Peran Pemimpin Islam Dalam Gerakan Politik Islam

C. Peran Pemimpin Islam Dalam Gerakan Politik Islam

Radikalisasi yang terjadi dalam masyarakat tidak terlepas dari sosok pemimpin kharismatik, didahului oleh suatu kondisi yang kondusif untuk munculnya gerakan, hal ini ditandai dengan rusaknya nilai tradisional, di sisi lain masyarakat menolak keberadaan penguasa kolonial dengan aturan-aturannya waktu itu. Kondisi ini mampu menghilangkan norma yang sudah jelas dalam masyarakat, sehingga munculnya pemimpin kharismatik dapat diterima oleh masyarakat sebagai legitimasi kekuasaan dan semua bentuk perubahan yang menyertainya. Keresahan yang terjadi dalam masyarakat menciptakan suatu keadaan yang dirasa perlu adanya figur pemimpin yang dapat menjembatani antara aturan kolonial yang menekan masyarakat dan keinginan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Ulama yang merupakan elemen paling esensial dari suatu pesantren, yang dilihat sebagai orang yang dapat memahami keagungan Tuhan, sehingga dianggap memiliki kedudukan yang tinggi dan symbol dari kealiman (Zamakhsyari Dhofier, 1982: 56).

1. Peran Ulama Dalam Gerakan Sosial Keagamaan Munculnya gerakan sosial keagamaan tidak lepas dari peranan pemimpin yang mampu memobilisir massa sehingga menjadi sebuah kekuatan yang besar, pemimpin yang kharismatik, yang dapat berasal baik dari elite kota maupun dari elite desa sendiri. Pemimpin kharismatik mampu menjadi daya tarik untuk mencari pengikut dalam suatu gerakan radikal keagamaan. Konsep mengenai 1. Peran Ulama Dalam Gerakan Sosial Keagamaan Munculnya gerakan sosial keagamaan tidak lepas dari peranan pemimpin yang mampu memobilisir massa sehingga menjadi sebuah kekuatan yang besar, pemimpin yang kharismatik, yang dapat berasal baik dari elite kota maupun dari elite desa sendiri. Pemimpin kharismatik mampu menjadi daya tarik untuk mencari pengikut dalam suatu gerakan radikal keagamaan. Konsep mengenai

Mobilisasi massa kebanyakan memakai ideologi ratu adil atau jihad fi- sabilillah sebagaimana tampak dalam gerakan messianisme dan millenarianisme pada abad ke-19. Bahkan gerakan-gerakan modern seperti SI tidak jarang memakai ideologi ratu adil di tingkat pengikut bawahan. SI lokal banyak terlibat dalam radikalisasi dengan sasaran kultural, ekonomis, maupun sosial. Sasaran kultural biasanya ditujukan kepada pembasmian simbol-simbol adat yang bertentangan dengan agama, sasaran ekonomis ditujukan pada dominasi ekonomi pedagang Cina, dan sasaran sosial ditujukan kepada kaum ambenaar atau priyayi yang melambangkan kekuasaan kolonial (Kuntowijoyo, 2002:6-7).

Perlawanan terhadap kolonialisme, dipimpin oleh orang-orang dari golongan tertentu dalam masyarakat. Golongan agama yaitu para ulama, yang memegang pimpinan ini bertindak sebagai penasihat, pemberi landasan keyakinan untuk mempertebal semangat dan tekad berperang. Pengaruh pemimpin menjadi lebih kuat apabila di samping ia berasal dari golongan bangsawan, juga tergolong orang yang saleh dan mahir dalam soal keagamaan. Dalam keadaan demikian loyalitas pengikut pada pemimpin juga bertambah kuat (William H. Frederick dan Soeri Soeroto, 1982: 218).

