Latar Belakang Terjadinya Radikalisme Muslim di Surakarta

A. Latar Belakang Terjadinya Radikalisme Muslim di Surakarta

Tahun 1850-1920

Setelah berakhirnya perang Jawa (1825-1830) di Vorstenlanden muncul suatu struktur sosial baru dalam masyarakat akibat dari perubahan kedudukan tanah lungguh, yang dimonopoli oleh swasta. Munculnya gerakan radikalisme merupakan akibat dari represi ekonomi, sosial, dan politik yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, yang berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat. Represi ekonomi, sosial, dan politik memicu tumbuhnya diskriminasi dan marginalisasi masyarakat oleh pemerintah kolonial, yang berpengaruh pada perubahan struktur sosial dalam masyarakat dan kerugian bagi elite istana yang memiliki tanah lungguh. Sehingga membuat elite-elite istana atau pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah kolonial melibatkan diri dalam gerakan perlawanan.

1. Perubahan Sosial dan Ekonomi di Surakarta Surakarta lahir pada tahun 1755 akibat dari dibelahnya kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasultanan Yo gyakarta dan Kasunanan Surakarta. Surakarta merupakan bagian dari wilayah Vorstenlanden, yaitu wilayah yang dikuasai oleh raja-raja pewaris kerajaan Mataram. Setelah berakhirnya perang Jawa tahun 1830 dan diambilalihnya mancanegara oleh Belanda, para penguasa Jawa dipaksa untuk menyerahkan wilayah kekuasaannya yang belakangan diduduki oleh karesidenan-karesidenan Kedu, Banyumas, Bagelen, Madiun, dan Kediri, hanya jantung kerajaan Mataram yang tetap berada di tangan para penguasa Jawa.

Letak karesidenan Surakarta sangat strategis dan mudah dijangkau dari berbagai penjuru. Sepanjang jalan besar dari Semarang dan Yogyakarta banyak didirikan pos dan benteng untuk memudahkan pengawasan dan komunikasi. Demikian pula jalan kereta api Semarang-Vorstenlanden yang dipasang sejak tahun 1864 dan jalan trem yang menghubungkan pusat-pusat perkebunan di Letak karesidenan Surakarta sangat strategis dan mudah dijangkau dari berbagai penjuru. Sepanjang jalan besar dari Semarang dan Yogyakarta banyak didirikan pos dan benteng untuk memudahkan pengawasan dan komunikasi. Demikian pula jalan kereta api Semarang-Vorstenlanden yang dipasang sejak tahun 1864 dan jalan trem yang menghubungkan pusat-pusat perkebunan di

Bengawan Solo mengalir melalui dataran Solo dari selatan ke utara, dalam perjalanannya ke Jawa Timur dan Laut Jawa, sungai Bengawan Solo melintasi kota Surakarta dan memberikan kesuburan bagi tanah di dataran Solo (Takashi Shiraishi, 1997:2).

Kota Surakarta menjadi tempat kedudukan bagi keraton Kasunanan dan Mangkunegaran serta kantor Residen Belanda. Kota Surakarta berada di pinggir kiri Bengawan Solo, dan Kali Pepe mengalir melintasinya. Bagian terbesar kota Surakarta menjadi milik Kasunanan, sedangkan seperlimanya milik Mangkunegaran. Wilayah Vorstenlanden merupakan daerah yang otonom, karena kekuasaan raja sebagai penguasa tradisional diakui oleh pemerintah kolonial. Meskipun tidak berlaku sistem tanam paksa, namun saat itu telah berkembang usaha perkebunan swasta dengan jalan menyewa tanah dari para patuh (pemegang lungguh ).

Setelah daerah-daerah pesisir utara Jawa beralih ke tangan Belanda, penyerahan hasil bumi oleh raja kepada pemerintah kolonial diganti dengan penyerahan wajib oleh para bupati. Penyerahan tersebut tidak lama sesudah tahun 1800 diganti dengan pajak tanah (D. H. Burger, 1983:12)

Periode setelah berakhirnya perang Jawa (1825-1830) sampai dengan akhir abad XIX, di Vorstenlanden muncul suatu struktur sosial baru dalam masyarakat. Selain itu, juga muncul perpaduan dua modal ekonomi yang berbeda, yaitu sistem perekonomian agraris yang feodalistis dan kapitalistis. Meluasnya

Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Munculnya para pemilik modal asing yang bebas menyewa tanah-tanah di Jawa tidak dapat dihindarkan lagi. Hal ini terjadi karena pada awal abad XIX pemerintah kolonial menerapkan kebijakan liberal dengan tujuan membuka kesempatan yang seluas- luasnya bagi para pemilik modal asing masuk ke Vorstenlanden untuk menyewa tanah, sehingga muncul kepentingan swasta dan pemerintah kolonial di tanah Jawa.

Sistem kolonial Belanda dengan pemerintahan yang tak langsung selama abad XIX membawa akibat bahwa sejenis feodalisme dengan otoritas membiarkan para penguasa daerah atau bupati menjalankan kekuasannya berdasarkan otoritas tradisional dengan sifat-sifat tradisionalisme (Sartono Kartodirdjo, 1982:231).

