38
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa sebenarnya perkawinan adalah sarana legal yang diperkenankan oleh negara dengan tata cara yang sudah
ditetapkan oleh negara.
B. Dasar Hukum Perkawinan
Kehidupan berkeluarga terjadi lewat perkawinan yang sah, baik menurut agama maupun ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dari sini akan
tercipta kehidupan yang harmonis, tentram dan sejahtera lahir batin yang didambakan oleh setiap insan yang normal.
Dalam agama Islam dasar perkawinan telah digariskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dasar hukum perkawinan dalam Al-Qur’an dan Hadits antara lain
adalah An-Nisa ayat 21:
}
39
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa
kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Al-Rum : 21 Atau surat Asy-Syura: 11
}
40
Dari dasar hukum perkawinan di atas baik dari Al-Quran maupun Hadits dapat dipahami bahwa perkawinan daam pandangan Islam merupakan
sunatullah dan sunah Rasul. Sunatullah berarti menurut qudrah dan iradah Allah dalam pencaiptaan alam ini, sedangkan Rasul berarti suatu tradisi yang
telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri maupun untuk umatnya.
C. Rukun Dan Syarat Perkawinan
Rukun berarti adalah kata mufrad dari kata jama’ “arkaan”, artinya asas atau sendi atau tiang. Yaitu sesuatu yang menentukan sah apabila dilakukan
dan tidaknya apabila ditinggalkan sesuatu pekerjaan ibadah dan sesuatu itu termasuk di dalam pekerjaan itu. Lain dengan “syarat” yang menentukan sah
atau tidaknya suatu pekerjaan ibadah, tetapi sesuatu itu tidak termasuk di dalamnya
13
. Syarat sah nikah merupakan dasar sahnya pernikahan. Jika syarat-syarat
ini terpenuhi, amal pernikahan itu sah dan akan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pernikahan. Berikut adalah bentuk sederhana dari syarat
dan rukun nikah. Rukun didefinisikan sebagai rukun perkawinan menurut Islam adalah :
1. Calon pengantin pria 2. Calon pengantin wanita
13
M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994, Cet. III, h. 300-301
41
3. Wali nikah 4. Dua orang saksi
5. Sighat akad ijab kabul
14
Menurut Zuhdi Muhdlor syarat-syarat perkawinan untuk calon pengantin pria adalah beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya, tidak terkena halangan
perkawinan, cakap bertindak hukum untuk berumah tangga, tidak sedang mengerjakan haji atau umrah, belum mempunyai empat orang istri.
Sedangkan untuk pengantin wanita adalah beragama Islam, perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai persetujuan, tidak terkena halangan perkawinan, di
luar iddah bagi janda, tidak sedang mengerjakan haji atau umarah.
15
Adapun syarat bagi seorang wali adalah laki-laki, baligh, waras akalnya, tidak dipidana, tidak dipaksa, adil, tidak sedang dalam ihram atau haji.
16
Sedangkan menurut Zuhdi Muhdhor syarat untuk wali adalah beragama Islam,
14
H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah:Hukum Perkawinan Islam Jakarta, Pustaka Amani, 1989, Cet III, h.30, Lihat juga Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan -Nikah,
Talak, Cerai Dan Rujuk-, Menurut Hukum Islam, UU Tentang Perkawinan, Uu Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung, Mizan, 1994, Cet III, h. 52.
15
Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan -Nikah, Talak, Cerai Dan Rujuk-, Menurut Hukum Islam, UU Tentang Perkawinan, UU Peradilan Agama Dan Kompilasi
Hukum Islam, Bandung, Mizan, 1994, Cet. III, h. 52. Menurut Alhamdani, Syarat-syarat bagi calon suami adalah bukan mahram dari calon istri, Tidak terpaksa atau atas kemauan
sendiri, Orangnya tertentu jelas orangnya, Tidak sedang menjalankan ihram haji, Dan syarat bagi calom istri, Tidak ada halangan syar’i yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang
dalam masa iddah, Merdeka atas kemauan sendiri, Jelas orangnya, Tidak sedang dalam berihram, lihat juga H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah ..., Op.Cit, h.30
16
H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah ..., Op.Cit, h.30
42
laki-laki, adil tidak fasiq, mempunyai hak atas perwaliannya, tidak terkena halangan untuk menjadi wali, tidak sedang mengerjakan haji atau umrah.