Berdasarkan nilai agama, para pemuka agama, yaitu kyai, haji, ulama semacam elite religius mempunyai kewibawaan sosial yang tinggi di kalangan rakyat di pedesaan. Para kyai mempunyai identitas yang sama dengan petani sehingga mempunyai lebih banyak alat komunikasi dengan rakyat pedesaan. Dalam menggerakkan pengikutnya, para ulama memegang peranan utama. Perasaan tidak puas terhadap peraturan-peraturan pemerintah menciptakan kondisi yang baik untuk menghimpun pendukung pergerakan. Melalui pesantren dan Berdasarkan nilai agama, para pemuka agama, yaitu kyai, haji, ulama semacam elite religius mempunyai kewibawaan sosial yang tinggi di kalangan rakyat di pedesaan. Para kyai mempunyai identitas yang sama dengan petani sehingga mempunyai lebih banyak alat komunikasi dengan rakyat pedesaan. Dalam menggerakkan pengikutnya, para ulama memegang peranan utama. Perasaan tidak puas terhadap peraturan-peraturan pemerintah menciptakan kondisi yang baik untuk menghimpun pendukung pergerakan. Melalui pesantren dan

kolonial. Dikarenakan bahwa sebagian besar dari kerusuhan atau pergerakan di daerah pedesaan dipimpin oleh elite religius itu (Sartono Kartodirdjo, 1982:233).

Para kyai bertindak sebagai cultural broker bagi masyarakat bawah, terutama bagi para santri yang merupakan massa yang diberikan gagasan-gagasan abstrak mengenai perlawanan terhadap kolonial. Pada abad XIX, masyarakat Islam di pedesaan telah memiliki kesadaran politik yang dibangkitkan oleh pemimpin agama. Pemimpin agama merupakan elit politik sekaligus elit sosial dalam struktur masyarakat pedesaan. Ulama dan pesantren merupakan sumber kekuatan dalam menghadapi kekuatan kolonial.

Pesantren ialah tempat pendidikan para santri. Santri ialah orang dewasa yang belajar tentang dasar dan inti kepercayaan Islam, di bawah pimpinan seorang guru agama atau kyai. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, dengan demikian memiliki ciri penting, yaitu santri, kyai, masjid, dan pondok. Hubungan keempat unsur tersebut sangat erat, lebih- lebih hubungan antara kyai dan santri yang menggambarkan hubungan “guru-murid”, sangat khas dalam dunia kehidupan pesantren, yang juga mencakup komunitas orang Muslim atau kaum Muslimin yang memiliki identitas, simbol, dan tradisi budaya sebagai sebuah subkultur Islam di Jawa (Djoko Suryo, 2005: 1169). Pesantren kemudian menjadi alat penghubung yang penting antara umat Islam Indonesia dengan pusat asal agama dan kebudayaan Islam di Arab.

Faktor yang menyebabkan seseorang menjadi kyai besar, antara lain : 1) Faktor yang menyebabkan seseorang menjadi kyai besar, antara lain : 1)

Kyai mempunyai kewibawaan yang didasarkan atas kedalaman pengetahuannya tentang ilmu agama Islam. Dalam abad ke-18 dan 19, kewibawaan para kyai itu menjadi lebih tinggi, karena kyai sudah melakukan ibadah haji ke Mekkah sebagai salah satu rukun Islam. Sebagai haji, kyai lebih dihormati dan disegani oleh para santri dan masyarakat sekelilingnya. Kyai sebagai pemimpin pesantren sangat besar pengaruhnya terhadap para santri, umat Islam yang ada di sekeliling pesantren bahkan di luarnya. Besar pengaruh seorang kyai terutama bergantung dari (S.Soebardi,1978:69-70):

1) keluasan ilmu pengetahuannya tentang agama Islam yang dimilikinya,

2) integritas spiritual dan moral daripada kyai,

3) kebijaksanaan pimpinannya,

4) hubungannya dengan umat Islam di luar pesantrennya,

5) telah menjalankan rukun Islam yang kelima, yaitu pergi naik haji dan atau bermukim di kota suci Mekkah, dan

6) bergantung dari kekayaannya Pengaruh kyai tidaklah terbatas hingga di lingkungan pesantren saja, melainkan juga terasa ke seluruh desa. Kyai yang bersangkutan sangat dihormati oleh seluruh penduduk desa. Dalam masalah sehari-hari pun pendapat dan nasihatnya sering dimintai oleh orang-orang kampungnya. Perkataan seorang kyai sangat ditaati, fatwanya dianggap benar (Deliar Noer, 1982:18).

