RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920

RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI

Oleh :

FREDYASTUTI ANDRYANA K4407019 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920

Oleh : FREDYASTUTI ANDRYANA K4407019

Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat me ndapatkan gelar Sarjana

Pendidikan Program Studi Pendidikan Se jarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Fredyastuti Andryana. RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850- 1920. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Maret. 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Latar belakang radikalisme Muslim di Surakarta tahun 1850-1920, (2) Bahwa ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan politik Islam di Surakarta, (3) Peran para pemimpin Islam dalam gerakan politik Islam.

Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah- langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan oleh penulis terutama adalah sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis historis yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasikan fakta sejarah.

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: (1) Latar belakang terjadinya radikalisme Muslim di Surakarta tahun 1850-1920, yaitu sebagai akibat adanya dominasi Barat beserta perubahan sosial dan ekonomi yang mengikutinya, serta reorganisasi Administrasi dan Agraria yang menciptakan kondisi-kondisi yang cenderung bagi rakyat untuk mengadakan pergerakan sosial. Dominasi Barat memasuki kekuasaan politik kerajaan yang menimbulkan kemunduran kekuasaan raja-raja Surakarta. Dengan adanya berbagai faktor yang ada, muncullah ketidakpuasan dari golongan besar masyarakat di abad XIX dan awal abad XX, maka banyak menimbulkan radikalisme masyarakat Muslim dengan ideologi Islam sebagai pengobar semangat rakyat untuk melawan kolonialisme. (2) Ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan politik Islam di Surakarta, karena agama secara garis besar berfungsi sebagai alat legitimasi. Setelah suatu otoritas dimiliki oleh sekelompok kaum elite, maka kemudian kaum elite ini menggunakan sistem simbol agama untuk mempertahankan kekuasaannya. Gerakan sosial keagamaan menggunakan ideologi Islam sebagai faktor penggeraknya, dan sebagai aktivitas kolektif, gerakan tersebut memerlukan ideologi Islam untuk pembenaran tujuannya yang akan memperkuat inspirasi dan motivasi kelompoknya dalam menghadapi kekuatan Belanda. Karena berbagai tekanan dari pemerintah kolonial, maka menciptakan ideologi Islam yang

memperkuat semangat perjuangan jihad melawan penjajah sebagai orang “kafir”, sehingga mendorong munculnya gerakan sosial keagamaan terhadap

pemerintahan kolonial. (3) Pemimpin Islam terdiri dari para ulama dan kaum intelektual dalam menghadapi hegemoni Belanda. Para ulama mempunyai peran yang dapat merangsang timbulnya gerakan-gerakan keagamaan, sehingga mudah dalam membangkitkan loyalitas pengikutnya untuk memobilisasikan massa demi tujuan tertentu. Dengan adanya Politik Etis, maka semakin bertambahnya jumlah kaum intelektual yang berpendidikan barat, yang kemudian memunculkan organisasi politik yang dipimpin kaum intelektual. Elite modern ini merupakan unsur kepemimpinan dari pergerakan nasiona l di awal abad XX, yang menegakkan cita-cita nasionalisme, dengan Islam sebagai ajaran yang dianggap

Fredyastuti Andryana. MUSLIM RADICALISM IN SURAKARTA 1850- 1920. Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University Surakarta, March. 2011.

The objective of research is to know: (1) the background of Muslim radicalism in Surakarta 1850-1920, (2) the ideology is became promoter of Islamic political in Surakarta, (3) the role of Islamic leaders in Muslim radicalism power in Surakarta 1850-1920.

This research uses historis method. The steps of historis method such as: heuristics, critics, interpretation, and historiography. The source of data is primary

and secondary sources. The technique of collecting data was library study. The technique of analyzis data used was historical analysis. That gave priority to

sharpness interpretation of the historical fact. Based on the result of research, it can be concluded that: (1) the background of Muslim radicalism in Surakarta 1850-1920 is namely as a result of western domination and its social and economic changes that followed, and the reorganization of Administration and Agrarian which creates conditions that tend to the people for social movements. The western domination of political power to enter the kingdom which cause deterioration of power of the kings of Surakarta. With a variety of factors that exist, came the dissatisfaction of a large class of rural society in the nineteenth century and early twentieth century, it causes a lot of ideological radicalism of the Muslim community with Islam as spirit of the people to fight colonialism. (2) Islam ideology is became Islam political promoter in Surakarta because religion has important function as legitimitation device. After the elite community has authority, they use religion symbol system to defend authority. The social religion community uses Islam ideology as activator

and collective activity, the action need Islam ideology for correction‟s purpose. It uses to give inspiration and motivation for their community in Dutch power.

Because of many pressures from colonial government, Islam ideology is able to give spi rit for jihad‟s fight to face kafir, so that it causes social religion action to colonial government. (3) The leader Islam leader‟s consists of leaders and intellectual community to face hegemony Dutch. The leader institution have influences lead to religion action. The leader institution have a role to stimulate the emergence of religious movements, making it easy by encouraging the loyalty of his followers to mobilize them for a particular purpose. The Ethical Policy is increasingly growing number of western-educated intellectuals, who then bring the political organization lead by the intelligentsia. This is an element of modern elite leadership of the national movement in the early twentieth century, who uphold the ideals of nationalism, with Islam as a doctrine which is considered fundamental, and which play a role in national politics.

Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.

(Filipi 4:13)

Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil.

(Mario Teguh)

Kita mengalami kegagalan supaya kita belajar

bangkit. (Penulis)

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada :  Bapak dan Ibuku tercinta yang selalu memberikan

doa dan dukungannya kepadaku  Adikku Nia dan Dio, serta eyang putri terkasih  Saudara-saudariku KPA(Mz Qq, Nia, Uut, Nesia,

Mz Endra), yang selalu mendoakanku  Teman-teman Seperjuanganku Hiscom „07 (Wulan,

Lele, Puji, Joko, Margi) Prodi Pendidikan Sejarah Angkatan 2007 dan teman-teman yang lain, yang sudah berbagi banyak hal denganku

 Teman-temanku DEBRAIN (Kak Dindin, Irul, Bety, Andre, Nora, Eri), yang senantiasa menyemangatiku dan menemaniku

 Almamater

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME, karena atas berkat dan pertolongan-Nya, skripsi ini dapat penulis selesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Banyak hambatan yang penulis temui dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan- kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk segala bentuk bantuannya, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penulisan skripsi ini.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, yang telah menyetujui permohonan penyusunan skripsi ini.

3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan pengarahan dan rekomendasi atas penyusunan skripsi ini.

4. Dr. Hermanu Jubagyo, selaku pembimbing I yang telah memberikan masukan dan pengarahan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

5. Drs. Saiful Bachri, M.Pd, selaku pembimbing II yang telah pula memberikan masukan dan pengarahan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.

7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan pengarahan kepada penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga semua mendapat balasan dari Tuhan YME. Penulis menyadari akan adanya kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh

karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca.

Surakarta, 31 Maret 2011

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Terjadinya Radikalisme Muslim di Surakarta Tahun 1850-1920 ................................................................

1. Perubahan Sosial Dan Ekonomi Di Surakarta................. 38

2. Penetrasi Politik, Ekonomi, dan Sosial Pemerintah Hindia Belanda ...............................................................

3. Reorganisasi Administrasi Dan Agraria..........................

B. Ideologi Islam Dijadikan Pendorong Gerakan Politik Islam di Surakarta ........................................................................... 56

1. Gerakan Politik Islam Di Surakarta...................................

C. Peran Pemimpin Islam Dalam Gerakan Politik Islam........... 61

1. Peran Ulama Dalam Gerakan Sosial Keagamaan ........... 61

2. Peran Kaum Intelektual Dalam Gerakan Sosial Keagamaan ................................................................... 66

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................

B. Implikasi ................................................................................

C. Saran ......................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................

LAMPIRAN ..........................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1. Peta Vorstenlanden ..................................................................

82

Lampiran 2. Rapport Omtrent het gebeurde te ”Srikaton” op den 11den

en 12den October 1888 ............................................................

83 lampiran 3. Memori van Overgave, Opgemaakt door den Aftredenden Residen van Surakarta .............................................................

89

Lampiran 4. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ...............................

110 Lampiran 5. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ................................................................................ 111

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ketidakpuasan masyarakat diutamakan pada pemikiran sektaris yang sering mempunyai sifat mistik, atau dalam gerakan messianis atau millenaris, yang bisa ditafsirkan sebagai suatu usaha untuk melarikan diri dari kenyataan yang menekan. Namun, sebagai anggota dari gerakan-gerakan ini, para pengikut umumnya tunduk tanpa syarat pada keinginan pemimpin-pemimpin spiritual dari para pengikut tersebut.

Agama, dalam hal pergerakan-pergerakan messianis atau millenaris, boleh dikatakan merupakan lambang dari protes sosial. Menurut Clifford Geertz (1992:5), agama dipahami sebagai sebuah simbol yang berlaku untuk memunculkan motivasi yang kuat dan realistis bagi para pengikutnya. Agama dengan simbol-simbol yang dilahirkannya seringkali diambil oleh para pemegang kekuasaan sebagai sumber legitimasi. Inilah yang mendorong elit penguasa untuk mengambil berbagai simbol dalam agama, bukan untuk diimplementasikan da lam kehidupannya bermasyarakat, melainkan untuk memberi legitimasi dalam menjalankan dan melanggengkan kekuasaannya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perlawanan yang dilakukan oleh para raja Jawa merupakan gerakan yang utama dalam melawan pemerintah kolonial dengan menggunakan para santri dan ulama sebagai kekuatan politik utama, dan aristokrat yang disantrikan sebagai mediatornya. Sartono Kartodirdjo (1983:vii), membagi aristokrat dalam dua orientasi politik yang berbeda, yakni aristokrat protagonis, yaitu aristokrat yang memegang kepemimpinan serta melancarkan pembaharuan dan mendukung pergerakan kebangsaan, dan aristokrat status quo, yaitu aristokrat yang memandang setiap perubahan sebagai ancaman bagi mereka dan lebih memihak pemerintah Belanda.

Anthony Giddens menjelaskan bahwa pelaku (the actor) direduksi menjadi

(Daniel Ross, 2005: 192). Dalam gerakan Islam, yang menjadi aktor atau pelaku adalah aristokrat protagonis dan para ulama, yang berjuang demi kepentingan rakyat pribumi dalam menghadapi pemerintah kolonial.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, dengan demikian memiliki ciri penting, yaitu santri, kyai, masjid, dan pondok. Hubungan keempat unsur tersebut sangat erat, lebih- lebih hubungan antara kyai dan santri

yang menggambarkan hubungan “guru-murid”, sangat khas dalam dunia kehidupan pesantren, yang juga mencakup komunitas orang Mus lim atau kaum

Muslimin yang memiliki identitas, simbol, dan tradisi budaya sebagai sebuah subkultur Islam di Jawa (Djoko Suryo, 2005: 1169). Dalam membangun sebuah kekuatan seorang pemimpin, perlu dibangun jejaring dan komunikasi politik. Pesantren digunakan sebagai wadah legitimasi politik para aristokrat Jawa, karena dianggap memiliki basis massa yang cukup kuat. Pesantren dilihat sebagai institusi pelindung, karena pesantren dapat mencetak intelektual Islam yang dipandang mampu membangun dan memperkuat ajaran dan daya tahan Islam dalam tekanan pemerintah Belanda.

Clifford Geertz memandang kehadiran Islam di Jawa telah menyebabkan terbentuknya golongan sosio-kultural lainnya, yaitu abangan dan priyayi (Djoko Suryo, 2005: 1167). Tradisi santri ditandai dengan wujud perilaku ketaatan para pendukungnya dalam menjalankan ibadah agama Islam yang sesuai dengan ajaran syariat agama, sementara tradisi abangan ditandai dengan orientasi kehidupan sosio-kultural yang berakar pada tradisi mistisisme pra-Hindu, dan tradisi priyayi lebih ditandai dengan orientasi kehidupan yang berakar pada tradisi aristokrasi Hindu-Jawa. Tradisi santri dan kepemimpinan kyai atau ulama merupakan unsur kebudayaan Islam-Jawa yang memiliki pengaruh besar terhadap dinamika kehidupan agama, sosial, dan politik dalam masyarakat Jawa. Kecenderungan ini berlangsung secara berkelanjutan dari masa tradisional sampai dengan masa kolonial dan masa Indonesia merdeka. Tidak lain, karena tradisi santri dan kyai, bukan hanya menjadi segmen sosial-kultural, melainkan juga menjadi basis Clifford Geertz memandang kehadiran Islam di Jawa telah menyebabkan terbentuknya golongan sosio-kultural lainnya, yaitu abangan dan priyayi (Djoko Suryo, 2005: 1167). Tradisi santri ditandai dengan wujud perilaku ketaatan para pendukungnya dalam menjalankan ibadah agama Islam yang sesuai dengan ajaran syariat agama, sementara tradisi abangan ditandai dengan orientasi kehidupan sosio-kultural yang berakar pada tradisi mistisisme pra-Hindu, dan tradisi priyayi lebih ditandai dengan orientasi kehidupan yang berakar pada tradisi aristokrasi Hindu-Jawa. Tradisi santri dan kepemimpinan kyai atau ulama merupakan unsur kebudayaan Islam-Jawa yang memiliki pengaruh besar terhadap dinamika kehidupan agama, sosial, dan politik dalam masyarakat Jawa. Kecenderungan ini berlangsung secara berkelanjutan dari masa tradisional sampai dengan masa kolonial dan masa Indonesia merdeka. Tidak lain, karena tradisi santri dan kyai, bukan hanya menjadi segmen sosial-kultural, melainkan juga menjadi basis

kolonial (Djoko Suryo, 2005: 1167). Di Jawa, bangkitnya pemberontakan lokal secara periodik, di bawah pimpinan seseorang yang fanatik yang memakai simbol keagamaan dengan sebutan Ratu Adil dan yang menjadikan kekebalan pada pengikut-pengikutnya, merupakan kesamaan umum dari gerakan millenaries, yang mengambil simbol keagamaan untuk melegitimasi kekuatan pemimpin dan gerakannya (Taufik Abdullah, 1974: 59 ).

Pergerakan rakyat itu lazimnya dianggap arkais sifatnya, oleh karena organisasi, program, strategi, dan taktiknya yang masih terlalu sederhana apabila dibandingkan dengan pergerakan sosial modern. Terbukti juga dari orientasi tujuan yang kabur, partisipan yang tidak mempunyai gambaran bagaimana tata masyarakat dan tata pemerintahan yang akan direalisasikan apabila perjua ngannya mencapai kemenangan. Oleh sebab itu, gerakan yang terjadi dengan mudah ditindas oleh kekuatan militer kolonial. Pergerakan semacam itu pada umumnya abortif atau sangat pendek umurnya (Sartono Kartodirdjo, 1975: 241).

Selama abad XIX, gerakan-gerakan bertambah kuat, mengikuti makin dalamnya pengaruh Islam pada penduduk pedesaan Jawa. Gerakan Ratu Adil ini pada umumnya, merupakan pernyataan ketidakpuasannya pada pemerintahan kolonial Belanda. Sebagai gerakan rakyat yang merupakan penjelmaan dari suatu protes sosial, mereka umumnya kurang emosional, karena mereka menganjurkan suatu perubahan masyarakat dengan tiba-tiba secara tidak rasional dan ajaib.

tetapi kemunculannya dibangun berdasarkan proses yang panjang. Situasi keterpurukan pribumi dengan hadirnya sistem eksploitasi kolonialisme nampak dengan dibukanya Surakarta menjadi salah satu sumber kebutuhan pasar Eropa terhadap hasil- hasil perkebunan. Pada akhir kekuasaan Hindia Belanda di Surakarta, terutama di kabupaten-kabupaten Sragen dan Klaten, terdapat lebih dari seratus perusahaan perkebunan. Hasil ekploitasi itu berhasil sukses menghantarkan keuntungan yang besar bagi perusahaan-perusahaan Eropa, namun di satu sisi juga menjadi akar dari konflik antara penguasa kerajaan dan

penduduk pribumi di Surakarta. Dengan kemunculan para pengusaha perkebunan Eropa maka terjadi perubahan-perubahan mendasar pada hubungan-hubungan produksi terutama menyangkut sistem tanah lungguh. Sistem tanah lungguh biasanya diberikan kepada para pejabat-pejabat kerajaan atau pemerintahan dengan menghasilkan kontribusi dalam bentuk pajak in natura dari kelompok-kelompok tani yang menggarap lahan pertanian tersebut. Sedangkan proses pengumpulan hasil pajak itu dilakukan oleh bekel yang mendapat hasil dalam bentuk komisi. Sistem tanah lungguh yang semula menghasilkan pajak yang dibayarkan melalui pajak in natura telah diganti dengan pajak dalam bentuk uang. Karena perubahan itu pula maka hubungan sewa tanah langsung dilakukan antara pengusaha perkebunan dan pihak pejabat kelurahan. Sistem ini juga membawa perubahan pada sistem kerja, terhapuskannya sistem kerja rodi dan dimulainya sistem kontrak kerja dengan buruh tani (www.pdfchaser.com/pdf/gerakan-sosial-keagamaan.html).