17
Para ulama sepakat bahwa berakal dan baligh merupakan syarat dalam perkawinan, kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai. Disyaratkan juga
bahwa kedua mempelai mesti terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat mereka dilarang kawin, baik karena hubungan keluarga maupun hubungan
lainnya, baik yang bersifat permanen maupun sementara. Syafi’i berpendapat jika wanita baligh dan berakal sehat ingin menikah
dan masih gadis maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda maka hak mengawinkan itu ada pada keduanya wali tidak boleh
mengawinkan wanita janda tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu wali. Namun pengucapan akad adalah
hak wali. Akad yang diucapkan oleh wanita tersebut tidak berlaku sama sekali,
walaupun akad itu sendiri memerlukan persetujuan. Sementara itu Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih
sendiri suaminya dan boleh pela melakukan akad nikah sendiri, baik dia perawan atau janda.
18
17
Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ..,Op.Cit, h. 52.
18
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab –Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali- Jakarta, Lentera, 2001, Cet. VII, h. 318. Tentang hal baligh, para ulama mahzab
sepakat bahwa haid dan hamil merupakan bukti kebalighan seorang wanita. Sebab hamil hanya akan bisa terjadi oleh karena pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haid
kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma dalam laki-laki. Imamiyah, maliki, syafi’i
43
Kemudian syarat-syarat seorang saksi adalah laki-laki, baligh, waras akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat, bebas atau tidak dipaksa, tidak
sedang menjalankan ihram atau haji, memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul. Menurut Zuhdi Muhdar syarat seorang saksi adalah dua
orang laki-laki, beragama Islam, mengerti maksud akad perkawinan, hadir pada saat ijab kabul berlangsung.
19
Untuk saksi akad nikah, Syafi’i berpendapat bahwa pernikahan tidak sah tanpa adanya saksi, tetapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua
orang laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan, tanpa disyaratkan harus adil. Namun mereka Syafi’i dan Hanafi bersepakat bahwa
kesaksian kaum wanita saja tanpa laki-laki tidak sah. Mengenai akad pernikahan para ulama mahzhab sepakat bahwa
pernikahan dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan kabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau seperti
pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali. Dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa disertai adanya akad.
dan hambali mengatakan tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti baligh-nya seseorang. Sedangkan hanafi menolaknya, sebab menurut beliau bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya
dengan bulu-bulu lain diseluruh tubuh. Syafi’i dan Hambali mensyaratkan usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan
adalah lima belas tahun, sedangkan Maliki menetapkan tujuh belas tahun sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah delapan belas tahun, sedangkan bagi
perempuan tujuh belas tahun. Pendapat hanafi daam usia baligh adalah batas usia maksimal sedangkan usia minimalnya adalah dua belas tahun untuk anak laki-laki dan sembilan tahun
untuk enak perempuan. Sebab menurut imam hanafi pada usia tersebut seorang anak laki-laki dapat mengeluarkan sperma, menghamili atau meneluarkan mani diluar mimpi, sedangkan
bagi perempuan dapat mimpi keluar sperma, hamil atau haid.
19
Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ..., Op.Cit.,h. 52
44
Para ulama mahzab juga sepakat bahwa akad nikah itu sah bila dilakukan dengan redaksi atau lafadz “aku mengawinkan” atau “aku menikahkan” dari
pihak yang dilamar atau orang yang mewakilinya dan redaksi “aku terima” atau “aku setuju” dari pihak yang melamar atau orang yang mewakilinya
20
. Menurut mahzhab Syafi’i
21
bahwa redaksi akad dalam pernikahan harus merupakan kata bentukan dari lafal al-tazwij dan al-nikah saja, selain itu
menurut beliau tidak sah22. Berbeda dengan pendapat dari imam Abu Hanifah23 yang berpendapat bahwa akad boleh dilakukan dengan segala
20
Jawad Mughniyah Muhammad, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta, Lentera Basritama, 1999, h.309
21
Munculnya mazhab Imam Syafi’i di mulai pada tahun 198 H 815 M, yaitu pada saat beliau berusia 48 tahun setelah belajar kurang lebih 40 tahun. Imam Syafi’i mendapat izin
dari gurunya – Imam Malik – untuk berfatwa sendiri dalam Ilmu Fiqh dan tidak berfatwa atas dasar aliran Imam Malik dan Imam Hanafi sic. Imam Malik memberikan izin kepada Imam
Syafi’i untuk berfatwa sendiri karena dengan ilmu yang dimilikinya ia telah dianggap mampu untuk itu. Dengan izin tersebut, Imam Syafi’i mulai berfatwa pada tahun 198 H, diawali
dengan menyusun kitab-kitab yang dikarangnya sendiri. Lihat : Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1986, Cet. ke-6, h. 13. Imam
Syafi’i mengatakan yang menjadi sumber pokok adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kalau tidak ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah barulah qiyas kepada keduanya. Kalau sebuah
hadits dari Rasulullah SAW sudah shahih sanadnya maka itulah Sunnah. Ijma’ lebih besar dari kabar dari orang seorang. Hadits-hadits itu diartikan menurut dzahir lafadznya, tetapi
kalau artinya banyak, maka yang dekat kepada yang dzahir itulah yang pantas. Kalau bersamaan dengan banyak hadits, maka yang paling shahih sanadnya itulah yang
didahulukan. Hadits Munqathi’ yang tidak sampai sanadnya kepada Rasulullah SAW tidak diterima, kecuali munqathi’ yang dikatakan oleh Sahabat Said Ibnu Al-Musayyab. “Asal”
tidak diqiyaskan kepada “asal”. Asal tidak ditanya “Kenapa dan bagaimana ?”. Hal ini boleh ditanyakan kepada Furu’ “Kenapa ?”. Kalau sudah ada qiyas furu’ kepada asal maka itu
adalah suatu dalil hujjah.
