahima, no.5. Th ke-2 (Juli 2002), h.35.

47

Milda Marlia, Marital Rape: Kekerasan Seksual terhadap Isteri, h.54. 48


(43)

Disamping itu juga ayat diatas secara langsung juga mengisyaratkan bahwa suami isteri harus sejajar dan bermitra. Tujuan perkawinan akan tercapain apabila pasangan suami isteri berkedudukan sejajar dan saling memosisikan diri sebagai mitra. Pasangan yang sejajar dan bermitra adalah pasangan yang:

1. Saling mengerti, yakni saling mengerti latar pribadi pasangan dan diri sendiri. 2. Saling menerima, yakni menerima kelebihan dan kekurangan pasangan dan

diri sendiri.

3. Saling mempercayai.

4. Saling mencintai. Dalam pergaulan dan pembicaraan, saling menunjukkan cinta, perhatian, dan sikap bijak. Tidak saling egois dan mudah tersinggung.49 Dan untuk mencegah terjadinya pemerkosaan dalam rumah tangga perlu adanya relasi yang baik atau dalam kitab Fikih biasa disebut mu’asyarah bil ma’ruf

atau yang biasa diartikan pergaulan, persahabatan, kekeluargaan, dan kekerabatan yang dibangun secara bersama-sama dengan cara-cara yang baik dan sesuai tradisi dan situasi masyarakat, serta tidak menyalahi norma-norma agama, akal sehat, dan fitrah manusia.

Mu’asyarah bil ma’ruf dalam kehidupan perkawinan ditandai oleh adanya sikap saling memberi dan menerima antara suami dan isteri, juga sikap saling mengasihi dan menyayangi. Kedua belah pihak tidak saling meperlihatkan kebencian, dan tidak saling mengabaikan hak dan kewajiban masing-masing.50

49

Khoiruddin Nasution, Islam tentang Relasi, h.61. 50


(44)

Dan prinsip relasi yang baik adalah menuntut adanya kebersamaan dalam banyak hal, termasuk dalam hal hubungan seksual antara suami isteri. Yang satu harus memperhatikan yang lain, begitu juga sebaliknya. Hubungan seksual yang menyenangkan satu pihak dan merugikan pihak lain yang tentunya bertentangan dengan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf ini. Alhasil, terkait relasi seksual suami isteri, Islam mengajarkan kesetaraan dan kepatutan.51

Adapun dalam Undang-Undang RI No.23 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam penanggulangannya diatur dalam bab V yang terdiri dari bab 11-15 yaitu:

Pasal 11

Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 12

(1) Untuk melaksakan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 11, pemerintah:

a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;

b. menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;

51

Faqihuddin Abdul Kodir, “Seksualitas Perempuan dalam Teks-teks Hadits Nabi”, Swara Rahima, no.5. Th ke-2 (Juli 2002), h.42.


(45)

c. menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;

d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh mentri.

(3) Menteri dapat melakukan kordinasi dengan instansi terkait dalam melakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 13

Untuk menyelenggarakan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan daerah sesuai dengan fungsinya dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya:

a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;

b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; c. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program

pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan

d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban.

Pasal 14

Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya.


(46)

Pasal 15

Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjdinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:

a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan

d. dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Mudah-mudahan dengan pendekatan secara agama, ilmu pengetahuan dan hukum positif bisa menimalisir kejadian-kejadian atau kasus-kasus tentang pemerkosaan dalam rumah tangga. Karena bukan kalangan orang awam saja atau orang buta tentang agama atau ilmu pengetahuan yang mengalami kasus ini akan tetapi kalangan berpendidikan tinggi juga mengalami kasus ini.52

52

Muyassarotussolichah, “Marital Rape pada Masyarakat” study kasus yang terlapor di Rifka Annisa Women Crisis Center tahun 2001-2006.


(47)

ISLAM DAN UNDANG-UNDANG

A. Pengertian dan Macam-macam Perceraian

“Perceraian” berasal dari kata “cerai” yang artinya “putus ikatan hubungan rumah tannga (suami istri; pisah, lepas, dan sebagainya)”. Sedangkan “perceraian” berarti “hal yang berkenaan dengan cerai (tentang hubungan suami istri), memisahkan sesuatu dengan lainnya”.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “cerai” diartikan “pisah, putus hubungan sebagai suami istri; talak”. Sedangkan “perceraian” diartikan sebagai “perpisahan, perihal bercerai (antara suami istri), perpecahan, atau proses, perbuatan, cara menceraikan”.