Sistem ini mendorong banyak munculnya petani-petani melarat yang biasa disebut dengan ploletariat desa. Kondisi terpuruknya mayoritas rakyat Surakarta tersebut banyak membawa konsekuensi pada memudar dan merosotnya pamor kekuasaan kerajaan. Ditambah lagi konflik-konflik internal keraton yang terus menerus membawa ketidakpercayaan rakyat terhadap kepemimpinan keraton.

Kesenjangan struktur sosial masyarakat yang ada kerap kali melahirkan Kesenjangan struktur sosial masyarakat yang ada kerap kali melahirkan

Selama abad XIX-XX di Indonesia terus menerus terjadi pemberontakan, kerusuhan, brandal, yang semuanya itu mengoncangkan masyarakat dan pemerintah. Gerakan- gerakan tersebut hampir setiap tahun terjadi di daerah- daerah pedesaan diwujudkan sebagai tindakan yang bersifat agresif dan radikal. Radikalisme muncul karena berbagai faktor, salah satunya justru karena tidak dijalankannya prinsip-prinsip pemerintahan dan politik yang demokratis. Gerakan dan pemberontakan pada dasarnya adalah reaksi spontan terhadap perubahan sosial yang cepat, yang menimbulkan frustasi dalam kehidupan masyarakat.

Muncul gerakan periferal dan semiperiferal, di mana gerakan periferal merupakan perlawanan yang muncul di luar lingkungan keraton, gerakan- gerakan ini bersifat lokal dan berlangsung singkat karena gerakan-gerakan itu muncul dari protes-protes sosial-ekonomi yang konkret, sedangkan gerakan semiperiferal adalah perlawanan yang berada di daerah-daerah perbatasan dan memiliki kaitan dengan keraton. Gerakan- gerakan tersebut dipimpin orang yang kharismatis dan memiliki pengikut-pengikut yang setia, dan menggunakan tulisan-tulisan yang sifatnya menghasut untuk mengajak rakyat memberontak. Dalam gerakan periferal, para pejabat lokal dan elit-elit agama memainkan peranan utama, sedangkan para pemimpin gerakan semiperiferal yaitu para anggota elit istana sendiri yang menjadi simbol-simbol perlawanan di pusat kerajaan (Houben, 2002:491).

Munculnya gerakan Islam dipandang berbahaya oleh pemerintah Belanda dan harus dihadapi dengan kewaspadaan. Pemerintah Belanda yakin bahwa gerakan Islam akan bisa dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin fanatik sebagai basis kekuatan untuk memberontak. Oleh karena itu, pemerintah Belanda selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang dapat membahayakan kekuasaannya Munculnya gerakan Islam dipandang berbahaya oleh pemerintah Belanda dan harus dihadapi dengan kewaspadaan. Pemerintah Belanda yakin bahwa gerakan Islam akan bisa dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin fanatik sebagai basis kekuatan untuk memberontak. Oleh karena itu, pemerintah Belanda selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang dapat membahayakan kekuasaannya

987). Kebanyakan orang tidak bisa membiayai perbaikan rumah, sehingga gubernemen memberi uang muka dalam bentuk bahan bangunan dan tenaga kerja, dan masyarakat harus membayarkan kembali dalam angsuran bulan berikutnya kepada raja-raja setempat, kemudian raja mengembalikan ke pemerintah Belanda. Keraton dilihat oleh masyarakat sebagai tempat yang potensial untuk berlindung, tetapi pada saat itu ternyata telah dimanfaatkankan oleh pemerintah Belanda untuk menancapkan kekuasaannya di wilayah Vorstenlanden (Restu Gunawan, 2005: 986).

Gerakan perlawanan di abad ke-19, merupakan pendorong pergerakan kebangsaan di abad ke-20. Kemudian, di abad ke-20 muncul tokoh-tokoh radikal yang berjuang melawan tekanan pemerintah kolonial. Di garis depan perlawanan terhadap pemerintah Belanda adalah dua anggota Insulinde cabang Solo, Haji Miscbah, aktifis utama dan Dr. Tjipto Mangunkusumo yang umumnya dianggap sebagai otak di balik gerakan yang sedang timbul di Surakarta (Restu Gunawan, 2005: 987). Cipto adalah orang pertama yang mengajukan kritik terhadap tindakan gubernemen untuk memberantas wabah pes. Dalam pidatonya, Cipto mengecam pemerintah dalam kebijakan pertaniannya dan kura ngnya tinjauan masa depan dan karena perasaan senang sendiri dalam mengurus pajak orang pribumi.

Perlawanan terhadap kolonialisme, dipimpin oleh orang-orang dari golongan tertentu dalam masyarakat. Golongan agama yaitu para ulama, yang memegang pimpinan ini bertindak sebagai penasihat, pemberi landasan keyakinan Perlawanan terhadap kolonialisme, dipimpin oleh orang-orang dari golongan tertentu dalam masyarakat. Golongan agama yaitu para ulama, yang memegang pimpinan ini bertindak sebagai penasihat, pemberi landasan keyakinan

ekonomi yang konkret. Dominasi politik kolonial Barat yang menimbulkan perubahan sosial telah menciptakan kondisi yang memungkinkan lahirnya pergolakan sosial. Perlawanan terhadap penguasa asing dilancarkan, terutama dengan menggunakan istilah- istilah keagamaan, yang didorong dengan bangkitnya semangat Islam di Jawa. Tahun 1850 dipakai sebagai titik awal penelitian ini karena sekitar tahun tersebut terdapat buku-buku dan selebaran-selebaran yang membangkitkan semangat pan- Islam, yang mendorong terjadinya gerakan-gerakan melawan pemerintah kolonial. Sedangkan tahun 1920 dijadikan batasan dari judul karena merupakan tahun berakhirnya gerakan radikal sebagai reaksi yang kuat terhadap perubahan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dan munculnya gerakan-gerakan yang terorganisir melalui organisasi-organisasi yang berorientasi barat, sehingga dasar motivasi gerakan telah berubah (Houben, 2002:486).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan kajian tentang gerakan politik Islam di Surakarta. Kajian tentang gerakan politik Islam tersebut di bawah judul “RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA TAHUN 1850- 1920”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang terjadinya radikalisme Muslim di Surakarta tahun 1850-1920 ?

Surakarta ?

3. Bagaimanakah peran pemimpin Islam dalam gerakan politik Islam ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apa yang mendorong radikalisme Muslim di Surakarta tahun 1850-1920

2. Untuk mengetahui bahwa ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan politik Islam di Surakarta

3. Untuk mengetahui peran para pemimpin Islam dalam gerakan politik Islam

D. Manfaat

Penelitian ini meskipun sederhana, diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara pribadi maupun bagi masyarakat pada umumnya. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a) Menambah wawasan pemikiran dan pengetahuan bagi peneliti

b) Memberikan pengetahuan lebih luas Ilmu Pengetahuan Sosial dan Sejarah Indonesia Madya bagi peneliti dan pembaca

2. Manfaat Praktis

a) Dapat menarik minat peneliti lain untuk ikut serta berpartisipasi dalam mengkaji gerakan-gerakan Islam di Surakarta untuk mengetahui mana yang benar dan yang belum terjangkau dalam penelitian ini

b) Dapat menambah koleksi penelitian di perpustakaan khususnya, mengenai Radikalisme Muslim Di Surakarta Tahun 1850-1920

c) Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar sarjana pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan Jurusan IPS Program Studi

Maret Surakarta

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Gerakan Islam

Usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk mengubah suatu kondisi tertentu tanpa disadari merupakan suatu rangkaian aktivitas yang bisa disebut sebagai suatu gerakan. Suatu gerakan selalu mendapat citra yang buruk atau negatif di bawah seorang penguasa yang lalim dan despostis. Menurut Robert Hill, gerakan selalu berasosiasi dengan berbagai tindakan yang dilakukan untuk memberikan reaksi atau respon terhadap kondisi tertentu yang terjadi da lam masyarakat. Respon atau reaksi yang dimaksud adalah respon oleh pihak-pihak tertentu dalam masyarakat yang ingin mendorong suatu perubahan (Robert Hill, 1998: 1-3). Henry A. Landsberger (1981:24) mendefinisikan gerakan sebagai suatu reaksi kolektif terhadap kedudukan yang rendah atau reaksi terhadap keadaan tidak adil.

Terjadinya suatu gerakan dapat bermakna sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa yang menindas. Gerakan merupakan suatu kumpulan dari keinginan dan kepentingan untuk mengubah keadaan. Reaksi yang muncul pada dasarnya menginginkan suatu perubahan pada keadaan yang baru yang lebih baik dan lebih bermakna. Pada intinya, gerakan dapat dipahami sebagai usaha untuk mengubah suatu kondisi pada kondisi yang baru. Dalam kerangka kehidupan masyarakat, maka gerakan dapat diartikan berbagai upaya yang dimaksudkan untuk mengubah tatanan yang tidak adil, menuju sebuah tatanan baru yang lebih member jaminan pada realisasi keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan umat manusia (Robert Hill, 1998:5).

Suatu kelompok yang simpati terhadap pandangan sosial atau doktrin tertentu yang menampakkan dirinya dalam perdebatan politik dan siap berperan dalam kegiatan seperti demonstrasi atau pemberontakan dan lain- lain termasuk ke dalam suatu gerakan, sehingga gerakan seperti ini sering kali disamakan dengan Suatu kelompok yang simpati terhadap pandangan sosial atau doktrin tertentu yang menampakkan dirinya dalam perdebatan politik dan siap berperan dalam kegiatan seperti demonstrasi atau pemberontakan dan lain- lain termasuk ke dalam suatu gerakan, sehingga gerakan seperti ini sering kali disamakan dengan

Eric Hoffer (1988:ix) menyatakan bahwa gerakan lebih banyak digerakkan oleh kaum frustasi yang fanatik. Anggota gerakan diidentifikasikan sebagai orang yang tidak puas dan kecewa, yaitu mereka yang tersingkir dalam masyarakat sampai kelompok minoritas yang tertekan. Berhasil tidaknya suatu gerakan sangat tergantung pada kualitas dari kekuatan yang menghendaki perubahan. Kekuatan

yang menghendaki perubahan pada gilirannya harus mampu mengatasi mereka yang tidak menghendaki perubahan (Robert Hill, 1998:14). Hal ini sejalan dengan pendapat Eric Hoffer (1988:3) bahwa tujuan utama gerakan adalah suatu perubahan. Kekuatan gerakan yang paling utama berasal dari kecenderungan para pengikutnya untuk melakukaan aksi bersama dan mengorbankan dirinya. Dalam membentuk kekuatan ini, gerakan dipersatukan oleh kesamaan keyakinan, fanatisme, doktrin, kepemimpinan, dan bahkan kekejamannya. Gerakan mempunyai sifat sebagai berikut :

1) Arkais oleh karena orangnya, programnya, strategi dan taktiknya masih sangat sederhana. Hal ini disebabkan gerakan tersebut tidak dapat mengorganisasikan diri dengan baik dan tidak dapat merencanakan program, strategi dan bentuknya.

2) Waktunya sangat pendek, hal ini sangat berhubungan dengan sifat yang pertama yang menyebabkan gerakan ini mudah ditumpas oleh penguasa yang ada

3) Scope atau wilayah terjadinya sangat sempit (lokal) dan erat kaitannya dengan religiomagis (Sartono Kartodirdjo, 1973 :5) Robert Hill (1998:55) melakukan pembagian gerakan dilihat dari sifat dan

tujuannya menjadi dua, yaitu:

1) Gerakan sebagai suatu reaksi spontan, penyebabnya tidak betul jelas, dan menggunakan jaringan informasi yang tidak tertata terhadap keadaan 1) Gerakan sebagai suatu reaksi spontan, penyebabnya tidak betul jelas, dan menggunakan jaringan informasi yang tidak tertata terhadap keadaan

ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

1) Daya dukung struktural di mana suatu gerakan sosial-massa akan mudah terjadi dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu yang berpotensi untuk melakukan suatu gerakan massa secara spontan dan berkesinambungan.

2) Adanya tekanan-tekanan struktural akan mempercepat orang untuk melakukan gerakan massa secara spontan karena keinginan mereka untuk melepaskan diri dari situasi yang menyengsarakan

3) Menyebarkan informasi yang dipercayai oleh masyarakat luas. Informasi

tersebut akan menguatkan dan memperluas gerakan sosial- massa

4) Karena emosi yang tidak terkendali

5) Upaya mobilisasi orang-orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang telah direncanakan. Faktor persuasi dan komunikasi bisa mempengaruhi tindakan sosial secara drastis juga faktor kepemimp inan sangat berpengaruh dalam mengambil inisiatif para anggotanya untuk melakukan tindakan. Kesimpulan dari beberapa konsep gerakan di atas yaitu pada dasarnya

gerakan adalah suatu reaksi atau protes terhadap keadaan yang tidak adil. Keadaan seperti ini diciptakan oleh seorang penguasa terhadap lapisan masyarakat di bawahnya.

Gerakan rakyat yang tampil dalam surat kabar dan jurnal, rapat dan pertemuan, serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, nyanyian dan teater, serta pemberontakan, merupakan fenomena kebangkitan bumiputera.

Pada awal abad ke-20, kesadaran baru dan bahasa yang digunakan menjadi arti

penting utama dari pergerakan. Surakarta sebagai arena yang strategis bagi tujuan pergerakan, karena merupakan satu-satunya pusat pergerakan dan semua kekuatan penting utama dari pergerakan. Surakarta sebagai arena yang strategis bagi tujuan pergerakan, karena merupakan satu-satunya pusat pergerakan dan semua kekuatan

Pada abad 20, muncul SI yang memiliki tujuan untuk membuat anggota perkumpulan sebagai saudara satu sama lain, memperkuat solidaritas dan tolong- menolong di antara umat Islam, dan mencoba mengangkat rakyat untuk mencapai

kemakmuran dan kesejahteraan. Organisasi itu ditetapkan sebagai perkumpulan kaum Muslim yang bekerja demi kemajuan, Islam menjadi tanda atau identitas bagi bumiputera (Takashi Shiraishi, 1997: 57).

2. Radikalisme

Menurut Komaruddin (2002:212) bahwa radikalisme berasal dar i bahasa Latin radix, yang berarti akar, kaki, atau dasar. Jadi, radikalisme berarti suatu paham yang menginginkan pembaharuan atau perubahan sosial dan politik dengan ekstrim dan drastik hingga ke akarnya.

Radikalisme merupakan gerakan- gerakan dari kaum pinggiran, karena sebab-sebab tertentu. Mereka menggunakan cara-cara yang radikal, keras dan secara tiba-tiba, baik itu mengenai strategi, taktik, tujuan maupun sasaran dari gerakan itu.

Gerakan radikal menurut Sartono Kartodirdjo (1975:241) adalah gerakan- gerakan rakyat yang bersifat tradisional, sehingga strategi dan taktiknya masih terlalu sederhana, berumur sangat pendek, berada dalam lingkup lokal atau regional dan umumnya dilakukan untuk melawan keadaan yang dianggap tidak adil.

Sebuah gerakan dapat terjadi apabila terdapat sejumlah faktor penentu, yaitu sebagai berikut (http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_sosial) :

1) Structural Conduciveness (Kondisi Struktural), yaitu suatu struktur sosial 1) Structural Conduciveness (Kondisi Struktural), yaitu suatu struktur sosial

2) Structural Strain (Ketegangan Struktural), yaitu adanya ketegangan struktural yang timbul. Terdiri dari extreme religious movement (gerakan keagamaan yang ekstrem), race riots (rasisme), dan economic deprivation (depresi ekonomi).

3) The Precipitating Factor (Faktor Pemercepat), yaitu faktor pencetus yang berupa suatu dramatik, suatu peristiwa empirik.

4) Mobilization into action (Mobilisasi Untuk Mengadakan Aksi), yaitu suatu mobilisasi untuk bertindak, dalam hal ini peranan seseorang amat

menentukan. Situasi dapat berkembang dari kepanikan, timbulnya kerusuhan dan kemudian diteruskan dengan agitasi untuk reform atau revolusi.

5) The Operation of Social Control (Kontrol Sosial), yaitu pengoperasian kontrol sosial atau faktor penentu yang berbalik mencegah, mengganggu, membelokkan, atau merintangi gerakan itu. Definisi kekerasan dari New Oxford Dictionary adalah perilaku yang

melibatkan kekuatan fisik dan dimaksudkan untuk menyakiti, merusakan, atau membunuh seseorang atau sesuatu. Menurut Colombijn (I Ngurah Suryawan, 2010: 20), mengkategorikan kekerasan menjadi 4 bagian :

1) Kekerasan oleh negara atau lembaga negara

2) Kekerasan oleh kelompok masyarakat

3) Kekerasan oleh kelompok jagoan dan milisi

4) Kekerasan oleh perorangan yang berkumpul untuk sementara dalam kerumunan Secara etimologis, kekerasan merupakan terjemahan dari kata “violence”,

berasal dari bahasa Latin “violentia”, yang berarti force, kekerasan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata kekerasan digunakan sebagai padanan “violence”, yaitu perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.

kekerasan, di mana ada tiga bentuk kekerasan, yaitu: kekerasan yang bersifat personal, institusional, dan struktural. Kekerasan yang bersifat personal merupakan sebagai gejala yang menimpa baik perseorangan, kelompok, maupun negara, yang diakibatkan oleh bekerjanya ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi. Ketidakadilan ini juga terjadi sebagai akibat dari upaya sekelompok elit, yang mempertahankan kepentingan mereka, sehingga membuat kondisi kelompok bawah hidup di bawah standar yang layak sebagai manusia. Kondisi tersebut yang mendorong munculnya kekerasan institusional, yaitu pemberontakan dan protes di

kalangan masyarakat sipil. Ketika kondisi tersebut telah terjadi, maka kemudian penguasa memandang dirinya berkewajiban memelihara ketertiban, meski harus menggunakan cara-cara kekerasan. Hal tersebut memunculkan kekerasan struktural yaitu represi penguasa, di mana digunakan cara-cara kekerasan oleh lembaga negara untuk menekan pemberontakan sipil. Represi negara yang dilakukan akan memperparah kondisi ketidakadilan (I Ngurah Suryawan, 2010:92-93).

Teori Hegemoni dari Antonio Gramsci, yaitu agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai- nilai serta norma penguasa, melainkan juga harus menyetujui dominasi kekuasaan mereka. Pengertian hegemoni menurut Gramsci yaitu penguasaan oleh satu atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis dan bukan hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan. Untuk mendapatkan kekuatan sosial yaitu dengan cara melalui perjuangan politik dan ideologi. Hegemoni tidak pernah diperoleh begitu saja, tetapi harus selalu diperjuangkan. Hal ini jelas menuntut kegigihan yang tinggi dari kelas penguasa untuk mempertahankan dan memperkuat otoritas sosial dalam berbagai kekuatan sosial (Roger Simon, 2000:19-20).

Menurut Habermas yang dikutip oleh Zainuddin Maliki (2004: 25-26), penguasa diberi hak oleh publik dalam menjalankan kekuasaan dan bahkan Menurut Habermas yang dikutip oleh Zainuddin Maliki (2004: 25-26), penguasa diberi hak oleh publik dalam menjalankan kekuasaan dan bahkan

Dalam kekerasan masyarakat terdapat juga faktor politik yang kemudian mengakibatkan terjadinya kekerasan masyarakat berlatar politik. Pada dasarnya, kekerasan masyarakat adalah kekerasan yang dilakukan kelompok masyarakat akibat ketidakadilan, penindasan, represi yang dialami oleh kelompok masyarakat. Kekerasan politik terjadi karena diterapkannya sistem politik kekerasan di

masyarakat yang dipelopori oleh negara atau pemerintah ke dalam sistem pelaksanaan pemerintahan. Ada kaitan yang erat antara kekerasan politik dan sistem pemerintahan yang diterapkan atau dianut oleh suatu negara. Di situ sebenarnya terdapat kaitan langsung antara partisipasi, stabilitas, dan kekerasan (I Ngurah Suryawan, 2010: 18).

Kekerasan politik sering dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk psikologis. Kekerasan politik ini berbentuk indoktrinasi, ancaman, tekanan, dan pembatasan informasi. Kekerasan oleh negara dan aparaturnya terjadi untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan atau kepentingan ideologis negara. Pemerintah menganggap dirinya mempunyai hak untuk menempuh cara kekerasan apabila ada yang mengganggu integrasi dan ideologi bangsa. Ketika bermunculan dokumen-dokumen yang didasari semangat keagamaan, yang kebanyakan dibuat oleh para ulama di Surakarta, dokumen-dokumen tersebut berisi mengenai ajakan untuk menggulingkan dan mengusir “orang-orang kafir” yang dipimpin oleh pemimpin yang berkharisma. Di Jawa, bangkit pemberontakan lokal yang periodik, di bawah pimpinan seseorang yang fanatik yang memakai simbol Ratu Adil. Selama abad ke-19, gerakan-gerakan bertambah kuat, mengikuti makin mendalamnya pengaruh Islam pada penduduk pedesaan Jawa. Pemberontakan- pemberontakan dengan menggunakan simbol keagamaan ini, pada umumnya merupakan pernyataan dari ketidakpuasannya pada pemerintah ko lonial Belanda (Taufik Abdullah, 1987: 59).

kepentingan. Politik Islam merupakan Islam digunakan sebagai alat politik untuk memperoleh legitimasi kekuasaan, karena Islam dianggap dapat mengatasi berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, serta dapat digunakan untuk mendapatkan basis massa yang banyak (Hermanu, 2010: 81). Penggunaan Islam sebagai alat politik adalah untuk menumbuhkan harapan dan semangat masyarakat yang tertindas secara politis maupun ekonomi.

Menurut Snouck Hurgronje bahwa agama Islam mempunyai potensi menguasai seluruh kehidupan umatnya, baik dalam segi sosial maupun politik. Pemikirannya berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya yang menjadi landasan dasar doktrin bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik”.

Islam bukanlah semata agama (a religion), namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan „modernis‟, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh

gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain” (Aqib Suminto, 1986:11-12).

Gerakan politik Islam dapat dilakukan dengan kerja sama antara ulama, kaum intelektual, dan pengusaha Muslim untuk menciptakan perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Selain itu, juga melalui tumbuhnya organisasi sosial dan organisasi politik di Surakarta.

