DAN PARTAI POLITIK

12 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Aspek

aturan bahwa hanya parpol-parpol yang mencapai ambang suara utama 4% lah

perilaku individu

yang dapat mengakses pendanaan pemilu.

merupakan hal

Secara umum karena sistem pemerintahan Australia adalah parlementer

penting sebagai

maka terdapat kode etik khusus yang dimiliki oleh anggota parlemen 9 , dan juga

basis bagi

diadopsi oleh parpol sebagai organisasi publik. 10

kode etik. Hal

Beberapa prinsip umum terkait kode etik di Australia baik untuk parlemen

ini dijabarkan

dan/atau politisi adalah sebagai berikut:

dalam The House

• Hukum atau aturan harus ada untuk mengevaluasi aksi atau tindakan dan

Magazine,

bukan bersifat ad hoc;

sebuah terbitan

• Aturan-aturan atau kode etik itu harus dipublikasikan;

khusus bagi

• Aturan tidak berlaku surut;

anggota

• Aturan harus mudah dipahami;

parlemen.

• Aturan dalam kode etik tidak boleh kontradiktif satu dengan yang lainnya; • Aturan harus dibuat dalam rangka menjalankan amanat rakyat untuk

dipatuhi bersama; • Aturan harus bersifat stabil dan berlaku untuk jangka waktu yang

panjang; dan • Aturan diumumkan dengan persetujuan pihak yang berwenang saat itu.

Sedangkan, dalam beberapa sumber lainnya, Austraia juga mengeksplisitkan apa tujuan dari kode etik itu. Beberapa di antaranya adalah:

• Mendorong rasa saling percaya terhadap para anggota parlemen mengenai

sistem demokrasi parlementer; • Mendukung berfungsinya parlemen; • Menghormati operasional dan status parlemen sebagai organisasi; • Mampu menerima penghormatan, dan dalam kenyataannya harus bekerja

dalam cara sehingga publik akan fokus pada kebijakan yang dihasilkan; • Menghindari aspek litigasi mengenai kekuasaan dari kode etik dan

interpretasi terhadapnya; • Meningkatkan posisi parlemen sebagai pembentuk hukum dan sebagai penyeimbang eksekutif yang terbuka untuk publik, tetapi juga membolehkan perlindungan privasi;

• Membolehkan penerimaan dan pengetahuan tentang kode etik bagi para

anggota parlemen dan warga negara; • Mempunyai mekanisme pelaksanaan keputusan publik yang stabil dan

fair; • Sesuai dengan budaya disiplin yang ada; dan • Bersedia diatur secara administratif

Di Australia, anggota DPR dan Senat yang memegang jabatan di parlemen memiliki tugas untuk melaksanakan tanggung jawab tambahan mereka dengan ketaatan pada prinsip-prinsip ini:

9 . http://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/ pubs/rp/rp9899/99rp02 diakses 18 Agustus 2016 10 http://www.elections.ca/res/rec/tech/cod/pdf/code_of_ethics_e.pdf diakses 18 Agustus 2016.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

 Mereka harus mempunyai perhatian khusus pada aspek yang mencakup

Anggota harus

pengaruh dari, dan penggunaan informasi, yang diperoleh dari tugas ikut tes kepatutan, mereka sebagai pejabat di Parlemen; dan

merawat hasilnya,

 Mereka juga harus bertanggung jawab atas tindakan administratif mereka

dan setiap saat

dan perilaku mereka sejauh itu mempengaruhi tugas publik.

harus berusaha untuk mencapai

Aspek perilaku individu merupakan hal penting sebagai basis bagi kode standar praktik etik. Hal ini dijabarkan dalam The House Magazine, sebuah terbitan khusus bagi

tertinggi dalam

anggota parlemen. Beberapa prinsip umum yang diadopsi dalam kode etik bagi

kaitannya dengan politisi/anggota parlemen/ parpol di Australia antara lain: 11 tugas dan tanggung

jawab mereka

• Menghormati Hukum dan Sistem Pemerintahan. Anggota harus menjunjung

dalam kapasitas

tinggi hukum (Queensland dan Australia), dan tidak akan, tanpa alasan,

resmi mereka

menjadi pihak pelanggar, melakukan penggelapan, atau subversi. Anggota

sebagai anggota

harus bertindak dengan penghormatan terhadap lembaga-lembaga baik parlemen atau DPR dan pemerintah lokal, dan harus memastikan bahwa perilaku mereka,

anggota dari

baik dalam kapasitas pribadi atau resmi, tidak membawa nama DPR atau

anggota otoritas

pemerintah daerah ke dalam laku yang mencerminkan kehinaan, atau lokal dan senator. kerusakan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan;

• Menghormati Orang. Anggota harus memperlakukan semua anggota parlemen lainnya, anggota pejabat publik dengan jujur dan adil, dan dengan memperhatikan hak-hak mereka, tugas dan kewajiban, dan akan selalu bertindak responsif dalam pelaksanaan tugas publik mereka;

• Diligence/kepatutan. Anggota harus ikut tes kepatutan, merawat hasilnya, dan setiap saat harus berusaha untuk mencapai standar praktik tertinggi dalam kaitannya dengan tugas dan tanggung jawab mereka dalam kapasitas resmi mereka sebagai anggota parlemen atau anggota dari anggota otoritas lokal dan senator. Dalam menjalankan tugas resmi mereka harus mengutamakan kepatutan dari kemampuan mereka, menggunakan sumber daya publik secara ekonomis dan hanya untuk kepentingan publik;

• Menghormati Martabat dan Privasi Lainnya. Anggota parlemen dan Para anggota Senator harus memiliki dan memperhatikan hak-hak dan kewajiban parlemen dan semua warga Australia. Mereka harus menghormati privasi orang lain dan

senator harus

menghindari diskriminasi yang tidak dibenarkan atau ilegal. Mereka harus

memastikan

menjaga informasi yang diperoleh sesuai dengan tugas pokok dan fungsi

bahwa perilaku

dalam menjalankan tugas mereka dan secara bertanggung jawab menerima

individu mereka

hak-hak mereka sebagai Anggota DPR dan Senator;

konsisten

• Integritas. .Anggota dan Senator harus setiap saat bertindak jujur, berusaha

dengan integritas

untuk menjaga kepercayaan publik karena ditempatkan di dalamnya, dan

dan marwah

mau memajukan kesejahteraan umum rakyat Australia;

Parlemen.

• Mengutamakan Kepentingan Umum. Anggota parlemen dan senator harus mendasarkan perilaku mereka pada pertimbangan kepentingan publik, menghindari konflik antara kepentingan pribadi dan persyaratan tugas umum, dan menyelesaikan konflik apa pun, nyata atau jelas, cepat dan mendukung kepentingan publik;

Lihat The House Magazine, 5 July 1995, hlm. 26. 11 Lihat

14 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Jerman

• Menjalankan kekuasaan dengan proporsional. Para anggota parlemen

mempunyai

dan senator harus menjalankan kekuasaan mereka yang diperoleh dari

skema yang

jabatannya untuk tujuan mengutamakan kepentingan publik semata.

rigid/kaku

Mereka tidak boleh mendapat secara tidak pantas manfaat atau keuntungan

dalam mengatur

material apapun baik untuk diri sendiri atau orang lain, atau memengaruhi

kode etik baik

secara tidak pantas, setiap proses yang dilakukan oleh para pejabat atau

bagi anggota

anggota masyarakat; dan

parlemen,

• Etika individu. Para anggota parlemen dan senator harus memastikan

eksekutif di

bahwa perilaku individu mereka konsisten dengan integritas dan marwah

pemerintahan

Parlemen.

dan parpol. Semua hal yang diperkirakan akan

Jerman, salah satu negara “Old Europe” yang secara tradisional memiliki

terkait dengan

akar politik identitas yang kuat dalam tradisi partai politiknya mempunyai sumber-

sumber kode etik yang beragam sesuai dengan filsafat yang berkembang dalam

sorotan publik

mendapatkan

tataran masyarakat.

posisi pada

Sebagai bangsa yang masa lalunya terkait dengan perkembangan kekuatan

mekanisme

politik Partai NAZI yang nasionalistik, Jerman mampu tetap bertahan setelah kalah

oleh Sekutu dan segera membuat permintaan maaf atas kejahatan yang dilakukan melalui kode etik. 12 NAZI. Jerman juga memiliki sejarah Unifikasi Jerman sebagai implikasi dari

pengaturan

Secara umum,

runtuhya komunisme di Uni Soviet dan melunturnya konfrontasi Barat dan Timur

prinsip-prinsip

(di Eropa). Hal ini lebih lanjut memengaruhi kebijakan dalam negeri terutama

kode etik telah

terkait dengan imigran dan secara khusus, selain dalam relasinya dengan struktur

dituangkan oleh

kekuasaan politik di Jerman.

sebuah “Act on

Sejak tahun 1945, tiga partai telah mendominasi politik Jerman: Uni

Political Parties “

Demokratik Kristen (CDU), dengan partai Uni Sosial Kristen (CSU) di haluan

(15 Maret 2009)

kanan, dan Partai Sosial Demokrat (SPD) di haluan kiri. Free Democratic Party (FDP), yang jauh lebih kecil, partai liberal, akan sering masuk ke dalam koalisi dengan baik CDU / CSU atau SPD. Pada 1980-an, Hijau muncul sebagai kekuatan politik. Mereka telah menjadi mitra junior dalam pemerintah yang dipimpin SPD tahun 1998 dan 2002.

Jerman mempunyai skema yang rigid/kaku dalam mengatur kode etik baik bagi anggota parlemen, eksekutif di pemerintahan dan parpol. Semua hal yang diperkirakan akan terkait dengan sorotan publik mendapatkan posisi pada mekanisme pengaturan melalui kode etik. Secara umum, prinsip-prinsip kode etik telah dituangkan oleh sebuah “Act on Political Parties “ (15 Maret 2009), yang diterjemahkan oleh Kantor Federal Kementerian dalam Negeri. 13

David Wood, The Step Back, Ethic and Politics After Deconstruction, (New York: State University 12 David Wood, of New York Press Albany, 2005), hlm. 3. (Political Parties Act) (Parteiengesetz – PartG) [of 24 July 1967] Dalam versi yang dipublikasikan 13 (Political Parties Act) pada 31 Januari 1994 (Federal Law Gazette I 1994, hlm. 149), amandemen terakhir dilakukan oleh Ninth Act amending the Political Parties Act, 22 Desember 2004 (Federal Law Gazette I 2004), hlm. 3673.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Prinsip umum Kode Etik di Jerman

 Demokratis  Taat hukum/konstitusi  Berkontribusi pada pembangunan kehidupan publik dengan:

 Memengaruhi/membangun opini publik;  Mendorong & mempercepat pendidikan kewargaan;  Mempromosikan partisipasi aktif WN dalam politik;  Mendidik warga negara dalam peran di bidang publik;  Berpartisipasi dalam pemilu 2 di negara Federal, dan tingkat lokal ;  Mempengaruhi proses politik dalam kabinet dan parlemen;  Berkontribusi pada pembuatan keputusan publik dan proses pembuatan kebijakan; dan  Menjamin keberlanjutan relasi antara masyarakat dan lembaga-lembaga negara.

 Menggunakan dana untuk menjalankan fungsi-fungsi parpol sesuai dengan Hukum.  Menyatakan dengan jelas program-program politik.  Nominasi kandidat:

 Harus dilakukan dalam bilik suara rahasia  Nominasi diatur oleh hukum pemilu dan sesuai dengan status parpol yang bersangkutan.

 Menggunakan dana publik  Integritas  Transparansi/keterbukaan  Taat pada hukum  Akuntabel

Beberapa di antara prinsip-prinsip umum kode etik parpol di Jerman yang mencakup kepentingan umum/status konstitusi dan fungsi parpol antara lain sbb:

Parpol adalah

• Parpol adalah bagian integral dari prinsip demokrasi dan dipersyarakatkan

bagian integral

oleh Konstitusi. Fungsi publik parpol diakui oleh UUD;

dari prinsip

• Parpol berpartisipasi dalam membangun perspektif politik di semua demokrasi dan kehidupan publik terutama dengan:

dipersyarakatkan

 memberi pengaruh dalam membangun opini publik;

oleh Konstitusi.

 mendorong dan mempercepat pendidikan kewargaan;

Fungsi publik

 mempromosikan partisipasi aktif warga negara dalam politik;

parpol diakui oleh

 mendidik warga negara dalam peran di bidang publik; berpartisipasi

UUD.

dalam pemilu2 di negara Federal dan tingkat lokal dengan menominasikan para kandidat;

 memengaruhi proses politik dalam kabinet dan parlemen;  berkontribusi pada tujuan politik yang telah dikembangkan untuk

pembuatan keputusan publik dan proses pembuatan kebijakan; dan  menjamin keberlanjutan relasi antara masyarakat dan lembaga- Parpol harus

lembaga negara. 14

menggunakan dana

• Parpol harus menggunakan dana mereka khusus untuk menjalankan mereka khusus

untuk menjalankan

fungsi-fungsi parpol sesuai dengan hukum dasar dari ketentuan yang

fungsi-fungsi parpol

ada; • Parpol harus menyatakan dengan jelas tujuan-tujuannya dalam program- sesuai dengan

hukum dasar dari

program politik; • Nominasi kandidat: ketentuan yang

 Harus dilakukan dalam bilik suara rahasia ada.  Nominasi diatur oleh hukum pemilu dan sesuai dengan status

parpol yang bersangkutan.

Act on Political Parties (Political Parties Act) (Parteiengesetz – PartG) [of 24 July 1967]. In the 14 Act on Political Parties (Political Parties Act) version published on 31 January 1994 (Federal Law Gazette I 1994, p. 149), last amended by the Ninth Act amending the Political Parties Act, of 22 December 2004 (Federal Law Gazette I 2004), hlm. 3673.

16 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

• Dana publik

 Parpol harus menerima dana sebagai bagian dari pembiayaan keuangan dari aktivitas-aktivitas yang tercantum dalam UU yang ada.

The Quebec Liberal

 Kriteria alokasi dana publik haruslah merupakan proporsi dari

Party (QLP) Code of

suara yang dimenangkan oleh sebuah parpol di pemilu-pemilu

Ethics and Conduct

Eropa, Bundestag dan Landtag [State parliament]; jumlah total dari

dibagi menjadi dua

kewajiban keanggotaan dan kontribusi dari para pejabat publik yang

bagian. Bagian

terpilih, serta jumlah dari donasi yang diterima.

pertama berkaitan

• Integritas: Terdaftar secara sah dan dicatat dalam statuta.

dengan etik dan

• Transparansi/keterbukaan

penetapan empat

 Melaporkan dana yang dimiliki, sumber dana, dan penggunaannya.

prinsip moral utama

 Menjelaskan dengan detil nama parpol, program dan pengurusnya.

yang menjadi

• Taat pada hukum

panduan perilaku

 Tunduk pada perundang-undangan yang berlaku di Jerman.

(code of conduct) dari

• Akuntabel

beragam orang yang

 Audit reguler dilakukan pada keuangan parpol.

memegang posisi dalam QLP. Bagian

Kanada. Bagaimana dengan Kanada? Partai-partai politik di Kanada telah

kedua berkaitan

mengadopsi kode etik bagi politisi tanpa disarankan oleh otoritas elektoral.

dengan perilaku dan

Green Party Canada, the Quebec Liberal Party dan the Progressive Conservative

penetapan sejumlah

Association of Alberta merupakan partai-partai yang melakukan inisiasi kode etik

aturan dan kewajiban

tersebut dalam konteks Kanada.

yang harus dipandu

The Quebec Liberal Party (QLP) Code of Ethics and Conduct dibagi menjadi

dalam lima situasi

dua bagian. Bagian pertama berkaitan dengan etik dan penetapan empat prinsip

khusus

moral utama yang menjadi panduan perilaku (code of conduct) dari beragam orang yang memegang posisi dalam QLP. Bagian kedua berkaitan dengan perilaku dan penetapan sejumlah aturan dan kewajiban yang harus dipandu dalam lima situasi khusus, yakni: konflik kepentingan; penyalahgunaan kekuasaan; pemberian hadiah dan gratifikasi; penggunaan properti QLP dan negara; sebelum menjabat dan sesudah menjabat.

Prinsip Umum Kode Etik di Kanada

 Kode etik politisi dari Quebec Liberal Party mengikuti empat prinsip pedoman: 1) Kejujuran dan ketaatan pada hukum, 2) Menghormati individu, 3) Integritas dan menghormati institusi, 4) Akuntabilitas dan Tanggung jawab  Kode etik dan panduan perilaku dalam proses politik di Manitoba disusun berdasarkan prinsip-prinsip demokratis:  Hak untuk memilih; kerahasiaan memilih;  Akses untuk memilih;  Hak menjadi kandidat;  Organisasi partai politik;  Administrasi pemilu yang independen;  Bebas dari intimidasi dalam melaksanakan hak-hak politik;  Kejujuran dan kebenaran dalam kampanye politik;  Transparansi dan pembukaan dana politik kepada publik secara  Akurat

Dalam konteks kode etik, individu yang memegang posisi dalam QLP setuju bahwa keputusan dan tindakan mereka akan selalu mengikuti empat prinsip

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

pedoman: (1) kejujuran dan ketaatan pada hukum; (2) menghormati individu; (3)

Sebagai salah satu integritas dan menghormati institusi; dan (4) akuntabilitas dan tanggung jawab. 15 negara demokrasi

Sementara itu, konsep kode etik bagi partai politik dan konstituen jarang di Asia Timur, didiskusikan di Kanada. Hanya di Manitoba sebagai satu-satunya yurisdiksi yang

Korea Selatan juga

mengadopsi kode etik tersebut. Manitoba mengadopsi “A Shared Code of Ethical

telah menyusun

Conduct” secara sukarela di mana seluruh basis partai mengikuti rekomendasi

panduan perilaku

dari pengadilan hingga terjadi skandal kecurangan dalam pemilu provinsi pada

(code of conduct)

bagi pejabat

Kode etik dan panduan perilaku dalam proses politik di Manitoba publik. Berbeda disusun berdasarkan prinsip-prinsip demokratis, antara lain hak untuk memilih;

dengan Kanada,

kerahasiaan memilih; akses untuk memilih; hak menjadi kandidat; organisasi yang memisahkan partai politik; administrasi pemilu yang independen; bebas dari intimidasi dalam

istilah kode etik dan

melaksanakan hak-hak politik; kejujuran dan kebenaran dalam kampanye politik;

panduan perilaku, dan transparansi dan pembukaan dana politik kepada publik secara akurat. 16 Korea Selatan

Komisi Pemilu Manitoba memainkan peran penting dalam mengembangkan

menggabungkan

kode dan menjamin komitmen dari seluruh partai. Rancangan kode etik disiapkan

kedua unsur

oleh Elections Manitoba dan ditelaah oleh partai-partai. Berdasarkan masukan tersebut dalam dari partai-partai politik, kode etik yang diajukan kemudian direvisi. Ketika satu

istilah panduan

atau dua partai menyetujui rancangan tersebut, terdapat dorongan dari partai lain

perilaku.

untuk menyetujuinya. Kode tersebut memberikan efek, di mana setiap partai politik memantau ketentuan tersebut. Dengan menyetujui untuk melekatkan diri dengan kode tersebut, seluruh partai dan sejumlah aktor dalam elektoral dan proses politik yang lebih luas berkomitmen untuk bertindak sesuai kode etik dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan publik dalam integritas partai politik. 17

Beberapa bagian dalam kode Manitoba menegaskan bahwa aplikasinya melampaui proses kampanye, yakni termasuk proses politik yang lebih umum. Para penyusun kode Manitoba meyakini bahwa hal tersebut bersifat artifisial dalam era kampanye permanen untuk menggambarkan hubungan antara periode kampanye dan non-kampanye. Kode Manitoba dilaksanakan dan ditegakkan oleh partai-partai, dan tidak ada laporan publik mengenai bagaimana mereka melatih anggota partai mengenai ketentuan tersebut, menerima keluhan atau laporan yang berkaitan dengan pelanggaran. Tidak ada juga evaluasi mengenai dampak, baik positif maupun negatif dari kode tersebut dalam sistem politik Manitoba.

Korea Selatan. Sebagai salah satu negara demokrasi di Asia Timur, Korea Selatan juga telah menyusun panduan perilaku (code of conduct) bagi pejabat publik. Berbeda dengan Kanada yang memisahkan istilah kode etik dan panduan perilaku, Korea Selatan menggabungkan kedua unsur tersebut dalam istilah panduan perilaku. Panduan perilaku ini merepresentasikan standar etik dan integritas di sektor pelayanan publik. Panduan Perilaku ini berlaku bagi pejabat pemerintah di tingkat lokal dan nasional dan disahkan sejak 18 Februari 2003 melalui dekrit presiden dan mulai diberlakukan pada 19 Mei 2003. Berdasarkan panduan perilaku tersebut, lembaga-lembaga pemerintah di tingkat pusat dan lokal. Mereka kemudian menyusun panduan perilaku untuk masing-masing (pemerintah pusat dan lokal) yang juga diberlakukan pada 19 Mei 2003.

“Code of Ethics and Conduct Quebec Liberal Party”, Parti Liberal du Quebec, dalam https://www. 15 “Code of Ethics and Conduct Quebec Liberal Party”, plq.org/files/documents/03_code_of_ethics.pdf, diunduh pada 18 Mei 2016. 16 Ibid. Elections Manitoba, “Shared Code of Ethical Conduct”, 1999. 17 Elections Manitoba, “Shared Code of Ethical Conduct”, 1999.

18 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Prinsip Umum Kode Etik di Korea Selatan

Prinsip-prinsip umum dalam panduan perilaku bagi pejabat publik:

1. Pelaksanaan kinerja secara adil (Fair Performance of Duties), 2. Larangan memberi dan menerima keuntungan secara tidak wajar 3. (Prohibition of Giving and Receiving Unfair Profits), 4. Pembentukan iklim pelayanan sipil yang sehat (Creation of 5. Healthy Climate of Civil Service)

India juga menggunakan

Tujuan penyusunan “panduan perilaku bagi pejabat publik” ini adalah

istilah model panduan

untuk memberi preskripsi tentang standar nilai dan perilaku yang diharapkan

perilaku (model code of

dapat diterapkan oleh pejabat publik ketika mereka dihadapkan pada konflik

conduct) untuk mengatur

kepentingan selama memegang jabatan. Dalam rangka memenuhi tuntutan publik

standar etik bagi partai

bahwa pejabat pemerintah harus terikat dengan standar etik, maka Komisi Anti-

politik dan kandidat.

Korupsi dan Hak-hak Sipil Korea (Anti-Corruption and Civil Rights/ACRC) juga

Model panduan perilaku

menyusun dan mengimplementasikan “Panduan perilaku untuk Anggota Dewan

yang merupakan panduan

Lokal” yang disahkan melalui Dekrit Presiden yang terpisah dari “Panduan

bagi partai politik dan

Perilaku bagi Pejabat Publik” pada 22 November 2010 dan mulai berlaku pada 3

kandidat ini adalah

Februari 2011. Panduan perilaku bagi pejabat publik dan anggota dewan lokal ini

seperangkat norma yang

disusun setelah terlebih dahulu dikeluarkan UU Anti-Korupsi dan pembentukan

telah dikembangkan

ACRC pada 24 Juli 2001. Adapun prinsip-prinsip umum dalam penyusunan

melalui konsensus partai-

panduan perilaku tersebut antara lain: 91) Pelaksanaan kinerja secara adil (Fair

partai politik yang telah

Performance of Duties); (2) larangan memberi dan menerima keuntungan

berkomitmen untuk

secara tidak wajar ( Prohibition of Giving and Receiving Unfair Profits); dan (3)

terikat pada prinsip-

penciptaan iklim pelayanan sipil yang sehat (Creation of Healthy Climate of Civil

prinsip yang tercantum

Service). 18

dalam panduan dan

India. Seperti halnya Korea Selatan, India juga menggunakan istilah model

juga mengikat mereka

panduan perilaku (model code of conduct) untuk mengatur standar etik bagi partai

untuk menghormati dan

politik dan kandidat. Model panduan perilaku yang merupakan panduan bagi

menjalankannya.

partai politik dan kandidat ini adalah seperangkat norma yang telah dikembangkan melalui konsensus partai-partai politik yang telah berkomitmen untuk terikat pada prinsip-prinsip yang tercantum dalam panduan dan juga mengikat mereka untuk menghormati dan menjalankannya.

Beberapa prinsip umum dari model panduan perilaku tersebut antara lain :

Amerika Serikat

1) inklusif dan non-diskriminasi, 2) profesional, 3) integritas, 4) keadilan. Model

telah menyusun

panduan perilaku ini diberlakukan sejak jadwal pemilu diumumkan oleh Komisi

Code of Official 19 Pemilu India hingga masa pemilu usai dan berlaku di seluruh India. Conduct (House

Rule XXIV, 1968, Prinsip Umum Kode Etik di India

 Prinsip umum dari model panduan perilaku bagi partai politik dan politisi antara diamandemen pada

lain :

1992), yang menjadi

1) Inklusif dan non-diskriminasi,

2) Profesional, 3) Integritas,

panduan perilaku

anggota parlemen,

4) Keadilan.

pejabat di parlemen,  Model panduan perilaku ini diberlakukan sejak jadwal pemilu diumumkan oleh dan staf parlemen

Komisi Pemilu India hingga masa pemilu usai dan berlaku di seluruh India.

yang merefleksikan

Amerika Serikat. Sementara itu, DPR (House of Representative/HoR)

standar perilaku

Amerika Serikat telah lama mempraktikkan

Code of Official Conduct. Paling tidak

terpuji.

18“Thematic Compilation of Relevant Information Submitted by Republic of Korea, Article 8 “Thematic Compilation of Relevant Information Submitted by Republic of Korea, Article 8 UNCAC, Code of Conduct for Public Officials”,dalam http://www. diunduh pada 20 Juli 2016. “Model Code of Conduct for the Guidance of Political Parties and Candidates”, Election 19 “Model Code of Conduct for the Guidance of Political Parties and Candidates”, Election Commission of India, 2007, dalam http://www.eci.gov.in., diunduh pada 18 Mei 2016.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

sejak 1968, rule of ethics yang kemudian diamandemen pada 1992, telah menjadi panduan perilaku anggota parlemen, pejabat di parlemen, dan staf parlemen

sebagai suatu standar perilaku terpuji. 20 Prinsip-prinsip umum yang mendasari

penyusunan panduan perilaku tersebut difokuskan pada prinsip integritas, profesional, inklusif dan non-diskriminasi.

Prinsip Umum Kode Etik di Amerika

Prinsip-prinsip umum panduan perilaku anggota parlemen, pejabat di parlemen, dan staf parlemen difokuskan pada:

1) prinsip integritas, 2) profesional, 3) inklusif 4) non-diskriminasi.

II.2.3. Ruang Lingkup Kode Etik

Penyusunan kode etik dan panduan perilaku diatur dalam beberapa bentuk regulasi. Hal-hal yang dicakup dalam kode etik di Inggris antara lain terkait anggota parlemen, kode etik untuk PNS dan pejabat publik, partai politik, aspek- aspek kepemiluan termasuk mengatur para kelompok pendukung, dana kampanye, iklan kampanye.

Di Inggris,

Di Inggris, cakupan kode etik meliputi kode etik untuk pejabat publik cakupan kode etik termasuk PNS, politisi di parlemen, senat maupun partai politik. Bahkan di Inggris

meliputi kode etik

dan Wales juga diatur secara khusus kode atik (code of conduct) yang menyangkut

untuk pejabat

aspek kepemiluan, khususnya terkait postal ballot papers yang dikenakan pada

publik termasuk

parpol-parpol, pihak-pihak yang berkampanye, para kelompok/ tim pendukung.

PNS, politisi di

Di Australia yang menganut sistem parlementer cakupan kode etik parlemen, senat

dikenakan pada anggota parlemen (politisi) dan pejabat publik 21 , selain parpol

maupun partai

sebagai organisasi publik. 22 Di Jerman, sesuai dengan Akta Partai Politik 2014,

politik. Bahkan di

yang dicakup dalam kode etik partai-partai politik antara lain:

Inggris dan Wales

A. Aspek ketentuan umum, mencakup hal-hal sbb: aspek status konstitusi

juga diatur secara

dan fungsi-fungsi parpol; definisi parpol; nama parpol; kapasitas untuk

khusus kode atik

dituntut dan menuntut--sesuai dengan status hukum sebagai parpol; (code of conduct) perlakuan yang setara;

yang menyangkut

B. Aspek internal organisasi, mencakup hal-hal sbb: status dan program aspek kepemiluan partai; struktur organisasi hingga di level regional/cabang, badan-badan

khususnya terkait

yang ada di parpol, masalah mekanisme permusyawaratan, konvensi postal ballot partai; hak-hak anggota partai, komite eksekutif, komite umum partai,

papers.

komposisi pertemuan utusan parpol, tribunal (sidang) arbitrase partai, pembuatan keputusan dan perumusan kebijakan di dalam partai, dan aturan mengenai sanksi terhadap cabang partai di tingkat daerah (regional) berupa pembubaran (dissolution), pengecualian (exclusion), dan pemecatan dari jabatan ( removal from office);

C. Aspek nominasi kandidat-kandidat, mencakup: nominasi kandidat- kandidat untuk pemilu;

D. Aspek pendanaan publik, mencakup hal-hal sbb: prinsip-prinsip dan cakupan dana publik; aplikasi utk mendapat proporsi dana publik;

“Legislative Ethics: A Comparative Analysis”, Legislative Research Series Paper No.4, National 20 “Legislative Ethics: A Comparative Analysis”, Democratic Institute for International Affairs, 1999: 5. 21 . http://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/ pubs/rp/rp9899/99rp02 diakses 18 Agustus 2016 22 . http://www.elections.ca/res/rec/tech/cod/pdf/code_of_ethics_e.pdf diakses 18 Agustus 2016.

20 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

prosedur untuk menentukan besaran nominal yang dapat didanai; skema pembayaran sebagian; pembagian dana federal dan prosedur pembagian, dan audit oleh Bundes- rechnungshof (BRH - Germany’s Supreme Audit Institution); serta kompensasi keuangan intra partai politik;

E. Aspek akuntabilitas, mencakup hal-hal sbb: kewajiban untuk menyerahkan pernyataan data kekayaan pribadi; verifikasi terhadap

Kanada, ruang

pernyataan kepemilikan akun/ dana; wajib melaporkan jika ada data

lingkup yang diatur

kekayaan yg tidak akurat; pernyataan kepemilikan akun bank; donasi;

adalah politisi dan

definisi “pemasukan”/income; definisi “belanja publik” (public

partai politik. Misalnya,

expenditure); tipe-tipe pemasukan individu; pernyataan kepemilikan

The Quebec Liberal

aset/ liabilities (harta yg disimpan); audit terhadap pernyataan akun/

Party (QLP), menyusun

kekayaan; audit laporan dan audit sertifikat; tentang auditor;

kode etik dan panduan

F. Aspek prosedur terkait dengan ketidak-akuratan pernyataan harta

perilaku bagi politisi/

kekayaan, dan ketentuan pidana mencakup hal-hal sbb: reklaiming

anggota partainya yang

dana publik yang sudah diberikan pada parpol; ketidak-akuratan pada

memegang posisi sebagai

pernyataan tentang data kekayaan; dana-dana yang diperoleh secara

: 1) Anggota Majelis

ilegal/tidak diumumkan; ketentuan-ketentuan pidana; dan

Nasional; 2) anggota

G. Aspek pelarangan terhadap parpol-parpol yang melakukan tindakan

asosiasi komite eksekutif;

inskonstitusional, mencakup: pelarangan pada organisasi yang terafiliasi

3) anggota komisi

dengan parpol.

permanen dan Komite Eksekutif Partai; 3) staf politik Majelis Nasonal;

Dalam penyusunan kode etik dan panduan perilaku di Kanada, ruang lingkup

4) staf politik dalam

yang diatur adalah politisi dan partai politik. Misalnya, The Quebec Liberal Party

kantor kementerian;

(QLP) menyusun kode etik dan panduan perilaku bagi politisi/anggota partainya

5) staf politik dalam

yang memegang posisi sebagai: (1) Anggota Majelis Nasional; (2) Anggota

kantor pembantu Majelis

asosiasi komite eksekutif; (3) Anggota komisi permanen dan Komite Eksekutif

Nasional; 6) pegawai

Partai; 3) staf politik Majelis Nasonal; (4) Staf politik dalam kantor kementerian;

partai; 7) kandidat dalam

(5) Staf politik dalam kantor pembantu Majelis Nasional; (6) Pegawai partai; (7)

organisasi pemilu seorang kandidat; dan (9) individu yang memiliki sertifikat yang memberikan otoritas bagi mereka untuk berkontribusi. otoritas dalam organisasi 23

pemilu; 8) sukarelawan

Kandidat dalam pemilu; (8) Sukarelawan yang memegang posisi otoritas dalam

yang memegang posisi

pemilu seorang kandidat;

Sementara itu, kode etik dan panduan perilaku bagi partai politik di Manitoba,

8) individu yang

Kanada, diaplikasikan kepada seluruh partai politik dan kandidat independen yang

memiliki sertifikat yang

telah mendeklarasikan komitmen untuk memegang teguh panduan prinsip-prinsip

memberikan otoritas

dan aturan perilaku. Kode ini berlaku bagi seluruh anggota legislatif yang terpilih,

bagi mereka untuk

kandidat, individu yang berniat menjadi kandidat, asosiasi konstituen, individu

berkontribusi.

yang memegang jabatan publik, anggota partai, sukarelawan yang berasosiasi dengan partai politik, dan “vendors” dan suppliers” yang ikut berpartisipasi dalam proses elektoral. Kode ini dapat dimodifikasi melalui konsensus dari partai-partai politik yang mendeklarasikan komitmen mereka terhadap kode tersebut.

Sementara itu, panduan perilaku di India disusun untuk mengatur partai politik dan kandidat. Dalam panduan perilaku tersebut terdapat beberapa cakupan yang diatur antara lain: (1) Perilaku umum (general conduct); (2) Pertemuan (meetings); (3) Prosesi (procession); (4) Pemungutan suara (polling day); (5) Bilik

Code of Ethics and Conduct Quebec Liberal Party”, Parti Liberal du Quebec, dalam https://www. 23 Code of Ethics and Conduct Quebec Liberal Party”, plq.org/files/documents/03_code_of_ethics.pdf, diunduh pada 18 Mei 2016.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

suara (polling booth); (6) Pengamat (observers); dan (7) Partai yang berkuasa (party in power). 24

Di Korea Selatan, panduan perilaku disusun oleh Komisi Anti-Korupsi dan

Di Amerika

Hak-hak Sipil untuk mengatur politisi yang menjadi pejabat publik dan anggota

Serikat, Code of

dewan lokal (local council members). Dalam hal ini, pejabat publik yang dimaksud

Official Conduct

tidak hanya di tingkat pusat (kecuali pejabat publik di bawah Majelis Nasional,

disusun oleh

Pengadilan, Pengadilan Konstitusi, dan Komisi Pemilu Nasional), namun juga di

parlemen (House tingkat lokal. Dalam panduan perilaku tersebut yang dimaksud dengan: 25 of Representrative)

1. Duty-related party adalah individu (seorang pejabat publik yang bertindak

untuk mengatur

perilaku politisi

atas kapasitas pribadi) atau sebuah organisasi yang bisnisnya berhubungan

dan non-politisi

dengan tugas pejabat publik; dan

2. Duty-related public official adalah pejabat publik yang mendapat

yang bekerja di

parlemen.

keuntungan atau kerugian sebagai akibat langsung dari pelaksanaan tugas yang dilakukan pejabat publik lainnya.

Di Amerika Serikat, Code of Official Conduct disusun oleh parlemen (House of Representrative) untuk mengatur perilaku politisi dan non politisi yang bekerja di parlemen : anggota parlemen, pejabat parlemen, dan pegawai parlemen. Dalam panduan tersebut, yang dimaksud staf parlemen adalah individu yang gajinya dibayarkan oleh Kepala Staf Administrasi parlemen (the Chief Administrative Officer). Panduan ini juga mengatur beberapa hal seperti: larangan atas hadiah, konflik kepentingan, campur baur antara dana pribadi dan dana kampanye, serta

penggunaan sumber-sumber dana kantor yang tidak patut. 26

Negara

Ruang Lingkup

Amerika Serikat Di Amerika Serikat, Code of Official Conduct disusun oleh parlemen (House of Representrative) untuk mengatur perilaku politisi dan non politisi yang bekerja di parlemen : anggota parlemen, pejabat parlemen, dan pegawai parlemen.

India

 Panduan perilaku disusun untuk mengatur politisi yang menjadi pejabat publik dan

anggota dewan lokal (local council members).  Pejabat publik yang dimaksud tidak hanya di tingkat pusat (kecuali pejabat publik di bawah Majelis Nasional, Pengadilan, Pengadilan Konstitusi, dan Komisi Pemilu Nasional), namun juga di tingkat lokal.