Sistem kapitalis dan perkebunan besar milik swasta yang berkembang di Surakarta telah berakar antara tahun 1830 dan 1870. Maka dibangunlah jalan kereta api dari daerah pelabuhan Semarang sejak tahun 1860-an yang dihubungkan dengan pusat-pusat perkebunan swasta di Surakarta dan Yogyakarta. Surakarta menjadi tempat berlangsungnya sistem sewa, yang masih dikuasai para penguasa keraton pewaris dinasti Mataram. Para pengusaha swasta menyewa tanah dari para abdi dalem dan raja sendiri untuk ditanami berbagai tanaman komersial yang diperintahkan oleh pemerintah Belanda. Para penyewa tanah telah menggantikan posisi pemilik lungguh yang menerima uang sewa dan para bekel sebagai patron para sikep yang jumlahnya secara sengaja dikurangi.

Telah terjadi tiga perubahan sosial ekonomi yang disebabkan oleh praktik penyewaan tanah di Surakarta, yaitu penggunaan tanah yang intensif, eksploitasi petani yang sistematis, dan perubahan drastis pada struktur sosial. Perubahan sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh sistem sewa tanah di Surakarta mengganggu hubungan sosial antara pemilik apanase beserta bekel dan sikep,

yang dibuat saling bermusuhan (Houben, 2002:xiii).

Perkembangan ekonomi liberal berdampak pada perubahan sistem ekonomi dan munculnya kelas-kelas baru dalam pelapisan masyarakat. Masuknya paham barat dan budaya barat merupaka n akibat dari paham liberal. Para penyewa Perkembangan ekonomi liberal berdampak pada perubahan sistem ekonomi dan munculnya kelas-kelas baru dalam pelapisan masyarakat. Masuknya paham barat dan budaya barat merupaka n akibat dari paham liberal. Para penyewa

Houben (2002:xv) melihat proses kekacauan politik dalam rangka suksesi kekuasaan yang terjadi di Surakarta tahun 1854-1858, merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari permainan politik yang dihasilkan oleh hubungan yang dibangun antara penyewa tanah yang berorientasi ekonomis dengan para birokrat yang memiliki kepentingan ekonomis-politis. Semakin banyak elit politik lokal di Surakarta yang terjebak dalam hutang dan kesulitan keuangan, sehingga ketergantungannya kepada para penyewa tanah semakin besar. Jika sebelumnya para elit lokal di Surakarta telah kehilangan otoritas politisnya yang diambil alih oleh para birokrat kolonial, lalu kemudian juga kehilangan sumber ekonomi utama mereka yang diambil alih oleh para investor swasta.

Sejak perluasan perkebunan pada abad XIX, keadaan di pedesaan Surakarta mulai terjadi gangguan pencuri dan kecu. Keadaan semacam ini menggelisahkan perusahaan perkebunan dan residen, sebagai pejabat kolonial tertinggi di Surakarta. Dalam menghadapi gangguan keamanan ini terjadi perbedaan pendapat antara perusahaan perkebunan dengan residen. Residen menganggap bahwa perusahaan hanya mengejar keuntungan dan menuntut hak- hak istimewa, dan sebaliknya, perusahaan perkebunan menuduh bahwa pemerintah tinggal menikmati retribusi. Perluasan perkebunan tampaknya mengundang meningkatnya kerusuhan sehingga penjagaan keamanan yang sudah ada telah tidak memadai lagi. Perbaikan keamanan yang dilakukan oleh residen Zoutelief dengan menggiatkan ronda malam pada tahun 1860-an dan yang dilakukan oleh residen Burnaby Lautier dengan perbaikan gaji penjaga keamanan Sejak perluasan perkebunan pada abad XIX, keadaan di pedesaan Surakarta mulai terjadi gangguan pencuri dan kecu. Keadaan semacam ini menggelisahkan perusahaan perkebunan dan residen, sebagai pejabat kolonial tertinggi di Surakarta. Dalam menghadapi gangguan keamanan ini terjadi perbedaan pendapat antara perusahaan perkebunan dengan residen. Residen menganggap bahwa perusahaan hanya mengejar keuntungan dan menuntut hak- hak istimewa, dan sebaliknya, perusahaan perkebunan menuduh bahwa pemerintah tinggal menikmati retribusi. Perluasan perkebunan tampaknya mengundang meningkatnya kerusuhan sehingga penjagaan keamanan yang sudah ada telah tidak memadai lagi. Perbaikan keamanan yang dilakukan oleh residen Zoutelief dengan menggiatkan ronda malam pada tahun 1860-an dan yang dilakukan oleh residen Burnaby Lautier dengan perbaikan gaji penjaga keamanan

keuntungan yang diperoleh perusahaan perkebunan juga memberikan keuntungan bagi pemerintah. Terhadap Sunan, pemerintah harus bersikap hati- hati karena Sunan telah menyewakan tanah-tanah apanage- nya (Suhartono, 1991: 93).

Para pemimpin gerakan protes yang mengganggu pemerintah dalam melaksanakan rust en orde, ditangkap dan dijatuhi hukuman. Kemudian Residen Schneider membuat peraturan pada tanggal 1 Juni 1906 No. 4811/ 29, yang diajukan kepada Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VI, yaitu semua bawahan di bawah Mangkunegaran, yang sudah terbukti menjadi penjahat, yang telah disepakati oleh Wedono Gunung dengan Asisten Residen untuk menentukan sebuah rumah bagi para penjahat tersebut, yang dibuat di kota Kawedanan Gunung atau di tempat lain yang sudah ditentukan. Tempat itu dinamakan Hinoloko , lamanya tinggal ditentukan menurut Wedono Gunung yang dengan Asisten Residen. Tempat tersebut dijaga oleh Reksohangkoro, yang digaji oleh pemerintah. Tempat penampungan tersebut diperuntukkan bagi para penjahat atau pemimpin gerakan yang mengganggu jalannya politik pemerintah, supaya mereka jera dan tidak berani melakukan protes lagi.

2. Penetrasi Politik, Ekonomi, dan Sosial Pemerintah Hindia Belanda Sistem kolonial yang diterapkan pemerintah Belanda pada daerah jajahannya telah menciptakan sistem hubungan antara pihak penguasa kolonial dan penduduk pribumi yang dikuasai, dan antara pihak penjajah dengan negara induknya. Pola hubungan berpangkal pada prinsip dominasi, eksploitasi, 2. Penetrasi Politik, Ekonomi, dan Sosial Pemerintah Hindia Belanda Sistem kolonial yang diterapkan pemerintah Belanda pada daerah jajahannya telah menciptakan sistem hubungan antara pihak penguasa kolonial dan penduduk pribumi yang dikuasai, dan antara pihak penjajah dengan negara induknya. Pola hubungan berpangkal pada prinsip dominasi, eksploitasi,

Penetrasi kekuasaan kolonial menciptakan transformasi politik, khususnya sistem kekuasaan di pedesaan yang menyangkut perubahan peranan bekel. Dalam sistem apanage, selain fungsi tanah, bekel memegang peranan penting dalam struktur kelembagaannya. Pola kelembagaan tidak bercorak wewenang tradisional maupun kharismatik, tetapi sudah bergeser dan menerima pola dan norma politik

kolonial. Diterapkannya administrasi kolonial berarti diperlemahnya struk tur dan hubungan pola kerajaan, walaupun kekuasaan kerajaan dan kolonial berjalan sendiri-sendiri, pada hakekatnya merupakan dua kekuasaan yang berbeda, dalam perkembangannya dominasi kolonial lebih nyata daripada kekuasaan kerajaan. Kekuasaan raja berangsur-angsur dikurangi oleh pemerintah Belanda, namun keuasaan raja tetap diakui dengan maksud agar pemerintah kolonial dapat mengambil keuntungan dari hubungan ikatan politik yang berlaku (Suhartono, 1991:77).

Dalam bidang politik banyak ketegangan dan ketidakstabilan timbul karena dominasi yang semakin meluas dari administrasi yang bersifat legal- rasional, sedangkan lembaga- lembaga politik tradisional semakin terdesak. Proses birokratisasi menurut nilai- nilai atau standart barat itu menggantikan penguasa tradisional menjadi aparat birokratis yang ditempatkan sepenuhnya di bawah pengawasan kekuasaan kolonial.

Dominasi tersebut tidak hanya diwujudkan dalam sentralisasi kekuasaan politik, tetapi dalam eksploitasi dan akumulasi sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil produksinya untuk diserahkan kepada pihak penjajah. Pendiskriminasian ras atau etnis juga menjadi ciri dari sistem kolonial. Golongan penjajah dianggap sebagai bangsa yang superior, sedangkan penduduk pribumi dipandang hina dan rendah. Dengan perbedaan tersebut menimbulkan jurang pemisah, negara penjajah Dominasi tersebut tidak hanya diwujudkan dalam sentralisasi kekuasaan politik, tetapi dalam eksploitasi dan akumulasi sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil produksinya untuk diserahkan kepada pihak penjajah. Pendiskriminasian ras atau etnis juga menjadi ciri dari sistem kolonial. Golongan penjajah dianggap sebagai bangsa yang superior, sedangkan penduduk pribumi dipandang hina dan rendah. Dengan perbedaan tersebut menimbulkan jurang pemisah, negara penjajah

Dengan diterimanya upah kerja oleh petani dari perusahaan perkebunan dan pabrik, terjadilah proses monetisasi di pedesaan. Sejak tahun 1830 penyewaan

tanah apanage untuk perluasan areal perkebunan makin bertambah. Tanaman- tanaman ekspor sudah ditanam sejak abad ke-18 dan terus diperluas setelah tahun 1830, dari tanaman ekspor tersebut pemerintah kolonial memperoleh keuntungan yang besar, namun menimbulkan kesengsaraan bagi petani. Pengaruh monetisasi yang terjadi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 meresap ke masyarakat pedesaan. Akan tetapi, meresapnya pengaruh itu tidak menyejahterakan petani karena sumber daya pedesaan yang diekspolitasi itu tidak menyalurkan hasilnya sehingga petani tetap terbelakang dan tingkat hidupnya ada dalam subsistensi. (Suhartono, 1991:117).

Tidak dapat disangsikan lagi, bahwa dominasi barat beserta perubahan sosial yang mengikutinya menciptakan kondisi-kondisi yang cenderung bagi rakyat untuk mengadakan pergerakan sosial. Dalam situasi kolonial dominasi ekonomi, politik, dan kultural mengakibatkan disorganisasi masyarakat tradisional beserta lembaga- lembaganya. Dengan masuknya ekonomi keuangan faktor- faktor produksi, seperti tanah, tenaga buruh, dan hasil bumi diperdagangkan, sistem pajak dijalankan sehingga menambah beban rakyat. Dengan subordinasi ekonomis itu pengerahan tenaga dan kondisi kerja tergantung dar i penguasa kolonial. Dengan perkembangan perdagangan dan industri pertanian, muncullah diferensiasi struktural dalam masyarakat Indonesia sehingga ada peranan sosial baru yang dapat diperoleh dengan jalan lain dari pada peranan tradisional.

kehidupan sosial. Perubahan-perubahan itu menempatkan golongan-golongan sosial di luar kerangka sosial dari masyarakat tradisional, sehingga mereka mengalami disorientasi. Pengaruh budaya asing menerobos lingkungan tradisional dan merongrong kekuatan norma-norma tradisional sebagai pedoman hidup (Sartono Kartodirjo, 1971: 40).

Tekanan politik dan ekonomi pemerintah kolonial Belanda sangat merugikan kekuasaan para penguasa Jawa, di mana pemerintah Belanda berniat untuk menjadikan para bupati Jawa menjadi aristokrat herediter (turunan) yang

bergantung kepada pemerintah, sehingga para bupati tersebut bisa dijauhkan dari raja-raja pribumi. Hal tersebut menyebabkan putusnya ikatan antara bupati dan para penguasa Jawa. Namun, para penguasa Jawa itu tetap perlu dilindungi untuk memberikan kesan kepada rakyat bahwa, melalui perantaraan para bupati, mereka masih tetap diperintah oleh raja-raja mereka sendiri. PB VI pun menyadari bahwa hilangnya hubungan patron-klien antara keraton dan para bupati, akan hilang juga kekuasaan teritorial atas distrik-distrik di sekitar keraton (Houben, 2002:60).

Reaksi yang timbul terhadap tekanan lembaga tradisional menyebabkan kelompok-kelompok sosial beraliansi dengan kelompok sosial lain untuk memperkuat gerakan antipemerintah kolonial. Reaksi dan gerakan antipemerintah kolonial dimanifestasikan dan dihimpun dalam gerakan radikal. Reaksi politik di kalangan istana dilakukan oleh PB VI karena daerah mancanegara dianeksasikan oleh gubernemen.

Komisaris pemerintah Belanda yang diutus untuk menangani pengambilalihan wilayah mancanagara dari kekuasaan para raja-raja Jawa. PB VI mendesak supaya para bupati yang berada di distrik-distrik yang akan diambil alih harus diijinkan untuk mengunjungi Solo setahun sekali untuk memberikan penghormatan kepada Sunan. Namun, komisaris yang diutus tersebut menolak keinginan Sunan. Hal tersebut menunjukkan hilangnya wilayah pinggiran kerajaan berarti lebih dari sekedar kehilangan pendapatan. Karena hal itu akan mengarah pada kehancuran parsial pada jaringan hubungan-hubungan personal yang Komisaris pemerintah Belanda yang diutus untuk menangani pengambilalihan wilayah mancanagara dari kekuasaan para raja-raja Jawa. PB VI mendesak supaya para bupati yang berada di distrik-distrik yang akan diambil alih harus diijinkan untuk mengunjungi Solo setahun sekali untuk memberikan penghormatan kepada Sunan. Namun, komisaris yang diutus tersebut menolak keinginan Sunan. Hal tersebut menunjukkan hilangnya wilayah pinggiran kerajaan berarti lebih dari sekedar kehilangan pendapatan. Karena hal itu akan mengarah pada kehancuran parsial pada jaringan hubungan-hubungan personal yang

“Saya menuntut kepada pemerintah agar martabat saya sekarang ini diwariskan secara turun-temurun tanpa ada perubahan kepada keturunan- keturunan saya, sehingga martabat ini akan terus berlanjut meskipun Keraton Soerakarta dipindahkan, yaitu bahwa bupati-bupati dari tanah- tanah Mancanagara, Bagelen, dan Banyumas selamanya akan selalu menghadap anak-cucuku, yang akan menjadi pengganti-penggantiku di atas takhta ini, dan para bupati itu akan memenuhi kewajiban-kewajiban mereka kepada para penggantiku itu dan membayarkan piutang-piutang

mereka, seperti yang selama ini sudah menjadi adat kebiasaan.”

PB VI tidak senang terhadap tindakan gubernemen tersebut, maka PB VI mengasingkan diri dan mencari ketenangan dengan berziarah ke makam leluhurnya dan ke Laut Selatan. Takut akan terjadinya perang besar, Sunan ditangkap dan dibuang oleh gubernemen ke Ambon kemudian pengganti- penggantinya dipaksa menjadi bawahan gubernemen, di dalam kontrak tahun 1862 Sunan PB IX dianggap sebagai path daerah Surakarta. Hubungan antara pusat kerajaan dengan daerah-daerah pinggiran tidak selalu berjalan baik sebab Sunan harus tunduk pada kontrak, sedangkan kepala-kepala rendahan di pedesaan masih mempunyai kebebasan, tetapi mereka dipaksa loyal pada patuh dan Sunan (Suhartono, 1991:66).

Setelah daerah mancanegara diambil oleh gubernemen, daerah kerajaan Surakarta semakin sempit, daerah yang diambil ini akan diatur kembali dan dieksploitasi. Oleh karena itu, langkah pertama yang ditempuh oleh gubernemen ialah perbaikan sistem administrasi agar terwujud kesejahteraan kolonial. Dengan demikian diharapkan pemerintah dapat menarik keuntungan yang sebesar- besarnya. Langkah- langkah yang diambil oleh pemerintah kolonial untuk mengatasi perbaikan keuangan tidak cukup hanya dari segi ekonomi, tetapi diperlukan jalur-jalur politik yang lebih luas. Jalur politik ini memberi jalan setiap usaha pihak swasta mauun pemerintah sendiri dalam melakukan eksploitasinya. Untuk memperkuat kedudukannya sebagai pengausa kolonial yang lebih tinggi daripada raja-raja, dibuatlah kontrak yang mengikat raja-raja itu sehingga dengan sah raja-raja itu adalah vasal pemerintah kolonial.

beda, di satu pihak memberikan keleluasaan pemerintah kolonial untuk bergerak dan mengubah strategi sesuai dengan kepentingan eksploitasinya, sedangkan di pihak lain kekuasaan raja dibatasi dengan adanya kontrak-kontrak. Di dalam kontrak itu disebutkan bahwa Sunan tidak lebih dari seorang leenman, yaitu Sunan adalah patuh dari pemerintah ko lonial (Suhartono, 1991:75-76).

Kekuasaan raja tetap diakui dengan maksud supaya pemerintah kolonial dapat mengambil keuntungan dari hubungan dan ikatan politik yang berlaku. Dalam salah satu ketentuan sewa- menyewa tanah disebutkan bahwa penyewa

tanah harus mendalami dan menguasai kebudayaan Jawa. Ini dimaksudkan agar eksploitasi kolonial tidak terganggu dan tidak muncul ketegangan sosio-kultural. Nampaknya, tidak ada jaminan bahwa pendalaman kebudayaan Jawa berarti tidak timbul kerusuhan. Untuk menghilangkannya, pemerintah kolonial melakukan reorganisasi di bidang peradilan dan polisi.

Masyarakat Surakarta terbagi dalam dua golongan sosial yang besar yaitu golongan atas yang terdiri dari para bangsawan dan priyayi, dan golongan bawah yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang perajin, dll. Bangsawan adalah golongan sosial atas yang mempunyai hubungan genealogi dengan raja. Mereka merupakan sentana atau keluarga raja, priyayi juga termasuk golongan sosial atas dan mereka merupakan pejabat dalam pemerintahan kerajaan atau narapraja . Dua golongan sosial yaitu priyayi dan golongan bawah menempati wadah budaya yang berbeda. Di satu pihak, priyayi dengan gaya hidupnya, kebiasaan, pakaian, dan makanan, serta simbol-simbolnya menunjukkan gaya aristokrat. Keadaan semacam ini menjadi pola ideal bagi priyayi. Di lain pihak, bagi golongan bawah lingkungan pedesaan banyak mempengaruhi tingkah laku mereka, kebiasaan polos, terbuka, dan kasar merupakan bentuk budaya pedesaan (Suhartono, 1991:32-33).

Adanya kesenjangan struktur sosial masyarakat kerapkali melahirkan berbagai ketegangan dalam masyarakat. Ketegangan-ketegangan ini akan mempengaruhi derajat kepercayaan masyarakat karena suatu kondisi yang represif

Perkembangan radikalisasi dimotori oleh kaum frustasi. Ideologi kaum tertindas lahir dari akumulasi kebencian sosial dan rasa frustasi terhadap kondisi yang ada.

Terhadap kekuatan disintegratif dari pengaruh penetrasi kebudayaan barat masyarakat Indonesia mempunyai cara-cara untuk membuat reaksi. Oleh karena dalam sistem kolonial tidak terdapat lembaga- lembaga untuk menyalurka perasaan ketidakpuasan mereka, maka ja lan yang dapat ditempuh ialah gerakan- gerakan protes keagamaan yang menjadi gerakan sosial-politik. Timbullah kekuatan-kekuatan dari kepercayaan religius yang berakar dalam tradisi rakyat melawan bahaya ekspansi kolonial (Sartono Kartodirdjo, 1971: 41).

Oliver Roy yang dikutip oleh Riza Sihbudi (2005: 385) menafsirkan Islam politik sebagai aktivitas kelompok-kelompok yang meyakini Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai ideologi politik. Istilah radikalisme umumnya dipakai untuk merujuk pada gerakan-gerakan Islam yang berkonotasi negatif seperti ekstrim, militan, dan non-toleran, serta anti Barat. Radikalisme muncul karena berbagai faktor, salah satunya justru karena tidak dijalankannya prinsip-prinsip pemerintahan dan politik yang demokratis. Gerakan da n pemberontakan pada dasarnya adalah reaksi spontan terhadap perubahan sosial yang cepat, yang menimbulkan frustasi dalam kehidupan masyarakat.

Abad XIX dan awal abad XX terjadi rentetan peristiwa berupa pemberontakan, kerusuhan, dan pergolakan sosial. Tidak jarang pergolakan atau kerusuhan yang terjadi itu diwujudkan dalam tindakan yang bersifat agresif dan radikal, yang mencerminkan ledakan ketegangan, pertentangan, dan permusuhan yang terjadi di masyarakat. Hal ini terbukti dari peristiwa-peristiwa yang melibatkan masyarakat bawah yang dimotori oleh kaum elit untuk menentang penindasan pemerintah kolonial (Sartono Kartodirdjo, 1971: 39).