Hancurnya relasi antara raja dan ulama merupakan salah satu penyebab merosotnya kekuasaan politik kerajaan tradisional di Jawa. Oleh karena, ulama memiliki peranan sebagai kelompok penekan dalam menyalurkan aspirasi masyarakat, dan sebagai kelompok kepentingan yang memperjuangkan kepentingan dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik kerajaan untuk memperoleh keputusan yang menguntungkan dan menghindari keputusan yang merugikan. Namun, ketika perannya sebagai kedua kelompok tersebut hilang, Hancurnya relasi antara raja dan ulama merupakan salah satu penyebab merosotnya kekuasaan politik kerajaan tradisional di Jawa. Oleh karena, ulama memiliki peranan sebagai kelompok penekan dalam menyalurkan aspirasi masyarakat, dan sebagai kelompok kepentingan yang memperjuangkan kepentingan dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik kerajaan untuk memperoleh keputusan yang menguntungkan dan menghindari keputusan yang merugikan. Namun, ketika perannya sebagai kedua kelompok tersebut hilang,

dimengerti bahwa lapisan bawah jauh lebih kuat menganut ajaran agama Islam sebagai pegangan dalam menghadapi pengaruh barat (Suhartono, 1991:75).

Sejak tahun 1860-an di dalam Aglemeen Verslag der Residentie Soerakarta dimuat banyaknya jemaah haji yang datang dan pergi setiap tahun. Jumlah jemaah yang pergi tercatat tidak banyak, tetapi yang pulang pada tahun- tahun tertentu jumlahnya meningkat. Hal ini disebabkan jemaah tinggal beberapa tahun di Mekkah untuk mempelajari ilmu agama dan mereka pulang dalam rombongan besar. Pada tahun 1887, di Surakarta tercatat 834 orang haji, di antara merekalah bangkit semangat revivalisme agama (Suhartono, 1991:74).

Dalam masyarakat, para ulama mempunyai kedudukan mantap karena mereka memiliki otoritas tradisional dan kebebasan baik ekonomi maupun politik. Antara ulama dengan masyarakat terjalin hubungan timbal balik, artinya di satu pihak mereka memberikan perlindungan, dan di pihak lain masyarakat memberikan penghormatan dan pelayanan sosial. Hubungan dua golongan sosial ini membentuk jalinan kehidupan di pedesaan yang harmonis. Oleh karena itu, wajar jika mereka mampu memobilisasi massa untuk berpartisipasi penuh untuk menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial dan memiliki loyalitas tinggi.

Dalam hal imbangan kekuatan, ulama yang tidak kuat menghadapi penguasa kerajaan maupun kolonial bersekutu dengan kelompok lain yang dianggapnya dapat membantu tujuan politiknya, terutama kelompok yang kecewa dan tidak puas terhadap pemerintah kolonial. Dalam keadaan seperti ini yang

2. Peran Kaum Intelektual Dalam Gerakan Sosial Keagamaan Memasuki abad XX, seiring dengan berkembangnya organisasi sosial dan politik, serta bertambahnya jumlah kaum intelektual yang berpendidikan barat, membuat peran ulama beserta pesantren digantikan oleh organisasi politik yang dipimpin kaum intelektual. Dengan perkembangan diferensiasi dalam sistem sosial-ekonomis baru dan sistem pendidikan baru muncullah sistem stratifikasi sosial baru serta struktur-struktur organisasi dan lembaga- lembaga baru. Sistem pendidikan baru menghasilkan golongan intelektual yang mulai memegang

peranan dalam fungsi- fungsi baru diciptakan oleh perkembangan proses birokratisasi, komersialisasi, dan urbanisasi. Kaum intelektual memperoleh pengetahuan baru dan mengenal nilai- nilai baru yang berasal dari masyarakat industrial, seperti mempertinggi taraf kehidupan rakyat, partisipasi rakyat dalam pemerintahan, persamaan, keadilan sosial, pengetahuan dan teknologi modern. Kesadaran akan perbedaan ide- ide itu dengan kenyataan di negerinya sendiri membangkitkan pergerakan nasional yang merupakan kelompok-kelompok solidaritas baru. Organisasi-organisasi nasional dan partai-partai politik tidak hanya menjadi pelaku pokok dari solidaritas politik elite modern tetapi juga berfungsi sebagai institusionalisasi otoritas golongan-golongan baru tersebut. sebagai pemimpin pergerakan nasional, kaum intelektual memperoleh kharisma, terutama karena sebagai pendukung utama ide- ide baru memainkan peranan pusat dalam memperjuangkan perwujudannya (Sartono Kartodirdjo, 1982:235).

Kaum intelektual yang mencita-citakan suatu orde baru dan yang lebih baik bertindak sebagai pemimpin dari masyarakat yang mendatang, maka modernisasi yang diperjuangkan itu merongrong kedudukan dan kepemimpinan aristokrasi lama. Pada hakikatnya elite modern bersikap idealistis dan sangat menyadari peranannya yang simbolis sebagai pendukung ideologi- ideologi modern, seperti antikolonialisme, demokrasi, humanitarianisme, sosialisme, dan sebagainya. Elite modern ini merupakan unsur kepemimpinan dari per gerakan nasional dan negara merdeka yang dihasilkan oleh perjuangannya.

pedagang batik, dimana industri batik di Surakarta yang mengontrol pasar nasional. Gerakan terjadi di Surakarta, karena Surakarta merupakan tempat keraton-keraton Jawa, selain Yogyakarta, dan dianggap sebagai tempat pusatnya tradisi Jawa. Surakarta sebagai arena pusat pergerakan di mana semua kekuatan sosial bergabung dalam pergerakan atau bahkan anti pergerakan. Semua insiden, oleh residen Surakarta dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban (rust en orde ) (Takashi Shiraishi, 1997: 16).

Menurut Suhartono (1991: 91), secara defacto, residen yang bertanggung jawab terhadap keamanan di wilayahnya, tetapi residen merasa canggung untuk

bertindak karena ada dua kerajaan yang masing- masing mempunyai otonomi dan kekuasaan walaupun terbatas. Walaupun demikian pengaruh kolonial telah mendominasi struktur birokrasi kerajaan di Jawa, sehingga segala sesuatu yang terjadi pada kerajaan harus sepengetahuan residen yang merupakan wakil pemerintah Belanda.

Struktur birokrasi kolonial, wewenang merupakan bagian yang diperhatikan. Walaupun kerajaan di daerah Vorstenlanden mempunyai otonom dan juga hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri, keamanan, dan juga ketertiban merupakan bagian dari tugas daerah Vorstenlanden yang selalu diawasi oleh residen masing- masing daerah. Dalam penyelasaian konflik, sangat tidak mungkin kerajaan sebagai pemerintah otonom berjalan sendiri tanpa adanya pelaporan terhadap pemerintah kolonial saat itu. Setiap kali terjadi konflik baik pihak pemerintah kerajaan dan juga pemerintah kolonial selalu menjadi satu kesatuan.

Gerakan radikal menurut Sartono Kartodirdjo (1975:241) adalah gerakan- gerakan rakyat yang bersifat tradisional, sehingga strategi dan taktiknya masih terlalu sederhana, berumur sangat pendek, berada dalam lingkup lokal atau regional dan umumnya dilakukan untuk melawan keadaan yang dianggap tidak adil. Dua pimpinan Insulinde cabang Solo yaitu Haji Miscbah dan Dr. Tjipto Mangunkusumo yang umumnya dianggap sebagai otak di balik gerakan yang Gerakan radikal menurut Sartono Kartodirdjo (1975:241) adalah gerakan- gerakan rakyat yang bersifat tradisional, sehingga strategi dan taktiknya masih terlalu sederhana, berumur sangat pendek, berada dalam lingkup lokal atau regional dan umumnya dilakukan untuk melawan keadaan yang dianggap tidak adil. Dua pimpinan Insulinde cabang Solo yaitu Haji Miscbah dan Dr. Tjipto Mangunkusumo yang umumnya dianggap sebagai otak di balik gerakan yang

Gerakan radikal menentang kekuasaan feodal dan kolonial, serta eksploitasi oleh perusahaan perkebunan yang dianggap sebagai penyebab semakin menurunnya kesejahteraan rakyat. Tampilnya Tjipto Mangunkusumo dan H. Misbach dalam gerakan radikal dapat dianggap sebagai perwujudan perasaan tidak puas terhadap dampak peraturan baru, khususnya mengenai reorganisasi.

