Mencatat Jejak Pengetahuan dalam Praktik

Bab 9 Mencatat Jejak Pengetahuan dalam Praktik dan Produk Pemuliaan Tanaman

Yunita T. Winarto dan Imam Ardhianto

Mendokumentasi Pemuliaan Tanaman: Suatu Pengantar

Potongan-potongan seng/aluminium atau bambu berukuran kecil yang ditancapkan di batang-batang bambu/kayu berjajar di tepi dan di tengah lahan merupakan pemandangan yang lazim dijumpai di lahan-lahan petani-pemulia tanaman. Ada papan yang bertuliskan nama benih seperti: Longong, Marong, Bor Dagol, atau Tkyo; ada pula yang bertuliskan kode-kode. Misalnya: F4 di bagian atas, 03 di bagian bawahnya, dan nama petani; atau F5 di bagian atas, dan di bagian bawah: 02-01-20.1.A. Tidak hanya itu. Beragam tulisan pun dijumpai di secarik kertas yang dikalungkan di ujung untaian gabah yang digantung-gantung di teras rumah atau dibungkus kantong plastik dan disimpan di dalam kotak. Misalnya untuk untaian gabah benih lokal, tercantum No.1 Marong Beras Putih, No.7 Jalawara Beras M. (Merah), No.9 Sriputih. Catatan-catatan dalam kolom- kolom, diagram persilangan di dalam buku catatan atau kertas plano pun ditemui di sejumlah petani-pemulia tanaman.

Itulah sekelumit kegiatan mencatat yang dilakukan petani-pemulia tanamandalam mendokumentasikan kegiatan persilangannya. Papan-papan kecil dengan kode-kode khusus yang terdapat di berbagai tempat di sebidang lahan dan disiapkan oleh petani sendiri, merupakan suatu hal yang tidak lazim. Begitu pula pencatatan secara rinci tentang berbagai karakteristik benih, macam persilangan benih, dan data hasil persilangan. Tulis-menulis itu bertumbuh kembang semenjak mereka mempraktikkan sendiri kegiatan pemuliaan tanaman yang dipelajarinya di Sekolah-sekolah Lapangan Pemuliaan Tanaman.

Menulis, menurut Rapport dan Overing (2007:442) adalah: “...’the orderly use of symbolic forms (that is, forms which carry meaning for

their user) for the making of orderly worlds’; writing conceived of not as a technique of communication but as a ‘mode of cognition which makes experience meaningful’.

Apa yang dilakukan petani dengan menuliskan nama dan kode-kode itu juga mencerminkan upaya mereka menggunakan bentuk-bentuk simbolik secara teratur sebagai cara memaknai pengalamannya. Dengan cara itu, petani pun berupaya untuk menciptakan dunia yang melingkupinya — terkait dengan pemuliaan tanaman—secara lebih teratur. Berkenaan dengan penggunaan bentuk-bentuk simbolik untuk memaknai pengalaman itulah, Rapport dan Overing (2007:443) menegaskan bahwa: “...writing is the practice of symbolically reflecting on, and making sense of, experience .” Memaknai pengalaman dalam wujud simbolik itu tentunya merupakan suatu ketrampilan yang spesifik bagi petani yang selama ini dikenali sebagai insan-insan yang mengekspresikan dan merefleksikan pengalaman secara lisan, mengalihkan pengetahuan yang diperolehnya secara lisan pula, atau Apa yang dilakukan petani dengan menuliskan nama dan kode-kode itu juga mencerminkan upaya mereka menggunakan bentuk-bentuk simbolik secara teratur sebagai cara memaknai pengalamannya. Dengan cara itu, petani pun berupaya untuk menciptakan dunia yang melingkupinya — terkait dengan pemuliaan tanaman—secara lebih teratur. Berkenaan dengan penggunaan bentuk-bentuk simbolik untuk memaknai pengalaman itulah, Rapport dan Overing (2007:443) menegaskan bahwa: “...writing is the practice of symbolically reflecting on, and making sense of, experience .” Memaknai pengalaman dalam wujud simbolik itu tentunya merupakan suatu ketrampilan yang spesifik bagi petani yang selama ini dikenali sebagai insan-insan yang mengekspresikan dan merefleksikan pengalaman secara lisan, mengalihkan pengetahuan yang diperolehnya secara lisan pula, atau

Suatu perubahan tengah terjadi. Ellen (2004:437—8) menyatakan bahwa pengetahuan lokal atau tradisional itu lazim dikodifikasi dalam bahasa dan karena itu, bersifat “leksikal”. Bila muncul keteraturan dalam cara pandang penduduk terhadap hubungan-hubungan antarberbagai makhluk hidup yang lain, berkembanglah pengetahuan klasifikatoris atau yang dikenal juga dengan “taksonomi”. Tetapi, pengetahuan klasifikatoris itu dapat diekspresikan tidak dalam bahasa. Ellen (2004:438) menyebutnya sebagai “pengetahuan substantif” (substantive knowledge), atau “embodied knowledge”, pengetahuan yang terekspresikan dalam perilaku misalnya. Tanpa adanya kegiatan menulis, pengetahuan itu pun tersimpan dalam leksikon, dalam ingatan, dan dalam perilaku. Apa yang kini dilakukan sejumlah petani-pemulia dalam mencatat, mengodifikasi, dan mendokumentasi pengetahuan, praktik, dan produk pemuliaan tanaman itu menunjukkan suatu perkembangan yang disebut oleh Ellen (2004:438) sebagai “tekstualisasi dari pengetahuan leksikal” (the textualization of lexical knowledge ) melalui tulisan. Melalui tulisan dengan menggunakan simbol-simbol itulah petani-pemulia mengekspresikan pengalaman dan pengetahuannya.

Tesktualisasi pengetahuan serta upaya meresmikan dan menginstitusionalkan pengetahuan tekstual itu mendasari perkembangan pengetahuan ilmiah asal dari Barat. Upaya memformalisasi pengetahuan tekstual secara sistematis itu memungkinkan ilmuwan untuk mengumpulkan data, memanipulasi informasi, dan menjamin penggunaan tata-cara, prosedur, dan langkah-langkah yang sama, di mana saja, dalam melaksanakan karya ilmiahnya (Ellen, 2004:439). Apa yang dialami petani-pemulia di Indramayu dalam menekstualisasi pengetahuan leksikal itu pun memungkinkan mereka melaksanakan kegiatan “ilmiah” yang lebih terkontrol dalam uji-coba dan dalam melakukan perbandingan. Ellen (2004:439) menyatakan,

Thus, while illiterate farmers may year-on-year conduct experiments regarding the utility of different landrace seeds, proper recording on paper and analysis using abstract conventions permits a greater degree of experimental control and comparison.