Dalam Hukum Islam dikenal beberapa macam perceraian yaitu talak, khulu’,

zihar, ila’, dan li’an.

1. Talak

a. Pengertian talak

Talak berasal dari kata ithlaq yang berarti melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah agama, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.2 Sedangkan menurut istilah syara’, ada beberapa defenisi yang dilontarkan oleh beberapa ulama yaitu:

Abdurrahman al-Jaziri:

1

Amran YS Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, cet V, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 121.

2 Ibid


(48)

إ

ز

ا

ﻨ ا

حﺎ

أ

ْو

ْ

نﺎ

ْﻔ

ْ

ْﻮ

ص

Artinya:

“Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi (ikatan) pelepasan dengan menggunakan kata-kata tertentu”.

Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya mendefenisikan talak dengan:

ر

ﺑا

ﺰ ا

و

جا

و

أْ

ءﺎ

ْا

ﺰ ا

ْو

ﻴﺔ

.

Artinya:

“Talak artinya lepasnya ikatan dan berakhirnya hubungan perkawinan atau hubungan suami istri”.

Abu Zakaria al-Anshari mengartikan talak dengan :

ْﺪ

ا

ﻨﻜ

حﺎ

ْﻔ

ﻄ ا

قﺎ

Artinya:

“Melepaskan ikatan nikah dengan menggunakan lafadz talak”.

Dari beberapa defenisi talak diatas tersebut, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa talak adalah hilangnya atau lepasnya ikatan perkawinan, hanya saja ada beberapa mainstream yang mengakibatkan perbedaan dalam mendefenisikan arti talak. Sebagian ulama menekankan talak pada akibat hukumnya, yaitu hilangnya hubungan suami istri dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban suami istri. Sedangkan sebagian ulama lainnya berorientasi pada tindakan seseorang yang bertujuan untuk melepaskan ikatan perkawinan dengan menggunakan lafadz

tertentu. Adapun arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan yang dikemukakan oleh Abdurrahman al-Jaziri adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi


(49)

dua, dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang hak talak itu yaitu yang terjadi dalam talak raji’.

b. Macam-macam Talak

Ditinjau dari segi dijatuhkannya, talak dibagi menjadi tiga macam yaitu:

1. Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah Rasulullah SAW. Dikatakan sunni jika memenuhi syarat-syarat berikut ini: a. Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dijatuhkan terhadap istri

yang belum pernah digauli, maka tidak termasuk talak sunni.

b. Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yaitu dalam keadaan suci dari haid. Menurut ulama Syafi’iyyah, perhitungan iddah bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci, bukan tiga kali haid. Talak terhadap istri yang telah lepas haid (menopause) atau belum pernah haid, atau sedang hamil, atau ketika istri sedang haid, semuanya tidak termasuk dalam kategori talak sunni.

c. Talak dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik dipermulaan, dipertengahan, maupun diakhir suci, walaupun beberapa saat lalu datang haid.

d. Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu dijatuhkan.3

2. Talak Bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan tidak atau bertentangan dengan tuntutan sunnah dan tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni.

3


(50)

Yang termasuk talak bid’i:

a. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid, baik dipermulaan haid maupun dipertengahannya.

b. Talak yan dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci yang dimaksud.

3. Talak la sunni wa la bid’i, yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan tidak pula termasuk talak bid’i yaitu:

a. talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.

b. talak yang dijatuhkan terhadap istri yang pernah haid, atau istri yang telah lepas haid.

c. talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.4

Adapun talak ditinjau dari tegas atau tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak terbagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Talak sharih, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas. Talak dengan kata-kata yang jelas misalnya mencakup perkataan seperti: talak, firaq, dan sarah. Demikianlah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad seperti disebutkan dalam al-Qur’an. Adapun beberapa contoh talak sharih sebagai berikut:

• engkau saya talak sekarang juga, engkau saya cerai sekarang juga

• engkau saya firaq sekarang juga, engkau saya pisahkan sekarang juga

• engkau saya sarah sekarang juga, engkau saya lepaskan sekarang juga

4


(51)

2. Talak kinayah, yaitu talak dengan memggunakan kata-kata sindiran atau samara, seperti suami berkata pada istrinya:

• Engkau sekarang telah jauh dari diriku

• Selesaikan sendiri segala urusanmu

• Janganlah engkau mendekati aku lagi

Mengenai kedudukan talak dengan kata-kata kinayah ini, bergantung kepada niat si suami. Artinya, jika suami dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan talak, maka jatuhlah talak itu, dan jika suami dengan kata-kata tersebut tidak bermaksud menjatuhkan talak, maka talak tidak jatuh.5

Kemudian jika kita tinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1. Talak Raji’, yaitu talak dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada

istrinya (rujuk) sepanjang istrinya tesebut masih dalam masa iddah. Salah satu diantara syaratnya adalah bahwa si istri sudah pernah digauli, sebab istri yang dicerai sebelum dicampuri tidak mempunyai masa iddah, berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi:

☺ ☺

☯ ⌧

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu

5


(52)

mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya”.

Adapun syarat lainnya adalah, talak tersebut tidak menggunakan uang pengganti dan tidak termasuk syarat untuk melengkapi talak tiga.6

Setelah terjadi talak raj’i maka istri wajib beriddah, dan apabila dikemudian hari suami ingin kembali kepada bekas istrinya sebelum berakhir masa iddahnya, maka hal itu dapat dilakukan dengan menyatakan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut bekas suami tidak menyatakan rujuk terhadap bekas istrinya, maka dengan berakhirnya masa iddah tersebut, maka kedudukan talak berubah dari talak raj’i berubah menjadi talak ba’in. dan bila sesudah berakhirnya masa iddah itu suami ingin kembali, maka wajib hukumnya melakukan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru pula. Talak raj’i hanya terjadi pada talak pertama dan kedua saja, hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 229:

...

Artinya:

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”

Ayat ini memberi makna bahwa talak yang disyariatkan Allah ialah talak yang dijatuhkan oleh suami satu demi satu, tidak sekaligus, dan bahwa suami boleh memelihara kembali bekas istrinya setelah talak pertama dengan cara yang baik,

6

Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, (terj. Dari Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Khamsah). Jakarta: Lentera, 2005, cet Ke-15, h.451.


(53)

dan demikian juga dengan talak yang kedua. Arti memelihara kembali inilah yang disebut dengan merujuknya dan mengembalikannya ke dalam ikatan perkawinan dan berhak mengumpulinya dengan cara yang baik. Hak merujuk hanya terdapat dalam talak raj’i.

2. Talak Ba’in, yaitu talak yangi tidak memiliki hak untuk rujuk kepada wanita yang ditalaknya. Mengenai talak ba’in ini. Para fuqaha telah sependapat bahwa talak tersebut karena belum ada pergaulan, karena adanya bilangan tertentu, dan karena adanya penerimaan ganti pada khulu’, meski masih diperselisihkan diantara fuqaha, apakah khulu’ itu talak atau fasakh.7

Talak ba’in terbagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Talak Ba’in Sughra, adalah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istri. Artinya, bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri, baik dalam masa iddahnya maupun sesudah berakhir masa iddahnya.

b. Talak Ba’in Kubra, yaitu talak tiga dimana dalam talak tersebut suami tidak bisa rujuk kembali kepada bekas istrinya dan tidak boleh menikah kembali, kecuali bekas istri tersebut telah menikah dengan laki-laki lain, dan telah bercampur dengan laki tersebut, kemudian diceraiakan laki-laki tersebut, serta masa iddahnya juga telah habis dengan laki-laki-laki-laki

7

Abdurrahman Haris Abdullah, Ibnu Rusyd: Bidayatul Mujtahid, (terj), , cet I, (Semarang: Asy-Syifa,1990), h. 447.