Keresahan-keresahan yang mengarah kepada gerakan atau pemberontakan tidak lepas dari kondisi sosial ekonomi, yaitu tekanan pajak, beban ikatan feudal, persewaan tanah, dll. Dengan demikian keresahan itu didukung oleh konflik- konflik yang lebih luas yang tidak lepas dari keanekaragaman yang muncul Keresahan-keresahan yang mengarah kepada gerakan atau pemberontakan tidak lepas dari kondisi sosial ekonomi, yaitu tekanan pajak, beban ikatan feudal, persewaan tanah, dll. Dengan demikian keresahan itu didukung oleh konflik- konflik yang lebih luas yang tidak lepas dari keanekaragaman yang muncul

Surakarta merupakan salah satu daerah di Jawa yang kehidupan masyarakatnya diwarnai dengan gerakan protes terhadap pemerintah kolonial. Keresahan dan gerakan yang terjadi di pedesaan Surakarta sebagai akibat dari adanya tekanan dan pengaruh Barat yang dikembangkan secara intensif oleh pemerintah kolonial, tekanan ekonomi dan politik memunculkan ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat. Masyarakat Muslim pun berani menghadapi pemerintah kolonial karena tidak tersedianya lembaga yang menyalurkan aspirasi mereka mengenai situasi ekonomi dan politik yang mereka hadapi. Kondisi tersebut mendorong gerakan protes masyarakat yang berpegang pada ideologi keagamaan. Gerakan protes menjadi kekuatan politik untuk menentang kekuasaan kolonial.

Ada tiga tipe dalam gerakan perlawanan, antara lain (Hermanu, 2010:27):

1. Munculnya perbedaan sosial sebagai akibat perubahan sistem sosial yang

memacu munculnya kaum intelektual dan pengusaha Muslim.

2. Munculnya gerakan massa yang sadar terhadap tujuan, dan didukung oleh ideologi agama dan organisasi massa yang dengan sengaja ingin menggulingkan tatanan politik atau tatanan sosial yang sedang berlaku. Gerakan massa yang terdiri dari masyarakat bawah, yang dimotori oleh kaum intelektual dan pengusaha Muslim yang menggerakkan organisasi massa untuk menghadapi pemerintah kolonial.

3. Gerakan-gerakan perlawanan yang dilakukan bersifat radikal dan 3. Gerakan-gerakan perlawanan yang dilakukan bersifat radikal dan

hampir semuanya mencerminkan ketiga tipe tersebut, yang selalu diwarnai dengan gerakan protes dari masyarakat yang tidak senang akan kondisi yang ada.

Pengaruh perkembangan waktu menjadi salah satu faktor pendukung terhadap perubahan dalam setiap gerakan sosial keagamaan.

Gerakan radikal yang terjadi di Girilayu, Matesih, tahun 1888 dapat disebut sebagai gerakan periferal merupakan perlawanan yang muncul di luar lingkungan keraton, gerakan- gerakan ini bersifat lokal dan berlangsung singkat karena gerakan-gerakan itu terjadi oleh karena kekecewaan masyarakat yang disebabkan penerapan kerja rodi bagi petani untuk pelunasan hutang Mangkunegaran karena krisis keuangan yang terjadi. Keadaan rakyat semakin menderita karena tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Muncul gerakan protes, yang ditulis dalam Rapport Omtrent het gebeurde te “Srikaton” op den 11den en 12den October 1888 , yaitu laporan mengenai peristiwa pendudukan Pasanggrahan Srikaton, yang dianggap sebagai tempat suci yang tidak boleh didatangi oleh orang lain tanpa ijin khusus dari raja, sehingga segala bentuk pendudukan di tempat tersebut dipandang sebagai bentuk kejahatan atau pemberontakan dari kacamata penguasa kerajaan maupun pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, pendudukan beberapa puluh pemberontak di pesanggrahan Srikaton dianggap sebagai bentuk kejahatan yang melawan penguasa. Kemudian prajurit infantri bergerak melalui jalan utama yang langsung menuju bagian depan bangunan pesanggrahan, prajurit kavaleri menyebar di sekeliling jalan keluar yang lain. Terjadilah perlawanan yang menegangkan

Oktober 1888 pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara V. Terbunuhnya Imam Rejo menandakan berakhirnya gerakan Srikaton, yang berumur singkat.

Gerakan Srikaton dipimpin Imam Rejo, ia mengajarkan ajaran Islam kepada para pengikutnya, dan menekankan bahwa orang-orang Belanda harus dilenyapkan dari tanah Jawa. Gerakan- gerakan yang terjadi bertujuan untuk meruntuhkan pemerintahan kolonial dan mendirikan kerajaan Islam. Di dalam gerakan itu, Imam Rejo mendapat dukungan dari para bekel, solidaritas antar bekel yang paternalistik menunjukkan usaha bersama dalam menghadapi tekanan dari kebijakan kolonial (Suhartono, 1991:146).

Gerakan- gerakan itu oleh pemerintah kolonial disebut dengan istilah seperti geestdrijverij (gerakan rohani), rustverstoring (gangguan ketentraman), woelingen (huru-hara), fanatisme, onlusten (kerusuhan). Gerakan-gerakan tersebut dipandang berbahaya karena bertujuan melawan bangsa Belanda dan pemerintahannya. Gangguan keamanan di pedesaan berupa kriminalitas dan gerakan protes, yang penanganannya tidak cukup dilakukan oleh po lisi kerajaan, maka pemerintah kolonial harus langsung mengawasi pedesaan. Kemudian pada tahun 1873 diangkat empat asisten residen yang berkedudukan di Klaten, Boyolali, Sragen, dan Karangpandan (Sartono Kartodirdjo, 1971:22).