Korea Selatan Panduan perilaku bagi partai politik dan politisi mencakup :

1) perilaku umum (general conduct), 2) pertemuan (meetings), 3) prosesi (procession), 4) pemungutan suara (polling day), 5) bilik suara (polling booth), 6) pengamat (observers), 7) partai yang berkuasa (party in power).

Kanada

 Yang diatur adalah politisi dan partai politik. Misalnya, The Quebec Liberal Party

(QLP), menyusun kode etik dan panduan perilaku bagi politisi/anggota partainya yang memegang posisi sebagai:

1. anggota Majelis Nasional; 2. anggota asosiasi komite eksekutif; 3. anggota komisi permanen dan Komite Eksekutif Partai; 4. staf politik Majelis Nasonal;

“Thematic Compilation of Relevant Information Submitted by Republic of Korea, Article 8 24 “Thematic Compilation of Relevant Information Submitted by Republic of Korea, Article 8 5. staf politik dalam kantor kementerian; UNCAC, Code of Conduct for Public Officials”, dalam https://www.unodc.org/documents/corruption/WG-

Prevention/Art_8_Codes_of_conduct/Republic_of_Korea.pdf, diakses pada 20 Juli 2016. 6. staf politik dalam kantor pembantu Majelis Nasional; “Thematic Compilation of Relevant Information Submitted by Republic of Korea, Article 8 25 “Thematic Compilation of Relevant Information Submitted by Republic of Korea, Article 8 7. pegawai partai; UNCAC, Code of Conduct for Public Officials”,dalam http://www. diunduh pada 20 Juli 2016. 8. kandidat dalam pemilu; 26 “Code of Official Conduct, Rules of the House of Representatives-114th Congress”, dalam https:// 9. sukarelawan yang memegang posisi otoritas dalam organisasi ethics.house.gov/publication/code-official-conduct, diunduh pada 20 Juni 2016. 10. pemilu seorang kandidat;

11. individu yang memiliki sertifikat yang memberikan otoritas bagi

Negara

Ruang Lingkup

Amerika Serikat Di Amerika Serikat, Code of Official Conduct disusun oleh parlemen (House of Representrative) untuk mengatur perilaku politisi dan non politisi yang bekerja di parlemen : anggota parlemen, pejabat parlemen, dan pegawai parlemen.

India  Panduan perilaku disusun untuk mengatur politisi yang menjadi pejabat publik dan

anggota dewan lokal (local council members).  Pejabat publik yang dimaksud tidak hanya di tingkat pusat (kecuali pejabat publik di bawah Majelis Nasional, Pengadilan, Pengadilan Konstitusi, dan Komisi Pemilu Nasional), namun juga di tingkat lokal.

Korea Selatan

Panduan perilaku bagi partai politik dan politisi mencakup :

1) perilaku umum (general conduct), 2) pertemuan (meetings), 3) prosesi (procession), 4) pemungutan suara (polling day), 5) bilik suara (polling booth), 6) pengamat (observers), 7) partai yang berkuasa (party in power).

Kanada  Yang diatur adalah politisi dan partai politik. Misalnya, The Quebec Liberal Party (QLP), menyusun kode etik dan panduan perilaku bagi politisi/anggota partainya yang

22 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK memegang posisi sebagai:

1. anggota Majelis Nasional; 2. anggota asosiasi komite eksekutif; 3. anggota komisi permanen dan Komite Eksekutif Partai; 4. staf politik Majelis Nasonal; 5. staf politik dalam kantor kementerian; 6. staf politik dalam kantor pembantu Majelis Nasional; 7. pegawai partai; 8. kandidat dalam pemilu; 9. sukarelawan yang memegang posisi otoritas dalam organisasi

10. pemilu seorang kandidat; 11. individu yang memiliki sertifikat yang memberikan otoritas bagi 12. mereka untuk berkontribusi.

 Kode etik dan panduan perilaku bagi partai politik di Manitoba, berlaku bagi :

1. Seluruh anggota legislatif yang terpilih, 2. Kandidat, 3. Individu yang berniat menjadi kandidat, 4. Asosiasi konstituen, 5. Individu yang memegang jabatan publik, anggota partai, 6. Sukarelawan yang berasosiasi dengan partai politik, 7. “Vendors” dan suppliers” yang ikut berpartisipasi dalam proses elektoral.

Australia Cakupan kode etik dikenakan pada anggota parlemen (politisi) dan pejabat publik, selain parpol sebagai organisasi publik.

Inggris  Kode etik dan panduan perilaku secara umum berlaku bagi parpol-parpol ,PNS, pejabat publik serta hal-hal yang terkait dengan kepemiluan (termasuk para suppoter, kandidat, dan tim kampanye).

 Kode etik PNS: mengedepankan kerangka di mana PNS bekerja dan mengatur standar nilai serta perilaku yang diharapkan akan dilakukan, dan merupakan bagian dari persyaratan jika seseorang melamar untuk posisi pekerjaan sebagai PNS. Kode Etik PNS adalah bagian dari Kode Manajemen PNS yang menjadi rujukan untuk mengatur PNS. Secara khusus terdapat pasal yang mengatur batas-batas keterlibatan PNS dalam aktivitas politik.

 Kode etik kepemiluan mencakup penanganan postal ballot papers di Inggris dan Wales. Ketentuan ini dibuat sebab parpol-parpol, kandidat dan tim-tim pemenangan serta tim kampanye memainkan peran, setidaknya dalam mendukung pemungutan suara. Standard-standard tradisional dari kepatutan (etika) politik yang dikenakan lembaga-lembaga polling juga diterapkan dalam konteks postal voting ini.

II.2.4. Penegakan Etik

Di Inggris,

Agar penegakan etik berjalan efektif, perlu adanya sanksi dan mekanisme pemaksa.

penegakan etik

Studi yang dilakukan NDI mengenai etik legislatif mengungkapkan bahwa secara

pada pejabat

umum mekanisme penegakan etik mengikuti satu dari tiga model institusional.

negara (termasuk

Satu model menggunakan mekanisme pembentukan komisi etik yang bersifat

PNS) dilakukan

eksternal, independen, dari badan pembuat UU. Komisi tersebut mengelola

sesuai dengan

rezim etik, menginvestigasi tuduhan perbuatan tak pantas, melaporkan kembali

aturan “Civil Code”

temuan-temuannya kepada badan pembuat UU, dan dalam beberapa kasus diberi

yang mencakup

kewenangan untuk menghukum para pelanggar. 27

standar/ukuran

Bagi partai-partai politik di negara-negara anggota Commonwealth seperti

perilaku PNS yang

Australia dan Inggris penegakan etik diberlakukan baik untuk politisi termasuk

berlandaskan pada

senator, anggota parlemen, dan pejabat publik (presiden/perdana mentri dan para

nilai-nilai umum

menteri di kabinet).

yaitu integritas,

Di Inggris, penegakan etik pada pejabat negara (termasuk PNS) dilakukan

kejujuran,

sesuai dengan aturan “civil code” yang mencakup standar/ukuran perilaku PNS

obyektivitas ...

yang berlandaskan pada nilai-nilai umum yaitu integritas, kejujuran, obyektivitas, dan imparsialitas, termasuk mengatur secara detil hak-hak dan tanggung jawab

27 “Legislative Ethics: A Comparative Analysis”, dalam Legislative Research Series Paper No.4, National Democratic Institute for International Affairs, 1999: 18..

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

pejabat publik terkait dengan kode etik. Ada yang disebut sebagai “The Committee on Standards in Public Life” yang memberi saran pada perdana menteri mengenai standar-standar etik disemua kehidupan publik di Inggris, yang bertanggung jawab untuk memonitor dan melaporkan isu-isu terkait dengan standar perilaku semua pejabat publik.

Di Australia, hampir serupa dengan Inggris, penegakan etik diterapkan baik

Bagi parpol-parpol

pada individu-individu parpol, parpol-parpol itu sendiri, maupun pejabat publik

di Jerman, ada

yang berasal dari politisi serta yang bukan berlatar belakang politisi. Parlemen

beberapa hal

Australia yang terdiri atas Majelis Rendah (HoR) dan Majelis Tinggi (Senat) adalah

terkait dengan

inti dari politik Australia, sebab itu, tingkah laku anggota parlemen menentukan

penegakan sanksi

karakter pemerintahan. 28 Anggota parlemen diikat oleh ketentuan-ketentuan etik

jika tidak mematuhi

terkait fungsi mereka di parlemen. Ini adalah instrumen yang memberi bobot bagi

kode etik yang

mereka untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap eksekutif. Secara keseluruhan

secara eksplisit

bagi anggota parlemen terdapat standing orders atau peraturan tata tertib. Baik

telah diatur dalam

HoR maupun Senat memiliki aturan main yang mengontrol perilaku anggota Germany political parlemen selain berlangsungnya aturan-aturan dalam persidangan. Standing

Party Acts 2004.

orders ini menyediakan informasi detail tentang aturan-aturan dan cara bekerja

kedua majelis ini (Senat dan HoR). 29 Khusus untuk anggota parpol, penegakan

etik dilakukan di level internal organisasi melalui siding komite etik di partai politik.

Sementara bagi parpol-parpol di Jerman, ada beberapa hal terkait dengan

Parpol yang

penegakan sanksi jika tidak mematuhi kode etik yang secara eksplisit telah dianggap telah diatur dalam Germany political Party Acts 2004. Beberapa di antaranya adalah

melanggar

pemberian sanksi pada pelanggaran-pelanggaran yang dianggap mendasar. Parpol

konstitusi juga

dapat kehilangan status hukumnya antara lain jika tidak berpartisipasi dalam kurun

dapat dikenakan

waktu enam tahun dalam pemilu di level Bunderstag ataupun Landtag (Land

sanksi oleh otoritas

parliament). 30 Parpol juga dapat menerima ‘sanksi eksternal” dalam bentuk tuntutan

pemerintah Land

di pengadilan jika ada permasalahan hukum. 31 Suatu cabang parpol daerah yang

Governments

keluar dari keanggotaan parpol dapat kehilangan hak untuk menggunakan nama

sesuai dengan

partai. 32 Parpol yang dianggap telah melanggar konstitusi juga dapat dikenakan

hukum Federal

sanksi oleh otoritas pemerintah Land Governments sesuai dengan hukum Federal

Constitutional

Constitutional Court. Jika aktivitas parpol yang dinyatakan inkonstitusional itu

Court.Governments

secara teritorial melebihi satu kawasan, maka Mendagri atau Menteri Federal sesuai dengan dapat memberi sanksi yang seragam, dan lebih jauh diatur dalam section 35 dari

hukum Federal Act on the Federal Constitutional Court(Bundesverfassungsgerichtsgesetz). 33 Constitutional

Penegakan sanksi ini juga mencakup penyitaan aset parpol. 34 Penegakan sanksi

Court.

bagi parpol ini juga mencakup aspek pembekuan partai politik berikut organisasi- organisasi yang berada di bawahnya. Penegakan sanksi terhadap parpol-parpol di Jerman juga mencakup permasalahan dana publik.

2� Hamid, �ulkifl i, Hamid, �ulkifli, Sistem Politik Australia, (Jakarta: Remaja Rosdakarya dan LIPI-FISIP-UI, 1999), hlm. 50-51. 29 Standing Orders ini diadopsi dari aturan Majelis Rendah (House of Commons) Inggris, digunakan oleh parlemen-parlemen koloni Inggris di Australia, serta dikumpulkan dalam satu buku House of Representatives Practice, sementara untuk Senat terdapat dalam buku Australian Senate Practice. Ibid., hlm. 64.

30 Section 2 “definition of a political party” ayat 2. Lihat, Germany political Parties Acts 2004: 3. 31 Section 3 “definition of a political party” ayat 3. Lihat, Germany political Parties Acts 2004: 3.. 32 Section 4, “name”, Germany political Parties Acts 2004: 4. 33 Ibid.. 34 Seksi 10-13 dari Akta tentang asosiasi tertanggal 5 August 1964, lihat Federal Law Gazette I,

hlm..593.

24 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Dalam hal penegakan etik bagi politisi, The Quebec Liberal Party Kanada menggunakan mekanisme eksternal, yakni dengan memberikan mandat kepada dua badan: Komisi Hukum dan Komite Etik. Komisi Hukum bertugas untuk menjelaskan Kode Etik dan Panduan Perilaku dan berperan sebagai penghubung dengan anggota partai berkaitan dengan pengaduan. Sementara Komite Etik bertugas untuk menegakkan Kode Etik dan Panduan Perilaku dan berperan sebagai badan penegak disiplin. Komite Etik terdiri dari individu yang mengakui imparsialitas, integritas, dan standar etik yang tinggi. 35

Pengaduan yang disampaikan kepada Komite Etik harus dianggap sebagai upaya terakhir untuk mengatasi situasi problematik. Upaya damai justru didorong sebagai pendekatan alternatif. Pengaduan harus diajukan kepada Komisi Hukum

Di Korea Selatan,

dan salinannya ditembuskan kepada sekretaris Komite Etik. Komisi Hukum akan

penegakan panduan

memastikan bahwa keterangan pengaduan tersebut dapat dipertimbangkan dan

perilaku (code of conduct)

menjamin bahwa dasar pertimbangannya sudah cukup, dan kemudian mengajukan

bagi pejabat publik

laporannya kepada Komite Etik. Komisi Hukum dan Komite Etik akan

dan anggota dewan

merahasiakan identitas orang yang memberikan informasi kepada mereka. Komite

lokal dilakukan melalui

Etik akan memberikan sanksi bagi pelanggaran aturan dalam Kode Etik, yang

mekanisme eksternal,

berkisar dari peringatan skorsing, pemberhentian dari jabatan atau dikeluarkan dari

yakni Komisi Anti-Korupsi

keanggotaan partai. Sanksi tergantung dari konteks di mana pelanggaran terjadi

dan Hak-hak Sipil Korea

dan faktor-faktor yang memberatkan, termasuk berat atau ringannya pelanggaran,

(Anti-Corruption and

faktor kesengajaan, penyesalan, kerja sama dan adanya pelanggaran lain. 36

Civil Rights/ACRC) yang

Di Korea Selatan, penegakan panduan perilaku (code of conduct) bagi

juga menyusun panduan

pejabat publik dan anggota dewan lokal dilakukan melalui mekanisme eksternal,

perilaku tersebut. Setiap

yakni Komisi Anti-Korupsi dan Hak-hak Sipil Korea (Anti-Corruption and Civil

pelanggaran panduan

Rights/ACRC) yang juga menyusun panduan perilaku tersebut. Setiap pelanggaran

perilaku oleh pejabat

panduan perilaku oleh pejabat pemerintah dapat dilaporkan ke ACRC atau pejabat

pemerintah dapat

yang bertugas mengawasi pelaksanaan panduan perilaku dari instansi pemerintah

dilaporkan ke ACRC atau

yang berwenang. Ketika kasus pelanggaran dilaporkan setelah dilakukan investigasi

pejabat yang bertugas

sesuai dengan pasal 10 UU Anti-Korupsi, hasilnya harus dilaporkan kepada kepala

mengawasi pelaksanaan

instansi yang melakukan pelanggaran atau kepada kepala organisasi supervisi

panduan perilaku dari

yang relevan, dan tindakan lanjutannya harus dilaporkan kembali kepada ACRC.

instansi pemerintah yang

Sesuai dengan pasal 9 UU Anti-Korupsi, ACRC juga melakukan investigasi dan

berwenang.

memonitor implementasi panduan perilaku dari organisasi publik. 37 Sementara itu, meski Komisi Pemilu India telah menyusun model panduan perilaku bagi partai politik dan kandidat, namun didalamnya tidak menjelaskan penegakan panduan perilaku tersebut. Kendati demikian, India membentuk mekanisme eksternal melalui komisi independen untuk menginvestigasi kasus korupsi. Pada 1963, parlemen India membentuk the Central Bureau of Investigation (CBI) untuk menginvestigasi tuduhan korupsi terhadap pejabat publik. Pada 1990an, upaya yang awalnya difokuskan pada upaya pemberantasan korupsi di kalangan pegawai negeri sipil berubah perhatiannya kepada kasus korupsi kelas kakap di kalangan elit politik. Anggota parlemen, menteri dan bahkan perdana menteri menjadi target utama dari CBI dan sistem yudisial. Fakta

35 “Code of Ethics and Conduct Quebec Liberal Party”, Parti Liberal du Quebec, hlm. 13, dalam https://www.plq.org/files/documents/03_code_of_ethics.pdf, diunduh pada 18 Mei 2016.

36 Ibid., hlm. 13-14. 37 “Thematic Compilation of Relevant Information Submitted by Republic of Korea, Article 8

UNCAC, Code of Conduct for Public Officials”,dalam http://www. diunduh pada 20 Juli 2016.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

bahwa akuntabilitas para elit politik di India diinvestigasi, memberikan kejutan bagi para veteran pembuat UU. 38

Berbeda dengan India, penegakan etik di Amerika Serikat, khususnya Kongres, dilakukan melalui mekanisme internal, yakni menganut model institusional yang mengharuskan anggota parlemen mengawasi diri sendiri. Dalam kasus ini, Kongres AS membentuk Komite Etik yang terdiri atas legislator yang mengawasi seluruh aspek dari pelanggaran etik yang terjadi, mulai dari menerima pengaduan dan melakukan investigasi untuk memastikan apakah pelanggaran terjadi dan merekomendasikan sanksi yang cocok. Komite Etik kemudian menyampaikan kasus pelanggaran kepada seluruh anggota parlemen (Senat dan HoR) untuk pemungutan suara final. Namun, mekanisme ini bisa dikatakan cukup problematik. Menurut penasihat Komite Etik parlemen AS (the Committee on Standards of Official Conduct), ketidaksukaan untuk mengawasi perilaku sesama anggota parlemen lainnya sering menyulitkan pemimpin parlemen (HoR) untuk mengidentifikasi anggota-anggotanya yang mau duduk dalam keanggotaan Komite Etik. Dalam hal mekanisme pengaduan dan pemberian sanksi, di AS misalnya, pengaduan yang diajukan oleh publik umum akan disaring oleh anggota parlemen, meskipun warga biasa dapat saja mengajukan pengaduan langsung ke

Komite Etik. 39 Secara umum, dari pengalaman Negara-negara di atas, penegakan etiknya dapat dirangkum dalam table berikut:

Negara

Penegakan Etik

Inggris  Diberlakukan baik untuk politisi termasuk senator, anggota parlemen, dan pejabat publik (presiden/ perdana mentri dan para menteri di kabinet).  Penegakan etik pada pejabat negara (termasuk PNS) dilakukan sesuai dengan aturan “Civil

Code”yang mencakup standard-standard perilaku PNS yang berlandaskan pada nilai-nilai umum yaitu integritas, kejujuran, obyektivitas, dan imparsialitas, termasuk mengatur secara detil hak-hak dan tanggung jawab pejabat publik terkait dengan kode etik.

