44 cukup nyata untuk mencapai target
penerimaan restribusi pasar dan kebersihan. Namun secara parsial variabel-variabel
pemberian pelatihan, bantuan modal usaha, cara-cara pengelolaan usaha dan tingkat
pendapatanprofit usaha PKL, memberi kontribusi positif dan signifikan terhadap
penerimaan pendapatan asli daerah PAD dari sisi retribusi daerah. Dengan kata lain
PKL di Kota Menado memberi positif dalam meningkatkan perolehanpeneriman pendapatan
pemerintah Kota Manado untuk membiayai pembangunan kota.
Sebagai pembatasan permasalahan dalam penelitian ini, bahwa yang dimaksud
dengan onan pada penelitian ini adalah sebuah tempat jual beli pasar yang
berlangsung pada hari-hari tertentu saja, bisa mingguanpekanan atau dua harian yang
memiliki tempat tertentu. Di beberapa wilayah dikenal dengan istilah pasar tradisional,
pekanan, pasar mingguan, partiga-tiga, dan sejenisnya. Sehingga penelitian ini
difokuskan pada pasar tradisional onan yang berada di daerah pedesaanrural yang
cenderung belum dikelola dengan profesional oleh institusi pemerintah.
METODE
Lokasi penelitan dilakukan di onan yang ada di Kecamatan Air Batu, Kabupaten
Asahan Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan penelitian awal di Kecamatan Air Batu
terdapat beberapa desa yang yang memiliki onan yaitu Desa Sei Alim Ulu, Pinanggripan,
Hessa Perlompongan, dan Air Genting, yang berjumlah 6 lokasi onan. Jumlah sampel
penelitian sebanyak 78 responden untuk pedagang dan 78 responden untuk pembeli,
ditambah 6 desa sebagai wakil pemerintah desa dengan menggunakan prosedur simple
random sampling yakni proses pemilihan sampel di mana seluruh anggota populasi
mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih Daniel, 2002. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan regresi logistik.
HASIL 1. Karakteristik onan
Pelaku usaha pasar mingguan onan khususnya para penjual pada umumnya
masih relatif muda dan masih energik, yang berumur 20-35 tahun sebanyak 29 orang
yang terdiri 22 orang pria dan 7 orang wanita, sedangkan yang berumur di atas 35
tahun sebanyak 49 orang yang terdiri 34 orang pria dan 15 orang wanita.
Bila dilihat lebih jauh ternyata pelaku usaha pasar mingguan juga masih mempunyai
pekerjaan utama yaitu sebagai petani walaupun sangat kecil dibanding pelaku yang
lain memang pekerjaan utamanya sebagai pedagang. Pekerjaan utama pelaku usaha
pasar mingguan sebagai penjual hanya 5 mempunyai pekerjaan utama pada sektor
agriculture pertanian yang umumnya berpendidikan sekolah dasar SD dan
sekolah lanjutan tingkat pertama SLTP dan 95 pekerjaan utamanya sebagai service
dagang dengan latar belakang pendidikan telah lulus sekolah lanjutan atas SLTA dan
beberapa lulusan perguruan tinggi universitas.
Dari pekerjaan utama pada sektor service dagang tersebar dalam frekuensi
kunjungan ke onan yang ada di daerah sekitarnya. Yaitu 8,97 mempunyai kegiatan
ke onan satu kali dalam seminggu berarti hanya pada onan yang sama menjajakan
dagangannya. Sedangkan yang melakukan kegiatan ke onan 2–3 kali dalam seminggu
ada sebesar 26 dan 65,03 lainnya yang melakukan kegiatan dalam seminggu lebih
atau sama dengan 4 kali.
Dilihat jarak tempuh dari rumah sampai di tempat onan ternyata yang
jaraknya lebih dari 5 kilometer lebih banyak dibanding dengan penjual yang berada di
bawah 5 kilometer. Sehingga dapat diduga banyak pelaku pasar mingguan yang datang
dari daerah lain di luar kecamatan. Ada 64,37 pelaku usaha pasar mingguan onan
yang jarak tempuhnya lebih dari 5 kilometer dan sisanya adan 35,63 jarak tempuh
kurang dari 5 kilometer. Sedangkan pelaku onan untuk pembeli lebih banyak yang
datang ke onan dengan jarak tempuh kurang dari 5 kilometer yaitu sebesar 71,79.
2. Peranan Pemerintah Daerah dalam
Pasar Mingguan di Kecamatan Air Batu Belum Maksimal
Selanjutnya dari hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa semua
responden khusus penjual 100 tidak menerima bantuan dari pemerintah. Begitu
juga dari hasil wawancara dengan pengelola
45 pasar mingguan onan dari 6 pengelola 3 di
antaranya menggunakan tanah pribadi untuk menyiapkan onan bagi masyarakat, 2
pengelola menggunakan tanah desa, dan 1 pengelola menyatakan tanah pemerintah
Kabupaten Asahan. Dalam penggunaan tanah pribadi umumnya pengelola itu perorangan
atau kelompok masyarakat desa, sedang yang menggunakan tanah milik desa atau milik
Pemerintah Daerah Kabupaten Asahan, onan dikelola oleh Pemerintah Desa.
