Ideologi Islam Dijadikan Pendorong Gerakan Politik Islam

B. Ideologi Islam Dijadikan Pendorong Gerakan Politik Islam

di Surakarta

Menurut Weber yang dikutip oleh A. S. Maarif (1992:23), mengemukakan fungsi agama, yang secara garis besar berfungsi sebagai alat legitimasi. Setelah suatu otoritas dimiliki oleh sekelompok kaum elite, maka kemudian kaum elite ini menggunakan sistem simbol yang ada, misalnya agama untuk mempertahankan kekuasaannya. Agama juga digunakan sebagai penjelas terhadap situasi kritis. Situasi kritis itu terjadi apabila realitas di masyarakat berada pada kondisi yang jauh dari tatanan yang harmonis, dan tidak dapat dijelaskan oleh pengetahuan lain. Situasi kritis ini disebut sebagai situasi marginal, yang bisa saja berupa pengalaman individu, kelompok sosial atau bahkan suatu masyarakat yang dalam waktu kritis menghadapi situasi ini secara bersama-sama. Seperti PB X yang memanfaatkan Islam sebagai kekuatan politik atau alat politik untuk menghadapi hegemoni politik kolonial yang menekan rakyat bawah.

Ideologi Islam digunakan untuk memobilisasi massa, dan Islam sebagai Ideologi Islam digunakan untuk memobilisasi massa, dan Islam sebagai

Menurut Clifford Geertz yang dikutip oleh Hermanu (2010:20), bahwa ideologi Islam berperan dalam membentuk solidaritas sosial yang berguna bagi kepentingan pergerakan kebangsaan, dan saluran-saluran untuk melampiaskan gerakan politik massa, dengan cara menampilkan simbol perlawanan secara kekerasan dan membangun jejaring politik maupun jejaring sosial yang berideologi sama, sehingga aksi-aksi perlawanan yang dilakukan dapat tepat sasaran. PB IX menempatkan pesantren sebagai jejaring politik, yang kemudian diperluas dengan kelompok-kelompok agama yang melakukan gerakan perlawanan terhadap hegemoni politik Belanda.

Islam sebagai suatu kriteria pengukur loyalitas dan dasar persatuan di Indonesia, merupakan hal yang penting karena berhubungan dengan berkembangnya kekuasaan Belanda ke seluruh tanah air, dan dapat dimengerti bahwa Belanda memandang Islam sebagai suatu kemungkinan ancaman terhadap kedudukan mereka (Deliar Noer, 1980:30). Pemerintah kolonial Belanda melakukan tekanan-tekanan terhadap masyarakat secara politik, ekonomi, dan kultural, karena secara konseptual Islam akan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan pemberdayaan diri.

1. Gerakan Politik Islam Di Surakarta

Saat Paku Buwono X memerintah di Kasunanan, ia berusaha membangun jejaring politik dan sosial antar elit politik untuk menghadapi pemerintah kolonial. PB X membangun sinergi dengan kaum intelektual, ulama, dan pengusaha batik Laweyan untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat. PB X memanfaatkan kaum intelektual dan pengusaha Muslim sebagai jejaring politik dan komunikasi politik untuk menggerakkan organisasi politik massa. Hal tersebut juga memberikan dorongan bagi elit istana lainnya untuk berpartisipasi dalam Saat Paku Buwono X memerintah di Kasunanan, ia berusaha membangun jejaring politik dan sosial antar elit politik untuk menghadapi pemerintah kolonial. PB X membangun sinergi dengan kaum intelektual, ulama, dan pengusaha batik Laweyan untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat. PB X memanfaatkan kaum intelektual dan pengusaha Muslim sebagai jejaring politik dan komunikasi politik untuk menggerakkan organisasi politik massa. Hal tersebut juga memberikan dorongan bagi elit istana lainnya untuk berpartisipasi dalam

Islam pun dipahami sebagai ideologi yang anti kolonialisme. Menurut Niccolo Machiavelli yang dikutip oleh Hermanu (2010: 29), penggunaan ideologi agama dalam menghadapi dominasi kolonial identik dengan penggunaan ideologi sebagai alat politik, yaitu untuk menumbuhkan harapan dan semangat masyarakat yang tertindas secara politis maupun ekonomi. Ideologi islam sangat berkepentingan dalam membangun moral dan sikap para penguasa, karena kekuasaan tanpa landasan agama tidak akan bertahan lama. Karena saat kekuasaan berhasil didapat, dan politisi meninggalkan etika dan moral, maka kekuasaan menjadi tidak berarti, oleh karena kekuasaan itu diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat bukannya kepentingan individu atau golongan.

Ideologi yang menambah kharisma pemimpin agama dan memperkuat semangat perjuangan melawan penjajah sebagai orang kafir ialah jihad. Elite birokrasi pribumi yang berkerja sama dengan penjajah juga dipandang hina di mata masyarakat. Dalam pergolakan sosial, ideologi perang sabilillah yang megobarkan semangat pemberontakan. Semangat perang tersebut dikobarkan dengan munculnya selebaran-selebaran yang mengajak untuk menggulingkan kekuasaan Belanda, dan muncul sebuah kesadaran akan realitas yang ada, yait u pemerintah Belanda merampok kekuasaan Sunan, dan mengeruk sumber-sumber alam Jawa untuk kepentingan mereka sendiri (Houben, 2002:483).