 “The Committee on Standards in Public Life” menjadi acuan pada Perdana Menteri mengenai standard-standard etik di semua kehidupan publik di Inggris, yang bertanggung jawab untuk memonitor dan melaporkan isu-isu terkait dengan standard perilaku semua pejabat publik.

 Partai politik dan kelengkapan terkait kepemiluan harus terdaftar, dan aturan pendanaan disebut dengan jelas. Dalam ‘code of postal voting” disebutkan dengan jelas peran kepolisian harus tegas dan imparsial untuk menangani kasus-kasus terkait etik di ranah kepemiluan dan referendum, yang dapat dikenai pasal pidana, misalnya: penyuapan (bribery), peniruan /pemalsuan (personation), mentraktir (treating), mengancam pemilih dengan kekerasan (undue influence),memilih lebih dari dua kali (Multiple, vote, proxy and other voting offences), kerahasiaan (secrecy)—sanksi bagi seseorang yang membocorkan kerahasiaan di bilik suara cukup berat, dapat dikenai denda 5000 Poundsterling atau penjara maksimal 6 bulan; menyebarkan informasi palsu (false regisration information and false postal proxy voting application) dapat dikenakan sanksi denda 5000 Poundsterling atau penjara maksimal 6 bulan

Australia  Penegakan etik diterapkan baik pada individu-individu parpol, parpol-parpol itu sendiri,

maupun pejabat publik yang berasal dari politisi serta yang bukan berlatar belakang politisi.  Anggota parlemen diikat oleh ketentuan-ketentuan etik terkait fungsi mereka di parlemen.  Secara keseluruhan bagi anggota parlemen terdapat Standing Orders atau peraturan tata

tertib.  Baik House of Representative (HoR) maupun Senat memiliki aturan main yang mengontrol perilaku anggota parlemen selain berlangsungnya aturan-aturan dalam persidangan.

38 Legislative Ethics: A Comparative Analysis”, Legislative Research Series Paper No.4, National Democratic Institute for International Affairs, 1999: 18. 39 Ibid., hlm. 20.

26 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

 Standing Orders ini menyediakan informasi detail tentang aturan-aturan dan cara bekerja

kedua majelis ini (Senat dan HoR).  Sedangkan, khusus untuk anggota parpol, penegakan etik dilakukan di level internal

organisasi.

Jerman  Penegakan sanksi jika tidak mematuhi kode etik secara eksplisit telah diatur dalam Germany

political Party Acts 2004.  Beberapa di antaranya adalah pemberian sanksi pada pelanggaran-pelanggaran yang

dianggap mendasar.  Parpol dapat kehilangan status hukumnya jika tidak berpartisipasi dalam kurun waktu enam tahun dalam pemilu di level Bunderstag ataupun Landtag (Land parliament).  Parpol juga dapat menerima ‘sanksi eksternal” dalam bentuk tuntutan di pengadilan jika ada

permasalahan hukum.  Suatu cabang parpol daerah yang keluar dari keanggotaan parpol dapat kehilangan hak

untuk menggunakan nama partai.  Parpol yang dianggap telah melanggar konstitusi juga dapat dikenakan sanksi oleh otoritas pemerintah Land Governments sesuai dengan hukum Federal Constitutional Court.J  Jika aktivitas parpol yang dinyatakan inkonstitusional itu secara teritorial melebihi satu kawasan, maka Mendagri atau Memberi Federal dapat memberi sanksi yang seragam, dan diatur dalam section 35 dari Act on the Federal Constitutional Court (Bundesverfassungsgerichtsgesetz).

 Penegakan sanksi ini juga mencakup penyitaan aset parpol.  Penegakan sanksi bagi parpol ini juga mencakup aspek pembekuan partai politik berikut

organisasi-organisasi yang berada di bawahnya.  Penegakan sanksi terhadap parpol-parpol di Jerman juga mencakup permasalahan dana

publik.

Kanada  The Quebec Liberal Party menggunakan mekanisme eksternal, dengan memberikan mandat

kepada Komisi Hukum dan Komite Etik.  Komisi Hukum bertugas untuk menjelaskan Kode Etik dan Panduan Perilaku dan berperan sebagai penghubung dengan anggota partai berkaitan dengan pengaduan.  Komite Etik bertugas untuk menegakkan Kode Etik dan Panduan Perilaku dan berperan sebagai badan penegak disiplin. Komite Etik terdiri dari individu yang mengakui imparsialitas, integritas, dan standar etik yang tinggi.

Korea Selatan Penegakan panduan perilaku (code of conduct) bagi pejabat publik dan anggota dewan lokal dilakukan melalui mekanisme eksternal, yakni Komisi Anti-Korupsi dan Hak-hak Sipil Korea (Anti Corruption and Civil Rights/ACRC).

India Membentuk mekanisme eksternal melalui komisi independen, the Central Bureau of Investigation (CBI) untuk menginvestigasi tuduhan korupsi terhadap pejabat publik.

Amerika Kongres AS membentuk Komite Etik yang terdiri dari legislator yang mengawasi seluruh aspek Serikat

dari pelanggaran etik yang terjadi, mulai dari menerima pengaduan dan melakukan investigasi untuk memastikan apakah pelanggaran terjadi dan merekomendasikan sanksi yang cocok.

Dalam hal

II.2.5. Pembelajaran Bagi Indonesia

penggunaan istilah,

Berdasarkan pengalaman penyusunan kode etik dari negara-negara seperti Inggirs,

di Inggris, Australia

Australia, Jerman, Kanada, Korea Selatan, India, dan Amerika Serikat, terdapat

dan Jerman, istilah

beberapa hal yang dapat menjadi masukan bagi penyusunan kode etik politisi

‘code of conduct’

dan partai politik di Indonesia, baik dalam hal penggunaan istilah, prinsip-prinsip

maupun ”code of

umum, ruang lingkup, dan penegakan etik.

ethic” digunakan

Dalam hal penggunaan istilah, di Inggris, Australia dan Jerman, istilah “code

secara bergantian.

of conduct” maupun ”code of ethic” digunakan secara bergantian. Sedangkan

Sedangkan Kanada

Kanada secara spesifik membedakan antara kode etik dengan panduan perilaku

secara spesifik

(code of conduct). Sementara Korea Selatan, India, dan Amerika Serikat

membedakan antara

menamakannya sebagai panduan perilaku (code of conduct), meskipun secara

kode etik dengan

substansial panduan perilaku yang disusun mengatur standar etik politisi dan

panduan perilaku

partai politik. Dalam konteks Indonesia, sebaiknya perlu ada pemisahan antara

(code of conduct).

kode etik politisi dan kode perilaku partai politik.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Dalam hal prinsip-prinsip umum kode etik negara-negara seperti Inggris, Australia dan Jerman, umumnya menyebutkan nilai-nilai: demokrasi, integritas, transparansi, keadilan, kesetaraan, ketaatan pada hukum, dan akuntabilitas. Sebagai tambahan, prinsip-prinsip kode etik ini umumnya terintegrasi dengan baik dalam aturan-aturan yang secara eksplisit diundangkan sejak dalam bentuk konstitusi hingga aturan-aturan yang terkait dengan kinerja/operasional lembaga- lembaga, apalagi yang berhubungan dengan publik (termasuk menggunakan dana publik) seperti partai-partai politik dan lembaga-lembaga negara serta lembaga perwakilan rakyat. Sementara Kanada, Korea Selatan, India, dan Amerika Serikat

Dalam hal penegakan

mencantumkan prinsip-prinsip seperti demokrasi, kejujuran dan ketaatan pada etik, negara-negara hukum, menghormati individu, integritas dan menghormati institusi, akuntabilitas

seperti Inggris,

dan tanggung jawab, transparansi, inklusif dan non-diskriminasi, profesional, Australia dan integritas, dan keadilan. Prinsip-prinsip umum tersebut sebaiknya dicantumkan

Jerman mempunya

juga dalam penyusunan prinsip-prinsip umum kode etik di Indonesia.

mekanisme internal

Dalam hal ruang lingkup kode etik, negara-negara seperti Inggris, Australia

juga untuk setiap

dan Jerman, tidak sekedar memberlakukan kode etik untuk kurun waktu tertentu

partai politik. Di

saja, melainkan juga sebagai bagian dari filosofi kebangsaan. Cakupan kode etik

Inggris, secara

di Inggris dan Australia adalah kalangan eksekutif (kementrian, pejabat publik

umum pernyataan

lainnya), politisi baik yang di parlemen/senat dan, partai politik, serta lembaga

mendasar adalah

penyelenggara dan pengawas pemilu, termasuk juga tim-tim pendukung kandidat

bahwa partai politik

yang akan berkompetisi dalam pemilu. Di Jerman, melalui Akta Partai Politik,

dan kelengkapan

kesemua aspek yang terkait dengan kepemiluan (lembaga penyelenggara, tim terkait kepemiluan kampanye, para kandidat, dan badan pengawas) serta politisi, pejabat publik di

harus terdaftar, dan

pemerintahan, selain aspek pendanaan adalah mereka yang dikenai kode etik. Di

aturan pendanaan

Inggris, bahkan terdapat “conduct of postal vote application” untuk penyelenggara

disebut dengan jelas.

pemilu, parpol-parpol, para kandidat, tim kampanye, yang berperan besar dalam

Dalam ‘code of postal

pemilu serta proses referendum.

voting” disebutkan

Sementara itu, negara-negara seperti Kanada dan India mengatur kode etik

dengan jelas peran

politisi dan partai. Yang membedakan adalah kode etik yang disusun di Kanada

agensi keamanan

lebih spesifik dan berlaku tidak hanya di masa pemilu, namun cakupannya lebih

(kepolisian) haruslah

luas. Sementara di India, hanya difokuskan pada masa pemilu saja, mengingat

tegas dan imparsial

yang menyusun kode etik adalah institusi penyelenggara pemilu. Sementara untuk menangani Korea Selatan, lebih memfokuskan pada penyusunan kode etik bagi politisi yang

kasus-kasus terkait

memegang jabatan publik. Sedangkan AS mengatur politisi dan non politisi etik di ranah yang bekerja di parlemen. Dalam konteks Indonesia, pengalaman dari Kanada

kepemiluan dan

sebaiknya bisa kita aplikasikan, yakni kode etik yang disusun mencakup politisi

referendum, yang

dan partai politik, bukan mengatur salah satu saja. Hal ini penting mengingat dapat dikenai pasal politisi dan partai politik merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,

pidana.

dimana etik dan perilaku politisi dan partai politik saling berkaitan. Intinya adalah, untuk mengaplikasikan kode etik, dibutuhkan kesesuaian antara filosofi

dasar yang dianut suatu negara dengan penerjemahannya dalam ruang lingkup cakupan “tupoksi” lembaga-lembaga terkait.

Dalam hal penegakan etik, negara-negara seperti Inggris, Australia dan Jerman mempunya mekanisme internal juga untuk setiap partai politik. Di Inggris, secara umum pernyataan mendasar adalah bahwa partai politik dan kelengkapan terkait kepemiluan harus terdaftar, dan aturan pendanaan disebut dengan jelas. Bahkan dalam “code of postal voting” disebutkan dengan jelas peran agensi

28 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

keamanan (kepolisian) haruslah tegas dan imparsial untuk menangani kasus-kasus terkait etik di ranah kepemiluan dan referendum, yang dapat dikenai pasal pidana, misalnya: penyuapan (bribery), peniruan/pemalsuan (personation), mentraktir (treating), dan mengancam pemilih dengan kekerasan ( undue influence), memilih lebih dari dua kali (Multiple vote, proxy and other voting offences), kerahasiaan (secrecy)—ini sanksinya bagi seseorang yang membocorkan kerahasiaan di bilik suara cukup berat, dapat dikenai denda 5000 Poundsterling atau penjara maksimal

6 bulan; dan menyebarkan informasi palsu (false regisration information and false postal proxy voting application) juga dapat dikenakan sanksi denda 5000 Poundsterling atau penjara maksimal 6 bulan. 40

Di Jerman, pengadilan di tingkat negara bagian juga dilibatkan untuk

Setiap profesi,

memutuskan perkara yang terkait kepemiluan berupa pelanggaran konstitusi

termasuk profesi

(terkait etik) yang dituduhkan pada parpol. Pengadilan di negara bagian Federal

sebagai politisi dalam

ini dapat memperluas juridiksi kerjasamanya jika ada pelanggaran dilakukan oleh

arti luas, pada dasarnya

parpol yang keluar dari teritori (sekretariat) partainya. 41

dituntut memiliki

Sedangkan penegakan etik di negara-negara seperti Kanada, Korea Selatan,

kode etik sebagai

dan India, menggunakan mekanisme eksternal dengan membentuk Komite khusus

standar perilaku agar

yang berwenang menegakkan etik dan panduan perilaku politisi dan partai politik.

harkat, martabat, dan

Kanada membentuk Komisi Hukum dan Komite Etik; Korea Selatan membentuk

kehormatan profesi

Komisi Anti-Korupsi dan Hak-hak Sipil, India membentuk the Central Bureau

sebagai politisi dapat

of Investigation (CBI). Hanya Amerika Serikat yang menggunakan mekanisme

dijaga, dilindungi, dan

internal, yakni dengan membentuk Komite Etik di parlemen.

ditegakkan.

Dalam konteks Indonesia, penegakan etik sebaiknya menggunakan mekanisme eksternal, seperti yang diberlakukan di Kanada, Korea Selatan, dan India. Hal ini dilakukan untuk menghindari hal-hal seperti yang terjadi di Amerika Serikat, seperti ketidaknyamanan dari Komite Etik yang mengawasi perilaku sesama anggota parlemen lainnya. Selain itu, untuk menghindari keengganan dari para anggota parlemen untuk bersedia menjadi anggota Komite Etik akibat mekanisme pengawasan internal tersebut.

III. KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK IDEAL

Setiap profesi, termasuk profesi sebagai politisi dalam arti luas, pada dasarnya

Standar perilaku dalam

dituntut memiliki kode etik sebagai standar perilaku agar harkat, martabat, dan

bentuk kode etik juga

kehormatan profesi sebagai politisi dapat dijaga, dilindungi, dan ditegakkan.

diperlukan oleh publik

Begitu pula halnya partai politik. Sebagai wadah aktualisasi diri bagi para politisi,

dan/atau konstituen

parpol memerlukan kerangka etik atau kode etik tertentu sebagai rujukan dalam

sebagai acuan dalam

mengimplementasikan kedudukan strategis selaku salah satu pilar terpenting

menilai perilaku

sistem demokrasi. Sebagai badan hukum publik, parpol tak hanya perlu dikelola

parpol dan politisi

secara profesional, terbuka, dan demokratis, tetapi juga diharapkan benar-benar

dalam menjalankan

berorientasi pada kepentingan umum. Di sisi lain, para politisi dari setiap parpol

peran mereka sebagai

diharapkan memiliki standar perilaku minimum, sehingga layak memperoleh

“jembatan” antara rakyat

mandat politik ketika mereka menjadi wakil rakyat di lembaga-lembaga

dan pemerintah.

perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, ataupun ketika memangku jabatan publik lainnya, baik di tingkat nasional maupun daerah.

40 Di Inggris, hal-hal ini diatur oleh The electoral Comission: Guidance on Policing elections and referendums, February 2011: 7. Diatur lebih jauh oleh Summary Offence, section 66, RPA (Representation of People Act) 1983.Lihat, http://www.legislation.gov.uk/ukpga/1983/2/pdfs/ukpga_19830002_en.pdf diakses 2 September 2015.

41 Germany political party act, 2004.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Oleh karena itu pelembagaan sekaligus pemberlakuan kode etik bagi partai

Sebagai negara

politik dan politisi adalah suatu kebutuhan, tidak hanya dalam rangka menjaga

yang relatif baru

dan melindungi harkat, martabat, serta kehormatan parpol secara institusi dan mempraktikkan politisi secara individu, tetapi juga dalam upaya menegakkan standar perilaku

kembali sistem

yang memenuhi syarat kepatutan dalam sistem demokrasi. Sebagai pilar sistem

demokrasi –setelah

demokrasi, setiap parpol dan para politisi yang tergabung di dalamnya dituntut

periode sistem

memiliki standar perilaku minimum yang diharapkan bisa menjadi tuntunan otoriter yang panjang sekaligus fondasi bekerjanya demokrasi dan pemerintahan secara sehat serta selama hampir empat berorientasi kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

dekade (1959-1998)

Selain menjadi kebutuhan parpol dan para politisi, standar perilaku di bawah Demokrasi dalam bentuk kode etik juga diperlukan oleh publik dan/atau konstituen sebagai

Terpimpin dan

acuan dalam menilai perilaku parpol dan politisi dalam menjalankan peran Demokrasi Pancasila merekasebagai “jembatan” antara rakyat dan pemerintah. Lebih jauh lagi, publik

(Orde Baru)—

dan/atau konstituen berhak memperoleh calon dan/atau pejabat publik yang tak

parpol dan politisi

hanya kompeten dan profesional, melainkan juga berintegritas dan bertanggung

di Indonesia jelas

jawab. Singkatnya, publik dan/atau konstituen selaku pemilik kedaulatan dalam

membutuhkan kode

politik, berhak diwakili dan dipimpin oleh para politisi yang memenuhi standar

etik sebagai standar

etik tertentu, sehingga cita-cita kedaulatan rakyat, keadilan, dan kemakmuran perilaku. sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD NRI 1945 dapat diwujudkan.

Sebagai negara yang relatif baru mempraktikkan kembali sistem demokrasi –setelah periode sistem otoriter yang panjang selama hampir empat dekade (1959- 1998) di bawah Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila (Orde Baru)— Kode etik politisi adalah parpol dan politisi di Indonesia jelas membutuhkan kode etik sebagai standar satu kesatuan landasan perilaku. Kebutuhan itu semakin mendesak lagi jika dihubungkan dengan realitas

norma moral, etis dan

maraknya tindak pidana suap dan korupsi, serta penyalahgunaan kekuasaan yang

filosofis yang wajib dan

melibatkan para politisi parpol di hampir semua cabang kekuasaan, eksekutif, mengikat dipedomani legislatif, dan yudikatif. Ketika negara sejak 1999 semakin demokratis dan oleh setiap politisi untuk pemilu-pemilu semakin bebas, demokratis, dan bahkan langsung, berbagai tindak

menjaga martabat

pidana suap dan korupsi oleh para pejabat publik yang berasal dari parpol ternyata

kehormatan dan

cenderung semakin meningkat pula. Dalam perkembangan mutakhir, usia para

kredibilitas partai politik

politisi yang tersangkut kasus suap dan korupsi pun semakin muda dan berasal

sebagai badan hukum

dari hampir semua parpol, termasuk parpol berbasis agama dan juga parpol yang

publik yang memiliki

secara internal telah memberlakukan kode etik bagi kader mereka.

fungsi menyeleksi

Ditinjau dari cakupannya, tindak pidana suap dan korupsi tersebut tidak hanya

pemimpin politik,

melibatkan para kepala daerah/wakil kepala daerah di provinsi dan kabupaten/ membuat kebijakan kota, tetapi juga menteri negara yang berasal dari parpol. Di cabang kekuasaan

publik, melakukan

legislatif, kasus suap dan korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD, sehingga

pendidikan politik,

tidak sedikit di antara mereka yang menjadi “pasien” lembaga antirusuah, Komisi

mengartikulasikan

Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara itu di cabang kekuasaan yudikatif, dan mengagregasikan kasus suap dan korupsi yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi,

kepentingan publik, serta

Akil Mochtar, yang notabene berlatar belakang sebagai politisi parpol, merupakan

menjalankan komunikasi

contoh paling fenomenal.

dan partisipasi politik,

Realitas yang dikemukakan di atas jelas amat mengkhawatirkan. Di satu baik di tingkat nasional pihak parpol yang memiliki kedudukan strategis dan fungsi sebagai jembatan maupun daerah. antara rakyat dan pemerintah, diharapkan bisa menjadi solusi bagi aneka masalah bangsa dan negara. Namun di pihak lain parpol dalam realitasnya justru masih menjadi “beban” bagi bangsa kita. Kesenjangan antara harapan dan realitas parpol

30 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

serta politisi inilah yang meniscayakan urgensi pelembagaan dan pemberlakuan kode etik sebagai standar perilaku bagi parpol dan para politisi.

Selanjutnya berikut ini diuraikan apa itu kode etik parpol dan politisi, lalu, siapa saja yang dapat disebut dan dikategorikan sebagai politisi, serta apa saja fungsi dan tujuan pemberlakuan kode etik bagi parpol dan politisi. Pada bagian berikut dari naskah ini diuraikan pula prinsip-prinsip pokok yang mendasari penyusunan kode etik bagi parpol dan politisi, serta juga bagian utama dari keseluruhan naskah ini yakni cakupan atau ruang lingkup materi kode etik yang dianggap penting diberlakukan dan ditegakkan bagi parpol dan politisi.

Kode etik politisi

III.1. Pengertian

adalah satu kesatuan

o Kode etik politisi adalah satu kesatuan landasan norma moral, etis dan

landasan norma

filosofis yang wajib dan mengikat dipedomani oleh setiap politisi untuk

moral, etis dan

menjaga martabat kehormatan dan kredibilitas partai politik sebagai badan

filosofis yang wajib

hukum publik yang memiliki fungsi menyeleksi pemimpin politik, membuat

dan mengikat

kebijakan publik, melakukan pendidikan politik, mengartikulasikan dan

dipedomani oleh

mengagregasikan kepentingan publik, 42 serta menjalankan komunikasi dan

setiap politisi untuk

partisipasi politik, baik di tingkat nasional maupun daerah.

menjaga martabat

o Politisi adalah setiap orang yang menjadi anggota partai politik, kader

kehormatan dan

partai, pengurus partai, calon anggota legislatif, calon pasangan kepala

kredibilitas partai

daerah, calon presiden dan wakil presiden, serta pejabat publik yang

politik sebagai

mewakili partai di lembaga negara, baik di tingkat nasional maupun daerah.

badan hukum publik

o Politisi sebagai anggota partai adalah setiap orang yang mempunyai status

yang memiliki

keanggotaan pada suatu partai politik, baik yang duduk sebagai pengurus

fungsi menyeleksi

partai politik maupun sebagai anggota biasa.

pemimpin politik,

o Politisi sebagai kader partai adalah setiap orang yang memiliki integritas

membuat kebijakan

dan militansi sebagai tenaga inti atau sumber daya partai yang memahami

publik, melakukan

cita-cita, tujuan dan platform partai dan telah melewati jenjang kaderisasi

pendidikan politik,

atau pelatihan secara berkesinambungan.

mengartikulasikan

o Politisi sebagai pengurus partai adalah setiap kader partai yang mempunyai

dan mengagregasikan

jabatan struktural dalam suatu partai politik, terlibat dalam pemberdayaan

kepentingan publik,

partai politik, memberikan kontribusi pemikiran, waktu dan kemampuannya

serta menjalankan

guna meningkatkan kinerja partai politik.

komunikasi dan

o Politisi sebagai calon anggota legislatif adalah setiap kader partai politik

partisipasi politik,

yang memiliki persyaratan dan kemampuan politik yang baik dan

baik di tingkat

dicalonkan untuk menjadi peserta pemilu legislatif mewakili partai politik.

nasional maupun

o Politisi sebagai calon pasangan kepala daerah adalah setiap pasangan calon

daerah.

kepala daerah yang dipandang memiliki kemampuan, kapasitas, tanggung jawab dan moral etika yang baik di suatu wilayah tertentu baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota.

o Politisi sebagai calon presiden dan wakil presiden adalah setiap pasangan calon presiden dan atau wakil presiden yang dipandang memiliki

kemampuan, kapasitas dan moral etika untuk menjadi peserta pemilu presiden dan wakil presiden mewakili partai politik tertentu atau koalisi beberapa partai politik tertentu.

42 Artikulasi adalah proses penyampaian aspirasi, kepentingan dan tuntutan rakyat terhadap lembaga politik yang ada. Sedangkan agregasi adalah menyalurkan aspirasi, hasrat atau tuntutan masyarakat atau konstituen.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

o Kode etik partai politik adalah instrumen prinsip-prinsip etika sebagai landasan etik atau filosofis yang mengatur perilaku dan norma etik bagi organisasi partai politik dan kader partai politik baik secara kolektif

maupun individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hal yang diwajibkan, dilarang, kepatutan dan ketidakpatutan.

o Partai politik adalah organisasi politik berbadan hukum publik yang dibentuk oleh sekelompok individu warga negara yang bertujuan antara lain

menjadikan pejabat dan kader partainya untuk menduduki jabatan publik

Partai politik

dengan maksud merebut, menjalankan dan mempertahankan kekuasaan.

sebagai badan

o Penegakan etik adalah suatu proses, cara dan perbuatan menegakkan hukum publik norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan landasan etik atau dituntut

filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal

berorientasi

yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan oleh politisi di

kepada

lembaga perwakilan politik atau lembaga negara.

kepentingan

o Mahkamah Etik adalah lembaga yang berwenang untuk menilai dan umum. menentukan ada atau tidaknya kesalahan pelanggaran prinsip-prinsip etika

yang dilakukan oleh politisi atau partai politik baik secara etika kolektif (etika sosial) maupun etika individu dalam ranah atau perspektif hukum norma etika.

o Peradilan Etik adalah lembaga penegak kode etik yang mempunyai kedudukan independen yang menerapkan prinsip-prinsip peradilan dan

menjunjung tinggi prinsip transparansi, independensi, dan imparsialitas.

III.2. Tujuan Penyusunan Kode Etik Politisi dan Partai Politik

1. Mempromosikan standar perilaku etis bagi partai politik dan politisi;

2. Meningkatkan kualitas komitmen, perilaku, dan tanggung jawab etis partai politik;

3. Meningkatkan kualitas komitmen, perilaku, dan tanggung jawab etis

politisi;

4. Mengidentifikasi perbuatan yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima sebagai standar perilaku ideal bagi partai politik dan politisi; dan

5. Menciptakan kerangka acuan evaluasi untuk menilai komitmen, perilaku dan tanggung jawab partai politik dan politisi.

III.3. Fungsi Kode Etik Bagi Parpol dan Politisi

1. Sebagai pedoman berperilaku bagi politisi dan partai politik mengenai tanggung jawab yang harus dilakukan;

2. Menjaga harkat dan martabat, kehormatan, serta kredibilitas partai politik sebagai pilar sistem demokrasi;

3. Menjaga harkat dan martabat, kehormatan, serta kredibilitas politisi dalam melaksanakan tanggung jawab publiknya;

4. Mencegah penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan partai politik dan politisi;

5. Mencegah tindakan asusila di kalangan partai politik dan politisi;

6. Mencegah tindakan suap, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya yang merugikan kepentingan publik; dan

32 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

7. Mencegah munculnya konflik kepentingan yang menyebabkan partai politik dan politisi mengorbankan kepentingan umum.

III.3. Prinsip Kode Etik

III.3.1. Kepentingan umum Partai politik sebagai badan hukum publik dituntut berorientasi kepada kepentingan umum. Dalam setiap kebijakan yang diarahkan kepada kadernya yang duduk di eksekutif maupun legislatif, partai politik harus berorientasi pada kesejahteraan publik. Demikian juga dengan segala kegiatan yang dilaksanakan oleh partai politik sedapat mungkin diarahkan untuk meningkatkan kemaslahatan publik. Dalam hal memenuhi kewajiban, tugas, dan tanggung jawabnya, setiap politisi harus membuat keputusan yang mengarah pada kepentingan publik dan/atau yang menguntungkan publik di setiap kasus.

Khusus bagi politisi yang duduk di lembaga perwakilan dan pemerintah, politisi harus selalu memperjuangkan kepentingan umum sebagai bagian dari mandatnya. Kepentingan yang diusung dalam berpolitik haruslah mengarah pada kepentingan yang dimaksudkan demi terwujudnya kebaikan bersama. Kepentingan ini, dalam bahasa lain disebut sebagai kepentingan nasional. Dalam teorinya, untuk menjaga kelangsungan hidup suatu negara, negara harus memenuhi kepentingan nasionalnya. Dengan demikian negara dapat berjalan dengan stabil dan tetap survive. Kepentingan nasional inilah yang dapat menentukan ke arah mana politik itu akan dirumuskan. Pada panduan (kode) etik politik partai politik harus secara tegas menyebutkan bahwa setiap langkah kepentingan dan instrumen politik mereka perlu diselaraskan dan diwujudkan untuk kepentingan politik nasional atau kepentingan yang lebih besar yaitu bangsa, negara dan rakyat.

III.3.2. Kejujuran Nilai kejujuran harus melekat dalam perilaku dan tindakan politisi karena politisi memiliki tanggung jawab publik untuk memperjuangkan kepentingan umum. Kejujuran merupakan nilai dasar penting yang terkait erat dengan kepercayaan. Karena dinilai penting, kejujuran seringkali disebut sebagai hasil kebijakan yang paling baik. Prinsip kejujuran mengarahkan para politisi untuk bersikap dan bertindak fair, tidak berbohong, apalagi mencuri, dan bebas dari penipuan dan bentuk ketidakjujuran lainnya. Tindakan korupsi misalnya, juga merupakan bagian dari perilaku tidak jujur yang melanggar kepercayaan publik. Hal ini melibatkan penggunaan posisi jabatan publik untuk kepentingan pribadi. Aspek kejujuran menekankan pada perilaku politisinya. Dalam prinsip ini diperlukan konsistensi antara ucapan dan tindakan dari seorang politisi.

Konsekuensi kejujuran adalah harus transparan dan akuntabel. Partai politik merupakan bagian integral dari demokrasi yang perlu menjunjung tinggi nilai kejujuran dalam membangun perspektif politik disemua kehidupan publik terutama dalam hal memberi pengaruh dalam membangun opini publik, mendorong dan mempercepat pendidikan kewargaan. Selain itu partau politik juga harus memiliki kejujuran dalam memengaruhi proses politik di dalam kabinet maupun parlemen. Untuk itulah sejak dini parpol harus menyatakan dengan jelas tujuan-tujuannya dalam program/platform politik partai.

Nilai kejujuran harus melekat dalam perilaku dan tindakan politisi karena politisi memiliki tanggung jawab publik

untuk memperjuangkan kepentingan umum. Kejujuran merupakan nilai dasar penting yang terkait erat dengan kepercayaan.

Prinsip integritas menekankan pada tindakan yang harus sesuai dengan nilai, keyakinan, atau prinsip-prinsip yang sudah diatur dan disepakati bersama. Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

III.3.3 Integritas Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap partai politik

Prinsip dasar

dan politisi harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas

transparansi

setinggi mungkin. Prinsip integritas menekankan pada tindakan yang harus sesuai

mempertimbangkan

dengan nilai, keyakinan, atau prinsip-prinsip yang sudah diatur dan disepakati

bagaimana informasi

bersama. Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya dapat dengan jelas pengakuan profesional. Integritas merupakan ukuran kualitas yang melandasi berkontribusi pada kepercayaan publik.

pembuatan kebijakan di dalam politik dan

Dengan demikian jika politisi memiliki integritas, kepercayaan publik akan Ia

pemerintahan. Politik

dapatkan dengan mudah. Integritas mengharuskan partai politik/politisi untuk,

dan pemerintahan

antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia

yang terbuka tetap

yang dimilikinya. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh

membutuhkan politisi

keuntungan pribadi. Integritas juga berarti dapat menerima kesalahan yang tidak

dan partai politik

disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan

untuk menghimpun

atau peniadaan prinsip.

segala masukan dari stakeholders terutama

III.3.4 Transparansi/keterbukaan

dengan maksud

Transparansi mengedepankan pemeliharaan akses yang luas atas informasi pelibatan partisipasi dan berkaitan erat dengan akuntabilitas dan kualitas politisi yang lebih baik publik dalam dalam jangka waktu panjang. Setiap politisi memiliki kewajiban melaksanakan

musyawarah.

tugasnya sekaligus mengatur kepentingan/hubungan pribadi mereka dengan tetap berpedoman pada prinsip keterbukaan publik. Dalam hal ini harus ada upaya dari politisi untuk tidak menutup-nutupi sesuatu. Membuka akses bagi publik untuk semua jenis informasi yang terkait dengan parpol dan dirinya secara akurat, benar, dan tidak menyesatkan merupakan kewajiban politisi. Transparansi ini tidak hanya terkait dengan keterbukaan diri politisi tetapi juga bagaimana mereka mampu mengungkapkan secara aktif segala tindakkan menyimpang yang terjadi di sekitarnya.

Prinsip dasar transparansi mempertimbangkan bagaimana informasi dapat dengan

Prinsip berperilaku

jelas berkontribusi pada pembuatan kebijakan di dalam politik dan pemerintahan.

adil merupakan

Politik dan pemerintahan yang terbuka tetap membutuhkan politisi dan partai rumusan kode etik politik untuk menghimpun segala masukan dari stakeholders terutama dengan yang mengandung maksud pelibatan partisipasi publik dalam musyawarah. Hal ini diperlukan dalam

makna

rangka memperluas ide dan fakta yang menjadi pertimbangan dalam pembuatan

menempatkan

kebijakan. Transparansi dan keterbukaan yang seringkali dilakukan oleh politisi

segala sesuatu

dan partai politik seharusnya tidak hanya berupa informasi yang tersedia untuk

pada tempatnya

publik dari keinginan sempit politisi. Seharusnya data dan informasi yang dan memberikan dikeluarkan untuk publik juga mampu mengikat akuntabilitas politisi secara kepada individu terus-menerus.

atau kelompok yang menjadi haknya.

III.3.5 Akuntabilitas (Tanggung Gugat) Untuk menjaga kinerja setiap politisi/partai politik wajib memiliki seperangkat sistem yang dibangun berdasarkan legitimasi demokratis untuk mengendalikan, memantau, mengevaluasi dan menyesuaikan kepatutan dan efektivitas perilaku politisi/partai politik oleh dan/atau kepada publik. Prinsip tanggung gugat (akuntabilitas) ini sangat penting untuk menahan kecenderungan terjadinya

34 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

konsentrasi kekuasaan pada partai politik/politisi. Selain itu, prinsip akuntabilitas yang dibangun oleh partai politik/politisi diharapkan mampu berkontribusi pada pencegahan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, merangsang partai politik/ politisi untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi tentang tanggungjawab

Prinsip

institusi/profesinya. Oleh karena itu, akuntabilitas publik merupakan syarat

profesionalisme

penting untuk proses demokrasi, karena menyediakan representasi rakyat dan

menekankan

massa pemilih dengan informasi yang diperlukan untuk menilai kepatutan dan

pada perilaku dan

efektivitas pelaksanaan kinerja partai politik/politisi.

tindakan yang harus sesuai dengan

III.3.6 Keadilan (fairness)

komitmen dan

Prinsip berperilaku adil merupakan rumusan kode etik yang mengandung makna

tanggungjawab

menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan memberikan kepada individu

sebagai wakil

atau kelompok yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa

konstituen.

semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan kesempatan yang sama terhadap setiap orang. Karena itu, partai politik/politisi dalam menjalankan fungsi dan peranannya harus berlaku dan bertindak adil dengan tidak membeda- bedakan orang berdasarkan suku, agama, ras, golongan status sosial ekonomi dan sebagainya.

III.3.6 Profesional

Prinsip ini berkaitan dengan kapasitas politisi dalam hal pengaturan diri ( self- regulation) sesuai dengan keahlian, komitmen, dan tanggungjawabnya di dalam proses politik demokratis. Etika politik dalam hal profesionalisme termasuk didalamnya peluang bagi politisi untuk mengambil responsibilitas yang lebih besar dalam melaksanakan fungsinya. Profesionalitas politik di sini sangat terkait dengan kepentingan publik daripada sekedar aktivitas profesionalitas pada umumnya, yaitu yang menyangkut keputusan mengenai apa saja yang terkait kepantasan politik dan erat kaitannya dengan persoalan publik.

Kepatuhan hukum

Prinsip profesionalisme menekankan pada perilaku dan tindakan yang harus

terkait dengan kode

sesuai dengan komitmen dan tanggungjawab sebagai wakil konstituen. Dalam hal

etik untuk partai

ini, politisi wajib mengutamakan tugas dan fungsinya di atas kegiatan lain secara

politik dan politisi

profesional. Jabatan yang disandang seorang politisi sebagai pejabat publik tidak

pada hakikatnya

untuk mencari keuntungan pribadi, keluarga, kelompok dan golongan. Dalam

adalah kesetiaan partai

konteks ini politisi yang berkedudukan sebagai pejabat publik wajib bertindak

politik dan politisi

netral dan tidak memihak kepada parpol dan kelompok kepentingan tertentu.

terhadap hukum yang

Konsekuensi dari berpegang pada prinsip ini adalah tidak diperbolehkannya

diwujudkan dalam

ada rangkap jabatan atau menjadikan posisinya sebagai satu-satunya pekerjaan

bentuk perilaku yang

selama menjabat sebagai pejabat publik. Profesional di sini juga dalam kategori

nyata patuh pada

kewajiban politisi untuk menolak segala sesuatu pemberian dan/atau hadiah yang

hukum.

dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap pelaksanaan tugas sebagai pejabat publik dan menghindari intervensi pihak lainnya.

III.3.7 Taat pada hukum

Kepatuhan hukum terkait dengan kode etik untuk partai politik dan politisi pada hakikatnya adalah kesetiaan partai politik dan politisi terhadap hukum yang

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata patuh pada hukum. Kepatuhan atau ketaatan ini didasarkan pada kesadaran. Ketaatan pada hukum bukan hanya hukum yang berorientasi keadilan prosedural tetapi juga keadilan substansial. Hukum dalam hal ini hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan yang

Kode etik politisi

mempunyai pelbagai macam kekuatan, kekuatan berlaku atau rechtsgeltung.

ini mencakup dua aturan etika

Dalam kaitannya dengan prinsip ketaatan pada hukum, setiap politisi tidak hanya

(rule of ethics)

wajib tunduk pada hukum positif yang berlaku dalam menjalankan profesinya,

yang wajib

tetapi juga wajib menjadi contoh bagi masyarakat dalam penegakan hukum. Lebih

dipedomani oleh

dari itu, politisi juga didorong bekerjasama secara aktif dengan penegak hukum

semua politisi.

dalam pengungkapan tindakan melawan hukum.

Pertama adalah aturan etika yang

III.3.8 Akuntabel

berkaitan dengan

Prinsip akuntabel merupakan suatu prinsip di mana politisi dan partai politik identitas seorang harus mempertantanggunjawabkan kinerjanya secara individual dan personal, politisi. sedangkan partai politik melakukan pertanggungjawaban institusional sesuai dengan kehendak bersama dan tuntutan konstituen serta sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku.

III.3.9. Inklusif dan Non-Diskriminatif Pada dasarnya politisi dan partai politik perlu membangun suatu keterbukaan atau inklusivitas dalam menjalankan fungsi dan perannya. Selain mengedepankan aspek keterbukaan dalam setiap proses yang dilakukan oleh politisi dan partai politik, kedua-duanya juga tidak diskriminatif atau hanya menguntungkan satu pihak atau satu kelompok.

III.4. Cakupan Kode Etik Politisi dan Partai Politik

Aturan etika

III.4.1. Cakupan Kode Etik

politisi juga

Kode etik politisi dan partai politik ini dibuat untuk mengatur tujuh kategori perlu mengatur politisi sebagai berikut:

bagaimana

1) Politisi sebagai anggota partai;

menjadi seorang

2) Politisi sebagai kader partai;

politisi yang

3) Politisi sebagai pengurus partai;

profesional,

4) Politisi sebagai calon anggota legislatif;

akuntabel,

5) Politisi sebagai calon pasangan kepala daerah;

inklusif dan non-

6) Politisi sebagai calon presiden dan wakil presiden; dan

diskriminatif.

7) Politisi sebagai pejabat publik yang mewakili partai di lembaga negara

III.4.2. Kode Etik Politisi Kode etik politisi merupakan landasan norma, moral, etis dan filosofis untuk menjaga martabat kehormatan dan kredibilitas partai politik sebagai badan hukum publik yang memiliki fungsi menyeleksi pemimpin politik, membuat kebijakan publik, melakukan pendidikan politik, mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan publik, serta menjalankan komunikasi dan partisipasi politik, baik di tingkat nasional maupun daerah. Kode etik ini mengatur seseorang yang menyebut dirinya sebagai politisi.

36 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Sebagai sebuah landasan perilaku bagi setiap politisi, kode etik politisi ini mencakup dua aturan etika (rule of ethics) yang wajib dipedomani oleh semua politisi. Pertama adalah aturan etika yang berkaitan dengan identitas seorang politisi. Aturan etika tersebut berkaitan dengan misalnya, bagaimana perilaku

Setiap

politisi dalam hal mendudukkan kepentingan pribadi dengan kepentingan umum.

politisi wajib

Sebagai contoh, manakah yang lebih dipentingkan oleh seorang politisi dalam

mengumumkan

menjalankan tugasnya, apakah kepentingan pribadi ataukah kepentingan umum.

harta kekayaan

Selain hal itu, juga pada aspek-aspek kejujuran seperti asal-usul harta kekayaan,

berikut asal

identitas personal, rekam jejak dan lain sebagainya. Dalam hal integritas (integrity)

usul kekayaan

dan profesional misalnya mengatur hal-hal apa yang perlu dimiliki oleh seorang

dengan sebenar-

politisi. Integritas dan profesional bisa saja berkaitan dengan konflik kepentingan

benarnya.

( conflict of interest), penggunaan kekuasaan/jabatan (abuse of power) sebagai seorang politisi. Selain hal-hal tersebut, aturan etika politisi juga perlu mengatur bagaimana menjadi seorang politisi yang profesional, akuntabel, inklusif dan non- diskriminatif.

Selain aturan etik berkaitan dengan jati diri (identitas), aturan etika (rule of ethics) juga mengatur bagaimana seoarang politisi harus berkinerja sebagai politisi yang baik, khususnya dalam berhubungan dengan konstituen, kolega (sesama politisi) serta masyarakat secara luas. Kedua aturan etik di atas, selanjutnya dijabarkan sebagai berikut:

III.4.2.1. Kepentingan Umum

1. Setiap politisi dalam menjalankan pekerjaannya harus mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;

2. Ikut memastikan berlangsungnya pelayanan publik sebagaimana mestinya;

3. Wajib menjaga rahasia yang diperoleh karena posisi jabatannya, termasuk

Dilarang

tetapi tidak terbatas pada, hasil rapat yang dinyatakan sebagai rahasia, sampai

menggunakan

dengan batas waktu yang telah ditentukan atau sampai dengan masalah

kewenangan/

tersebut sudah dinyatakan terbuka untuk umum;

kekuasaan

4. Wajib menerima dan menjawab dengan sepenuh hati setiap pengaduan dan

dengan

keluhan yang disampaikan oleh masyarakat; dan

tujuan untuk

5. Wajib menjaga dan memperjuangkan amanat yang diberikan rakyat.

memperkaya

diri sendiri, keluarga,

III.4.2.2. Kejujuran

1. Setiap politisi wajib mengumumkan harta kekayaan berikut asal usul kekayaan

organisasi,

dengan sebenar-benarnya;

kelompok, dan

2. Setiap politisi wajib membuka identitas personal (status kewarganegaraan,

golongan yang

status perkawinan dan kekerabatan, pendidikan, catatan kesehatan mental/

dapat merugikan

kejiwaan dan fisik serta hasil test psikologi);

kepentingan

3. Setiap politisi wajib membuka rekam jejak riwayat pekerjaan, dan pengalaman organisasi, sebelum memangku jabatan publik; dan

umum.

4. Setiap politisi wajib melakukan klarifikasi publik perihal status hukumnya.

III.4.2.3. Integritas

1. Dilarang menggunakan kewenangan/kekuasaan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, organisasi, kelompok, dan golongan yang dapat merugikan kepentingan umum;

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

2. Dilarang berperilaku yang tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahkan kehormatan, martabat, dan citra politisi;

3. Dilarang bersikap dan/atau bertindak yang bertentangan dengan norma, etika, dan kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat;

4. Dilarang meminta hadiah, hibah, pinjaman, atau manfaat lainnya yang terkait

Wajib

dengan profesi dan/atau jabatan yang dimiliki;

mengartikulasikan

5. Dilarang memberikan hadiah, hibah, pinjaman, atau manfaat lainnya yang

kepentingan

terkait dengan profesi dan/atau jabatan yang dimiliki;

semua pihak

6. Mencegah atau melarang suami/istri, anak, dan setiap individu yang memiliki

secara adil dan

pertalian darah sampai derajat ketiga untuk meminta atau menerima hadiah,

tidak memihak

hibah, pinjaman, atau manfaat lainnya yang terkait dengan profesi dan/atau

pada salah satu

jabatan yang dimiliki;

kelompok atau

7. Setiap politisi yang berpindah partai harus melalui proses rekrutmen dan golongan. kaderisasi yang berjenjang, sebagai layaknya anggota baru, sekurang- kurangnya selama jangka waktu satu tahun; dan

8. Dilarang terlibat dalam kasus korupsi, narkotika, dan obat-obatan terlarang.

III.4.2.4. Transparansi/Keterbukaan

1. Wajib membuka akses publik untuk semua jenis informasi yang terkait dengan parpol secara akurat, benar, dan tidak menyesatkan;

Dilarang

2. Wajib membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien sehingga dapat menggunakan

jabatannya

diakses dengan mudah;

untuk mencari

3. Wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil

keuntungan

untuk memenuhi hak setiap orang atas informasi publik;

pribadi, keluarga,

4. Wajib memberikan respon secara arif dan bijaksana terhadap kritik dan kelompok dan pertanyaan publik;

golongan.

5. Wajib menjelaskan kepada publik apabila terjadi penyimpangan dalam proses kerja dan fungsi parpol serta upaya perbaikannya;

6. Wajib melaksanakan proses persidangan etik secara terbuka;

7. Wajib memberikan informasi kepada penegak hukum atas perilaku yang berpotensi pada tindak korupsi, kolusi dan nepotisme; dan

8. Wajib memberikan informasi kepada penyelenggara pemilu dan penegak hukum atas tindakan yang berpotensi pada pelanggaran proses pemilu Jika politisi (contoh, pencurian suara, black campaign, dan tindak pelanggaran lainnya).

menemukan adanya penyalahgunaan

III.4.2.5. Keadilan/Fairness

di dalam partai,

1. Wajib mendengarkan masukan dari semua pihak yang berkepentingan termasuk tindak dan mempertimbangkannya secara adil sebelum sebuah kebijakan publik korupsi dan diputuskan;

gratifikasi, maka

2. Wajib mengartikulasikan kepentingan semua pihak secara adil dan tidak mereka wajib memihak pada salah satu kelompok atau golongan; dan

melaporkan kepada

3. Wajib memberikan kesempatan yang sama kepada setiap kader partai untuk

badan-badan yang

menempati kepengurusan partai dan memiliki akses yang sama dalam kompeten di dalam rekrutmen politik.

partai dan penegak hukum.

III.4.2.6. Profesional

1. Dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari keuntungan pribadi,

38 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

keluarga, kelompok dan golongan;

2. Wajib mengutamakan tugas dan fungsinya sebagai politisi di atas kegiatan

Politisi wajib

lain secara profesional;

menolak

3. Dilarang melakukan rangkap jabatan lain di luar profesi sebagai politisi.

penggunaan

4. Politisi yang berkedudukan sebagai pejabat publik wajib bertindak netral dan

kekerasan

tidak memihak kepada parpol dan kelompok kepentingan tertentu;

sebagai cara

5. Menolak segala sesuatu pemberian dan/atau hadiah yang dapat menimbulkan

penyelesaian

pengaruh buruk terhadap pelaksanaan tugas sebagai pejabat publik dan

perbedaan dan/

menghindari intervensi pihak lainnya;

atau konflik

6. Wajib memenuhi tanggung jawabnya sebagai wakil konstituen;

politik yang

7. Wajib mengumumkan adanya hubungan atau keterkaitan pribadi dengan

bersifat internal

pihak ketiga atau pribadi yang dapat menimbulkan situasi konflik kepentingan

maupun antara

dalam pelaksanaan tugas sebagai pejabat publik;

partai politik.

8. Wajib mengikuti jenjang pengkaderan yang dipedomani sebagai jalur rekrutmen politik;

9. Politisi dilarang memiliki keanggotaan ganda;

10. Setiap politisi harus loyal kepada partai politiknya. Loyalitas tersebut tidak akan mengurangi kebebasannya untuk menyampaikan opini yang kritis

Setiap politisi

terhadap partainya;

wajib tunduk

11. Setiap politisi harus memiliki tanggung jawab untuk menghormati kode etik

pada hukum

partai yang mengatur aktivitas mereka, yang sifatnya tidak bertentangan

positif yang

dengan hukum positif yang berlaku;

berlaku dalam

12. Setiap politisi akan bekerja sama dengan organ partainya untuk memajukan

menjalankan

prinsip, nilai, dan etik yang akan membangun demokrasi di antara anggota

profesinya.

partai, khususnya terhadap anggota muda partai;

13. Jika politisi menemukan adanya penyalahgunaan di dalam partai, termasuk tindak korupsi dan gratifikasi, maka mereka wajib melaporkan kepada badan- badan yang kompeten di dalam partai dan penegak hukum;

14. Tidak mengeksploitasi status atau kekuasaan mereka untuk mendapatkan

Setiap politisi harus

keuntungan yang tidak semestinya, baik langsung maupun tidak langsung,

memperhitungkan

untuk dirinya sendiri, anggota, teman atau orang lain;

setiap pertanyaan

15. Tidak meminta, menerima, atau menyetujui untuk menerima kemudian,

ataupun

untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain setiap hadiah atau manfaat yang

penyelidikan

mungkin memunculkan kesan atau memberikan kesan yang mempengaruhi

tentang aktivitas

penilaian orang lain terhadap kinerja yang bersangkutan;

dan integritasnya.

16. Politisi wajib menolak penggunaan kekerasan sebagai cara penyelesaian

Mereka harus

perbedaan dan/atau konflik politik yang bersifat internal maupun antara partai

akuntabel atas

politik; dan

perbuatan dan

17. Politisi dilarang menyerukan dengan iming-iming uang, barang, atau

perilaku di ruang

pemberian lainnya agar pemilih tidak hadir di TPS atau sebaliknya

publik yang mereka

menggunakan hak suaranya.

lakukan, serta bertanggungjawab

III.4.2.7. Taat Pada Hukum

atas perbuatan

1. Setiap politisi wajib menjadi contoh atau teladan bagi masyarakat dalam

tersebut.

penegakan hukum;

2. Setiap politisi wajib memberikan informasi secara aktif dan bekerjasama dengan penegak hukum dalam pengungkapan tindakan melawan hukum;

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

3. Setiap politisi wajib tunduk pada hukum positif yang berlaku dalam menjalankan profesinya; dan

4. Dilarang menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi proses peradilan Politisi dilarang yang ditujukan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain.

menggunakan simbol dan bahasa yang

III.4.2.8. Akuntabel

sifatnya hasutan,

1. Wajib mempertanggunggugatkan tugas dan tanggung jawabnya kepada provokasi, ujaran publik;

kebencian, dan

2. Wajib mempertanggungjawabkan semua pengeluaran yang bersumber dari

penghinaan terhadap

keuangan negara (APBN/APBD) sesuai asas transparansi dan akuntabilitas

lawan politik yang

yang berlaku;

berorientasi pada

3. Wajib melaporkan secara berkala seluruh sumber penghasilan yang diperoleh

perbedaan etnik,

baik yang berasal dari keuangan negara maupun dari sumber lainnya;

gender, ras, agama,

4. Setiap politisi terpilih menjadi pejabat publik sepatutnya bertindak atas dasar

dan antargolongan.

kepentingan warga negara yang diberikan kepadanya sesuai dengan norma- norma yang berlaku secara universal; dan

5. Setiap politisi harus memperhitungkan setiap pertanyaan ataupun penyelidikan tentang aktivitas dan integritasnya. Mereka harus akuntabel atas perbuatan dan perilaku di ruang publik yang mereka lakukan, serta bertanggungjawab atas perbuatan tersebut.

III.4.2.9. Inklusif dan Non-Diskriminasi

1. Politisi yang menjadi calon legislatif, pasangan calon kepala daerah, calon

Setiap politisi

wakil presiden dan calon presiden dilarang berkampanye menggunakan isu

wajib memenuhi

bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam berbagai tanggung bentuk;

jawabnya

2. Politisi dilarang menggunakan rumah ibadah untuk kegiatan partai politik,

sebagai wakil

termasuk tetapi tidak terbatas pada, kegiatan kampanye pileg, pilkada, dan

konstituen atau

pilpres;

masyarakat.

3. Setiap politisi dilarang melakukan pembedaan, pengucilan atau pembatasan atas dasar gender, suku, ras, agama, afiliasi politik, kelompok rentan, kelompok atau golongan, dan status sosial, yang mempunyai dampak meniadakan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan atas hak asasi manusia;

4. Dilarang membatasi dan menghalangi kader partai untuk berpartisipasi dalam proses rekrutmen dan pencalonan politik atas dasar perbedaan gender, suku, ras, agama, afiliasi politik, kelompok atau golongan, dan status sosial;

5. Memberikan perlindungan dan akses yang sama kepada kelompok rentang dan minoritas;

Setiap politisi wajib

6. Pantang melakukan sikap intoleran, diskriminasi, seksisme, etnosentrisme,

mempertanggungjawabkan

fanatisme dan tindakan lainnya yang tidak menghargai hak-hak dasar setiap

kinerja politiknya kepada

warga negara;

konstituen atau masyarakat

7. Wajib menghormati kebebasan berekspresi, keberagaman, dan perbedaan; yang memilihnya. dan

8. Politisi dilarang menggunakan simbol dan bahasa yang sifatnya hasutan, provokasi, ujaran kebencian, dan penghinaan terhadap lawan politik yang berorientasi pada perbedaan etnik, gender, ras, agama, dan antargolongan.

40 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

III.4.2.10. Hubungan dengan Konstituen dan Masyarakat

1. Setiap politisi wajib memenuhi tanggung jawabnya sebagai wakil konstituen

Setiap politisi

atau masyarakat;

wajib menjaga

2. Setiap politisi wajib mempertanggungjawabkan kinerja politiknya kepada

kehormatan

konstituen atau masyarakat yang memilihnya;

dan

3. Setiap politisi wajib menghormati kebebasan berekspresi, keberagaman, dan

menjunjung

perbedaan yang menjadi unsur alamiah masyarakat Indonesia;

tinggi profesi

4. Politisi bertindak sesuai dengan kepercayaan yang telah diberikan oleh

jurnalistik.

konstituen dan masyarakat yang memilihnya;

5. Politisi wajib menjawab pertanyaan atas aktivitas dan kinerja politiknya yang disampaikan oleh konstituen dan masyarakat;

6. Setiap politisi wajib mendengarkan pendapat yang berbeda dari masyarakat dan para ahli sebelum mengambil keputusan atau kebijakan;

7. Setiap politisi wajib mendengarkan dan mempertimbangan tuntutan yang

Melaporkan

muncul dari konstituen atau masyarakat terhadap suatu kebijakan atau rencana

tanggungjawab

suatu kebijakan yang akan diputuskan;

politiknya

8. Setiap politisi wajib menjaga dan menghormati otonomi organisasi masyarakat

melalui media

sipil dalam melakukan hubungan kerja dengan mereka;

tanpa ada

9. Setiap politisi dilarang melakukan sikap intoleran, diskriminasi, seksisme,

diskriminasi

etnosentrisme, fanatisme dan tindakan lainnya yang tidak menghargai hak-

dan

hak dasar setiap warga negara dalam berhubungan dengan konstituen dan

pembatasan

masyarakat;

media tertentu.

10. Setiap politisi harus menerima dan menjawab dengan sikap penuh pengertian terhadap pengaduan, tuntutan, dan keluhan yang disampaikan oleh konstituen atau masyarakat;

11. Menghormati dan menghargai perbedaan pendapat dan keyakinan yang ada pada konstituen atau masyarakat;

12. Dalam berhubungan dengan konstituen atau masyarakat, politisi tidak mengeksploitasi status atau kekuasaan mereka untuk mendapatkan keuntungan yang tidak semestinya, baik langsung maupun tidak langsung, untuk dirinya sendiri, anggota, teman atau orang lain;

Dilarang

13. Dalam berhubungan dengan konstituen atau masyarakat tidak meminta,

meminta

menerima, atau menyetujui untuk menerima kemudian, untuk dirinya sendiri

hadiah, hibah,

atau untuk orang lain setiap hadiah atau manfaat yang mungkin memunculkan

pinjaman,

kesan atau memberikan kesan yang mempengaruhi penilaian orang lain

atau manfaat

terhadap kinerja yang bersangkutan;

lainnya yang

14. Dilarang meminta hadiah, hibah, pinjaman, atau manfaat lainnya yang terkait

terkait dengan

dengan profesi dan/atau jabatan yang dimiliki; dan

profesi dan/

15. Dilarang memberikan hadiah, hibah, pinjaman, atau manfaat lainnya yang

atau jabatan

terkait dengan profesi dan/atau jabatan yang dimiliki.

yang dimiliki.

III.4.2.11. Hubungan dengan Politisi Sesama Partai dan Politisi Lain Partai

1. Setiap politisi menjadikan perbedaan pandangan atau pendapat sebagai bagian dari sikap politik dalam berhubungan dengan politisi lain;

2. Setiap politisi dilarang melakukan intimidasi dan kekerasan dalam melakukan negosiasi dan silang pendapat dengan politisi partai lain;

3. Setiap politisi wajib menjaga martabat dan kehormatan politisi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

4. Membangun sikap saling percaya dalam berhubungan dan mengemban tugas dengan sesama politisi;

5. Menghormati privasi dan kehidupan pribadi sesama politisi dan tidak menggunakannya sebagai isu yang dibicarakan secara terbuka atau luas; dan

6. Mengedepankan kepentingan umum dalam melakukan negosiasi politik dalam menyusun dan membuat suatu kebijakan.

III.4.2.12. Hubungan dengan Media dan profesi sejenis

1. Setiap politisi wajib menjaga kehormatan dan menjunjung tinggi profesi jurnalistik;

2. Setiap politisi memberikan akses informasi yang sama kepada setiap insan pers yang memiliki profesi jurnalistik tanpa diskriminasi;

3. Hubungan politisi dengan media dibangun atas dasar kepercayaan kedua belah pihak dan tidak saling menyebabkan hilangnya otonomi masing- Setiap politisi masing pihak;

wajib tunduk

4. Melaporkan tanggungjawab politiknya melalui media tanpa ada dan patuh diskriminasi dan pembatasan media tertentu;

5. Memberikan penjelasan atas permintaan pendapat atau klarifikasi yang

terhadap

prinsip

diperlukan oleh media;

6. Melakukan konferensi pers secara berkala dalam rangka memberikan dan proses informasi kepada masyarakat secara luas melalui media;

administrasi

7. Setiap politisi yang melakukan kerja sama dengan media untuk suatu

publik dan

kegiatan tertentu wajib diumumkan kepada publik secara luas;

peradilan.

8. Politisi dilarang menguasai dan mendominasi atau mengatur independensi (kedaulatan) redaksi suatu media yang bertentangan dengan kepentingan umum;

9. Dilarang meminta hadiah, hibah, pinjaman, atau manfaat lainnya yang terkait dengan profesi dan/atau jabatan yang dimiliki; dan

10. Dilarang memberikan hadiah, hibah, pinjaman, atau manfaat lainnya yang terkait dengan profesi dan/atau jabatan yang dimiliki.

III.4.2.13. Hubungan dengan Birokrasi (Administrasi Publik), Peradilan, dan Lembaga-lembaga negara lainnya

1. Setiap politisi wajib tunduk dan patuh terhadap prinsip dan proses administrasi publik dan peradilan;

2. Dilarang menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi proses administrasi publik dan peradilan yang ditujukan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain;

3. Setiap politisi harus melindungi otonomi peradilan di luar kepentingan mereka sendiri dan orang-orang partai;

4. Setiap politisi berkewajiban melaporkan setiap penyimpangan dan tindakan seseorang yang melawan hukum;

5. Politisi dilarang menjadi pimpinan dan/atau anggota MK, MA, BPK, KY, KPK, Kejaksaan, KPU, dll; dan

6. Politisi dapat menjadi pimpinan dan/atau anggota MK, MA, BPK, KY, KPK, Kejaksaan, KPU, dll setelah mengundurkan diri dan tidak menjadi

42 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

anggota aktif partai politik minimal atau sekurang-kurangnya selama sepuluh tahun.

III.4.2.14.Hubungan Politisi Dengan Dunia Bisnis dan/atau Korporasi

1. Politisi wajib menjaga jarak yang sama dengan berbagai perusahaan/ korporasi;

2. Politisi dapat menerima sumbangan yang tidak mengikat dari perusahaan/korporasi sesuai dengan batas yang dibolehkan oleh

Partai politik

undang-undang;

sebagai badan hukum

3. Politisi dilarang menerima sumbangan dari perusahaan/korporasi

publik memiliki

yang dapat dikategorikan sebagai sogokan politik demi kepentingan

sejumlah konsekuensi,

bisnis perusahaan (bribe and kickback);

antara lain, organisasi

4. Politisi dilarang menggunakan posisi jabatannya di lembaga-lembaga

tersebut tidak

legislatif/eksekutif untuk memengaruhi kebijakan institusi negara

dapat dimiliki oleh

demi keuntungan bisnis pengusaha, perusahaan atau korporasi, baik

perseorangan atau

perusahaan pribadi, keluarga atau milik orang lain.

pribadi, tetapi sudah menjadi sebuah organisasi yang

III.4.3. Kode Etik Partai Politik

bersifat terbuka,

Partai politik merupakan pilar utama demokrasi. Sebagai pilar demokrasi,

terikat oleh norma-

keberadaan partai politik sangat penting dan mendasar yang dapat memengaruhi

norma kepentingan

hajat hidup orang banyak. Partai politik dalam batas tertentu menjadi satu-satunya

umum ...

organisasi publik yang menjadi sumber pengisian jabatan-jabatan strategis, baik di tingkat nasional maupun lokal. Dalam negara demokrasi, partai politik merupakan organisasi yang diciptakan untuk dapat mengartikulasikan kepentingan dan aspirasi masyarakat secara berkesinambungan. Mark N. Hagopian mendefinisikan partai politik sebagai suatu organisasi kelompok yang mengajukan calon-calon

Hubungan kode

bagi jabatan politik untuk diplih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol dan

etik dengan organisasi

memengaruhi tindakan-tindakan pemerintah. 43

dan kepemimpinan

Dalam konteks Indonesia, partai politik bukan semata-mata organisasi

partai sangat erat.

kelompok, tetapi telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan sebagai

Letak hubungannya

badan hukum publik (public institution). Partai politik sebagai badan hukum

misalnya dapat terlihat

publik memiliki sejumlah konsekuensi, antara lain, organisasi tersebut tidak dapat

pada siapa yang layak

dimiliki oleh perseorangan atau pribadi, tetapi sudah menjadi sebuah organisasi

menjadi pemimpin

yang bersifat terbuka, terikat oleh norma-norma kepentingan umum, dan prinsip-

partai? Perilaku-perilaku

prinsip kepatutan lainnya yang berlaku pada suatu masyarakat. Konsekuensi

apa saja yang boleh dan

lainnya, partai politik sebagai badan hukum publik juga memiliki tanggungjawab

tidak boleh dilakukan

moral dalam mengelola kehidupan politik dan bernegara serta memujudkan

oleh kader, pengurus

demokrasi yang lebih baik. Implikasinya tata kelola partai politik tidak terlepas

dan pimpinan partai?

sama sekali dengan etika publik. Penerapan etika publik sudah menjadi suatu

Apa yang menjadi

keniscayaan bagi pengelolaan partai politik di Indonesia.

landasan tata kelola

Setidaknya ada sejumlah hubungan antara kode etik dan organisasi partai.

dalam menjalankan

Pertama, hubungan kode etik dengan organisasi partai tercermin pada manajemen

organisasi yang tidak

partai. Manajemen partai berkaitan dengan bagaimana partai menjalankan

bertentangan dengan

pemerintahan dan bagaimana partai dipimpin atau dikelola serta bagaimana

kepentingan dan etika

pengurus partai berhubungan dengan konstitusi, prosedur aturan yang berlaku

publik? ... 43 Moshe Maor, Political Parties & Party Systems: Comparative Approaches & the British Experience, (London and New York: Routledge, 1997), hlm. 1-5. Lihat juga pada Ichlasul Amal, ed., Teori- Teori Mutakhir Partai Politik, (Yogyakarta: TWC, 1996), hlm. 1.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

dan masalah-masalah perilaku yang berlaku sebagai norma masyarakat. 44 Tata

Setiap partai politik

kelola partai berkaitan antara lain dengan persoalan bagaimana organisasi partai

wajib menegakkan

mengkoordinasikan faksi-faksi kepentingan internal, bagaimana elemen integritas

hak asasi manusia

diatur, dan bagaimana sublimasi serta penggabungan berbagai kepentingan dapat

yang dijamin oleh dikendalikan. 45 konstitusi.

Kedua, manajamen partai politik tidak dapat dilepaskan dari kebijakan rekrutmen dan kaderisasi yang digariskan dan dipraktikkan oleh partai politik. Sebuah proses rekrutmen politik pada dasarnya tergantung pada bagaimana partai-partai politik menjaring calon-calon anggota partai. Proses rekrutmen dan kaderisasi dapat bersifat jangka pendek, dan jangka panjang, tergantung dari kepentingan partai politik. Jangka pendek misalnya berkaitan dengan proses Setiap parpol pencalonan anggota legislatif, dan pengisian jabatan kepala daerah (Gubernur, wajib melaporkan Bupati/Walikota) atau pengisian-pengisian jabatan politik lainnya. Kebijakan asal usul sumber rekrutmen ini akan menentukan kualitas sekaligus integritas kader dan politisi

pendanaannya, baik

partai politik.

dari sektor publik

Ketiga, hubungan kode etik dengan organisasi dan kepemimpinan partai maupun swasta sangat erat. Letak hubungannya misalnya dapat terlihat pada siapa yang layak

sesuai peraturan

menjadi pemimpin partai? Perilaku-perilaku apa saja yang boleh dan tidak boleh

perundang-undangan

dilakukan oleh kader, pengurus dan pimpinan partai? Apa yang menjadi landasan

yang berlaku.

tata kelola dalam menjalankan organisasi yang tidak bertentangan dengan kepentingan dan etika publik? Bagaimana keberlangsungan organisasi partai, hal ini terkait dengan asal usul kader partai dan siapa yang mengisi dan menguasai jabatan-jabatan strategis dalam struktur partai. Dalam banyak kasus, hubungan antara tata kelola partai dengan kode etik bukanlah sesuatu yang mudah, karena

Proses seleksi

bisa jadi aspek-aspek internal organisasi partai yang tertutup menghambat pimpinan dan diterapkannya prinsip-prinsip etik secara umum. Oleh karena itu, kode etik partai

pengurus teras

politik dapat dimaknai sebagai sebuah norma yang mengikat dan mengatur institusi

partai dilakukan

atau organisasi partai politik sebagai badan hukum publik, dan/atau norma yang

melalui proses yang

mengikat dan mengatur individu yang memiliki kedudukan sebagai ketua umum

bermartabat yang

partai, sekretaris partai, bendahara (atau yang disebut sebagai pengurus harian

didasarkan pada

partai) dan atau yang memiliki kedudukan sebagai pengurus partai politik sesuai

kriteria yang dibuat

dengan AD/ART yang berlaku di setiap partai politik.

oleh partai di dalam

Sebagai sebuah kebutuhan saat ini dan mendatang, penerapan kode etik AD/ART. partai politik perlu diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan agar partai politik tidak dikelola dengan cara-cara yang tidak baik, dan dikuasi oleh segelintir orang untuk kepentingan-kepentingan politik sesaat.

III.4.3.1. Kepentingan Umum

1. Setiap partai politik wajib menegakkan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi;

2. Partai politik wajib menghormati hak pilih dan hak partisipasi warga negara di dalam setiap proses pemilu;

3. Partai politik wajib memiliki standar perilaku yang berlandaskan asas-asas kepatutan umum;

4. Partai politik wajib menjalankan fungsi dan amanat sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

44 Ibid., hlm. 11. 45 Ibid.

44 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

5. Partai politik wajib menerima dan menjawab dengan sepenuh hati setiap pengaduan dan keluhan yang disampaikan oleh masyarakat;

6. Partai politik wajib menjaga dan memperjuangkan amanat yang diberikan rakyat; dan

7. Partai politik wajib ikut memastikan berlangsungnya pelayanan publik sebagaimana mestinya.

Partai politik wajib

III.4.3.2. Kejujuran

membuka akses

1. Setiap parpol wajib melaporkan asal usul sumber pendanaannya, baik dari

publik untuk

sektor publik maupun swasta sesuai peraturan perundang-undangan yang

semua jenis

berlaku;

informasi yang

2. Setiap parpol wajib melaporkan penggunaan dana, baik yang bersumber

terkait dengan

dari dana publik maupun swasta sesuai peraturan perundang-undangan yang

partai politik secara

berlaku;

akurat, benar, dan

3. Setiap parpol wajib melaporkan data kepengurusan, alamat kantor, rekening

tidak menyesatkan.

dana partai, dan keanggotan partai;

4. Setiap pimpinan dan pengurus teras parpol wajib mengumumkan harta kekayaan organisasi partai politik baik yang bersumber dari dana publik maupun swasta sesuai peraturan perundang-undangan;

5. Pimpinan partai dilarang memalsukan dokumen tertentu yang menguntungkan seseorang atau pihak lain; dan

6. Pimpinan partai politik wajib melakukan klarifikasi terhadap rekomendasi ganda berhubungan dengan proses kandidasi dan pencalonan kader partai politik untuk menjadi calon anggota legislatif dan pejabat publik.

III.4.3.3. Integritas

1. Proses seleksi pimpinan dan pengurus teras partai dilakukan melalui proses yang bermartabat yang didasarkan pada kriteria yang dibuat oleh partai di dalam AD/ART;

Setiap partai politik

2. Setiap partai wajib mendukung dan mendorong program anti korupsi secara

menyediakan rekam

sendiri maupun bersama-sama dengan lembaga lain;

jejak riwayat pekerjaan,

3. Pimpinan teras partai dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari

pengalaman organisasi,

keuntungan pribadi, keluarga, kelompok dan golongan;

dan data identitas

4. Pimpinan dan pengurus teras partai wajib mengutamakan tugas dan fungsinya

kadernya sebelum

secara profesional;

dicalonkan sebagai

5. Pimpinan dan atau ketua umum partai dilarang melakukan rangkap jabatan

calon anggota legislatif,

lain di luar profesinya sebagai politisi;

dan memangku jabatan

6. Setiap pimpinan dan pengurus teras partai dilarang menggunakan kewenangan/

publik.

kekuasaan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, organisasi, kelompok, dan golongan yang dapat merugikan kepentingan umum;

7. Setiap pimpinan dan pengurus teras partai dilarang berperilaku yang tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahkan kehormatan, martabat, dan citra politisi;

8. Setiap pimpinan dan pengurus teras partai dilarang bersikap dan/atau bertindak yang bertentangan dengan norma, etika, dan kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat;

9. Setiap pimpinan dan pengurus teras partai dilarang meminta hadiah, hibah, pinjaman, atau manfaat lainnya yang terkait dengan profesi dan/atau jabatan

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

yang dimiliki;

Setiap partai politik

10. Setiap pimpinan dan pengurus teras partai dilarang menerima hadiah, hibah,

harus memberikan

pinjaman, atau manfaat lainnya yang terkait dengan profesi dan/atau jabatan

kesempatan yang

yang dimiliki;

sama kepada

11. Setiap pimpinan dan pengurus teras partai dilarang memberikan hadiah, setiap orang hibah, pinjaman, atau manfaat lainnya yang terkait dengan profesi dan/atau

yang memiliki

jabatan yang dimiliki;

kualifikasi untuk

12. Pimpinan partai mencegah atau melarang suami/istri, anak, dan setiap menjadi calon individu yang memiliki pertalian darah sampai derajat ketiga untuk meminta

anggota legislatif,

atau menerima hadiah, hibah, pinjaman, atau manfaat lainnya yang terkait

pasangan calon

dengan profesi dan/atau jabatan yang dimiliki; dan

kepala daerah, dan

13. Semua pejabat partai, baik pimpinan atau pejabat teras dan anggotanya turut

pasangan calon

serta dalam membasmi penyimpangan elektoral (electoral froud), politik presiden. uang (money politics), baik sebelum, pada saat dan setelah tahapan pemilihan umum (election).