Tekstualisasi itu juga memungkinkan terjadinya pengalihan informasi dan kepemilikan bersama simbol-simbol atau kode-kode di antara penggunanya secara lebih efektif. Dalam masa sebelum Revolusi Hijau, pengetahuan petani yang kaya mengenai nama dan karakteristik benih-benih lokal itu hanya tersimpan dalam wujud leksikal dalam ingatan mereka. Dengan beredarnya beragam produk: benih, pupuk, dan pestisida pada masa Revolusi Hijau, petani dihadapkan pada beragam tulisan yang tertera dalam kemasan produk- produk itu yang tidak secara mudah dipahami. Tulisan itu berasal dari ranah teknologi dan pengetahuan ilmiah yang asing bagi mereka. Perilaku “menekstualisasi hasil pengamatan” melalui tulisan, gambar, dan hitungan oleh petani sendiri barulah dialami oleh mereka yang mengikuti Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) di awal tahun 1990-an. Melalui karya-karya tekstual dalam wujud gambar, tulisan, dan hasil perhitungan itu, petani Tekstualisasi itu juga memungkinkan terjadinya pengalihan informasi dan kepemilikan bersama simbol-simbol atau kode-kode di antara penggunanya secara lebih efektif. Dalam masa sebelum Revolusi Hijau, pengetahuan petani yang kaya mengenai nama dan karakteristik benih-benih lokal itu hanya tersimpan dalam wujud leksikal dalam ingatan mereka. Dengan beredarnya beragam produk: benih, pupuk, dan pestisida pada masa Revolusi Hijau, petani dihadapkan pada beragam tulisan yang tertera dalam kemasan produk- produk itu yang tidak secara mudah dipahami. Tulisan itu berasal dari ranah teknologi dan pengetahuan ilmiah yang asing bagi mereka. Perilaku “menekstualisasi hasil pengamatan” melalui tulisan, gambar, dan hitungan oleh petani sendiri barulah dialami oleh mereka yang mengikuti Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) di awal tahun 1990-an. Melalui karya-karya tekstual dalam wujud gambar, tulisan, dan hasil perhitungan itu, petani

Istilah “Sains” yang digandengkan dengan istilah “Petani” menunjukkan tata cara formal yang melandasi kegiatan ilmiah melalui uji coba secara lebih terkendali dan tersistematisasi dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan petani sendiri dalam lingkup habitatnya (lihat Suprapto, 2007; Untung, 2007; Winarto, 2007). Salah satu kegiatan semacam itu di Indramayu ditumbuhkembangkan melalui program Aksi Riset Fasilitasi (ARF) guna menemukan strategi pengendalian penggerek batang padi putih yang tepat dan

efektif. (lihat Busyairi dkk, 2000). 1 Kini, semenjak kegiatan Pemuliaan Tanaman Partisipatoris (Participatory Plant Breeding) diperkenalkan oleh program PEDIGREA di

tahun 2002, upaya untuk melakukan tekstualisasi dari beragam benih tetua, benih hasil persilangan, atau morfologi, dan karakteristik pertumbuhan tanaman itu pun bertumbuh kembang di antara petani-pemulia tanaman.

Pendokumentasian kegiatan pemuliaan tanaman itu memiliki tingkat kompleksitas dan kerincian yang lebih tinggi dibandingkan pencatatan dalam SLPHT misalnya. Sejalan dengan rentang waktu kegiatan seleksi hasil persilangan selama minimal delapan musim tanam, kegiatan pencatatan itu pun perlu dilakukan petani-pemulia tanaman dalam jangka waktu yang jauh lebih lama alih-alih hasil pengamatan mingguan atau satu-dua musim tanam. Oleh karena itu, merupakan hal yang menarik untuk dicermati dan dikaji bagaimanakah petani— yang sebelumnya tidak memiliki “budaya menekstualisasikan pengalaman bercocok tanam”—menumbuhkembangkan “budaya menekstualisasi pengalaman memuliakan tanaman” yang kompleks, menuntut kecermatan, dan memakan waktu yang lama?

Sejauh ini, perubahan kemampuan petani dari leksikalisasi menjadi tekstualisasi pengalaman melalui beragam simbol itu belum diulas secara khusus oleh para ilmuwan yang mengaji kegiatan pemuliaan tanaman. Beberapa tulisan dalam buku yang disunting Prain dan Bagalanon (1994) mengulas sejumlah aspek berkaitan dengan pengetahuan lokal tentang diversitas plasma nutfah dan kolaborasi antara ilmuwan dan petani dalam hal penelitian dan konservasi plasma nutfah itu (Sandoval, 1994a, 1994b; Lleva, 1994; Il-Gin Mok dan Schneider, 1994; Sawor dkk, 1994, Prain dkk, 1994, Amante dan Rasco, 1994). Namun, mereka tidak menyajikan dokumentasi yang dilakukan oleh penduduk setempat dalam hal kajian dan konservasi plasma nutfah. Almekinders dan Louwaars (1999) menyajikan secara rinci penuntun untuk melakukan survei tentang sistem perbenihan oleh petani, tetapi tidak memberikan sejumlah contoh kegiatan dokumentasi yang dilakukan mereka. Dalam buku yang disunting oleh Cleveland dan Soleri (2002) terdapat sejumlah artikel mengenai kegiatan

1 Arief L. Hakim, pemandu Aksi Riset Fasilitasi (ARF, Action Research Facility) di Desa Kalensari, Kecamatan Widasari mengisahkan keterkejutan tentara—yang mengawal petani dari Timor Timur melakukan

studi banding pada masa Orde Baru—saat melihat petani Indramayu mengeluarkan papan dan kertas plano (flipchart) untuk menjelaskan dan mendiskusikan temuannya mengenai perkembangan hama penggerek batang padi putih, serta hubungannya dengan agroekosistem lahan studinya.

pemuliaan tanaman oleh petani, atau berdasarkan kolaborasi antara ilmuwan dan petani di sejumlah negara, tetapi tidak terdapat ulasan hal tekstualisasi dan dokumentasi itu (lihat misalnya Zimmerer, McGuire, Frossard, Joshi dkk, 2002). Oleh karena itu, tulisan dalam bab ini diharapkan dapat memperkaya khazanah pustaka mengenai penumbuhkembangan “kegiatan tekstualisasi” dalam komuniti yang mengembangkan budi daya cocok tanam melalui “budaya leksikal dan praktik”. Dalam penumbuhkembangan itu, sejauhmanakah terdapat keragaman dan kesepakatan di antara para petani-pemulia di Indramayu? Siapakah yang berperan sebagai agen yang melalui keputusan dan perilakunya dapat menyebabkan adanya variasi, perubahan, atau penyeragaman dalam proses kodifikasi yang tengah berlangsung? (lihat tentang agent dan agency dalam Sewell, 1992; Ahearn, 2001; dan Ortner, 2006). Bab ini akan mengulas hal itu dengan mengacu pada sejumlah kegiatan, yakni pencatatan tetua; pengodifikasian persilangan; pendokumentasian karakteristik morfologi, penampilan tanaman, dan genealogi persilangan; serta pemetaan lahan benih tetua dan hasil persilangan.