(54)

tersebut. Dan hal ini tidak boleh disengaja atau dibuat-buat. Akan tetapi hal ini harus berjalan dengan sendirinya.

c. Hukum menjatuhkan talak

Adapun hukum menjatuhkan talak, apabila dilihat dari kemaslahatan dan kemudharatannya, maka hukum talak ada lima yaitu:8

1. Wajib, yaitu apabila terjadi perselisihan antara suami istri lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim dari istri dan dari suami

2. Makruh, yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan. 3. Mubah, yaitu talak yang dilakukan karena ada kebutuhan. Misalnya

karena buruknya akhlak istri dan kurang baiknya pergaulannya yang hanya mendatangkan mudharat dan menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan.

4. Sunnah, yaitu talak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan hak-hak Allah yang telah diwajibkan kepadanya seperti shalat, puasa, dan kewajiban lainnya. Sedangkan suami juga sudah tidak sanggup lagi memaksanya kembali kejalan Allah atau istrinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya.

5. Mahzur (terlarang), yaitu talak yang dijatuhkan ketika istri sedang haid. Para ulama Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak seperti ini disebut juga dengan talak bid’ah karena menyalahi sunnah.

8


(55)

Jumhur ulama termasuk Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah menyatakan bahwa talak termasuk hal yang di izinkan, tetapi lebih baik bila tidak melakukannya kecuali jika terpaksa, karena akan merusak hubungan kasih sayang. Karena itu, menurut mereka hukum talak dapat berubah menjadi haram, makruh, wajib, dan sunnah.

2. Khuluk

Khuluk yang dibenarkan dalam hukum Islam tersebut berasal dari kata

khala’a ats-tsauba yang berarti menanggalkan pakaian. Hal ini karena perempuan sebagai pakaian laki-laki dan laki-laki pun pakaian perempuan.9

Sedangkan menurut istilah syara’, khuluk adalah akad yang dilakukan oleh suami istri untuk membebaskan istri dari pernikahan dengan syarat istri membayarkan sejumlah harta, lalu suami menolaknya atau mengkhuluknya. Bisa berarti khuluk adalah tebusan yang diberikan oleh istri supaya suami menceraikannya.10

Khuluk merupakan penghormatan hukum Islam terhadap seorang istri dengan memberi jalan kepadanya yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khuluk sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan istrinya dengan jalan talak.

Adapun dasar hukum disyariatkannya khuluk ialah firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 229:

9

. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 3, cet I, (Jakarta, Pena Pundi Aksara, 2006), h. 190. 10

. M. Abdullah Mujied dkk, Kamus Istilah Fiqih, cet III, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2002), h. 163-164.


(56)

⌧ ….

.... .

Artinya:

“….Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya …..”

Hadits Nabi yang diriwayatkan al-Bukhari dan an-Nasa’i dari Ibnu Abbas yang berkata: “Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Rasulullah SAW, sambil berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi aku tidak ingin menjadi kafir dari ajaran Islam akibat terus hidup bersama dengannya’. Rasulullah saw bersabda, ‘Maukah kamu mengembalikan kebunnya (Tsabit, suaminya)?’ Ia menjawab, ‘Mau’. Rasulullah SAW bersabda, ‘Terimalah (Tsabit) kebun itu dan talaklah ia satu kali’.”

Dengan demikian, bila istri merasa khawatir suami tidak menunaikan kewajibannya yang telah ditetapkan oleh syariah dalam perkawinan mereka, maka istri dapat melepaskan diri dari ikatan perkawinan mereka dengan menyerahkan kembali seluruh atau sebagian dari harta kekayaan yang dulu diterima dari suaminya

Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya mengatakan bahwa khuluk hanya boleh dilakukan bila ada alasan yang benar. Antara lain karena suami cacat badan, berakhlak buruk, atau tidak memenuhi kewajibannya. Sedangkan istri khawatir akan melanggar hukum Allah. Dan apabila tidak ada alasan yang cukup kuat, maka haram hukumnya bagi istri melakukan khulu’.11

11


(57)

Di Indonesia, khuluk biasanya dikaitkan dengan taklik talak atau dengan perjanjian talak yang diucapkan oleh suami disaat melangsungkan akad nikah berlangsung. Inti perjanjian itu adalah persetujuan pihak suami untuk menjatuhkan talaknya, apabila taklik talak itu dilanggar oleh pihak suami. Oleh karena itu, di dalam KHI Pasal 116 bagian (g), “pelanggaran terhadap taklik talak bias dijadikan alasan oleh istri untuk mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Agama.