3. Reorganisasi Administrasi dan Agraria Reorganisasi adalah salah satu cara untuk memperbaiki keadaan di pedesaan. Di awal 1900-an terjadi reorganisasi atau reformasi administrasi dan agraria oleh pemerintah Belanda di Vorstenlanden. Reorganisasi merupakan usaha menempatkan mesin administrasi di bawah perintah langsung residen Belanda serta meluaskan kekuasaan dan kewibawaan negara Hindia ke wilayah yang selama ini diserahkan kepada sistem lungguh yang sudah terkikis.

Reorganisasi tersebut dianggap sebagai usaha negara Hindia yang utama di daerah itu dan dapat untuk memperbaiki kondisi pertanian dan menjamin rust en orde di Vorstenlanden oleh para pegawai Belanda dan para residen Belanda, walaupun pada kenyataannya menyimpang dari kebijakan yang ada. Karena usaha Reorganisasi tersebut dianggap sebagai usaha negara Hindia yang utama di daerah itu dan dapat untuk memperbaiki kondisi pertanian dan menjamin rust en orde di Vorstenlanden oleh para pegawai Belanda dan para residen Belanda, walaupun pada kenyataannya menyimpang dari kebijakan yang ada. Karena usaha

Tujuan reorganisasi tanah apanage adalah untuk mengintegrasikan tanah- tanah yang terpencar dan terpotong-potong menjadi sebuah areal perkebunan yang luas. Terbentuknya satu blok areal perkebunan memudahkan pengaturannya jika dilihat dari segi manajemennya, letak tanahnya, kebutuhan tenaga kerja, transportasinya, dll. Dalam melaksanakan reorganisasi muncul reaksi dari para bekas patuh yang tanahnya dihapus. Hal itu dilakukan karena ketika perusahaan perkebunan menyewa tanah-tanah apanage dari patuh, tanah-tanah tersebut letaknya terpencar, sehingga menghambat pengelolaannya. Mereka tidak senang kalau batas tanah apanage-nya dihapus karena akan mengaburkan ikatan loyalitas petani dengan mereka yang sudah terjalin lama (Suhartono, 1991:96).

Reorganisasi agraria tidak lepas dari kerangka Politik Etis, sebab pemerintah kolonial memerlukan kepastian hukum, hak-hak, dan kewajiban petani. Karena Politik Etis yang sedang dijalankan pada awal abad XX, mencakup tiga unsur pokok, yaitu: pertama, konsolidasi kekuasaan di bawah naungan Pax Neerlandica , kedua, perlindungan perusahaan swasta, dan ketiga, peningkatan kehidupan sosial ekonomi penduduk. Khususnya mengenai peningkatan kehidupan sosial ekonomi penduduk hubungannya erat dengan pemanfaatan faktor- faktor produksi biaya rendah yang dapat dijalankan di Surakarta. Hal ini berarti kedudukan tanah apanage sebagai penghambat harus diubah untuk peningkatan efisiensi eksploitasi (Suhartono, 1991: 94).

Reorganisasi tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan keluhan-keluhan Reorganisasi tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan keluhan-keluhan

Reorganisasi tidak hanya didasarkan atas kesatuan organisasi politik dan pemerintahan, tetapi atas kesatuan pajak desa. Desa-desa ada di bawah kekuasaan lurah, dan lurah tidak dipilih oleh rakyat, tetapi diangkat oleh bupati dengan

persetujuan asisten residen (Suhartono, 1991:95). Ada empat tindakan yang dilakukan untuk melaksanakan reorganisasi tersebut, antara lain : (1) Penghapusan tanah lungguh, (2) Pembentukan desa sebagai unit administrasi, (3) Pemberian hak- hak penggunaan tanah yang jelas kepada petani, (4) Perbaikan aturan sewa tanah.

Dimulainya reorganisasi, khususnya terhadap tanah-tanah apanage, maka secara struktural terjadi perubahan kedudukan tanah. Pengua saan tanah oleh patuh dengan hak anggadhuh (pinjam sementara) telah dihapuskan dan hak tanah itu diberikan kepada petani dengan hak andarbe (milik) secara individual. Dengan berubahnya kedudukan tanah berarti petani memiliki kebebasan terhadap tanahnya. Tanah tidak hanya ditanami bahan pangan tetapi juga disewakan pada perusahaan perkebunan untuk tanaman ekspor. Cara ini dimaksudkan agar perusahaan perkebunan mudah mendapat tanah-tanah dari petani. Terjadinya perubahan kedudukan tanah dari kedudukan statis ke dinamis menyebabkan terjadinya komersialisasi tanah. Ekstraksi tanah ditingkatkan sesuai dengan kemajuan komersialisasi komoditas ekspor (Suhartono, 1991:97).