Pertahanan Islam terhadap penetrasi barat melalui sikap kolonialnya, tidak lepas dari perhatian orang-orang Indonesia Muslim. Jumlah orang-orang yang Pertahanan Islam terhadap penetrasi barat melalui sikap kolonialnya, tidak lepas dari perhatian orang-orang Indonesia Muslim. Jumlah orang-orang yang

Kesadaran politik masyarakat Muslim di pedesaan yang dibangkitkan oleh ulama dan pesantren memacu mereka untuk melakukan gerakan protes menentang

diskriminasi dan ketidakadilan dalam pengelolaan tanah lungguh di Vorstenlanden . Gerakan protes yang dilakukan menggunakan ideologi Islam, karena dinamika perluasan pendidikan makin kokoh seiring dengan banyaknya masyarakat Muslim yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Mereka melakukan komunikasi politik dengan haji-haji di seluruh dunia, sehingga membuka pemikiran politik mereka. Pendirian organisasi-organisasi Muslim merupakan pencerminan dari keengganan para pendirinya untuk tetap tertinggal dari kemajuan yang dicapai oleh orang-orang barat, serta prestasi yang dicapai oleh orang-orang Cina yang telah dapat berhasil menegakkan sebuah organisasi sosial.

Islam politik adalah sebuah paradigma, pandangan, sikap mendasar dan tingkah laku politik baku organisasi-organisasi dan para politisi Islam yang tersesuaikan di dalam struktur hubungan tak seimbang dengan wajah kekuatan barat. Sebab hanya dengan poltiiklah jalan bagi artikulasi diri terbuka bagi kalangan Islam. Di bawah pengaruh kekuatan barat yang hegemonic secara politik, militer, dan ekonomi, serta budaya, kekuatan Islam yang laten dan tidak pernah mau terdudukkan dalam posisi tersudut, lebih mentransformasikan ke dalam bentuk ideologi politik dengan menggunakan simbol-simbol kegamaan (Fachry Ali, 2004:320).

Munculnya gerakan politik Islam merupakan gejala bahwa kekuatan Islam dapat dibangkitkan untuk menghadapi kolonialisme Belanda. Seperti yang

Berdirinya madrasah membangkitkan kemandirian masyarakat Muslim, dan merupakan simbol perlawanan untuk meraih keseimbangan sosial, ekonomi, dan politik (Hermanu, 2010: 13).

Pendirian organisasi-organisasi Muslim merupakan pencerminan dari kengganan para pendirinya untuk tetap tertinggal dari kemajuan yang dicapai oleh orang-orang barat, serta prestasi yang dicapai oleh orang-orang Cina yang telah dapat berhasil meneggakkan sebuah organisasi sosial di kalangan mereka, seperti pendirian SDI yang kemudian menjadi SI di Surakarta. SI telah mencerminkan

suatu usaha sadar dari pemimpin-pemimpinnya untuk menyebarkan dan menegakkan cita-cita nasionalisme, dengan Islam seba gai ajaran yang dianggap dasar dalam pemikiran tersebut. Sifat politik dari organisasi ini dirumuskan dalam keterangan pokok (Asas), yang mengemukakan kepercayaan SI, bahwa agama Islam itu membuka rasa pikiran perihal persamaan derajat manusia sambil menjunjung tinggi kepada kuasa negeri dan Islam untuk mendidik budi pekertinya rakyat (Deliar Noer, 1980: 36).

Kekuatan SI terletak pada basis kekuatan ulama, karena dalam Islam ada sebuah amanat bahwa umat Islam harus berdagang, maka dari situ kekuatan Islam terbentuk. Dengan meningkatnya pendidikan dan ekonomi para pedagang Muslim, maka secara ekonomi, orang Muslim termasuk golongan yang berpengaruh atau sejajar dengan pedagang Cina, walaupun dalam struktur social Eropa masih termasuk golongan bawah.

Gerakan politik Islam mengokohkan akar-akar keagamaan yang tersurat dalam pendirian lembaga pendidikan Islam. Secara simbolik madrasah menjadi tempat perlawanan Muslim terhadap kebijakan publik yang tidak berdasarkan pada etika dan moral politik. Gerakan politik Islam di keraton Surakarta lebih menonjolkan identitas Islam, karena dipandang berkaitan dengan martabat dan harga diri Muslim.

Sikap Belanda dalam menghadapi munculnya Pan-Islamisme, sehingga merasa khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam yang fanatik.

pengaruh Islam. Politik Islam yang dilakukan pemerintah kolonial yaitu menerapkan kebijaksanaan pemerintah kolonial dalam mengelola masalah- masalah Islam di Indonesia (Aqib Suminto, 1986: 9-10).

Tarekat yang menjadi katalisator untuk mempersatukan umat Muslim, dianggap sebagai aliran yang keras oleh pemerintah Belanda, sehingga banyak orang-orang tarekat dibuang dan dilakukan pengawasan yang ketat sekali, dengan pelarangan tarekat oleh kepala pribumi (K. A. Steenbrink, 1984: 59).