Mencatat Benih Tetua Persilangan: Dari Ingatan ke Tulisan

Benih-benih yang dijadikan tetua atau bahan baku persilangan tidak selalu berasal dari benih yang telah dikenali dan dibudidayakan petani di lahannya. Asal benih pun beragam, dari dalam dan luar negeri (lihat Winarto, Bab 8). Oleh karena itu, salah satu hal yang menjadi bagian dari upaya “pencarian” atau “penelitian” oleh petani adalah identitas dari benih yang diperoleh. Memberi “nama” pada benih yang diperoleh untuk dijadikan tetua itu menjadi salah satu hal penting, termasuk pula asal muasal benih itu (lihat Winarto, Bab 8). Gabah telah di tangan, tetapi gabah dari varietas apakah itu? Karakteristik dari varietas apakah yang akan dijadikan acuan untuk menjadi bahan baku persilangan? Sejumlah petani dari generasi yang masih mengalami cocok tanam padi jaman bengèn mengaktifkan kembali ingatannya yang tidak teraktifkan selama periode Revolusi Hijau. Merekalah yang menjadi agen-agen yang memungkinkan “munculnya kembali ingatan masa lalu dalam konteks pemuliaan tanaman masa kini” melalui identifikasi benih (lihat Dove, 1999; lihat Winarto, Bab 8). Akan tetapi, tidak seluruh benih yang berhasil dihimpun petani berasal dari padi jaman bengèn. Petani generasi muda tidak pula dapat mengandalkan ingatan dalam wujud leksikal saja tanpa memiliki visualisasi atas bentuk gabah senyatanya. Kegiatan mencatat pun menjadi suatu kebutuhan. Keragaman bentuk dan cara dalam mengembangkan kegiatan itu merupakan suatu hal yang lazim kami jumpai.

Ada kalanya gabah diperoleh disertai namanya, sehingga petani tidak perlu bersusah payah lagi mengenalinya.

Mentik Wangi dari Magelang, Jawa Tengah dan sejumlah benih dari Sumatera dan Kalimantan diperoleh petani beserta nama yang disebutkan pemberi benih. Demikian pula nama benih asal dari luar negeri yang—dalam sebutan petani— disebut sebagai: Pulo Dano, Bor Dagol, Tkyo, Japan Red, dan Japan Kuning dari Filipina. Sekalipun ketiga nama terakhir mengindikasikan asal muasalnya dari Jepang, tetapi benih-benih itu diperoleh melalui petani Filipina.

Manakah nama yang asli dan manakah hasil kreativitas petani, tidak lagi menjadi penting bila nama itu telah di’kena’kan pada salah satu benih, dan disebarluaskan melalui penyebaran benih antarpetani-pemulia. Bila benih berasal dari galur-galur pembudidayaan varietas lokal atau hasil rekayasa genetika dalam lingkup Balai Penelitian Tanaman Pangan, misalnya, nama itu diperoleh dari papan yang terpampang di setiap galur. Melalui tulisan itulah petani yang berkesempatan mendapatkan benih di galur-galur itu mengetahui nama dan asalnya, seperti yang dilakukan petani dari Kecamatan Anjatan dan Sukra.

Dengan kesigapan dan ketrampilan yang dimiliki, dua orang petani dari Anjatan berhasil mengambil sejumlah bulir-bulir padi dari setiap galur di petakan lahan pembudidayaan plasma nutfah padi di Balitpa Sukamandi itu. Dengan sigap pula dicatatnya nama benih serta asal lokasi benih itu dalam secarik kertas. Bulir padi beserta sobekan kertas itu disimpannya dalam kantong-kantong plastik yang telah disiapkannya dari rumah. Alhasil, terkumpullah sekitar 43 jenis bulir padi. Namun, dari jumlah itu, terdapat sebanyak 7 jenis yang tidak diperoleh namanya. Ke-36 jenis benih yang lain telah teridentifikasi nama serta daerah asalnya, misalnya:

Serepet tinggi Batang Hari, Jambi.

Ketan Langgarsari

Banten

Ceré Caruluk

Bandung

Kail

Kalimantan Barat

Botel

Boyolali

Lenggong Genuk Wonosobo, dan seterusnya.

Pertanyaannya kini: apakah nama varietas dari benih yang terambil tanpa nama itu? Bagaimanakah cara mengetahuinya? Saat peneliti (YT Winarto) berada di Anjatan, seorang petani peserta SLPT, Noto (usia 58 tahun)—ayah dari petani pemandu SLPT yang mengambil benih-benih itu, Oki (usia 31 tahun)—berinisiatif menanyakannya pada ayahnya (kakek dari si petani pemandu) yang kebetulan sedang berada di halaman rumah tempat mereka berkumpul. Setelah menyimak dan mengamati secara cermat, sang kakek (usia 80 tahun) mengidentifikasi varietas tanpa nama itu. Berdasarkan ingatan tentang karakteristik gabah yang dimilikinya saat menanam beragam padi jaman bengèn, disebutnya nama-nama varietas dari gabah yang diamati itu. Karakteristik gabah yang diperhatikan adalah bentuk biji (bulat atau panjang), warna gabah, berbulu (ada songotnya) atau tidak, dan warna bulu. Ada sejumlah 19 varietas yang saat itu mampu diutarakan sang kakek secara lisan beserta karakteristik masing-masing, sekalipun gabah dari varietas itu tidak berada di hadapannya. Sang ayah, Noto, yang masih mengalami bercocok tanam padi jaman bengèn tidak memiliki kemampuan dan ingatan seperti sang kakek, terlebih lagi Oki yang tidak pernah mengalaminya. Oki menyatakan bahwa ia perlu menanam benih-benih itu untuk dapat mengamati karakteristiknya.

Peristiwa di atas menunjukkan bahwa catatan nama varietas benih yang baru diperoleh dan belum pernah dibudidayakan petani-pemulia tanaman, tidaklah membawa makna apa-apa tanpa adanya pengetahuan mengenai morfologi varietas baru itu. Hanya dari bentuk atau warna gabah, ada tidak adanya bulu, tidaklah memadai, demikian ungkap Oki. Tulisan tentang nama-nama dan asal lokasi benih sekedar menjadi penuntun awal untuk membedakan satu wujud benih dari yang lain. Oleh karena itu, penamaan perlu disertai dengan penanaman benih itu agar dapat diamati pertumbuhan, penampilan, dan karakteristiknya. Sebaliknya, pengetahuan sang kakek yang teraktifkan kembali mengenai beragam varietas jaman bengèn itu menandakan masih tersimpannya peta “kategorisasi” benih sekalipun tidak tertekstualisasi. Ingatan itulah yang memungkinkan sang anak dan cucu memberi “identitas” pada benih-benih tak bernama itu yang dituangkan dalam wujud tulisan. Dari leksikal menjadi tekstual, itulah yang terjadi pada identitas varietas padi, terutama yang berasal dari jaman bengèn . Dalam konteks pemuliaan tanaman, penamaan itu memang menjadi penting untuk dapat dirujuk sebagai satu varietas dengan karakteristik morfologi tertentu guna dipertimbangkan menjadi tetua atau tidak.