Pengetahuan untuk beristinbat Imam Asy-Syafi’i itu adalah dari Kitab Suci Al-Qur’an, Sunnah Rasul, Ijma’ dan Qiyas”. Lihat : Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab
Syafi’i, Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1986, Cet. VI, h.120.
22
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab ..., Op.Cit., h. 309
23
Abu Hanifah yang nama lengkapnya adalah Al-Nu’man Ibn Tsabit Ibn Zuthi 80-150 H. Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada tahun
80H; artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada zaman kekuasaan Abd Al- Malik ibn Marwan. Beliau meninggal pada kekuasaan Abbasiah.
45
redaksi yang menyatakan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafadz al-tamlik pemilikan, al-hibah penyerahan, al-bay’ penjualan, al-‘atha’
pemberian, al-ibahah pembolehan, dan al-ihlal penghalalan. Sepanjang akad tersebut menunjukkan qarinah kaitan yang menunjukkan arti nikah
24
. Selanjutnya para ulama mazhab juga bersepakat bahwa orang yang
melakukan akad itu harus pasti dan tentu orangnya, sehingga dipandang tidak sah akad nikah dalam kalimat yang berbunyi, ”saya mengawinkan kamu
dengan salah seorang di antar kedua wanita ini,” atau “saya nikahkan diri saya dengan salah satu diantara kedua laki-laki ini” tanpa ada kepastian yang
manakah diantara kedua itu yang dinikahi.
25
Pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan beberapa syarat perkawinan. Disebutkan sebagai berikut;
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan keduan calon mempelai.
26
Cara ijtihad yang pokok dapat diringkas sebagai berikut: “Aku Abu Hanifah merujuk kepada Al-Quran apabila aku mendapatkannya; apabila tidak ada dalam Al-Quran, aku
merujuk kepada sunah Rasulullah saw dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang- orang tsiqah. Apabila tidak mendapatkannya dalam Al-Quran. Apabila tidak mendapatkan
dalam Al-Quran dan sunnah rasul, aku merujuk kepada qaul sahabat, apabila sahabat ikhtilaf, aku mengambil pendapat yang mana saja yang aku kehendaki, aku tidak akan pindah
dari sahabat yang satu kesahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat ibrahim, al-sya’bi, dan ibn al-Musayyab, serta yang lainnya, akau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
Lihat : Thaha Jabir Fayadl al-Ulwani, 1987:91
24
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab ..., Op.Cit., h. 309.
25
Ibid., h. 312. Terdapat perbedaan antara Imam Syafi’i dan Imam Hanafi mengenai syarat untuk menyegerakan akad. Imam Syafi’i mensyaratkan untuk menyegerakan akad,
artinya qabul harus segera dilakukan segera setelah akad secara langsung dan tidak terpisah. Sedangkan Hanafi tidak mensyaratkan kesegeraan. Menurut Hanafi, kalau ada laki-laki yang
mengirim surat lamaran kepada seorang perempuan lalu si perempuan tadi menghadirkan para saksi dan membacakan surat itu kepada mereka, kemudian mengatakan,”saya nikahkan diri
saya kepadanya”, padahal lelaki yang melamarnya tersebut tidak ada di tempat maka akad tersebut menurut Imam Hanafi adalah sah.
26
Aspek kerelaan atau tidak adanya intervensi dari luar bagi pihak calon pasangan suami istri juga penting karena perkawinan adalah bagian dari urusan pihak calon suami istri, bukan
46
2. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai usia 20 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dapat hanya dari orang tua yang masih hidup.
Dalam hal salah seorang dari orang tua telah meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendaknya maka diperkenankan untuk menggunakan wali
nikah. Orang yang memelihara atau orang yang mempunyai hubungan keturunan dengan yang bersangkutan.
D. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan