64
para ulama dan KHI. hanya memberikan jalan keluar bagi mereka yang telah terlanjur hamil sebelum menikah. Ini bukan berarti memberikan
peluang untuk hamil
sebelum
menikah berbuat zina, sebab perbuatan zina suatu perbuatan yang sangat jahat dan dosa besar.
C. Status
Hukum
Anak Hasil Perbuatan Zina
Dalam
kehidupan keluarga setiap anak yang lahir dari ikatan perkawinan, diterima sebagai pembawa bahagia. Tetapi adakalanya anak bukan terlahir
dari kedua orang tua yang sama, sebutlah si istri seorang janda dan ia membawa anak dari suami pertama. Atau sebaliknya si pria seorang duda
membawa anak dari istri terdahulu, dan dari perkawinan itu terjadilah hubungan antara anak yang bersaudara kandung disamping anak saudara tiri.
Kedudukan anak demikian pada umumnya tidak sama dimata kedua orang tua, baik dalam curahan kasih sayang juga kelak dengan pembagian harta
waris.
Masih
tentang
kedudukan anak. Akan terjadi kemungkinan si anak lahir dari hubungan diluar pernikahan. Banyak factor penyebab denikian sekarang
ini. Anak seperti itu sering disebut “ anak haram jaddah”. Sebutan yang tidak dikenal dalam masyarakat yang beriman kepada tuhan. Walaupun kehadiran
65
sia anak tanpa hubungan perkawinan yang menjadi sebab adalah “orang tuanya”.
14
Menurut ajaran Islam bahwa setiap anak mempunyai hubungan yang erat
dengan
ibu dan bapaknya double unilateral bilateral, sehingga kalau salah satunya meninggal dunia maka yang satu akan menjadi ahli waris terhadap
yang lainnya.
15
Sejak lahir, anak mempunyai hak nasab pada orang tua sebagai buah perkawinan maka , firman Allah SWT:
}
ةﺮﻘﺒﻟا :
٢٣٣ {
Artinya: ”…. Dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf….”. Al-Baqarah: 233.
Menurut
pandangan Islam anak yang lahir dari rahim seorang perempuan mempunyai hubungan nasab dengan perempuan yang mengandung dan
melahirkannya itu tanpa melihat kepada cara bagaimana perempuan itu hamil, baik dalam perkawinan atau dalam perzinaan. Kalau kita menggunakan kata
“anak sah’ sebagai ganti “nasab” maka bagi seorang ibu, setiap anak yang dilahirkannya adalah anak sah; karena hubungan nasab antara ibu dengan
anak berlaku secara alamiah.
14
Mulyana W. Kusumah penyuting, Hukum Dan Hak-Hak Anak, Jakarta: CV. Rajawali, 1986,. Cet., h.5.
15
H. Asyhari Abdul Ghoffar, Islam dan Problematika Sosial Sekitar Pergaulan Muda Mudi, Jakarta: Akademika Pressindo, 2000, Cet. Ke-1, h.46.
66
Oleh
karena
itu, para ulama telah sepakat bahwa anak yang dilahirkan karena hubungan suami istri didalam perkawinan yang sah, maka nasab atau
hokum nasab anak tersebut mengikuti kedua orang tuanya. Untuk masalah anak zina hokum Islam tidak membatasinya apakah pelaku
zina itu salah satunya atau kedua-keduanya terikat perkawinan dengan orang lain atau tidak. Karen setiap anak yang lahir diluar perkawinan yang sah maka
hukum dari anak tersebut juga tidak sah. Karena dalam Islam yang dinamakan zina adalah hubungan seks antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat
oleh
akad yang sah. Para ulama telah sepakat, bahwa anak yang lahir karena perzinaan tetap
mempunyai hubungan keturunan dengan ibu matrilineal.