Dalam upaya mengumpulkan berbagai varietas sebagai tetua disertai aktivitas mengenali kembali, memperkaya, dan memantabkan pengetahuan mengenai karakteristik berbagai varietas itulah pencantuman nama benih secara tertulis menjadi penting, apakah di runggaian padi (lihat Gambar 9.1), ataukah di papan yang ditancapkan di depan galur-galur masing-masing varietas (lihat Gambar 9.2). Pencatatan juga dilakukan pada tempat disimpannya bulir-bulir padi itu, misalnya pada botol-botol penyimpanan bulir-bulir padi lokal, atau pada kuali tempat menyimpan botol-botol itu seperti yang dilakukan Dar. (lihat Gambar 9.3).

Gambar 9.1. Dar Menunjukkan Catatan Benih Lokal (Foto: tim Bisa Dèwèk)

Gambar 9.2. Penulisan nama varietas benih di di papan seng (Foto oleh Winarto)

Gambar 9.3. Penulisan nama-nama varietas lokal di kuali tempat menyimpan botol-botol terisi gabah

padi lokal (Foto oleh Winarto)

Dengan dihibahkannya lemari pendingin di awal musim kemarau 2008 sebanyak 3 buah yang ditempatkan di tiga petani-pemulia mewakili tiga wilayah (Lihat Ansori, Bab 10), terdapat modifikasi penyimpanan benih dan pencatatan yang dilakukan petani-pemulia tanaman. Dar mengumpulkan dan menggunakan botol-botol plastik (bekas botol obat) untuk menyimpan benih-benih lokal dan hasil-hasil persilangannya di dalam lemari pendingin itu. Catatan tentang nama-nama varietas benih lokal itu ditulisnya di bagian luar botol . Dar menutup catatan nama atau kode varietas dengan plastik agar tidak terkena embun dari lemari Dengan dihibahkannya lemari pendingin di awal musim kemarau 2008 sebanyak 3 buah yang ditempatkan di tiga petani-pemulia mewakili tiga wilayah (Lihat Ansori, Bab 10), terdapat modifikasi penyimpanan benih dan pencatatan yang dilakukan petani-pemulia tanaman. Dar mengumpulkan dan menggunakan botol-botol plastik (bekas botol obat) untuk menyimpan benih-benih lokal dan hasil-hasil persilangannya di dalam lemari pendingin itu. Catatan tentang nama-nama varietas benih lokal itu ditulisnya di bagian luar botol . Dar menutup catatan nama atau kode varietas dengan plastik agar tidak terkena embun dari lemari

Gambar 9.4. Bulir-bulir padi yang disimpan di dalam lemari pendingin di rumah Kar.

(Foto oleh Winarto,2009)

Gambar 9.5 Kantong-kantong plastik pembungkus kopi yang disiapkan War untuk tempat meletakkan gabah (Foto oleh Winarto, 2009)

Bila identifikasi dan tekstualisasi varietas baru merupakan hal yang lazim dijumpai pada petani-petani-pemulia tanaman, sejauhmanakah pencatatan secara rinci tentang karakteristik benih-benih itu dilakukan? War adalah salah satu di antara mereka yang melaksanakan hal itu. Dalam buku besar berukuran folio, disediakannya lembar khusus untuk mencatat beragam varietas dan karakteristiknya. Di bagian atas halaman tertulis: “Analisa Parietas yang Ada”. Dengan menggunakan dua lembar sisi ganjil dan genap, dibuatnya kolom-kolom dengan kolom terkiri untuk nama varietas. Kolom-kolom yang tersebar di sisa halaman (ke arah kanan) itu diperuntukkan macam-macam data yang memadai dan informatif tentang varietas-varietas tersebut. Dari kiri ke kanan, kolom-kolom itu ditulisi tema-tema sebagai berikut:

No. Nama Varietas, Tinggi tanaman (cm), Bentuk daun bendera, Lebar daun (cm), Warna daun, rata-rata anakan produktif, rata-rata bulir per malai, ketahanan rebah (tahan/tidak tahan), bentuk bulir, warna beras, rasa nasi, ketahanan rebah (tahan/tidak tahan), umur SS (hari), produkci per ha (kg.), warna batang bawah, jenis varietas lokal/baru, dan asal varietas.

Diakui oleh War bahwa dokumentasi tentang varietas “tetua” itu didasarkan pada “akalan sendiri”, tidak didasarkan pada petunjuk FIELD. Jenis data yang sekiranya perlu didokumentasi yang kemudian diterakan sebagai judul kolom berasal dari inisiatif dan pilihan War sendiri. Apakah tujuan War mendokumentasikan karakteristik masing-masing varietas itu? Pendokumentasian itu menjadi penting, karena diperlukan sebagai rujukan dalam memilih karakteristik benih yang disilangkan. Dalam menganalisis benih apa yang akan disilangkan, War mengeceknya lebih dahulu pada catatan tentang ‘Analisa Varietas yang Ada’ itu. Pada saat mencatat karakteristik penampilan tanaman hasil persilangan dan seleksi Diakui oleh War bahwa dokumentasi tentang varietas “tetua” itu didasarkan pada “akalan sendiri”, tidak didasarkan pada petunjuk FIELD. Jenis data yang sekiranya perlu didokumentasi yang kemudian diterakan sebagai judul kolom berasal dari inisiatif dan pilihan War sendiri. Apakah tujuan War mendokumentasikan karakteristik masing-masing varietas itu? Pendokumentasian itu menjadi penting, karena diperlukan sebagai rujukan dalam memilih karakteristik benih yang disilangkan. Dalam menganalisis benih apa yang akan disilangkan, War mengeceknya lebih dahulu pada catatan tentang ‘Analisa Varietas yang Ada’ itu. Pada saat mencatat karakteristik penampilan tanaman hasil persilangan dan seleksi

Gambar 9.6. War menunjukkan Buku “Analisa Parietas yang Ada” (sumber: foto oleh Adityasari)

Bertolak dari inisiatif dan kreativitas masing-masing petani-pemulia, serta tujuan akhir yang ingin dicapai, terdapat variasi antara satu petani-pemulia dengan yang lain dalam mendokumentasi karakteristik benih tetua, dan cara melakukan dokumentasi itu. Bahkan, ada

yang tidak melakukannya. Yus dari Kecamatan Bangodua, misalnya, tidak membuat catatan apa pun di papan-papan kecil di lahan seperti yang dilakukan petani-pemulia yang lain. “Enggak, pusing nulis itu,” ujar Yus. Walau demikian, ia juga membuat catatan di dalam buku tulisnya beberapa benih induk yang berasal dari varietas lokal yang dulu dicatatnya

ketika mengikuti SLPT. Variasi itu terjadi karena tidak ada panduan khusus yang diinformasikan pada peserta SLPT tentang catatan yang sepatutnya dilakukan untuk benih tetua, bukan tentang karakteristik hasil persilangan. Oleh karena itu, masing-masing petani- pemulia mengembangkan gagasan dan caranya sendiri dalam melakukan pencatatan. Variasi itu dijumpai misalnya di antara War dan Mitro, petani-pemulia dari Kalensari.

Mitro melakukan pencatatan tentang karakteristik benih tetua, tetapi berbeda dari War, ia tidak menuliskannya dalam buku induk. Data tentang benih tetua yang ia miliki diakuinya disimpan secara pribadi. Walau demikian, Mitro sempat menunjukkan daftar isian pencatatan

bahan baku persilangan yang dibuatnya. Pada suatu saat, Mitro meminta bantuan staf

Seperti halnya War, Mitro menyadari pentingnya melakukan pencatatan yang rinci tentang karakteristik benih tetua. Untuk membantunya mengukur secara tepat dan cermat tinggi tanaman, lebar daun bendera, panjang daun bendera, dan lebar daun dari tanaman bahan induk itu di lahan, ia menciptakan alat pengukur dari batang bambu. Pada batang bambu itu ada alat pengukur dengan ukuran centimeter dan ada pula pengukur panjang malai. Di batang bambu itu dipasangnya tali-tali untuk mengikat malai-malai padi dari satu rumpun tanaman. Perubahan kemudian terjadi pada musim gadu 2008, Mitro tidak lagi menuliskan satuan pengukur di batang kayu/papan. Alih-alih, ia menggunakan tali untuk mengukur tinggi batang, dan juga untuk panjang malai (lihat Gambar 9.7 tentang alat ukur yang diciptakan Mitro). Dijelaskannya bahwa:

...iya, bahan baku penyilangan kan mesti diukur, tingginya berapa, lebar daun bendera, panjang daun bendera berapa. Kalo kita pake meteran kan jongkok- jongkok. Kalau ini kan tinggal pegang (Pak Mitro memeragakan cara memakai meteran itu pada Ardhianto). Ini kan batas ini kan 125 (ketinggian). 125(cm) ditambah, berarti 135(cm) tinggi tanaman. Jadi, lebih praktis. Baru dicatetin nomor berapa, umpamanya, nomor 8 tinggi 135(cm), lebar daun bendera berapa, panjang daun bendera berapa, terus lebar daun berapa, nanti ditulis. Kalo buat bahan penyilangan secara rinci ditulis.

Hasil pengukuran itulah yang kemudian dialihkan pendokumentasiannya dalam catatan yang disiapkan oleh staf Yayasan FIELD atas permintaan Mitro.

Gambar 9.7. Alat ukur tanaman padi ciptaan Mitro (Foto oleh Ardhianto, 2008)

Dar pun mengembangkan sendiri catatan tentang karakteristik benih tetua padi lokal yang selama ini dikumpulkannya. Pada tahun 2008, didokumentasikannya karakteristik itu dalam formulir tentang “Ciri-ciri Padi Lokal” yang disiapkan dalam komputer berisi kolom- kolom tentang:

No. Nama Padi Hari Kulit Cm Biji Jumlah Ditanam Bulu/Angkup Warna Beras

Dalam dokumentasi itu Dar merinci padi lokal manakah yang tumbuh di habitat sawah dan lahan darat dalam kolom ”Ditanam”, dan manakah yang berbulu dan tidak dalam kolom Bulu/Angkup. Kata angkup mengacu pada warna hitam yang terdapat pada ujung gabah.

Beberapa kasus pencatatan benih tetua oleh sejumlah petani-pemulia tanamanmenunjukkan bahwa pada masa kini, pengetahuan mengenai hal itu tidak lagi dapat bertumpu pada ingatan dan bahasa semata sebagaimana dilakukan petani di jaman bengèn. Hal itu terkait tidak hanya dengan upaya mengaktifkan kembali ingatan atas varietas-varietas benih lokal oleh petani yang pernah membudidayakannya, tetapi juga dengan tujuan melakukan dokumentasi atas kegiatan pemuliaan yang dilakukan masing-masing petani- pemulia tanaman. Kegiatan mencatat ini menunjukkan adanya perubahan dalam memaknai dan menggunakan benih. Benih itu tidak lagi ditanam untuk keperluan produksi semata, tetapi juga untuk bahan baku persilangan. Unsur-unsur tanaman atau bagian dari morfologi tanaman yang perlu dikenali karakteristiknya pun semakin kompleks. Oleh karena itu, mereka perlu mengenali secara cermat karakteristik masing-masing tetua yang berhasil dihimpunnya sebagai acuan dalam menentukan varietas idaman, serta menetapkan varietas yang akan dijadikan bahan tetua “induk” dan tetua “jantan”. Namun, dengan adanya sejumlah petani-pemulia yang tidak melakukan pencatatan atas karakteristik penampilan tanaman tetua itu menandakan pula bahwa mereka masih mengandalkan pada ”ingatan”. Bagi generasi muda, pengetahuan tentang hal itu diacunya pada petani-pemulia yang berusia lebih tua dan pada hasil pengamatan atas pertumbuhan tanaman. Akankah hal itu terjadi pula untuk data terkait dengan persilangan itu sendiri?

Membuat Kodifikasi Persilangan: Suatu Dinamika

Suatu jajaran penggunaan simbol yang beragam oleh petani-pemulia di berbagai tempat di Indramayu, kami jumpai dari satu tempat ke tempat lain dalam kurun waktu 2006—08.

