4. Nomor Urut Kode Wilayah
Kotak 9.4. Nomor Urut Kode Wilayah
No. Nama Desa dan
No. Nama Desa dan Kecamatan
No. Nama Desa
Kecamatan
Kecamatan
01. Nunuk,Lelea
06. Sekar Mulya,
11. Sukamelang, Kroya
Gabuswetan
02. Kalensari,Widasari
07. Sukra Wetan, Sukra
12. Malangsari, Bangodua
03. Segeran Kidul, Jutinyuat
08. Jengkok,
13. Sliyeglor,Sliyeg
Kerrtasemaya
04. Cangkingan, Kedokan
09. Mulyasari, Bangodua
Bunder
05. Jenguk, Gabuswetan
10. Sidamulya,Bongas
Dengan menggunakan nomor urut wilayah dan penyilang, War misalnya, mencantumkan: F8 02-01-05-B2.
F8 mengacu ke Filial kedelapan, 02 kode wilayah Kalensari-Widasari, 01 nomor urutnya sebagai penyilang pertama di Kalensari, 05 untuk nomor urut persilangan, dan B2 untuk nomor segregasi hasil persilangan. Mitro yang berasal dari Kalensari-Widasari dengan kode yang sama (02) memperoleh nomor urut 02 sebagai penyilang kedua.
Kode-kode lain berkaitan dengan nomor urut persilangan, nomor atau huruf menandai segregasi diserahkan pada masing-masing penyilang karena merekalah yang paling tahu apa yang disilangkan, dan segregasi dari penampilan tanaman macam apakah yang dipilih dalam proses seleksinya. Mengapa hanya pembedaan wilayah dan penyilang dalam bentuk kode (wilayah dan penyilang) itu yang disepakati? Nampaknya hal itu terkait dengan tujuan untuk menghindarkan kerancuan atas hasil-hasil seleksi yang berbeda dari persilangan tetua yang sama. Menarik pula kiranya disimak bahwa pada tahun 2008 dengan terlaksananya SLPT di enam kecamatan yang baru, kode-kode itu pun tersebar bersama dengan benih-benih yang dibawa para koordinator wilayah: Dar untuk wilayah barat, dan Mitro untuk wilayah timur (lihat halaman 203 untuk label benih Dar di Anjatan dan Sukra). Sekalipun Dar tidak mencantumkan kode penyilang (01 bagi dirinya) dan ada pula label tanpa kode wilayah, ‘kode-kode’ dan bukan ‘nama’ itulah yang menjadi sebutan penyilang di enam kecamatan. Sebutan pun beragam dengan urutan yang tidak selalu seragam, dan tidak pula dengan kelengkapan yang sama.
“Kami menanam F5 30 B2,” ujar seorang penyilang di Gadingan sekalipun ia tidak menyebutkan kode wilayah dan penyilangnya. Atau, penyilang di Anjatan berujar bahwa kini di lahan kelompoknya ditanam: “F6 16 06.” Angka 06 yang mengacu ke kode wilayah (Gabus Wetan) itu disebutkannya terakhir dan tidak di depan. “Kami menanam benih dari Dar: F6 06 01 P... Dari Mitro: IM 02 02 50 B BM,” demikian ujar Abi dari Sukra.
Mengingat bahwa kesepakatan itu baru tercapai di tahun 2007 dan baru digunakan di tahun 2008 melalui SLPT di enam kecamatan, interpretasi dan pemahaman para penyilang baru dari Mengingat bahwa kesepakatan itu baru tercapai di tahun 2007 dan baru digunakan di tahun 2008 melalui SLPT di enam kecamatan, interpretasi dan pemahaman para penyilang baru dari
Kesamaan dan keragaman, dinamika dan pemantaban, itulah yang terjadi dalam kegiatan melakukan tekstualisasi dengan menggunakan simbol angka dan huruf untuk nama- nama kultivar baru yang dihasilkan petani penyilang. Tekstualisasi itu tidak hanya ditujukan untuk mengidentifikasi tanaman, tetapi juga penyilang dan tempat persilangan dalam rangka menunjukkan identitas masing-masing penyilang dan hasil karyanya. Dengan beragamnya karakteristik tanaman yang dihasilkan dari penanaman bastar dalam setiap filial, bagaimanakah para penyilang itu mendokumentasikannya?
Mencatat Morfologi dan Penampilan Tanaman
Pada waktu Haji Roni mengunjungi Kecamatan Sukra di musim kemarau 2008, ia menanyakan hal pengamatan mingguan yang dilakukan oleh peserta tentang pertumbuhan tanaman, dan sejauhmanakah pencatatan dilaksanakan. Abi yang ikut memandu SLPT menjelaskan bahwa pengamatan dan pencatatan secara rinci oleh peserta tentang karakteristik pertumbuhan tanaman belum dilakukan. Haji Roni menjelaskan bahwa pengamatan dan pencatatan setiap minggu itu penting. Sambil menggambarkan denah lahan di secarik kertas, Haji Roni menganjurkan agar di masing-masing kotak diletakkan ajir (batang bambu atau kayu) yang ditancapkan secara diagonal sebagai ‘wakil’ pengamatan. Lalu, hasil pengamatan pada rumpun padi di dekat ajir itu ditulis: apa nama varietas atau kode persilangannya, jumlah anakan, umur, tinggi tanaman, dan lain-lain. Berdasarkan pengamatan mingguan itu apa hasilnya? “Deskripsi varietas,” ujar Haji Roni. Masing-masing varietas akan berbeda karakteristiknya. Justru tujuan dari pemuliaan itu—yang disebut Haji Roni sebagai breeding objective —didasarkan pada “deskripsi varietas”.
Deskripsi varietas yang ditulis oleh War sebagai “Sekripsi Varietas” untuk judul dokumentasinya, merupakan materi penting dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Karakteristik tanaman yang dihasilkan dari suatu persilangan dan seleksi selama sekian musim itu perlu diterakan secara rinci dalam dokumentasi itu. Namun, pencatatan tentang karakteristik pertumbuhan tanaman merupakan suatu praktik yang relatif baru bagi petani. Kebiasaan mengamati pertumbuhan tanaman secara cermat dan berkala belum terbangun. Tanpa arahan dan permintaan secara khusus agar melakukan pencatatan, petani pun tidak melakukannya seperti para peserta SLPT di Anjatan.
Pada suatu sesi pelatihan di awal bulan Agustus 2008, sepulang peserta dari lahan kelompok dan mendiskusikan sejumlah hal, Oki, sang pemandu, mencatat di papan tulis sederetan istilah yang ternyata berupa hal-hal yang perlu dicatat oleh peserta berkenaan dengan karakteristik penampilan tanaman. Terdapat 16 butir karakteristik di samping umur tanaman, yakni:
1. Tinggi tanaman.
9. Kerebahan.
2. Anakan produktif.
10. Tekstur nasi.
3. Posisi daun.
11. Rata-rata hasil.
4. Warna daun.
12. Potensi hasil.
5. Posisi daun bendera.
13. Warna kaki.
6. Bentuk gabah.
14. Warna batang.
7. Jumlah biji per malai
15. Ketahanan hama penyakit.
8. Kerontokan
16. Anjuran tanam.
Ketika peserta mengetahui bahwa mereka harus mencatat keenambelas butir karakteristik itu, bukan hanya untuk tinggi tanaman, jumlah anakan, dan banyaknya bulir dalam malai padi, sejumlah peserta mengeluh perihal tidak diberitahukannya hal itu terlebih dahulu sebelum mereka melakukan pengamatan di lahan. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun peserta yang melakukan pencatatan berbagai hal itu saat di sawah.
Mengamati secara rinci berbagai karakteristik sekaligus mencatatnya merupakan hal baru yang mereka pelajari, sekalipun hal-hal itu terekam pula dalam ingatan mereka saat berada di sawah. Pada saat melakukan diskusi kelompok untuk mencatat ke-16 butir karakteristik itulah, masing-masing petani mencoba mengingat-ingat apa yang sebenarnya telah diamati, kemudian mendiskusikan, dan mencurahkannya dalam wujud tulisan. Saling bertanya, saling mengingat, saling bertukar informasi, itulah yang terjadi. Saat setiap kelompok diminta melakukan presentasi, berhasil terisilah seluruh butir itu kecuali butir terakhir: anjuran tanaman yang dikosongkan oleh semua kelompok.
Petani yang semula pergi ke sawah tanpa membawa alat tulis apa pun, kini dituntut untuk merekam hasil pengamatannya selama di sawah. Bagaimanakah hal itu dilakukan petani? Itulah praktik yang perlu disiasati. Bagaimanakah mendokumentasikan hasil pencatatan setiba di rumah? Menuliskan hasil pengamatan yang semula tidak merupakan bagian dari budaya cocok tanam padi itu pun berkembang secara beragam di antara sejumlah penyilang sekalipun terdapat kesamaan dalam butir-butir karakteristik yang sepatutnya diperhatikan dan dicatat. Terdapat pula dinamika dalam proses pengembangan dokumentasi itu oleh masing-masing penyilang.
War, misalnya, menyiapkan secara seksama dan cermat dokumentasi tentang karakteristik penampilan tanaman hasil persilangan dan seleksi dengan tujuan untuk mendaftarkan hasil akhir dari proses seleksinya itu suatu ketika nanti. Untuk itu, ia semula menyiapkan satu lembar kertas berukuran A4 untuk dibawa ke sawah dan diisi saat melakukan pengamatan. Dalam lembaran untuk setiap musim tanam (misalnya lembar Data Hasil Seleksi Musim Tanam Gadu 2008) itu dicantumkannya kolom-kolom untuk:
No. Data Persilangan No. Diambil Umur ss Tinggi Cocok organik
Ternyata, lembaran kertas A4 itu menjadi lusuh dan robek di bagian lipatan, tidak tahan lama. Oleh karena itu, War menggantikan lembaran kertas A4 itu dengan guntingan kertas yang disiapkannya berukuran ¼ dari kertas A4. Ukuran kertas yang lebih kecil memudahkannya untuk membawa kertas itu ke sawah dan menuliskan catatan sambil melakukan pengamatan. Dalam kertas berbentuk ‘notes’ itu ditulisnya data tentang:
No. urut persilangan
Kode segregasi
Umur (U)
Tinggi (T)
Untuk mengukur tinggi tanaman War juga menggunakan tongkat yang diberi ukuran centimeter. Data dari “notes” itulah yang kemudian dipindahkannya ke formulir data hasil seleksi yang disiapkannya di komputer. Dalam formulir itu tercantum isian-isian kolom- kolom tentang:
No. Data persilangan No. Seleksi Umur ss hari Tinggi tanaman Panjang malai
Kecocokan organik
Selain data hasil seleksi untuk masing-masing persilangan, War juga menyiapkan dokumen tentang karakteristik berdasarkan morfologi tanaman yang lengkap dengan mengacu pada buku Deskripsi Varietas Padi yang dikeluarkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Subang, 2006. Dalam lembar data yang diberinya judul Sekripsi Varietas, ada tambahan dan pengurangan dari rincian karateristik dalam buku Deskripsi Varietas Padi itu. Misalnya:
Untuk kategori Warna lidah daun dan Warna helai daun dalam buku, War hanya menuliskan Warna daun. Dalam dokumen yang disiapkannya, War menambahkan tiga butir karakteristik yang tidak ada dalam buku, yakni: Panjang daun bendera, Lebar daun bendera, dan Warna beras. Untuk Ketahanan terhadap Penyakit dan Cekaman lingkungan seperti tertera dalam buku, War mencantumkan Ketahanan terhadap Hama dan Penyakit.
Gambar 9.13 War membandingkan deskripsi varietas padi Balitpa dan deskripsi varietas padi hasil
karyanya.(Foto oleh Tim Bisa Dewek)
Apa yang dilakukan War menunjukkan bahwa sekalipun kegiatan pemuliaan tanaman itu telah ditekuninya semenjak tahun 2002, perubahan dan pengembangan dilakukan dalam hal mencari cara yang lebih mendukung sesuai dengan kondisi yang dihadapi, dan dalam mencapai tujuan yang diinginkan, yakni menghasilkan varietas baru dengan data yang rinci dan lengkap tentang karakteristik morfologinya. Dalam hal inilah, terdapat keragaman di antara sejumlah penyilang seperti yang kami simak dari sejumlah kasus petani-pemulia tanaman.
Mitro juga melakukan proses yang hampir serupa, akan tetapi perbedaannya terletak pada urut-urutan pencatatan. Jika War membawa catatan langsung ke lahan, Mitro tidak membawa catatan dalam kertas terpisah. Ia hanya memilah berdasarkan ciri-ciri dari galur tertentu dengan sebuah tali rapia. Mitro mencatat perkembangan morfologi di rumah sesudah selesai memilah-memilah galur-galur tersebut. Sewaktu Ardhianto mengikuti Mitro menyeleksi di lahan praktiknya, ia menunjukkan beberapa detail morfologi yang jarang sekali dicatat oleh petani-pemulia tanamantanaman lain. Ciri morfologis itu adalah jantung gabah, yaitu sebuah ciri di dalam bulir padi yang bisa berwarna putih ataupun merah. Jumlah penambahan kriteria morfologi dalam menyeleksi ini tentunya dipengaruhi oleh praktik seleksi petani yang memungkinkan munculnya diversitas morfologi dari masing-masing segregasi genetik yang muncul dari satu persilangan.
Praktik pencatatan yang berbeda juga ditunjukkan oleh Yus. Ia tidak melakukan pencatatan morfologi dari masing-masing galur yang telah diseleksinya. Sejauh ini ia masih menggunakan ingatan dalam mengidentifikasi perbedaan-perbedaan morfologis sebagaimana Praktik pencatatan yang berbeda juga ditunjukkan oleh Yus. Ia tidak melakukan pencatatan morfologi dari masing-masing galur yang telah diseleksinya. Sejauh ini ia masih menggunakan ingatan dalam mengidentifikasi perbedaan-perbedaan morfologis sebagaimana
Penyiapan dokumen karakteristik tanaman hasil persilangan itu juga secara serius disiapkan oleh Dar, terutama terkait dengan salah satu hasil persilangan yang pada musim gaduh (kemarau) 2008 telah mencapai F12 dan telah ditanam secara luas. Penanaman secara luas itu dilaksanakan di hamparan sawah di Kecamatan Anjatan, tidak di lokasinya sendiri, Kecamatan Gabus Wetan (Lihat Ansori, Bab 10). Kini, Rangbo, nama yang diberikan pada hasil persilangan itu telah mencapai F12 dan telah ditanam oleh sekitar 28 petani. Dar pun menyiapkan dokumen pencatatan karakteristik benih hasil persilangannya itu untuk diisi oleh sang penyeleksi: Oki. Ia pun menyiapkan dokumen untuk mencatat nama-nama penyeleksi dan penanam benih Rangbo itu. Dokumen pertama dinamainya: Pemuliaan Tanaman Padi, sedangkan dokumen terakhir diberinya judul: Uji Coba Adaptasi Tanah 20 Wilayah Hasil Persilangan F12 Rangbo 2009. Sekalipun butir-butir karakteristik yang dicantumkan dalam dokumen Pemuliaan Tanaman Padi itu tidak berbeda jauh dari War, terdapat perbedaan dalam hal penataan halaman depan (cover), pencantuman data penyilang dan persilangan, serta sejumlah butir karakteristik. Untuk data penyilang dan persilangan dicantumkannya:
Nama
Alamat/Blok.
Persilangan: ♀ ♀ ♀ ♀ ........ x ....... ♂ ♂ ♂ ♂ Bastar: ...... Butir.
No. Kode:
□□ Wilayah □□ Penyilang □□ Menyilang
Nama Padi Hasil Persilangan: Rangbo F...│ A│ B │ C│ D │ E │ 200...
Kolom-kolom yang tertera terdiri dari: No. Ciri-ciri padi, Hari, Cm, Jumlah, dan Gram, sedangkan untuk butir-butir karakteristik sama dengan yang terdapat dalam dokumen War tanpa Panjang daun bendera dan Lebar daun bendera, dan Warna helai daun (Balitpa 2006), tetapi dengan tambahan: Jumlah gabah per malai, dan Panjang Malai. Di bagian bawah lembar dokumen itu dicantumkan nama penyilang, kolom tanda tangan, tanggal kelahiran, dan foto diri sendiri (Dar). Pemasangan foto diri itu dilandasi keinginan untuk meneguhkan dirinya sebagai penyilang dari benih yang terdokumentasikan itu (lihat gambar 9.14). Dalam dokumen yang diberinya judul: Uji Coba Adaptasi Tanah 20 Wilayah Hasil Persilangan Rangbo itu termuat data tentang: Nama petani (penanam hasil persilangan); Alamat
(kelompok tani, blok, desa, kecamatan); Kg; Luas (ha); Tanggal; MT; Hasil (ton); Tanda Tangan. Di bagian bawah lembar dokumentasi tertera di bagian kanan: Nama Penyilang, dan di bagian kiri: Mengetahui, KCD Kecamatan Gabus Wetan. Itulah inisiatif dan kreativitas Dar dan sejumlah penyilang sebagai contoh dari praktik-praktik penekstualisasian data tentang persilangan dan hasil pengamatan tentang karakteristik pertumbuhan tanaman, bahkan juga catatan tentang persebaran benih yang dihasilkan dari persilangan.
Gambar 9.14 Lembar pencatatan pemuliaan tanaman padi Dar (Foto oleh Winarto, 2008)
Hal serupa ditemukan pada Arifin, yang hasil persilangannya tersebar di tempat lain. Berbeda dengan beberapa pemulia tanaman di atas, Arifin tidak hanya menanam persilangan di lahan praktiknya sendiri. Tanaman yang telah dikembangkan, misalnya Bongong, juga ditanam oleh petani-petani lain yang ada di sekitar desanya, bahkan juga sampai ke luar batas desa, kecamatan, dan kabupaten melalui sistem tukar-menukar benih atau sistem pembelian benih yang lazim berlaku di kalangan petani. Merespon perkembangan ini ia berinisiatif untuk mencatat perkembangan yang ada di berbagai tempat tersebut. Akan tetapi, ia tidak membuat daftar isian untuk petani-petani yang juga menanam hasil persilangannya. Pencatatan dilakukan oleh Arifin sendiri. Di wilayah yang sama dengan Arifin, petani- pemulia lain yang melakukan pencatatan adalah Kamad. Berbeda dengan Arifin, Kamad Hal serupa ditemukan pada Arifin, yang hasil persilangannya tersebar di tempat lain. Berbeda dengan beberapa pemulia tanaman di atas, Arifin tidak hanya menanam persilangan di lahan praktiknya sendiri. Tanaman yang telah dikembangkan, misalnya Bongong, juga ditanam oleh petani-petani lain yang ada di sekitar desanya, bahkan juga sampai ke luar batas desa, kecamatan, dan kabupaten melalui sistem tukar-menukar benih atau sistem pembelian benih yang lazim berlaku di kalangan petani. Merespon perkembangan ini ia berinisiatif untuk mencatat perkembangan yang ada di berbagai tempat tersebut. Akan tetapi, ia tidak membuat daftar isian untuk petani-petani yang juga menanam hasil persilangannya. Pencatatan dilakukan oleh Arifin sendiri. Di wilayah yang sama dengan Arifin, petani- pemulia lain yang melakukan pencatatan adalah Kamad. Berbeda dengan Arifin, Kamad
Gambar 9.15 Daftar Morfologi yang ditulis Kamad, (Sumber: Ardhianto, 2008)
Satu hal yang juga menjadi pemikiran petani-pemulia tanaman adalah mencatat asal- usul persilangan benih yang dilakukannya.
Menggambar Diagram Genealogi Persilangan Benih
Mencatat asal-usul (genealogi) persilangan yang dilakukan masing-masing merupakan salah satu wujud ketrampilan petani-pemulia dalam menekstualisasi pengetahuan empirisnya. Menggambar dan menuliskan aktivitas mereka sendiri dalam menyilangkan benih, serta menyeleksinya dari generasi ke generasi, menuntut suatu kemampuan untuk mengingat, mengodifikasi, dan mengabstraksikan praktik-praktik yang dilakukan selama beberapa musim berturut-turut. Berlangsunglah suatu integrasi sejumlah kemampuan kognitif yang menuntut daya ingat, pengamatan empiris yang ditekstualisasikan melalui simbol-simbol, serta daya analisis dan abstraksi. Merujuk kepada Ellen (2004), tahap perkembangan menekstualisasikan pengetahuan empiris berimplikasi terhadap kemampuan seseorang untuk memilih dan menggunakan informasi, melakukan komparasi, dan menganalisis hubungan- hubungan dari seperangkat gejala. Hal itulah yang nampak dialami sejumlah petani-pemulia yang mampu secara khusus membuat diagram silsilah (genealogi) persilangan yang dilakukannya.
Petani-pemulia tanaman menyadari pentingnya dimensi waktu dari perkembangan seleksi hasil persilangan. Mencatat tanggal semai, tanam, dan panen pada setiap generasi (F) hasil seleksi dalam diagram genealogi pun dilakukan sejumlah petani-pemulia tanaman. Hal itu signifikan bagi upaya mereka memahami situasi agroekosistem pada setiap tahapan generasi. Selain itu, mereka juga menggunakan kode-kode dalam bagan-bagan kotak yang merepresentasikan salah satu galur perpecahan genetika. Namun, tidak semua petani-pemulia melakukan hal itu, dan tidak semua yang menggambarkan silsilah benih persilangannya melakukan hal yang sama. Diagram genealogi itu merupakan hasil karya masing-masing petani-pemulia yang dilandasi oleh kreativitas dan daya abstraksinya. Oleh karena itu, variasi diagram genealogi pun dijumpai dari satu petani ke petani yang lain.
Dokumentasi genealogi yang dilakukan seorang petani-pemulia tanaman, Kamad, menunjukkan kemampuannya menghubungkan berbagai unsur dalam skema pengetahuannya yang dituangkan dalam sebuah catatan di selembar karton. Catatan itu meliputi ciri-ciri nama benih tetua induk dan jantan dari varietas persilangan yang telah dikembangkannya, morfologi tanaman, kodifikasi atas persilangan, dan sekaligus juga silsilahnya. Semuanya itu dituangkan oleh Kamad dalam sebuah karton besar. Untuk beberapa segregasi yang unggul dari hasil persilangannya, dituliskan secara rinci ciri-ciri morfologinya. Lihat gambar 9.16 untuk genealogi benih yang dinamai Gading Surya.
Gambar 9.16 Genealogi persilangan padi Kamad (Foto oleh Ardhianto, 2008)
Dalam gambar 9.16 itu terlihat cara Kamad menjelaskan keseluruhan detail perkembangan pemuliaan tanaman dalam bentuk diagram lengkap dengan morfologi tiap segregasi yang muncul di tahap F2 dan F3. Dengan mengacu pada satu buah diagram itu, Kamad dapat menceritakan secara lisan dan lengkap berbagai catatan sebelumnya dalam mendeskripsikan ciri morfologi setiap segregasi. Melalui cara itu pula, Kamad mampu mengingat dan mengaktifkan pengetahuan/pengalamannya mengenai perkembangan tanaman dalam setiap generasi. Diungkapnya salah satu contoh kasus dari manfaat yang dipetiknya dalam memahami perpecahan genetik dan asal usul benih Gading Surya dengan menunjukkan alur terciptanya segregasi.
Hal berbeda dipraktikkan oleh War dalam meggambarkan genealogi hasil seleksinya, yakni dalam memilih media pencatatan dan bentuk catatan yang dilakukan. Penekstualisasian data itu dilakukan War dalam catatan yang terpisah. Ia hanya menyebutkan nomor dari persilangan yang tercatat pada buku daftar persilangan tanpa mencantumkan detail morfologi dalam bagan genealogi benih yang dibuatnya. Kode atau nomor persilangan itu disimpannya dalam catatan lain, yakni catatan kodifikasi persilangan yang disertai pula dengan data mengenai morfologi dari varietas persilangan tersebut. Detail morfologi ditulisnya pula di buku yang berbeda. Praktik yang dilakukan ini menunjukkan kemampuan baru dari petani- pemulia tanaman, yaitu melakukan abstraksi dan menghubungkan praktik-praktik seleksi serta pengamatan di lahan dengan beragam kategori yang tertulis di berbagai catatan. Catatan menjadi salah satu perangkat yang semakin penting bagi petani-pemulia dalam mengubah hasil pengamatan di tataran empirik menjadi kode-kode dan tulisan di tataran simbolik. Kasus diagram genealogi yang dikembangkan oleh Kamad dan War menunjukkan variasi dalam hal merepresentasikan data empirik dalam teks. Kasus Kamad menunjukkan upaya petani- pemulia untuk mengintegrasikan keseluruhan pengalaman empiris pemuliaan tanaman dalam selembar catatan di karton. War, sebaliknya, melakukan pencatatan secara terpisah, tetapi konsisten dengan kodifikasi persilangan yang telah diciptakan dan disimpannya secara tekstual dalam buku catatannya. Lihat gambar 9.17.
Gambar 9.17. Genealogi Persilangan War (Foto oleh Tim Bisa Dewek)
Seperti halnya War, Arifin mencatat sejarah persilangan yang dilakukannya dalam sebuah buku tulis. Ia juga tidak mencatat detail morfologi dalam genealogi tanaman yang digambarnya, begitu pula dengan waktu kegiatan pemuliaan tanaman yang dilakukan. Akan tetapi, terdapat rujukan pada catatan tertentu atas seleksi hasil persilangan di generasi tertentu. Misalnya, untuk F5 Bongong terdapat catatan tersendiri yang ditemukan dalam kumpulan dokumentasi yang dilakukan Arifin (lihat gambar 9.18). Serupa dengan War, ada bagian-bagian yang tidak terintegrasikan dalam genealogi. Tesktualisasi atas pengetahuan yang masih tertanam dalam ingatannya, dicantumkan dalam dokumentasi lain, tidak di dalam diagram genealogi seperti yang dilakukan Kamad.
Gambar 9.18 Genealogi Persilangan Arifin (Foto oleh Ardhianto, 2008)
Hal menarik dari dokumentasi Arifin adalah pencantuman nama penyeleksi pada kode- kode galur hasil segregasi. Perbedaan antara seleksi secara individual dan secara kolektif tercermin dalam perbedaan genealogi yang dihasilkan. Dalam lingkup kelompoknya, proses seleksi dilakukan lebih dari satu orang untuk satu buah hasil persilangan yang diciptakan seseorang. Oleh karena itu, identitas penyeleksinya dapat dijumpai dalam genealogi yang diciptakan Arifin. Pencatatan genealogi benih tidak hanya menunjukkan sejarah perkembangan perpecahan genetika suatu hasil persilangan, tetapi juga konteks dari praktik seleksi yang dilakukan. Dari suatu galur pada generasi tertentu, dapat dilacak siapakah individu yang menyeleksinya. Diagram genealogi semacam itu dapat merepresentasikan keterhubungan berbagai agen dalam penciptaan suatu hasil persilangan tertentu serta kolektivitas dari kegiatan seleksi yang dilakukan.
Memetakan Lahan Persilangan dan Hasil Seleksi Benih
Kegiatan petani-pemulia dalam mengategorikan segregasi dan membuat galur-galur dalam sebuah peta lahan merupakan wujud lain dari tekstualisasi dan penggunaan model dalam
mengalihkan pengalaman empiris ke dalam catatan. Segregasi hasil seleksi ternyata memunculkan galur-galur yang sangat besar jumlahnya. Hal itu mendorong beberapa petani- pemulia untuk memetakan penanaman hasil persilangan dan variasi genetika hasil segregasi di lahan praktiknya. Pengetahuan membuat peta lahan itu pertama kali diperkenalkan di TOT (Training of Trainee) pemuliaan tanaman. Istilah yang digunakan adalah menggambar Setting lahan (lihat Wartono 2004). Kegiatan memetakan lahan persilangan dan galur-galur hasil persilangan merupakan salah satu urutan penting dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Petani perlu melacak perkembangan galur persilangan yang mengalami banyak perubahan dalam proses seleksi. Terutama, bila sang petani tidak menandai galur-galur di lahan dengan kode- kode masing-masing galur yang merujuk pada: ”hasil-seleksi segregasi/penyimpangan-yang- mana-untuk-hasil-persilangan-apa-dalam-filial-ke-berapa”. Dari sejumlah petani-pemulia yang tidak menggunakan plang-plang kodifikasi galur-galur tanaman di lahan, kami memperoleh jawaban bahwa mereka mampu mengingat: “galur-mana-ditanami-hasil-seleksi- yang-mana-dari-hasil-persilangan-apa-pada-filial-ke-berapa”. Namun, ingatan itu tetap perlu didukung oleh pencatatan peta lahan yang dibuat dan disimpannya di rumah. Sekalipun petani-pemulia tanaman telah memasang plang-plang yang memuat kode-kode galur, pembuatan denah lahan tetap dilakukan. Pemetaan itu merupakan salah satu wujud tekstualisasi dari ingatan yang digunakan petani sebagai referensi atas keragaman yang muncul dalam segregasi gen antargalur di lahan praktik.
Mitro merupakan salah satu petani-pemulia tanaman yang menggambar pemetaan lahan praktik dan hasil seleksinya. Dengan menggunakan beberapa peralatan sederhana, yaitu kertas karton bekas penanggalan di rumahnya, spidol hitam, dan penggaris, Mitro menggambar peta lahan dari sekitar 86 galur persilangan di gubuk dekat lahan praktiknya (lihat gambar 9.19). Sebagai sebuah praktik baru, pemetaan ini menunjukkan pengategorian yang dilakukan petani saat ia hendak menanam galur hasil persilangan dan seleksi benih seperti yang dilakukan Mitro. Praktik berbeda dilakukan Yus yang memetakan lahan sesudah ia menanam tanaman galur-galur persilangannya di lahan. Tindakan ini ditempuhnya dengan belajar dari pengalamannya, yakni melakukan kesalahan mencatat akibat ulah buruh tanam yang salah menempatkan tanaman galur tertentu ke galur persilangan yang lain. Berbeda dengan Mitro, Yus menggunakan buku tulis untuk menggambarkan pemetaan lahan itu (lihat gambar 9.20).
Gambar 9.19 Pencatatan peta lahan oleh Mitro (Foto oleh Tim Bisa Dewek)
Gambar 9.20 Pencatatan peta lahan oleh Yus (Foto oleh Ardhianto, 2008)
Jika kegiatan memetakan lahan kedua petani itu berakhir saat pemetaan usai, Kar memindahkan catatan di buku ke komputer dengan bantuan Tono, cucunya, juga seorang petani-pemulia tanaman. Mereka berdua berinisiatif memindahkan catatan tersebut ke dalam Jika kegiatan memetakan lahan kedua petani itu berakhir saat pemetaan usai, Kar memindahkan catatan di buku ke komputer dengan bantuan Tono, cucunya, juga seorang petani-pemulia tanaman. Mereka berdua berinisiatif memindahkan catatan tersebut ke dalam
Kegiatan membuat peta lahan ini tidaklah dipraktikkan oleh semua petani-pemulia tanaman. Pengategorian yang dilakukan hanya sebatas penomoran kodifikasi persilangan tertentu, atau hanya mengandalkan diri pada ingatan tentang macam-macam galur beserta informasi tentang: ‘segregasi apa, dari filial keberapa, hasil persilangan apa yang ditanam dalam galur mana’. Tumpuan pada ingatan semata, itu pulalah yang merupakan kelaziman petani dalam melakukan budi daya tanaman. Kemampuan mengingat itu merupakan kekuatan petani dalam konteks tidak dikembangkannya kegiatan tekstualisasi atas praktik persilangan dan seleksi benih.
Mengembangkan Ketrampilan Tekstualisasi dan Kodifikasi: Suatu Penutup
Suatu perubahan tengah terjadi di antara petani-pemulia tanaman di Indramayu dalam hal kemampuan melakukan dokumentasi atas kegiatan pemuliaan tanaman. Inilah suatu kemampuan baru yang signifikan dalam perkembangan kebudayaan bercocok tanam di kalangan petani, yakni dari pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan, ujaran, dan praktik ke pengetahuan yang juga tersimpan dalam wujud tulisan. Perubahan yang terjadi mencerminkan apa yang dikemukakan oleh Ellen (2004) sebagai upaya menekstualisasikan pengetahuan leksikal melalui tulisan. Sekalipun sejumlah petani telah terlatih untuk menuliskan hasil pengamatannya melalui pelatihan-pelatihan dalam Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu dan berbagai kegiatan lainnya semenjak awal tahun 1990-an, melakukan kodifikasi atas hasil karya mereka sendiri secara khusus dengan menggunakan simbol-simbol barulah terwujud semenjak sejumlah petani belajar melakukan pemuliaan tanaman di tahun 2002.
Beragam simbol pun bermunculan dalam tulisan-tulisan yang terpampang di lahan- lahan praktik persilangan dan penyeleksian, atau dalam buku-buku tulis dan catatan yang dimiliki petani-pemulia tanaman. Di antara himpunan simbol yang digunakan, terdapat sejumlah simbol yang sama yang dipelajari melalui SLPT. Upaya menyepakati keseragaman dalam mengodifikasi hasil-hasil persilangan dan seleksi antarpetani dan antarwilayah dalam lingkup Kabupaten Indramayu, serta pencatatan data tentang karakteristik pertumbuhan tanaman pun telah dilaksanakan melalui forum pelatihan, lokakarya, dan arena pertemuan lain dalam lingkup jejaring petani-pemulia di Indramayu. Hal itu menandakan tengah berlangsungnya suatu upaya mengembangkan pranata pendokumentasian kegiatan pemuliaan tanaman yang hingga saat ini pun masih bergulir proses pembentukannya. Namun, bila disimak secara rinci tentang berbagai aktivitas melakukan tekstualisasi itu, terdapat keragaman yang besar dari satu petani ke petani yang lain.
Jajaran variasi itu meliputi beragam aktivitas mendokumentasikan kegiatan, yakni: menandai galur-galur tanaman padi di lahan praktik, pada gabah-gabah tetua, bastar, atau hasil seleksi saat dilakukan penyimpanan di rumah-rumah petani; serta melakukan pencatatan atas karakteristik tanaman tetua, hasil persilangan (bastar), dan hasil seleksi. Variasi itu sendiri mencerminkan beragamnya respons petani atas kebutuhan untuk melakukan pencatatan, dan tujuan yang ingin dicapai masing-masing. Di satu sisi, terdapat sejumlah petani-pemulia yang tidak menganggap penting melakukan kodifikasi dan pencatatan. Orientasi mereka dalam melakukan pemuliaan adalah perolehan hasil yang memiliki kelebihan dalam produksi gabah alih-alih varietas benih unggul yang tengah populer ditanam petani. Selama mereka mampu menyimpan semua informasi persilangan, seleksi, dan karakteristik morfologi tanaman dalam ingatan, cukuplah hal itu bagi kebutuhan mereka. Kebutuhan diri sendiri, itulah yang menjadi rujukan. Tekstualisasi hal-hal empiris dan verbal tetap dilakukan sebagai penunjang ingatan mereka. Di sisi lain, terdapat sejumlah petani- pemulia tanamanyang memiliki minat dan harapan besar untuk menghasilkan varietas baru. Untuk itu, kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang diberlakukan pemerintah dipandang perlu untuk dirujuk agar varietas baru hasil karyanya nanti juga dapat memenuhi standar dan kriteria pemerintah. Oleh karena itu, pencatatan secara rinci dari setiap persilangan, metode seleksi yang digunakan, pemilihan galur segregasi, pencatatan karakteristik tanaman, genealogi persilangan, dan pemetaan lahan praktik amat diperhatikan.
Di antara mereka, terbersit pula kekhawatiran akan terjadinya “plagiarisme” hasil karya mereka oleh pihak-pihak luar yang dipandang selalu berupaya memetik keuntungan dan manfaat dari kegiatan yang dilakukan petani. Menyembunyikan informasi tentang benih tetua yang digunakan dalam persilangan menjadi signifikan. Indikator yang jelas atas nama benih tetua sedapat mungkin dihindari melalui penggunaan simbol dalam bentuk untaian angka atau huruf. Tidak demikian halnya dengan mereka yang tidak memerdulikan masalah “jati diri kepemilikan” atas hasil karya persilangannya. Bila hasil karya mereka dalam meningkatkan produksi padi melalui benih-benih yang dihasilkan dapat memberikan manfaat bagi sesama petani, dipersilakannya sesama petani itu mengadopsi benihnya melalui sistem pertukaran benih yang lazim berlaku. Dalam hal ini, ketersembunyian identitas benih-benih tetua dalam persilangan tidak menjadi kriteria utama dalam pemberian kode atas hasil-hasil persilangan mereka. Penggabungan singkatan nama kedua benih tetua acap digunakan untuk mengidentifikasi kultivar baru yang berbeda dari yang telah lazim dibudidayakan petani. Inilah sisi ”keberlanjutan” dari kebudayaan bercocok tanam padi di Indramayu. Sisi yang lain ditandai oleh perubahan dalam aktivitas petani mendokumentasikan kegiatan pemuliaan tanaman dalam wujud tulisan. Sejauhmanakah penciptaan pranata sosial baru menekstualisasikan pengetahuan leksikal itu bertumbuh semakin mantab? Suatu studi lanjutan diperlukan.
Daftar Referensi:
Ahearn, L. M. (2001). Language and Agency. Annual Reviews Anthropology, 30, 109-137. Almenkinder, C., & Luowaars, N. (1999). Farmer's Seeds Production: New Approach and
Practices . London: Intermediate Technology Publication. Amante, V. d. R., & Jr, E. T. R. (1994). Farmers as Partners in Cultivar Assessment. In G. D.
Prain & C. P. Bagalanon (Peny.), Local Knowledge, Global Science and Plant Genetic Resources (pp. 282-285). Los Baños, Laguna: UPWARD.
Cleveland, D. A., & Soleri, D. (2002). Farmers, Scientists and Plant Breeding: Integrating Knowledge and Practice . Oxon and New York: CABI Publishing. Ellen, R. F. (2004). From Ethno-Science to Science, or “What the Indigenous Knowledge Debate Tells Us about How Scientists Define Their Project. Journal of Cognition and Culture 4 (3), 409-450.
Frossard, D. (2002). How Farmer-Scientist Cooperation is Devalued and Revalued: A Philippine Example. In D. A. Cleveland & D. Soleri (Peny.), Farmers, Scientists and Plant Breeding: Integrating Knowledge and Practice (pp. 137-159). New York: Cabi Publishing.
Gallagher, K. (2003). Fundamental elements of a Farmer Field School. Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) Magazine, 19, 5-6. Joshi, K. D., Sthapit, B., Subedi, M., & Witcombe, J. R. (2002). Participatory Plant Breeding in Rice in Nepal. In D. A. Cleveland & D. Soleri (Peny.), Farmers, Scientists and Plant Breeding: Integrating Knowledge and Practice (pp. 239-267). Oxon and New York: CABI Publishing.
Lleva, E. M. (1994). Collection of Germplasm and Associated Indigenous Knowledge in
Ifugao, Philippines. In G. D. Prain & C. P. Bagalanon (Peny.), Local Knowledge, Global Science and Plant Genetic Resources (pp. 123-140). Los Banos, Laguna: UPWARD.
McGuire, S. J. (2002). Farmers Views and Management of Sorghum Diversity in Western Harerghe, Ethiopia: Implications for Collaboration with Formal Breeding. In D. A. Cleveland & D. Soleri (Peny.), Farmers, Scientists and Plant Breeding: Integrating Knowledge and Practice (pp. 107-135). Oxon
New York: CABI Publishing. Mok, I. G., & Schneider, J. (1994). Collection and Documentation of Sweet Potato
Germplasm in Indonesia. In G. D. Prain & C. P. Bagalanon (Peny.), Local Knowledge, Global Science and Plant Genetic Resources (pp. 141-158). Los Baños, Laguna: UPWARD.
Ortner, S. B. (2006). Anthropology and Social Theory: Culture, Power, and The Acting Subject . Durham, London: Duke University Press. Prain, G. D., & Bagalanon, C. P. (Peny.). (1994). Local Knowledge, Global Science and Plant Genetic Resources . Los Baños, Laguna: UPWARD. Rapport, N., & Overing, J. (2007). Social and Cultural Anthropology: The Key Concepts (Second ed.). Oxon: Routledge. Sandoval, V. N. (1994). ‘Memory Banking Protocol: A Guide for Documenting Indigenous
Knowledge Associated with Traditional Crop Varieties. In G. D. Prain & C. P. Bagalanon (Peny.), Local Knowledge, Global Science and Plant Genetic Resources (pp. 102-122). Los Baños, Laguna: UPWARD.
Sandoval, V. N. (1994). Memory Banking”: The Conservation of Cultural and Genetic Diversity in Sweetpotato Production. In G. D. Prain & C. P. Bagalanon (Peny.), Local Knowledge, Global Science and Plant Genetic Resources (pp. 23-55). Los Baños, Laguna: UPWARD.
Sawor, T., Chadikun, P., Atmodjo, E., Sitmorong, E. R., Prain, G., & Mok, I.-G. (1994). Methods for Interdisciplinary Collection of Ipomea batatas Germplasm and Associated Indigenous Knowledge in Anggi, Irian Jaya, Indonesia. In G. D. Prain &
C. P. Bagalanon (Peny.), Local Knowledge, Global Science and Plant Genetic Resources (pp. 159-186). Oxon dan New York: CABI Publishing. Suprapto, T. (2007). Pemberdayaan dan Sains Petani: Suatu Jalan Alternatif menuju Pertanian yang Tangguh. Paper presented at the Seminar dan Lokakarya: Pemberdayaan dan Sains Petani: Suatu Jalan Alternatif menuju Pertanian yang Tangguh? , Yogyakarta: Academy Professorship Indonesia bidang Ilmu Sosial- Humaniora, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Untung, K. (2007). Sains Petani sebagai Kontribusi SLPHT untuk Pemberdayaan Petani.
Paper presented at the Seminar dan Lokakarya: Pemberdayaan dan Sains Petani: Suatu Jalan Alternatif menuju Pertanian yang Tangguh? , Yogyakarta: Academy Professorship Indonesia bidang Ilmu Sosial-Humaniora, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Winarto, Y. T. (1997). Managing Seed Diversity During the Green Revolution Era. Knowledge and Development Monitor, 5, 3-6. Winarto, Y. T. (2004). Seeds of Knowledge: The Beginning of Integrated Pest Management in Java . New Haven: Yale Southeast Asia Council. Winarto, Y. T. (2007). Sang Petani-Ilmuwan, Sang Ilmuwan-Pro-Petani: Penyangga Ketangguhan dan Kedaulatan Pangan. Depok: Program Sarjana Antropologi FISIP- Universitas Indonesia, Academy Professorship Indonesia bidang Ilmu Sosial- Humaniora (KNAW-AIPI), dan Institut Global Justice.
Zimmerer, K. (2002). Social and Agroecological Variability of Seed Production and the Potential Collaborative Breeding Potatoes in the Andean Countries. In D. A. Cleveland & D. Soleri (Peny.), Farmers, Scientists and Plant Breeding: Integrating Knowledge and Practice (pp. 83-105). New York: Cabi Publishing.