3. Marginalisasi Masyarakat Islam

a. Pengertian Marginalisasi Marginalisasi disebut juga keterasingan. Masyarakat dengan peradaban

buatannya mengasingkan manusia dari hakikatnya yang alamiah. Untuk mengakhiri keterasingan itu merupakan proses emansipasi: manusia harus membebaskan diri dari masyarakat dan pemerintahan yang menekan. Menurut buatannya mengasingkan manusia dari hakikatnya yang alamiah. Untuk mengakhiri keterasingan itu merupakan proses emansipasi: manusia harus membebaskan diri dari masyarakat dan pemerintahan yang menekan. Menurut

Alienisasi atau dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan menjadi proses menuju keterasingan, adalah teori yang dikeluarkan oleh Karl Marx tentang munculnya sebuah keadaan dimana buruh atau proletar mendapatkan sebuah keadaan yang terasing dari kehidupannya. Ia percaya bahwa Alienisasi adalah hasil dari eksploitasi Kapitalisme terhadap buruh dengan mengartika nnya sebagai

modal. Konsep Keterasingan buatan Marx berasal dari fakta ekonomi yang ada di masanya. Hal ini tertulis dalam karyanya Das Kapital dan terbesit dalam karya- karyanya yang lain. Sebenarnya Marx sendiri mengurangi penggunaan kata alienisasi atau keterasingan dalam karya-karya di fase kedua hidupnya. Hal ini dikarenakan Marx tidak mau kata ini berkurang nilainya, sebagai akibat dari banyaknya para filsuf sejaman Marx yang menggunakan kata tersebut sebagai konsep mereka yang sebenarnya jauh dari yang dimaksud o leh Marx (Anthony Giddens, 1986:12).

Keterasingan terjadi jika semakin banyaknya modal terkumpul untuk Kapitalis, dan semakin miskin pula buruh akibat dari hasil eksploitasi kapitalis. Artinya kapitalis menimbun banyak harta yang sebenarnya merupakan Nilai Lebih barang yang telah diciptakan buruh. Karena buruh tidak memiliki kekuasaan untuk menjual barang tersebut seperti layaknya yang dilakukan kapitalis, maka kapitalis yang memiliki hak untuk menjual barang tersebut yang akan mendapat nilai lebih tersebut. Jika nilai lebih ini diakumulasikan dengan apa yang di dapat buruh (gaji), akan memunculkan variabel yang berbalik. Buruh akan menjadi lebih murah atau tak berharga saat nilai lebih dari barang-barang yang dia buat jauh lebih tinggi dan tidak sepadan dengan nilai yang ia dapat. Hal tersebut akan memunculkan keadaan yang disebut Karl Marx sebagai obyektivikasi atau bisa dibilang buruh dijadikan obyek dalam satuan modal di mata kapitalis, bukan sebagai subyek atau pencipta benda. Pengendalian kapitalis terhadap apa yang Keterasingan terjadi jika semakin banyaknya modal terkumpul untuk Kapitalis, dan semakin miskin pula buruh akibat dari hasil eksploitasi kapitalis. Artinya kapitalis menimbun banyak harta yang sebenarnya merupakan Nilai Lebih barang yang telah diciptakan buruh. Karena buruh tidak memiliki kekuasaan untuk menjual barang tersebut seperti layaknya yang dilakukan kapitalis, maka kapitalis yang memiliki hak untuk menjual barang tersebut yang akan mendapat nilai lebih tersebut. Jika nilai lebih ini diakumulasikan dengan apa yang di dapat buruh (gaji), akan memunculkan variabel yang berbalik. Buruh akan menjadi lebih murah atau tak berharga saat nilai lebih dari barang-barang yang dia buat jauh lebih tinggi dan tidak sepadan dengan nilai yang ia dapat. Hal tersebut akan memunculkan keadaan yang disebut Karl Marx sebagai obyektivikasi atau bisa dibilang buruh dijadikan obyek dalam satuan modal di mata kapitalis, bukan sebagai subyek atau pencipta benda. Pengendalian kapitalis terhadap apa yang

Pandangan tentang alienisasi tak lepas dari kritik Karl Marx terhadap Ludwig Feuerbach, seorang filsuf di eranya. Namun Marx berfikir justru lebih

konkrit dari pada Feuerbach. Ada beberapa dimensi utama dari pembaharuan Marx tentang keterasingan (Anthony Giddens, 1986:14-15).

1. Buruh tidak mempunyai kuasa untuk memasarkan produk-produknya,

dikarenakan itu akan menjadi hak kapitalis, sehingga dia tidak akan menarik keuntungan dari produk tersebut. Dalam prinsip ekonomi pasar bahwa produk yang dipertukarkan akan diawasi oleh pasar. Bahkan buruh juga menjadi sebuah komoditi yang diperjualkan di pasaran dan tidak bisa mengatur sendir i nasib benda yang ia produksi.

2. Buruh terasing dengan pekerjaannya sendiri. Tugas kerja tidak memberi kepuasan hati yang hakiki, yang mana buruh tidak diberi kesempatan untuk mengatur keadaan fisik atau batin dirinya sendiri sebab dikuasai oleh kekuatan eksternalnya.

3. Pola hubungan sosial membawa buruh menjadi terasing secara langsung dari percabangan-percabangan sosial. Dalam hal ini hubungan masyarakat cenderung disederhanakan menjadi kegiatan-kegiatan pasar. Uang meningkatkan rasionalisasi pola hubungan sosial, karena ia menjadi standar abstrak dalam pengertian bahwa sifat-sifat yang paling heterogen dapat dibandingkan dan ditukarkan.

4. Manusia hidup dalam hubungan aktif dengan alam yang merupakan

ekspresi dan hasil hubunganya dan menjadi pembeda antara manusia dengan ekspresi dan hasil hubunganya dan menjadi pembeda antara manusia dengan

kepercayaan dan mengkhianati kepercayaan para buruh ini menjadi ular berkepala dua guna mendapatkan keuntungan pribadinya. Namun, gerakan kaum agama yang mendukung buruhpun juga terhitung. Merekalah yang mencoba untuk mengembalikan pemikiran masyarakat dan dengan ajaran mereka, buruh atau siapapun yang terbilang proletar tidak perlu mengkhawatirkan agama hanya akan menjadi fantasi subsitusi mereka melainkan sebagai sebuah gerakan yang akan membuat mereka lebih baik dan punya nilai lebih perundingan di hadapan majikan (Anthony Giddens, 1986:12-16).