Saat kami mengamati lahan persilangan yang dikelola Nur dan kawan-kawan di Kecamatan Lelea di pertengahan tahun 2006, terpampang tulisan di salah satu papan yang ditancapkan di depan galur padi: F6, BP x CH dan nama petani- pemulia tanaman: Nurlulah (lihat Gambar 9.8). Huruf-huruf itu menyiratkan singkatan untuk nama varietas tertentu. Kode angka yang muncul dan bukan huruf-huruf mengacu ke kode persilangan. Kami jumpai pula papan seng dari beragam hasil persilangan yang menunjukkan deretan huruf dan angka akan tetapi tanpa ada tanda silang, hal itu dijumpai di tempat Kar ( lihat gambar 9.9). Varian lain adalah kode saja yang muncul akan tetapi tidak lagi dimunculkan nama Saat kami mengamati lahan persilangan yang dikelola Nur dan kawan-kawan di Kecamatan Lelea di pertengahan tahun 2006, terpampang tulisan di salah satu papan yang ditancapkan di depan galur padi: F6, BP x CH dan nama petani- pemulia tanaman: Nurlulah (lihat Gambar 9.8). Huruf-huruf itu menyiratkan singkatan untuk nama varietas tertentu. Kode angka yang muncul dan bukan huruf-huruf mengacu ke kode persilangan. Kami jumpai pula papan seng dari beragam hasil persilangan yang menunjukkan deretan huruf dan angka akan tetapi tanpa ada tanda silang, hal itu dijumpai di tempat Kar ( lihat gambar 9.9). Varian lain adalah kode saja yang muncul akan tetapi tidak lagi dimunculkan nama

Gambar 9.8. Pencatatan di papan oleh Nur (Foto: Tim Bisa Dèwèk)

Gambar 9.9. Pencatatan Kar di papan, tanpa tanda silang dengan nama penyilang (Foto oleh Tim Bisa Dèwèk)

Gambar 9.10. Papan di lahan pemuliaan tanaman tanpa nama penyilang (Foto oleh Winarto, 2008)

Gambar 9.11. Nama kultivar saja yang tertulis di bagian pot tanaman persilangan (Foto oleh Winarto, 2008)

Namun, di balik keragaman yang besar itu, terdapat pula kesamaan untuk penggunaan sejumlah kode. Bagaimanakah keragaman dan kesamaan itu terjadi?

Melalui Sekolah-sekolah Lapangan Pemuliaan Tanaman yang diperkenalkan semenjak tahun 2002, petani tidak hanya belajar tentang pengetahuan dan praktik persilangan, tetapi juga perlunya melakukan pencatatan yang rinci untuk kegiatan persilangan yang dilakukan beserta nama benih tetua, penyilang dan alamatnya, tanggal persilangan, dan hasil persilangan. Di atas setiap kertas minyak pembungkus malai padi “calon bastar” itulah petani-pemulia tanaman diharapkan menuliskan data tersebut yang kemudian dipindahkan dalam buku catatan masing-masing. Informasi tentang benih tetua apa yang disilangkan, siapa penyilangnya, di mana dan kapan dilakukan menjadi data dasar yang amat penting. Tanggal penyilangan merujuk pada musim tanam dan tanggal-bulan saat si penyilang melakukan persilangan. Hal itu akan membantu petani-pemulia tanaman dalam menghitung secara tepat umur padi hasil persilangan itu setelah panen. War, misalnya, mencatat di buku tulisnya data persilangan yang terdiri dari:

Nomor urut – Persilangan antara varietas – Nomor register (asal) – Tanggal penyilangan – Tempat – Nama penyilang.

Kode-kode baru pun diperkenalkan melalui SLPT, terutama kode untuk mengidentifikasi jenis persilangan yang dilakukan. Dengan kode-kode itu diharapkan agar petani-pemulia tanamanmampu membedakan satu jenis persilangan dari jenis yang lain, dan melakukan pencatatan dalam buku tulis dengan kode-kode itu (lihat Kotak 9.3 tentang kode- kode dan pencatatan jenis-jenis persilangan). Diinformasikan pula pada petani-pemulia tanamanagar mereka menggunakan nomor-nomor untuk menandai persilangan yang Kode-kode baru pun diperkenalkan melalui SLPT, terutama kode untuk mengidentifikasi jenis persilangan yang dilakukan. Dengan kode-kode itu diharapkan agar petani-pemulia tanamanmampu membedakan satu jenis persilangan dari jenis yang lain, dan melakukan pencatatan dalam buku tulis dengan kode-kode itu (lihat Kotak 9.3 tentang kode- kode dan pencatatan jenis-jenis persilangan). Diinformasikan pula pada petani-pemulia tanamanagar mereka menggunakan nomor-nomor untuk menandai persilangan yang

Kotak 9.2. Kode-kode untuk ragam jenis persilangan

1. Silang biasa

:x

2. Silang paksa : x [beri O melingkari x]

3. Silang tunggal

: Sriputih x Longong

4. Silang puncak

: Gundil Beras Putih x Sriputih

Bastar atau F2 x Longong

5. Silang balik

: Rangsel x Gundil Beras Merah

Bastar atau F2 x Gundil Beras Merah ( Rangsel)

6. Silang ganda

:AxB

DxE

C (F1) x G (F1)

H (F1)

Kotak 9.3 Cara meletakkan nama benih betina dan jantan

Menyamping

: Sriputih (betina) x Longong (jantan)

Atas-bawah

: Sriputih (betina)

Longong (jantan)

Itulah sejumlah kode-kode baku yang berlaku dalam domain pengetahuan ilmiah pemuliaan tanaman yang diajarkan pada petani melalui SLPT (lihat Wartono 2004), dan yang diinternalisasikan oleh masing-masing petani-pemulia tanaman. Itulah tekstualisasi pengetahuan baru yang tersebar semenjak 2002 yang dimiliki secara bersama (shared knowledge ) oleh para petani-pemulia tanamanhasil dari penggabungan unsur pengetahuan baru pemuliaan tanaman dalam skema pengetahuannya. Memberi kode dalam wujud simbol menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik baru yang mereka kini pelajari dan tekuni. Jika demikian, bagaimanakah keragaman seperti contoh-contoh di atas muncul?

Penggunaan nomor urut persilangan dan Filial (F) memang tersebar melalui pelatihan dalam SLPT dan dipahami setiap petani-pemulia tanaman. Akan tetapi, nomor urut dari persilangan benih-benih tetua apakah itu? Hanya sang petani-pemulia tanaman yang mengetahui jawabannya: merujuk ke persilangan benih-benih tetua apakah nomor urut tertentu itu. Dengan cara inilah masing-masing petani “menyembunyikan” data tentang benih-benih tetua yang disilangkannya. Misalnya, persilangan oleh Mitro berurut dari 01 sampai 54 di tahun 2007 dan mencapai lebih dari 100 di tahun 2008. War memiliki nomor urut persilangan hingga no.21 di tahun 2008. Hanya Mitro dan War yang mengetahui apa makna 01, 02, dan seterusnya itu bagi diri mereka masing-masing. Informasi tentang persilangan benih-benih tetua tertentu pilihan Mitro dan War itulah yang merupakan pengetahuan-tak-terbagikan (unshared knowledge). Bahkan, pengetahuan itu menjadi “rahasia” masing-masing petani-pemulia tanaman. Mengapa demikian?

Pilihan dalam menyilangkan benih-benih tetua terpulang pada masing-masing individu petani. Hasil persilangan itu pun masih dalam proses seleksi. Pengecualian terdapat pada sejumlah persilangan yang menurut pemulianya, telah menunjukkan penampilan yang “sudah rata” atau seragam. Sejauhmanakah keberhasilan, atau sebaliknya, kegagalan, dan/atau kekurangsempurnaan hasil persilangan dan seleksi, merupakan hal yang dinanti petani melalui praktik seleksi dari musim ke musim. Suatu keberhasilan dalam penampilan sesuai dengan “impian atau idaman” mereka, menjadi salah satu kebanggaan diri, hasil dari jerih payahnya selama ini. Namun, di balik itu, terbersit kekhawatiran bila kultivar baru yang mereka hasilkan itu diketahui oleh pihak-pihak luar, khususnya “perusahaan penghasil benih”. Petani mengkhawatirkan bahwa perusahaan itulah yang akhirnya dapat menengguk keuntungan. Padahal, petani yang bersusah-payah menyilang dan menyeleksinya sekian musim dan sekian tahun. Oleh karena itu, petani-pemulia tanaman pun tidak rela bila hasil karyanya ditiru orang lain. Mitro secara kukuh bermaksud merahasiakan karyanya: “Karena rahasia besar itu, nggak saya buka antara apa dengan apa...” Dipaparkannya lebih lanjut, dapat terjadi pihak lain itu,

...karena udah tahu persilangan antara Ciherang dan Kebo, kalau uji gen ya lulus. Oh ini ada gen Ciherang, oh bener. Ini ada gen Kebo, oh bener, lulus. Orang lain yang dapat hasil. Makanya saya gak pernah tulis, jadi orang lain bingung nanti...

Selain kekhawatiran bahwa pihak lain dapat mengetahui ‘rahasia’ persilangannya, ia juga bermaksud mendaftarkan hasil persilangannya ke pihak pemerintah. “Induk-induk persilangan disembunyikan dulu karena nanti mau didaftar,” kisah Mitro. War pun memiliki minat dan tujuan yang sama. Sebelum tahap akhir mencapai penampilan yang memenuhi kriteria untuk didaftarkan secara resmi ke pemerintah, ia tidak mau membuka ‘rahasia’ persilangan antara tetua apakah yang diwakili dengan kode nomor tertentu itu. Pada saat menjelang pendaftaran itu nanti akan dipikirkannya nama bagi varietas baru yang telah ‘rata’, dinilai ‘layak’, dan ‘memenuhi kriteria pemerintah’.

Penggunaan nomor tertentu pada label yang dibuat petani, ternyata tidak selalu mengacu pada nomor urut persilangan. Pada saat dilaksanakan Field Day (Temu Lapangan) SLPT 2008, salah satu kelompok di Kecamatan Anjatan yang baru menjalani satu musim Penggunaan nomor tertentu pada label yang dibuat petani, ternyata tidak selalu mengacu pada nomor urut persilangan. Pada saat dilaksanakan Field Day (Temu Lapangan) SLPT 2008, salah satu kelompok di Kecamatan Anjatan yang baru menjalani satu musim

Gambar 9.12 Papan persilangan yang dipamerkan pada acara Field Day, di Kecamatan Anjatan

(Foto oleh Winarto, 2008)

Jika nama-nama benih tetua yang disilangkan itu diwakili oleh nomor yang mengandung konotasi ”kerahasiaan” seperti kasus Mitro dan War, mengapa terdapat kode lain seperti penggunaan huruf? Di sejumlah lokasi lain, terdapat pula penulisan dengan huruf, misalnya: CH x SRI – F4. Kode yang terdiri dari dua/tiga huruf itu dipilih petani yang bersangkutan mewakili nama varietas tertentu tanpa perlu membukakan ‘kerahasiaan’nya, dan sekaligus menjadi pengingat bagi petani-pemulia tanamanyang bersangkutan. Hal itu memberikan kemudahan bagi sang petani untuk mengingat benih-benih tetua yang disilangkannya tanpa perlu melihat pada dokumentasi seperti kasus Mitro dan War. Sebaliknya, terdapat kasus pencantuman nama induk dan jantan di papan nama hasil persilangan. Misalnya tertulis: Dombret x Mira di lahan salah satu petani-pemulia tanaman. Sang petani tidak merasa perlu merahasiakan benih tetua yang digunakan dalam Jika nama-nama benih tetua yang disilangkan itu diwakili oleh nomor yang mengandung konotasi ”kerahasiaan” seperti kasus Mitro dan War, mengapa terdapat kode lain seperti penggunaan huruf? Di sejumlah lokasi lain, terdapat pula penulisan dengan huruf, misalnya: CH x SRI – F4. Kode yang terdiri dari dua/tiga huruf itu dipilih petani yang bersangkutan mewakili nama varietas tertentu tanpa perlu membukakan ‘kerahasiaan’nya, dan sekaligus menjadi pengingat bagi petani-pemulia tanamanyang bersangkutan. Hal itu memberikan kemudahan bagi sang petani untuk mengingat benih-benih tetua yang disilangkannya tanpa perlu melihat pada dokumentasi seperti kasus Mitro dan War. Sebaliknya, terdapat kasus pencantuman nama induk dan jantan di papan nama hasil persilangan. Misalnya tertulis: Dombret x Mira di lahan salah satu petani-pemulia tanaman. Sang petani tidak merasa perlu merahasiakan benih tetua yang digunakan dalam

Berbeda dari Mitro dan War, penyilang-penyilang itu tidak merisaukan hal “pencurian” informasi tentang bahan baku yang digunakan (tetua) oleh pihak lain. Kasus penyilang dari Bangodua yang menuliskan nama benih tetua menunjukkan bahwa orientasi mereka adalah pada kepentingan diri sendiri agar mudah mengingat benih-benih tetua yang digunakan dalam persilangannya. Kasus petani yang menuliskan nama baru pada kultivar ciptaannya menunjukkan bahwa tekstualisasi pengetahuan leksikal memang terjadi. Namun, acuan yang digunakan dalam mengidentifikasi suatu varietas adalah skema “penamaan secara leksikal” yang memang telah terwujud dalam alam pikirnya, dan bukan kode yang tidak lazim digunakan untuk menamai suatu varietas. Hal terakhir itu dianggap merepotkan. Bagi sejumlah petani-pemulia tanaman, minat seperti yang dimiliki Mitro dan War untuk mendaftarkan benih hasil persilangannya di lembaga pemerintah, tidak menjadi bagian dari tujuan melakukan persilangan. Mereka tengah mengupayakan pendaftaran di tingkat desa dengan sasaran pengakuan atas benih hasil persilangan oleh petani untuk kepentingan petani yang disebut mereka dengan community registry (Lihat Ardhianto, Bab. 11). Bagi mereka, penggunaan kode dalam bentuk angka (latin atau romawi) dan huruf untuk mengidentifikasi hasil persilangan sekaligus “merahasiakan” benih-benih tetua yang digunakan dalam persilangannya itu, tidak menjadi bahan pertimbangan seperti halnya Mitro dan War.