Selain itu, syarat perburuhan yang tidak layak merupakan penyebab timbulnya gerakan protes.

Di kelurahan Nglungge, semua kuli kenceng diberi ½ bau tanah sawah dari tanah komunal desa dan diharuskan membayar pajak tanah untuk tanah pekarangan rumah dan lahan sawah mereka serta melakukan kerja wajib bagi desa dan negara. Kemudian muncul gerakan protes menuntut penguasa supaya pekerjaan mereka diperingan. Namun, penguasa menciduk pemimp in gerakan tersebut karena aksi tersebut dikatakan illegal. Oleh karena itu, Tipto Mangunkusumo dan H. Misbach menyerang penguasa yang menangkapi pemimpin gerakan tersebut, dan mendorong para petani untuk terus melakukan protes. Akan tetapi, pemimpin gerak an tersebut tetap dijatuhi hukuman, dan para petani dibubarkan secara paksa. Setelah itu gerakan radikal yang tradisional tersebut lenyap dan berhenti (Takashi Shiraishi, 1997: 213-214).

Dalam pemogokan di perkebunan Tegalgondo, Misbach selalu menentang polisi dalam menghadiri pertemuan Insulinde dan menolak member daftar kepemimpinan kelompok Insulinde yang mereka minta. Ketika menghadapi polisi, Misbach menekan rasa takutnya dengan mengutip dan menyerukan ayat- ayat Alquran. Jadi, pertemuan Insulinde yang dipimpin Misbach membuat kekuasaan negara menjadi telanjang, sama sekali tidak memiliki legitimasi dan kewibawaan. Hal tersebut yang dianggap residen mengganggu rust en orde.

Terjadi aksi mogok di Polanharjo, yang menolak kerja wajib bagi Terjadi aksi mogok di Polanharjo, yang menolak kerja wajib bagi

Terjadinya masalah wabah penyakit pes telah mempengaruhi polemik politik di Surakarta, bahkan telah digunakan oleh para musuh keraton dalam melakukan kritiknya terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun 1915, penyakit pes sudah sampai di Surakarta (Restu Gunawan, 2005: 976-977). Untuk memberantas wabah tersebut, pemerintah Belanda bekerja sama dengan raja-raja pribumi,

dengan memperbaiki rumah penduduk yang terkena wabah pes, yang ternyata menimbulkan rasa tidak senang bagi penduduk. Gubernur Idenburg menentukan kebijakan supaya seluruh Kota Surakarta secara sistematis diperbaiki blok demi blok. Kebanyakan orang tidak bisa membiayai perbaikan rumah, sehingga gubernemen memberi uang muka dalam bentuk bahan bangunan dan tenaga kerja, dan masyarakat harus membayarkan kembali dalam angsuran bulan berikutnya kepada raja-raja setempat, kemudian raja mengembalikan ke pemerintah Belanda. Pemerintah menetapkan setiap rumah tiangnya diganti dengan kayu, atapnya diganti dengan genting, dan gentingnya dicat putih. Bahan-bahan tersebut diberi oleh pemrintah dengan cara mencicilnya setiap bulannya. Ketika pembayaran tidak berjalan lancar, maka diganti dengan menngunakan sistem pajak yang sangat memberatkan rakyat (Restu Gunawan, 2005: 982).