PEMBAHASAN 1. Model Regresi Logistik untuk Responden
Penjual
Dengan memasukan seluruh variabel yaitu, umur X1
1
, Jenis kelamin X1
2
, pendidikan X1
3
, lapangan usaha X1
4
, jam kerja X1
5
, frekuensi ke onan X1
6
, jarak ke onan X1
7
, omset per onan X1
8
, dan biaya per onan X1
9
, diperoleh model regresi sebagai berikut:
Berdasarkan model regresi yang dihasilkan dan dengan melihat hasil uji
statistik dengan taraf kepercayaan α=10,
dinyatakan bahwa dari sembilan variabel penjelas yang diduga berpengaruh terhadap
persepsi penjual ternyata ada lima variabel yang berpengaruh secara signifikan yaitu
jenis kelamin X1
2
, pendidikan X1
3
, frekuensi ke onan X1
6
, jarak ke onan X1
7
, dan variabel omset per onan X1
8
. Sedangkan empat variabel lainnya ternyata
tidak signifikan yaitu umur X1
1
, lapangan usaha X1
4
, jam kerja X1
5
, dan biaya per onan X1
9
, sehingga model regresi logistik yang terbaik untuk persepsi penjual adalah
sebagai berikut:
Dengan melihat
nilai odds ratio Exp
B pada lampiran 8, penjual yang berjenis kelamin perempuan mempunyai kecenderungan
memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 17,33 kali lebih
rendah dibandingkan penjual laki-laki. Dilihat dari tingkat pendidikannya, penjual
yang berpendidikan SLTA atau lebih akan memberikan persepsi bahwa onan
berpengaruh terhadap perekonomian 6,22 kali lebih rendah dibandingkan yang
berpendidikan SD-SLTP. Penjual yang melakukan kegiatan di
onan dengan frekuensi 4 kali atau lebih untuk memberikan persepsi bahwa onan
berpengaruh terhadap perekonomian adalah 59,88 kali lebih rendah dibandingkan dengan
yang frekuensi ke onan-nya hanya sekali. Sedangkan penjual yang frekuensi ke onan-
nya 2-3 kali memiliki cenderung untuk memberikan pendapat bahwa onan berpengaruh
terhadap perekonomian 35,97 kali lebih rendah dibandingkan dengan yang hanya
sekali frekuensi ke onan-nya.
Penjual yang menempuh jarak ≥ 5 km
untuk mencapai onan akan cenderung berpendapat bahwa onan berpengaruh
terhadap perekonomian 20,77 kali lebih besar dibandingkan dengan penjual yang menempuh
jarak 5 km. Penjual yang beromset rata-rata
≥ 1.000.000 cenderung akan mempunyai persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap
perekonomian adalah 78,74 kali lebih rendah dibandingkan dengan penjual yang beromset
rata-rata 500.000, sedangkan penjual yang beromset rata-rata 500.000-1.000.000 akan
memiliki kecenderungan untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap
perekonomian adalah 166,67 kali lebih rendah dibandingkan dengan penjual yang
beromset rata-rata 500.000.
2. Model Regresi Logistik untuk
Responden Pembeli Dengan memasukan seluruh variabel
untuk responden pembeli yaitu, umur X2
1
, jenis kelamin X2
2
, pendidikan X2
3
, lapangan usaha X2
4
, jam kerja X2
5
, frekuensi ke onan X2
6
, jarak ke onan X2
7
, dan belanja per onan X2
8
, diperoleh model sebagai berikut:
Berdasarkan model regresi yang dihasilkan dan dengan melihat hasil uji
statistik dengan derajat kepercayaan 10, terlihat bahwa dari sembilan variabel
penjelas yang diduga berpengaruh terhadap persepsi pembeli ternyata ada lima variabel
yang berpengaruh secara signifikan yaitu
46 jenis kelamin X2
2
, pendidikan X2
3
, frekuensi ke onan X2
6
, jarak ke onan X2
7
, dan variabel nilai belanja per onan X2
8
. Sedangkan tiga variabel lainnya ternyata
tidak signifikan, sehingga model regresi logistik yang terbaik untuk persepsi pembeli
adalah sebagai berikut:
Dengan melihat nilai odds ratio dapat dijelaskan antara lain kecenderungan seorang
pembeli yang berjenis kelamin perempuan cenderung memberikan persepsi bahwa onan
berpengaruh terhadap perekonomian 22,57 kali lebih rendah dibandingkan pembeli laki-
laki. Dilihat dari tingkat pendidikannya, pembeli yang berpendidikan SLTA atau lebih akan
memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 27,06 kali lebih
tinggi dibandingkan yang berpendidikan SD, sedangkan yang berpendidikan tamat
SD-SLTP akan mempengaruhi 29,96 kali lebih besar dibanding yang pendidikannya
SD.
Pembeli yang frekuensi ke onan-nya 2- 3 kali atau lebih untuk memberikan persepsi
bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 21,03 kali lebih besar dibandingkan
dengan yang frekuensi ke onan-nya hanya sekali. Dilihat dari jarak yang ditempuh oleh
pembeli maka pembeli yang menempuh jarak
≥ 5 km untuk mencapai onan akan cenderung berpendapat bahwa onan berpengaruh terhadap
perekonomian 29,68 kali lebih besar dibandingkan dengan pembeli yang
menempuh jarak 5 km.
Variabel yang terakhir yang berpengaruh signifikan terhadap persepsi pembeli adalah
rata-rata nilai belanja di setiap onan. Pembeli dengan rata-rata belanja per onan
≥ Rp.100.000,- cenderung untuk mempunyai
persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 49,75 kali lebih rendah
dibandingkan dengan pembeli yang biaya rata-rata belanja per onan-nya Rp.50.000,-,
sedangkan pembeli yang biaya rata-rata belanja per onan-nya Rp.50.000-Rp.99.999
akan memiliki kecenderungan untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh
terhadap perekonomian adalah 39,37 lebih rendah dibandingkan dengan pembeli yang
biaya rata-rata belanja per onan-nya Rp.50.000,-.
3. Model Regresi Logistik untuk