Keragaman penggunaan simbol tidak hanya dijumpai di antara penyilang-penyilang yang berbeda, tetapi juga pada diri penyilang yang sama. Menarik kiranya disimak bahwa Dar yang menggunakan silabi dari nama asli benih tetua betina dan jantan bagi hasil persilangannya, menggunakan simbol berupa angka untuk sejumlah persilangannya yang lain. Hal itu menunjukkan adanya keragaman pengambilan keputusan dalam kodifikasi oleh penyilang yang sama. Apakah acuan dan pertimbangan Dar? Dalam kasus Rangbo, kultivar hasil persilangan Dar, pemberian nama itu muncul setelah hasil persilangannya—yang pada tahap F5 dititipkan penanamannya pada petani di Anjatan, Oki—memasuki tahap F9 dan sudah “rata” dalam penampilan. Oki menyatakan perlunya pemberian nama pada suatu varietas padi. Tercetuslah nama Rangbo yang tanpa upaya menutupinya, diperkenalkan pada petani-petani lain sebagai berasal dari Ciherang dan Kebo. Namun, Dar pun menyadari perihal kemungkinan timbulnya ‘gugatan’ dari pihak-pihak lain, sehingga penggunaan silabi “ci” seperti pada Ciherang dihindarinya. Ia mengidentifikasi penggunaan silabi ‘ci’ itu dengan produk persilangan Syang Hyang Sri, perusahaan umum milik negara yang memiliki kewenangan memproduksi beragam varietas baru dan benih berlabel. Dengan kesadaran penuh bahwa pihak-pihak lain seperti perusahaan akan dengan mudah mengenali asal benih tetuanya, ia merelakan hal itu terjadi demi “menyukseskan petani”, itulah alasannya. Penyebarluasan benih bernama baru yang diproduksi oleh petani sendiri, bagi Dar, merupakan salah satu sarana mengangkat harkat, martabat, dan kesejahteraan petani. Namun, Keragaman penggunaan simbol tidak hanya dijumpai di antara penyilang-penyilang yang berbeda, tetapi juga pada diri penyilang yang sama. Menarik kiranya disimak bahwa Dar yang menggunakan silabi dari nama asli benih tetua betina dan jantan bagi hasil persilangannya, menggunakan simbol berupa angka untuk sejumlah persilangannya yang lain. Hal itu menunjukkan adanya keragaman pengambilan keputusan dalam kodifikasi oleh penyilang yang sama. Apakah acuan dan pertimbangan Dar? Dalam kasus Rangbo, kultivar hasil persilangan Dar, pemberian nama itu muncul setelah hasil persilangannya—yang pada tahap F5 dititipkan penanamannya pada petani di Anjatan, Oki—memasuki tahap F9 dan sudah “rata” dalam penampilan. Oki menyatakan perlunya pemberian nama pada suatu varietas padi. Tercetuslah nama Rangbo yang tanpa upaya menutupinya, diperkenalkan pada petani-petani lain sebagai berasal dari Ciherang dan Kebo. Namun, Dar pun menyadari perihal kemungkinan timbulnya ‘gugatan’ dari pihak-pihak lain, sehingga penggunaan silabi “ci” seperti pada Ciherang dihindarinya. Ia mengidentifikasi penggunaan silabi ‘ci’ itu dengan produk persilangan Syang Hyang Sri, perusahaan umum milik negara yang memiliki kewenangan memproduksi beragam varietas baru dan benih berlabel. Dengan kesadaran penuh bahwa pihak-pihak lain seperti perusahaan akan dengan mudah mengenali asal benih tetuanya, ia merelakan hal itu terjadi demi “menyukseskan petani”, itulah alasannya. Penyebarluasan benih bernama baru yang diproduksi oleh petani sendiri, bagi Dar, merupakan salah satu sarana mengangkat harkat, martabat, dan kesejahteraan petani. Namun,

Jika untuk bastar digunakan simbol beragam, bagaimanakah simbol untuk segregasi hasil persilangan yang kompleks pada tahap seleksi dari F1 hingga F8? Penggunaan simbol- simbol tertentu untuk menunjukkan segregasi gen, tidak diajarkan di SLPT. Padahal, setiap penyilang menemukan variasi segregasi yang besar dalam karakteristik pertumbuhan tanaman, termasuk kondisi malai, dan bulir padi. Keragaman itulah yang mendorong masing- masing penyilang untuk mengembangkan penggunaan simbol-simbol guna menandai segregasi gen yang terjadi pada setiap generasi (filial). Alhasil, beragam pulalah kodifikasi yang dilakukan para penyilang yang tersebar di berbagai lokasi. Ada sejumlah penyilang yang menggunakan simbol huruf untuk membedakan segregasi yang satu dari yang lainnya; ada pula yang menggunakan simbol angka. Arifin misalnya, menemukan empat macam segregasi pada F1 dari bastar hasil persilangan Kebo dan Longong yang diberinya kode masing-masing A, B, C, D (lihat film Bisa Dèwèk, 2007, dalam buku ini). Begitu juga dengan Mitro yang menggunakan simbol huruf. Dengan ditemukannya ragam bentuk dan/atau warna gabah serta bulu yang disebut petani dengan songot, Mitro pun mengembangkan kode berupa dua huruf konsonan:

BP = biji panjang; BM = biji merah; BB = biji berbulu. Simbol itu diletakkannya di belakang kode segregasi yang menggunakan huruf, misalnya: F6

30a BP; F6 30a BM; F6 30 a BB.

Mitro menegaskan bahwa kode-kode itu hasil ciptaannya sendiri dan karena itu, dialah sendiri yang tahu. Penyilang lain yang juga menggunakan kode mirip Mitro, menggunakan huruf BP bukan untuk biji panjang, melainkan untuk beras putih; dan BM untuk beras merah. Bila Arifin dan Mitro menggunakan huruf untuk pecahan gen yang pertama, Dar menggunakan simbol angka. Untuk pecahan pada generasi berikutnya, digunakan simbol huruf.

Sebaliknya, Mitro yang menggunakan simbol angka untuk segregasi tahap awal, mengombinasikannya dengan simbol huruf untuk segregasi kedua, dan kembali lagi menggunakan simbol angka untuk segregasi ketiga.

Itulah contoh variasi yang terjadi di antara para penyilang. Masing-masing menyatakan bahwa diri mereka sendirilah yang paling mengetahui arti simbol-simbol itu yang mengacu pada karakteristik morfologi tanaman padi tertentu. Selama penyilang tidak mengedarkan gabahnya ke petani lain, selama itu pula kode-kode itu menjadi milik dirinya sendiri. Mitro mengumpamakannya sebagai motor: “...umpama motor pakai kunci ganda. Kalau di parkir di tempat parkir, gak ada kunci ganda kan sulit. Bisa kecurian.”