Konsekuensi hukum yang ditimbulkan oleh khuluk berbeda dengan talak yang dijatuhkan oleh suami secara bertahap. Apabila seorang istri telah mengkhuluk dirinya, maka secara hukum suami tidak berhak merujuki istrinya, meskipun istrinya bersedia kembali ‘iwad (tebusan) yang telah diberikan kepada suami sebagai syarat terjadinya khuluk. Namun suami bisa kembali kepada bekas istrinya dengan syarat diadakannya akad nikah baru tanpa adanya muhallil.12

3. Zihar

Zihar berasal dari kata “adz-zahar” yang berarti punggung.13 Dalam kaitannya dengan suami istri, zihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan istri dengan punggung ibu suami, seperti ucapan suami kepada istrinya, “Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”.

Zihar ini merupakan bentuk talak di zaman jahiliyah yang dipergunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan menyetubuhi isterinya dan berakibat menjadi haramnya isteri itu bagi suami dan laki-laki untuk selama-lamanya.

12

. Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, cet I, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 133. 13


(58)

Syariat Islam datang untuk memperbaiki masyarakat, medidiknya, dan melestarikannya menuju kemaslahatan hidup. Hukum Islam menyediakan zihar itu berakibat hukum yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Akibat hukum zihar yang bersifat duniawi adalah menjadi haramnya suami menggauli isterinya yang dizihar samapai suami melaksanakan kafarat zihar. Sedangkan ukhrawi adalah bahwa zihar itu adalah perbuatan dosa, dan untuk membersihkannya wajib bertobat dan memohon ampun kepada Allah SWT.

4. Ila’

Menurut bahasa ila’ artinya “bersumpah” atau terlarang dengan sumpah. Sedangkan menurut istilah hukum Islam ila’ adalah sumpah suami yang sah untuk tidak mencampuri istrinya tanpa batas waktu atau lebih dari empat bulan.14

Pada masa Jahiliyah, ila’ itu adalah talak, yaitu suami tidak mencampuri istrinya selama setahun atau dua tahun dengan maksud untuk menyakiti istri semata-mata. Kemudian Islam merubahnya, dengan menetapakan waktu empat bulan. Dalam tenggang waktu empat bulan ini suami dapat berfikir untuk kembali atau menceraikannya. Jika suami merujuki istrinya dalam masa itu, dan mencampuri istrinya, maka ia wajib membayar kifarat sumpah, tetapi jika ia tidak mau rujuk setelah lewat masa empat bulan itu, maka ia harus mentalak istrinya.

5. Li’an

Secara harfiyah li’an berarti saling melaknat. Secara terminologis berarti sumpah suami menuduh istrinya berbuat zina. Sedangkan ia tidak mampu

14

Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, cet I, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994), h. 37.


(59)

mendatangkan empat orang saksi. Akan tetapi, bila yang melakukan penuduhan itu adalah suami terhadap istrinya dan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi kecuali hanya dirinya saja, maka ia harus menyampaikan kesaksian disertai sumpah sebanyak empat kali yang menyatakan bahwa ia benar atas tuduhannya. Kali yang kelima ia menyatakan bahwa laknat Allah atasnya bila ia berdusta dengan tuduhannya itu.

Dengan sumpahnya itu, maka suami bebas dari saksi tuduhan zina tanpa bukti. Hal itu berarti tuduhan zina itu adalah benar. Untuk selanjutnya istri dikenai saksi berbuat zina yaitu dera 100 kali bila ia belum dicampuri suaminya dan rajam bila ia pernah dicampuri suaminya. Akan tetapi jika istri merasa tidak pernah berbuat zina seperti yang dituduhkan suaminya itu, maka ia berhak membela dirinya dengan menolak sumpah suami tersebut.

Dari sumpah penolakan itu, maka si istri terlepas dari saksi zina. Sumpah suami dan penolakan sumpah dari istri dilakukan di hadapan pengadilan. Dengan tejadinya saling sumpah dan saling laknat itu maka putuslah perkawinan di antara keduanya dan tidak boleh kembali melangsungkan perkawinan untuk selamanya. Di samping itu anak yang lahir dari perkawinan itu tidak dinisbatkan kepada suami yang meli’an karena li’an itu di samping menuduh zina. Juga sekaligus memastikan anak yang dikandung istrinya.