16
Anak hasil zina tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki. Dalam arti si anak itu tidak
memiliki
bapak
. Meskipun si laki-laki yang menzinainya, mengaku bahwa yang dikandung itu adalah anaknya. Tetap pengakuan ini tidak sah, karena
anak tersebut hasil hubungan diluar nikah. Karena dalam hokum perdata Islam setatus anak tersebut abadi dan permanent tidak bisa diubah karena
perkawinan, jadi anak itu tidak berbapak. Untuk anak yang lahir dari perempuan akibat perbuatan zina, mempunyai
hubungan
nasab dengan ibu yang melahirkannya dan dengan orang-orang yang berhubungan nasab dengan ibu itu, sedangkan dengan laki-laki yang
16
H. Asyhari Abdul Ghoffar, Islam dan Problematika Sosial Sekitar Pergaulan Muda Mudi,, h.46.
67
berzina dengan si ibu yang menyebabkan lahirnya anak itu, ia tidak mempunyai hubungan basab. Dengan demikian status anak dalam kandungan
sebelum terjadinya pernikahan, dengan suminya sudah jelas yakni bernasab kepada ibunya dan tidak bernasab kepada laki-laki manapun.
Untuk masalah ini para ulama mazhab berpendapat bahwa paling sedikit batas usia kandungan adalah enam bulan. Ukuran tersebut di ambil
dari firman Allah: Dalam ayat pertama di terangkan bahwa hamil dan di sapih itu
berlangsung bersama-sama dalam masa 30 bulan. Sedangkan dalam ayat kedua di terangkan bahwa masa sapih saja lamanya dua tahun. Jadi, di
kurangi,
lalu
di peroleh hasilnya, bahwa masa hamil saja berlangsung dalam enam bulan, berdasarkan ayat kedua tadi.
17
Ini berarti jika ada anak yang di lahirkan tiga bulan setelah orang tuanya akad nikah, maka anak tersebut tidak dapat di nisbatkan kepada ayahnya
sebagai anak yang sah.
18
Namun demikian, terdapat perbedaan di antara ulama dalam hal tenggang waktu enam bulan itu di hitung sejak akad nikah atau sejak berkumpul.
1 Imam Maliki dan Syafi’I berpendapat bahwa jika seorang laki-laki mengawini seorang perempuan yang belum pernah dikumpuli atau sudah
pernah, dalam waktu kurang dari enam bulan, kemudian wanita itu
17
Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-anak dalam Islam, alih Bahasa Dra. Chadijah Nasution, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h.18.
18
Fathurrahman, Ilmu Waris, Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1994, Cet. Ke-III,h.221.
68
melahirkan anak setelah enam bulan dari akad perkawinannya, maka anak tersebut tidak dapat di pertalikan nasabnya kepada laki-laki yang
menyebabkannya lahir: Jadi menurut Imam Maliki dan Imam Syafi’I perhitungan enam bulan itu
di mulai dari waktu berkumpul bukan dari masa akad nikah.
19
2 Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu tetap di anggap beada dalam ranjang suaminya sehingga karenanya anak yang
di lahirkan itu tetap dapat di pertalikan nasabnya kepada bapaknya sebagai anak sah.
20
Imam Abu Hanaifah memandang masalah tersebut dari segi yuridis formal bukan dari segi adanya kemungkinan bersetubuh
sebagaimana dasar pemikiran Imam dan Imam Syafi’i. Jadi, jika dalam suatu perkawinan yang belum dukhul kemudian
setelah enam bulan dari akad nikah wanita tersebut melahirkan, maka anak tersebut tetap di hubungan nasabnya kepada laki-laki yang menyebabkan
wanita itu hamil. Dalam Undang-undnag No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
kedudukan seorang anak di atur dalam Bab IX tentang kedudukan anak, pasal 42-44.
Pasal 42 : Anak yang sah adalah anak yang di lahirkan dalam atau
sebagai akibat dari perkawinan yang sah.
19
bnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, cairo: Dar Al-Kutub Al-Hadis, 1975, Juz II, h. 268.
20
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h.269.
69
Pasal 43 : 1 Anak yang dilahirkan di luar perkawianan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.2 kedudukan anak tersebut ayat 1 di
atas selanjutnya akan di atur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 44 : 1 seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang
dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berbuat zina dan anak itu akibat dari
pada perzinaan tersebut. 2 Pengadilan memberikan keputusan tentang sah tidaknya anak atas permintaan
pihak yang berkepentingan
Berdararkan ketetapan-ketetapan tersebut anak sah menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah anak yang lahir dalam atau sebagai
akaibat perkawinan yang sah. Jadi kalau seornag wanita yang telah mengandung karena berbuat zina, kemudian dia kawin sah dengan pria yang
menzinainya, maka jika anak itu lahir, anak itu adalah anak sah dari perkawinan wanita itu dengan pria yang menzinainya.
21
D. Analisis Penulis