Di garis depan perlawanan terhadap pemerintah Belanda adalah Haji Miscbah dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Dr. Tjipto Mangunkusumo adalah orang pertama yang mengajukan kritik terhadap tindakan gubernemen untuk memberantas wabah pes, yang dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pemerintah kolonial. Dalam pidatonya, Cipto mengecam pemerintah dalam kebijakan pertaniannya dan kurangnya tinjauan masa depan serta karena perasaan senang sendiri dalam mengurus pajak orang pribumi. Wabah pes baik di Surakarta maupun di daerah lain sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Khusus di daerah Surakarta akibat adanya wabah pes telah berkembang Di garis depan perlawanan terhadap pemerintah Belanda adalah Haji Miscbah dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Dr. Tjipto Mangunkusumo adalah orang pertama yang mengajukan kritik terhadap tindakan gubernemen untuk memberantas wabah pes, yang dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pemerintah kolonial. Dalam pidatonya, Cipto mengecam pemerintah dalam kebijakan pertaniannya dan kurangnya tinjauan masa depan serta karena perasaan senang sendiri dalam mengurus pajak orang pribumi. Wabah pes baik di Surakarta maupun di daerah lain sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Khusus di daerah Surakarta akibat adanya wabah pes telah berkembang

Dr. Tjipto Mangunkusumo dipandang sebagai sumber inspirasi intelektual penting oleh aktivis SI yang radikal. Insulinde Surakarta membentuk satu komite untuk menyelidiki kegelisahan penduduk akibat program perbaikan rumah secara paksa untuk mencegah wabah penyakit dan berbagai tindakan administratif dari pemerintah yang berlebihan.

Dr. Tjipto Mangunkusumo terus memperjuangkan nasib rakyat terhadap tekanan pemerintah kolonial dan pemerintah kerajaan. Di Voksraad, ia melakukan kampanye yang berapi-api, yang mengkritik pemerintah kolonial. Sehubungan dengan banyaknya agitasi dan pemogokan, pada bulan Mei 1920, Misbach ditahan oleh polisi kolonial, dan setiap kegiatan yang berupa rapat-rapat dilarang oleh pemerintah. Kemudian waktu itu tidak diperkenankan adanya politik massa dan pemerintahan Belanda adalah politik yang diwujudkan dalam sistem politik Beamtenstaat , yaitu sistem negara yang mendasarkan kekuatannya pada pegawai atau negara birokrasi, ditujukan untuk mengabdi pada negara dan mengawasi dinamika masyarakat sehingga kekuatan intelejen harus muncul. Hal tersebut membuat aktivitas politik secara otomatis dibatasi oleh kebijakan tersebut. Sistem dominasi itulah yang melumpuhkan inisiatif dan kreativitas bumiputra (Hermanu, 2010: xxi).

Pada tanggal 20 April 1919, Misbach menggambar kartun di Islam Bergerak yang isinya menyinggung kapitalis Belanda dan Pakubuwono X, yang menghisap para petani dan mempekerja-paksakan mereka. Akibatnya ia ditangkap pada tanggal 7 Mei 1919, kemudian ia dibebaskan pada 22 Oktober 1919. Misbach merupakan tokoh pergerakan Insulinde, Misbach selalu mengutip ayat- ayat Alquran sebagai basis propagandanya selama berada di Insulinde. Hal ini menjadi ciri khas Misbach, sehingga ia tidak hanya dikenal sebagai aktivis pergerakan, tetapi juga seorang mubaligh. Insulinde afdeling sepanjang Pada tanggal 20 April 1919, Misbach menggambar kartun di Islam Bergerak yang isinya menyinggung kapitalis Belanda dan Pakubuwono X, yang menghisap para petani dan mempekerja-paksakan mereka. Akibatnya ia ditangkap pada tanggal 7 Mei 1919, kemudian ia dibebaskan pada 22 Oktober 1919. Misbach merupakan tokoh pergerakan Insulinde, Misbach selalu mengutip ayat- ayat Alquran sebagai basis propagandanya selama berada di Insulinde. Hal ini menjadi ciri khas Misbach, sehingga ia tidak hanya dikenal sebagai aktivis pergerakan, tetapi juga seorang mubaligh. Insulinde afdeling sepanjang