Adapun dalam hukum Positif yang berlakuku di Indonesia, perceraian diatur dalam Undang-Undang RI No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang terdapat dalam Bab VIII yaitu Putusnya Perkawinan serta Akibatnya, dan pasal 38 yang berbunyi,


(1)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, penulis mengambil beberapa kesimpulan. Antara lain:

1. Faktor penyebab terjadinya pemerkosaan dalam rumah tangga yaitu kurangnya komunikasi anatara suami dan isteri, pemahaman ajaran agama yang salah menyebabkan terjadinya perbedaan posisi antara perempuan dan laki-laki, dan masih dominannya nilai patriarki di sebagian masyarakat yang menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Adapun dampak yang diakibatkan dari pemerkosaan dalam rumah tangga antara lain:

Dampak Medis, yaitu hubungan seksual yang dipaksakan dapat mengakibatkan luka fisik, dan luka pada organ vagina atau organ reproduksi si korban.

Dampak Psikis, yaitu korban menjadi trauma melakukan hubungan seks, selain itu juga korban akan menajdi takut, terasing dan tidak percaya diri lagi untuk melayani suaminya.

2. Pemerkosaan dalam rumah tangga sangat bertentangan dengan hukum Positif dan hukum Islam karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Perkawinan adalah lembaga yang menghalalkan hubungan seksual antara suami isteri yang


(2)

terjalin dalam ikatan yang suci tetapi melarang berhubungan dengan cara-cara pemaksaan, apalagi disertai dengan kekerasan fisik, psikis dan seksual.

3. Apabila pemerkosaan dalam rumah tangga sudah tidak bisa dikompromikan lagi. Maka perceraian menjadi alternatif terakhir. Walaupun dalam undang-undang dan hukum fikih tidak diatur secara gamblang akan tetapi dalam penjabarannya pemerkosaan dalam rumah tangga bisa dijadikan alasan perceraian.

4. Adapun upaya untuk mendamaikan atau menanggulangi pemerkosaan dalam rumah tangga sebagai alasan perceraian, perlu adanya penyelenggaran komunikasi yang baik antara suami isteri, pemahaman tentang agama yang sesungguhnya mengenai kesetaraan hak antara suami dan isteri, dan pergaulan yang baik antara suami dan isteri (mu’asyrah bil ma’ruf).

B. Saran

Dan di akhir tulisan ini, penulis mencoba memberikan saran yang dapat mencegah pmerkosaan dalam rumah tangga sebagai alasan pemerkosaan. Diantara saran tersebut antara lain:

1. Perlu adanya pemahaman yang luas mengenai hubungan seksual, sehingga perceraian dari akibat pemerkosaan dalam rumah tangga dapat di minimalisir atau bahkan dicegah. Selain itu juga laki-laki hendaknya memahami konsep kesetaraan gender dan merubah paradigma mengenai nilai patriarki yang dominan dalam sebagian masyarakat.


(3)

71

2. Dalam hubungan suami isteri yang menjadi kunci kebahagian salah satunya adalah sikap saling terbuka. Seorang perempuan harus berupaya untuk mandiri, baik secara ekonomi, maupun intelektual. Sehinngga isteri dimata suami tidaklah dianggap sebelah mata. Dan dari kemampuannya tersebut isteri dapat memutuskan kebaiakan untuk dirinya baik itu dari pengalamannya atau berdasarkan pemahaman ajaran agama.

3. Hendaknya korban yang mengalami pemerkosaan dalam rumah tangga meminta perlindungan kepada keluarga atau kepada pihak yang berkepentingan, dan meminta agar pelaku dinasehati oleh pihak keluarga atau pihak yang berkepentingan supaya hal seperti ini tidak terjadi lagi.

4. Dengan adanya pemahaman agama yang benar, komunikasi yang baik antara suami dan isteri, mu’asyarah bil ma’ruf, dan kemandirian isteri dapat mengurangi dan mencegah terjadinya pemerkosaan dalam rumah tangga.


(4)

Abdusshomad, Mahyuddin, ‘Pemerkosaan dalam Rumah Tangga?’. Artikel di akses pada 20 September 2009 dari http://www.rahima.or.id

“Ajaran.” Dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Al-Anshari, Abu Zakaria. Fathul Wahab Juz 2, Jakarta: Tinta Mas, 1982.

Alhusaini, Al-Imam Taqiyuddin Abubakar. Terjemahan Kifayatul Akhyar Juz 2, cet.I. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997.

Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘Ala Mazahib Al-Arba”ah. Istanbul: Maktabah Isyik, 1977.

Ayub, Syaikh Hasan, Fiqh Keluarga, cet.I. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.

Chaniago, Amran YS. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, cet.V. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002.

Dermawan, Andy, “Marital Rape dalam Persfektif Al-Qur’an”. Dalam Mochamad Sodik, ed. Telaah Ulang Wacana Seksualitas, Andi Dermawan, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, Depag RI, dan McGill-IISEP-CIDA, 2004.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, cet.I. Jakarta: Prenada Media, 2003.

Hayati, Elli Nurhayati, Panduan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan: Konseling Berwawasan Gender, Yogyakarta: Rifka Annisa dan Pustaka Pelajar, 2000.

http://www.hukumonline.com http://www.jurnalnet.com http://www.lbhapikjakarta.co.id

http://www.rifkaannisawomencrisiscenter.co.id


(5)

73

Idrus, Nurul Ilmi, “Marital Rape: Kekerasan Seksual dalam Perkawinan”, Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan (PPK) UGM dan Ford Foundation, 1999.

Ilyas, Hamim, “Orientasi Seksual dari Kajian Islam”. Dalam S. Edy Santosa, ed. Islam dan Konstruksi Seksualitas, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, The Ford Foundation, dan Pustaka Pelajar, 2002.

Karjasungkana, Nursyahbani, Aspek Hukum Kekerasan terhadap Perempuan, “Potret Perempuan”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Kemenrian Pemberdayaan Perempuan RI, Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta: KPP RI, 2005.

Khairuddin, Pelecehan Seksual terhadap Isteri, Yogyakarta: PPK UGM, 1998.

M, Alimin, “Bercinta dalam Ungkapan Kitab Suci (Titik Temu Konsep Marital Rape dengan Gagasan Al-Qur’an)”, Ahkam VII No 15, 2005.

Marlia, Milda. Marital Rape: Kekerasan Seksual terhadap Istri, cet.I. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007.

Martha, Aroma Elmina, Perempuan: Kekerasan dan Hukum, Yogyakarta: UII Press, 2003.

Mughniyyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab (terj) Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Khamsah, cet.XV. Jakarta: Lentera, 2005.

Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Mujied, M. Abdullah. dkk, Kamus Istilah Fiqih, cet.III. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Muyassarotussalichah, “Marital Rape: Persfektif Yuridis Viktimologis”. Dalam Mochamad Sodik (ed), Telaah Ulang Wacana Seksualitas, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, Depag RI, dan McGill-IISEP-CIDA, 2004.

---, “Pemanfaatan Perbandingan Hukum Delik Kesusilaan dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional”, Sosio-Religia II No. 3 (2003)

Qibtiyah, Alimatul, “Intervensi Malaikat dalam Hubungan Seksual”. Dalam Mochamad Sodik dan Inayah Rohmaniyah, (ed). Perempuan Tertindas?


(6)

Kajian Hadits-hadits “Misoginis”, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan The Ford Foundation, 2003.

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo, 1996.

Rofiah, Nur, “Larangan Islam atas Perkosaan dalam Perkawinan”. Harkat VIII (Oktober 2007)

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah jilid 3, cet. I. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.

Said, Fuad, Perceraiann Menurut Hukum Islam, cet.I. Jakarta: Pustaka: Al-Husna, 1994.

Subekti, R dan Tjitrosudibio, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006.

Syrifuddin, Amir, Garis-garis Besar Fiqh, cet.I. Bogor: Prenada Media, 2003.

Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islam wa Adillatu, cet.VII.. Damaskus: Dar al-Fikr, 1988