Tujuan yang tersurat dari reorganisasi adalah memajukan ekonomi petani, namun kenyataannya kehidupan petani tidak menjadi lebih baik. Sawah petani semakin terdesak karena perusahaan perkebunan menggunakan sekitar 40 % sawah petani. Perubahan kedudukan tanah apanage tetap menguntungkan elite desa. Mereka bekerja sama dan membantu kepentingan pabrik dan perusahaan Tujuan yang tersurat dari reorganisasi adalah memajukan ekonomi petani, namun kenyataannya kehidupan petani tidak menjadi lebih baik. Sawah petani semakin terdesak karena perusahaan perkebunan menggunakan sekitar 40 % sawah petani. Perubahan kedudukan tanah apanage tetap menguntungkan elite desa. Mereka bekerja sama dan membantu kepentingan pabrik dan perusahaan

Perubahan administrasi kolonial yang bersifat legal- rasional tidak selamanya dijalankan, sebab selalu terjadi pertentangan antara kepentingan jabatan dengan kepentingan pribadi. Seringkali kepentingan pribadi lebih dominan

daripada kepentingan jabatan sehingga para birokrat melakukan penyimpangan. Pemerintah kolonial menganggap tindakan seperti itu sebagai pemerasan dan penyalahgunaan wewenang. Seperti R.T. Gondosaputro, seorang patih Mangkunegaran, yang dituduh menyelewengkan doewit gantoengan, padahal uang itu digunakan untuk membayar para narapraja, namun tindakan itu oleh pemerintah dianggap sebagai penyelewengan, yang kemudian dia ikut dalam gerakan Srikaton. Hal itu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah kolonial membuat tekanan bagi elite istana, sehingga dapat dipastikan mereka mencari kelompok sosial yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah kolonial, agar mendapat pendukung untuk melawan represi kolonial (Suhartono,1991:72).

Sebagai kelompok yang dimarginalkan oleh pemerintah kolonial, mereka mengisolasi diri dan membentuk kelompok untuk mempertahankan hidupnya. Oleh karena tidak tersedia jalan untuk mengadukan nasibnya, mereka bergerak melalui kekerasan dan kekuatan untuk mendapatkan haknya yang telah diambil oleh pemerintah kolonial. Karena inilah pemerintah kolonial cenderung untuk menganggap kerusuhan itu sebagai tindakan kriminal tanpa melihat sebab- sebabnya yang lebih mendalam.

Dominasi barat menciptakan desintegrasi yang meliputi: dominasi ekonomi, politik, dan kultural. Dominasi ekonomi yang berupa perluasan monetisasi faktor-faktor produksi, seperti tanah, tenaga kerja, komoditas ekspor, dan pengenalan pajak baru jelas memperberat beban. Kehidupan petani menjadi Dominasi barat menciptakan desintegrasi yang meliputi: dominasi ekonomi, politik, dan kultural. Dominasi ekonomi yang berupa perluasan monetisasi faktor-faktor produksi, seperti tanah, tenaga kerja, komoditas ekspor, dan pengenalan pajak baru jelas memperberat beban. Kehidupan petani menjadi

gerakan untuk mengembalikan situasi lama yang aman (Suhartono, 1991:153).

Di awal abad XX, muncul organisasi seperti SI (Sarekat Islam) yang hidup subur dan mendapat tempat di pedesaan Surakarta. Ini merupakan bukti bahwa gerakan politik di Surakarta mendapat dukungan dari semua lapisan atas yang terdiri dari para bangsawan dan priyayi, tetapi juga lapisan bawah. Dalam dua dasawarsa, situasi politik di Surakarta berkembang cepat karena di daerah ini tumbuh beberapa jenis organisasi modern yang dijadikan dasar perkembangan organisasi politik selanjutnya. SI muncul sebagai reaksi terhadap pemerintah kolonial yang melindungi kepentingan ekonominya sendiri. Karena melalui diskriminasi dan eksploitasi usaha-usaha, perbaikan ekonomi pribumi selalu ditekan (Suhartono, 1991:80).

Perlawanan terhadap para penguasa, kebanyakan dari para pemimpin dan pengikut gerakan akan mendapat hukuman yaitu dibuang ke luar Jawa, meskipun itu masih anggota di kerajaan sendiri. Seperti ketika Residen Surakarta, G.F. Van Wijk bertugas, ditangkaplah para pemimpin yang membuat kerusuhan di Surakarta. Seorang dari pemimpin kerusuhan itu, dimotori oleh elite istana, yaitu seorang kemenakan Sunan sendiri. Kemudian berdasarkan Keputusan Pemerintah tgl. 9 Nopember 1910 No. 6, para pemimpin kerusuhan tersebut dibuang ke luar Jawa, supaya tidak mengganggu jalannya pemerintahan kolonial.

Dapat dilihat bahwa gerakan-gerakan yang terjadi mendapat dukungan dari kalangan bangsawan yang tidak puas terhadap pemerintahan yang sedang Dapat dilihat bahwa gerakan-gerakan yang terjadi mendapat dukungan dari kalangan bangsawan yang tidak puas terhadap pemerintahan yang sedang

Gerakan- gerakan itu merupakan indikator dan reaksi masyarakat yang sudah merata di pedesaan. Hal ini merupakan bukti bahwa dominasi kekuasaan kolonial yang disertai perubahan sosial sudah mengganggu ketertiban dan menggoncangkan masyarakat. Walaupun terjadi secara mikro, reaksi terhadap penetrasi ini menjangkau daerah pedesaan yang luas, dan rupanya reaksi ini tidak

dapat dikendalikan lagi. Gerakan radikalisme merupakan kekuatan laten yang diwujudkan secara agresif. Harapan tentang kesejahteraan dan ketentraman diperkuat oleh simbol-simbol keagamaan menjadi penggerak massa sehingga gerakan itu menjadi militan dan radikal.