Misbach aktif dalam gerakan-gerakan mobilisir rakyat, terutama petani dan buruh. Keterlibatannya memberikan nuansa tersendiri, karena ia dikenal sebagai orang yang tetap teguh menyampaikan dalil-dalil Alquran dalam ranah perjuangannya. Misbach lebih memilih organisasi tempat ia berjuang, berdasar pada pola geraknya. Itulah sebabnya ia tidak lagi aktif di Muhammadiyah serta SI yang dipandangnya terlalu kooperatif dan lunak terhadap pemerintah, dan memilih untuk bergabung dengan PKI yang lebih revolusioner dalam memperjuangkan hak rakyat. Bahkan Misbach mengidentikkan perjuangan muslim progresif sebagai “Islam Sejati”. Karena di dalam Islam terdapat anjuran untuk menegakkan keadilan, kebenaran, kemanusiaan dan sebagainya, yang harus diterapkan melalui politik dan sosial. Misbach memperjuangkan semangat religius untuk membebaskan rakyat dari ketertindasan. Perlawanan yang mereka lakukan dapat disebut sebagai gerakan semiperiferal, yaitu perlawanan yang berada di daerah-daerah perbatasan dan memiliki kaitan dengan keraton.

Menurut Suhartono (1991: 92-93) dalam penanganan gerakan radikal, ada beberapa solusi yang dilakukan, yaitu kebanyakan para pemimpin dan pengikut gerakan akan mendapat hukuman yaitu dibuang ke luar Jawa, meskipun itu masih anggota kerajaan sendiri. Pada bulan Oktober 1920, Misbach dijatuhi hukuman dua tahun oleh pengadilan kolonial dan pada bulan Desember 1920, Dr. Tjipto Mangunkusumo dijatuhi hukuman yaitu dibuang keluar Vorstenlanden. Dengan ditindaknya dua orang tokoh tersebut berakhirlah gerakan radikal di Surakarta tahun 1920 (Suhartono, 1991:87-88). Selain itu, juga digunakannya cara ronda malam untuk mengatasi kerusuhan yang terjadi, tetapi juga tidak berhasil. Kemudian residen membentuk sebuah asisten residen di beberapa wilayah kekuasaan residen, hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan oleh residen melalui kepanjangan tangan asisten residen, dan pemerintah kolonial ataupun kerajaan selalu menggunakan cara kekerasan dalam penyelesaian gerakan Menurut Suhartono (1991: 92-93) dalam penanganan gerakan radikal, ada beberapa solusi yang dilakukan, yaitu kebanyakan para pemimpin dan pengikut gerakan akan mendapat hukuman yaitu dibuang ke luar Jawa, meskipun itu masih anggota kerajaan sendiri. Pada bulan Oktober 1920, Misbach dijatuhi hukuman dua tahun oleh pengadilan kolonial dan pada bulan Desember 1920, Dr. Tjipto Mangunkusumo dijatuhi hukuman yaitu dibuang keluar Vorstenlanden. Dengan ditindaknya dua orang tokoh tersebut berakhirlah gerakan radikal di Surakarta tahun 1920 (Suhartono, 1991:87-88). Selain itu, juga digunakannya cara ronda malam untuk mengatasi kerusuhan yang terjadi, tetapi juga tidak berhasil. Kemudian residen membentuk sebuah asisten residen di beberapa wilayah kekuasaan residen, hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan oleh residen melalui kepanjangan tangan asisten residen, dan pemerintah kolonial ataupun kerajaan selalu menggunakan cara kekerasan dalam penyelesaian gerakan

terhadap pemerintah kolonial. Politik simbol tersebut disebut sebagai gerakan politik Islam, karena inti gerakan politik adalah mengokohkan nilai- nilai keagamaan melalui pendidikan Islam. PB X memberi doronga n kepada kaum intelektual untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap kolonialisme melalui pendirian organisasi sosial dan politik, dan mendanai terbitnya surat kabar, seperti Bromartani dan Timboel. Surat kabar menjadi alat untuk mengekspresikan pemikiran kebangsaan, membentuk opini masyarakat, dan sarana untuk menyampaikan kritik tajam terhadap pemerintah kolonial (Hermanu, 2010: 75).