III.4.3.4. Transparansi/Keterbukaan

1. Partai politik wajib membuka akses publik untuk semua jenis informasi yang

Partai politik

terkait dengan partai politik secara akurat, benar, dan tidak menyesatkan;

dilarang

2. Setiap partai politik menyediakan rekam jejak riwayat pekerjaan, pengalaman

memberikan

organisasi, dan data identitas kadernya sebelum dicalonkan sebagai calon jabatan dan/ anggota legislatif, dan memangku jabatan publik;

atau posisi

3. Setiap partai politik wajib membangun dan mengembangkan sistem informasi

kepengurusan

dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien

partai kepada

sehingga dapat diakses dengan mudah;

anggota keluarga,

4. Wajib menjelaskan kepada publik apabila terjadi penyimpangan dalam proses

sanak-saudara,

kerja dan fungsi parpol serta upaya perbaikannya;

dan kerabat

5. Wajib memberikan informasi kepada penegak hukum atas perilaku yang tanpa melalui berpotensi pada tindak korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan anggota

proses seleksi dan

partainya;

rekrutmen yang

6. Wajib memberikan informasi kepada penyelenggara pemilu dan penegak telah menjadi hukum atas tindakan yang berpotensi pada pelanggaran proses pemilu ketetapan partai (contoh, pencurian suara, black campaign, dan tindak pelanggaran lainnya);

politik.

7. Semua partai politik bertindak kooperatif dan memberikan dukungan penuh pada proses-proses seleksi yang dibutuhkan oleh negara (seleksi pada komisi- komisi tertentu) secara terbuka dan transparan, dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

8. Semua partai wajib melaporkan laporan keuangan partai sebelum dan setelah

Pengurus

pelaksanaan pemilu.

partai dilarang memanfaatkan

III.4.3.5. Keadilan (fairness)

posisi dan

1. Setiap partai politik harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap

jabatannya untuk

orang yang memiliki kualifikasi untuk menjadi calon anggota legislatif,

kepentingan

pasangan calon kepala daerah, dan pasangan calon presiden;

pribadi, keluarga,

2. Partai politik memberikan kesempatan yang sama kepada setiap kader untuk

dan kelompok atau

memperebutkan dan mengisi struktur kepengurusan partai melalui proses golongan. yang kompetitif, fair dan adil;

46 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

3. Partai politik dilarang memberikan jabatan dan/atau posisi kepengurusan partai kepada anggota keluarga, sanak-saudara, dan kerabat tanpa melalui proses seleksi dan rekrutmen yang telah menjadi ketetapan partai politik;

4. Setiap partai politik wajib mendengarkan masukan dari semua pihak yang berkepentingan dan mempertimbangannya secara adil sebelum menunjuk seorang kader sebagai calon anggota legislatif dan mendudukan jabatan

Partai politik

publik;

wajib memiliki

5. Setiap partai politik wajib memberikan kesempatan yang sama kepada setiap

sistem seleksi

kader partai untuk menempati kepengurusan partai dan memiliki akses yang

yang baku,

sama dalam rekrutmen politik;

terbuka,

6. Pimpinan (ketua umum partai) dan pengurus partai tidak memiliki kekebalan

demokratis,

hukum (impunity) karena kedudukannya terhadap segala bentuk pelanggaran

berjenjang,

etika yang telah diatur pada kode etik politisi dan partai politik;

dan partisipatif

7. Pimpinan partai dilarang menghilangkan temuan hasil pengawasan etik

dalam

dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan kepentingan pribadi atau

pencalonan

pihak lain; dan

legislatif,

8. Semua partai politik wajib menerima hasil akhir pemilu yang sah yang telah

pilkada dan

diumumkan dan disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum.

pilpres.

III.4.3.6. Profesional

1. Partai politik wajib memiliki standar perilaku yang berlandaskan asas-asas kepatutan umum;

2. Wajib memiliki jenjang dan sistem pengkaderan yang dipedomani sebagai jalur rekrutmen politik;

3. Wajib memiliki sistem dan database keanggotaan yang menjadi dasar bagi

Pimpinan

proses rekrutmen dan pengkaderan partai politik;

partai wajib

4. Pengurus partai dilarang memanfaatkan posisi dan jabatannya untuk

mengumumkan

kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok atau golongan;

adanya

5. Partai wajib membangun loyalitas anggota/kader secara sistemik dan bukan

hubungan atau

personal;

keterkaitan

6. Setiap partai politik harus melarang para anggota, kader, dan pendukungnya

pribadi dengan

untuk menggunakan atribut partainya pada saat partai lain sedang melakukan

pihak ketiga

kampanye atau pertemuan;

atau pribadi

7. Semua partai harus menginstruksikan kepada kader dan anggotanya untuk

yang dapat

tidak membawa senjata tajam yang dapat mencederai orang lain pada saat

menimbulkan

kampanye, pertemuan, demonstrasi dan bentuk-bentuk kegiatan lainnya;

situasi konflik

8. Partai politik wajib memiliki sistem seleksi yang baku, terbuka, demokratis,

kepentingan

berjenjang, dan partisipatif dalam pencalonan legislatif, pilkada dan pilpres;

dalam

9. Partai politik wajib menolak penggunaan kekerasan sebagai cara penyelesaian

pelaksanaan

perbedaan dan/atau konflik politik yang bersifat internal maupun antara partai

tugas sebagai

politik;

pimpinan atau

10. Partai politik dilarang melibatkan diri dalam berbagai bentuk aktivitas

pengurus partai.

kekerasan atau intimidasi sebagai upaya menunjukkan kekuatan atau supremasi mereka.

11. Partai politik dilarang melakukan tindakan penghinaan, pelecehan harga diri partai atau individu politisi, dan pembunuhan karakter lawan, baik secara lisan maupun tulisan;

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

12. Partai politik dilarang menghalangi, mengganggu, membubarkan kampanye, pertemuan, atau konvoi partai lain dalam bentuk apapun;

13. Partai politik dilarang mencegah dan/atau membatasi hak setiap orang berpartisipasi dalam aktivitas kampanye partai politik lain;

14. Partai politik dilarang melakukan skenario ‘calon boneka’ dalam pilkada dan pilpres;

15. Partai politik dilarang menerima kader atau politisi dari partai lain (kader

Partai politik

dan/atau politisi kutu loncat) untuk menduduki posisi pengurus teras dan/ dilarang atau calon anggota legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah, selama

menyerukan

sekurang-kurangnya satu periode pemilu (lima tahun);

dengan iming-

16. Pimpinan (Ketua Umum) partai wajib mengumumkan adanya hubungan atau

iming uang,

keterkaitan pribadi dengan pihak ketiga atau pribadi yang dapat menimbulkan

barang, atau

situasi konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas sebagai pimpinan atau

pemberian lainnya

pengurus partai;

agar pemilih

17. Pimpinan partai tidak boleh mengeksploitasi status atau kekuasaan mereka

tidak hadir di TPS

untuk mendapatkan keuntungan yang tidak semestinya, baik langsung atau sebaliknya maupun tidak langsung, untuk dirinya sendiri, anggota, teman atau orang lain;

menggunakan hak

18. Partai politik wajib menolak penggunaan kekerasan sebagai cara penyelesaian

suaranya.

perbedaan dan/atau konflik politik yang bersifat internal maupun antar partai politik;

19. Partai politik dilarang menetapkan calon anggota legislatif, calon gubernur/ wakil gubernur, calon bupati/wakil bupati, calon presien/wakil presiden dan pengisian jabatan publik atas dasar mahar politik dan/atau politik uang, dan tidak didasarkan pada kepatutan proses seleksi atas dasar kemampuan; dan

20. Pimpinan partai dilarang mereduksi, melampui dan/atau melanggar batas tanggunjgawab dan kewenangan yang dimiliki sesuai dengan hak dan Semua partai politik kewajiban yang diatur pada AD/ART dan peraturan perundang-undangan.

wajib mematuhi hukum, aturan

III.4.3.7. Taat pada Hukum

yang berkaitan

1. Semua partai politik, baik pimpinan atau ketua umum partai memiliki dengan pemilu kedudukan yang sama sebagai subjek hukum dan subjek etika politik partai;

dan memelihara

2. Semua partai politik wajib mematuhi hukum, aturan yang berkaitan dengan

ketertiban umum.

pemilu dan memelihara ketertiban umum. Dalam hal ini semua partai harus

Dalam hal ini

bekerja sama secara penuh dengan penegak hukum dalam setiap investigasi

semua partai harus

dan proses penegakan hukum dan peraturan yang relevan;

bekerjasama secara

3. Partai politik dilarang menggunakan rumah ibadah untuk kegiatan partai penuh dengan politik, termasuk tetapi tidak terbatas pada, kegiatan kampanye pileg, pilkada,

penegak hukum

dan pilpres;

dalam setiap

4. Partai politik dilarang menggunakan simbol dan bahasa yang sifatnya hasutan,

investigasi dan

provokasi, ujaran kebencian, dan penghinaan terhadap lawan politik yang proses penegakan berorientasi pada perbedaan etnik, gender, ras, agama, dan antargolongan;

hukum dan peraturan

5. Partai politik dilarang menghalangi, mengganggu, membubarkan kampanye,

yang relevan.

pertemuan, atau konvoi partai lain dalam bentuk apapun; dan

6. Partai politik dilarang menggunakan segala bentuk fasilitas negara untuk kampanye atau bentuk kegiatan partai lainnya.

7. Partai politik dilarang menggunakan rumah ibadah untuk kegiatan partai politik, termasuk tetapi tidak terbatas pada, kegiatan kampanye pileg, pilkada, dan pilpres; dan

48 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

8. Partai politik dilarang menyerukan dengan iming-iming uang, barang, atau pemberian lainnya agar pemilih tidak hadir di TPS atau sebaliknya menggunakan hak suaranya.

III.4.3.8. Akuntabel

1. Partai politik wajib untuk mengumumkan sumber dana partai selain yang diperoleh dari negara;

2. Setiap partai politik wajib melaporkan asal usul sumber pendanaannya baik dari sektor publik maupun swasta sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. Partai politik wajib untuk mengumumkan bisnis, usaha dan sumber dana

Partai politik wajib

partai selain yang diperoleh dari negara;

memperjuangkan

4. Setiap partai politik wajib melaporkan penggunaan dana, baik dana dari sektor

kepentingan

publik maupun swasta sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

konstituen

5. Wajib membuka akses publik untuk semua jenis informasi yang terkait dengan

partainya melalui

parpol secara akurat, benar, dan tidak menyesatkan;

para wakil

6. Partai politik wajib mengumumkan susunan kepengurusan partai politik baik

rakyatnya di

di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota;

lembaga-lembaga

7. Partai politik wajib melibatkan publik dan mengumumkan proses rekrutmen

perwakilan di DPR,

politik baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota;

DPRD Provinsi dan

8. Partai politik wajib melaporkan secara berkala seluruh sumber penghasilan

DPRD Kabupaten/

yang diperoleh baik yang berasal dari keuangan negara maupun dari sumber

Kota dengan

lainnya; dan

cara-cara yang

9. Partai politik wajib mengumumkan proses seleksi dan kandidasi dalam

demokratis.

rekrutmen politik calon anggota legislatif, calon gubernur/wakil gubernur, calon bupati/wakil bupati, calon presiden/wakil presiden dan pengisian jabatan publik lainnya.

III.4.3.9. Inklusif dan Non-Diskrimanasi

1. Sebagai badan hukum publik, partai politik wajib melembagakan tata kelola

Partai politik wajib

organisasi partai sebagai organisasi yang terbuka;

mengumumkan

2. Partai politik dilarang mencegah dan/atau membatasi hak setiap orang

proses seleksi

berpartisipasi dalam aktivitas kampanye partai politik lain;

dan kandidasi

3. Partai politik dilarang membatasi dan menghalangi hak politik seseorang,

dalam rekrutmen

kader atau bukan kader partainya pada proses rekrutmen dan kandidasi dalam

politik calon

pilkada;

anggota legislatif,

4. Partai politik dilarang menggunakan rumah ibadah untuk kegiatan partai

calon gubernur/

politik, termasuk tetapi tidak terbatas pada, kegiatan kampanye pileg, pilkada,

wakil gubernur,

dan pilpres;

calon bupati/

5. Semua partai politik wajib setiap saat menegakkan kebebasan hak asasi

wakil bupati,

manusia yang dilindungi oleh hukum. Dalam konteks ini setiap partai politik

calon presiden/

harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang memiliki

wakil presiden dan

kualifikasi untuk berpartisipasi dalam proses pemilu;

pengisian jabatan

6. Partai politik dilarang menggunakan simbol dan bahasa yang sifatnya hasutan,

publik lainnya.

provokasi, ujaran kebencian, dan penghinaan terhadap lawan politik yang berorientasi pada perbedaan etnik, gender, ras, agama, dan antargolongan; dan

7. Partai politik dilarang melakukan rekrutmen yang berdasar atas etnik, gender, ras, agama, dan golongan.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

III.4.3.10. Hubungan Parpol dengan Konstituen dan/atau Masyarakat

Partai politik

1. Partai politik wajib memperjuangkan kepentingan konstituen partainya dan politisi melalui para wakil rakyatnya di lembaga-lembaga perwakilan di DPR, DPRD

wajib menjaga

Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan cara-cara yang demokratis;

independensi

2. Dalam hal melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan terhadap konstituen

dan netralitas

partainya, partai politik wajib pula memperhatikan dan memperjuangkan lembaga- melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan daerahyang bukan menjadi

lembaga birokrasi

konstituen partainya;

pemerintahan,

3. Partai politik wajib membuka pintu kantor-kantor partainya bagi rakyat yang

peradilan, dan

ingin mengadu atau menyampaikan aspirasi politiknya;

lembaga negara

4. Para wakil rakyat wajib menjaga hubungan dengan konstituennya pada saat

lainnya.

reses dan acara-acara pertemuan lainnya sebagai bagian dari artikulasi dan agregasi kepentingan publik;

5. Partai politik dilarang menggunakan politik uang dalam menjaga hubungan dengan konstituen partainya; dan

6. Partai politik dilarang menerapkan diskriminasi atas dasar gender, suku, agama, ras dan antar golongan dalam berhubungan dengan konstituennya.

III.4.3.11. Dunia Bisnis dan/atau Korporasi

1. Partai politik wajib menjaga jarak yang sama dengan berbagai perusahaan/ korporasi;

2. Partai politik dapat menerima sumbangan yang tidak mengikat dari perusahaan/korporasi sesuai dengan batas yang dibolehkan oleh undang- undang; dan

3. Partai politik dilarang menerima sumbangan dari perusahaan/korporasi yang dapat dikategorikan sebagai sogokan politik demi kepentingan bisnis perusahaan (bribe and kickback).

III.4.3.12. Internal Parpol dan Parpol Lain

1. Partai politik wajib memiliki ideologi sebagai pembeda identitas partai dalam melakukan program dan perjuangan partainya;

2. Partai politik wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam berkompetisi dan berkontestasi antar partai politik;

Partai politik wajib

3. Partai politik wajib meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas

memiliki ideologi

kepentingan partai dan anggotanya;

sebagai pembeda

4. Partai politik wajib menjaga hubungan komunikasi positif dengan partai-

identitas partai

partai;

dalam melakukan

5. Partai politik dilarang menggunakan isu suku, agama, ras dan antar

program dan

golongan dalam berkontestasi dengan partai-partai lainnya;

perjuangan

6. Partai politik dilarang merebut kader partai politik lain untuk kepentingan

partainya.

partainya; dan

7. Partai politik dilarang melakukan intervensi atas persoalan internal yang sedang dihadapi oleh partai politik lain.

III.4.3.13. Media Massa

1. Partai politik wajib menjaga hubungan positif dengan media massa;

2. Partai politik dan/atau pemimpin partai boleh memiliki bisnis media;

3. Partai politik dilarang memonopoli media massa milik negara atau milik

50 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

partai/pimpinan partai untuk kepentingan politik partainya;

4. Partai politik dilarang menggunakan media massa untuk melakukan kampanye hitam terhadap partai politik lain;

5. Partai politik wajib mendorong media massa agar melakukan pemberitaan

Dalam prinsip

yang seimbang terhadap partai-partai politik; dan

hubungan antara

6. Partai politik wajib mendorong media massa agar memberikan porsi yang

kekuasaan dan

sama bagi partai-partai politik dalam pemberitaan pada masa kampanye.

etika, ungkapan Lord Acton bahwa

III.4.3.14. Birokrasi (Administrasi Publik), Peradilan, dan Lembaga Negara

kekuasaan cenderung

lainnya.

disalahgunakan dan

1. Partai politik dan politisi wajib menjaga independensi dan netralitas lembaga-

kekuasaan mutlak

lembaga birokrasi pemerintahan, peradilan, dan lembaga negara lainnya;

pasti disalahgunakan

2. Partai politik dan politisi yang menduduki jabatan eksekutif dilarang

(power tends to

melakukan politisasi birokrasi, lembaga peradilan, dan lembaga negara

corrupt, absolute

lainnya untuk kepentingan partainya;

power corrupt

3. Partai politik dilarang memasukkan kadernya ke dalam lembaga birokrasi,

absolutely) telah

lembaga peradilan dan lembaga negara lainnya yang dapat mengganggu

terbukti dalam

independensi dan netralitas lembaga; dan

berbagai kasus

4. Partai politik dan politisi yang memiliki jabatan sebagai kepala daerah

pada sejarah

dilarang melakukan politik balas dendam atau politik balas budi pasca pemilu

penyelenggaraan

terhadap birokrat di pusat dan daerah yang dapat merusak sistem merit dan

pemerintahan.

sistem karir di birokrasi pemerintahan.

IV. PENEGAKAN DAN MAHKAMAH ETIK

Penegakan etik merupakan salah satu instrumen mendasar dalam menjaga kehormatan dan martabat (dignity) sebuah profesi dan/atau organisasi. Penegakan etik mengatur bagaimana aturan-aturan etika (rule of ethics) diawasi dan ditegakkan. Siapa yang mengawasi dan menegakkan rule of ethics tersebut? Dari pengalaman banyak negara yang menganut demokrasi, ada semacam pengadilan etika (court

of ethics) sebagaimana berlaku untuk pelanggaran hukum positif (rule of law). 46 Dalam konteks Indonesia dikenal beberapa nama lembaga yang menegakkan etika

seperti Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang berfungsi untuk menegakkan aturan-aturan etik bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah

Kehormatan, Majelis Kehormatan Partai. 47 Dalam hal penyelenggara pemilihan umum dikenal Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bertugas untuk menjadi peradilan etik bagi penyelenggara pemilu. 48 Sementara pada beberapa organisasi profesi, seperti pada profesi wartawan (jurnalistik), kedokteran, pengacara, dan peneliti juga telah dipraktikkan peradilan etik dengan nama yang berbeda, tetapi prinsipnya sama. Dari pengalaman beberapa negara lain, aturan etika memerlukan prosedur untuk menyelesaikan persoalan yang muncul. Umumnya proses persidangan etik berlangsung secara tertutup, independen,

46 �ulfikri Suleman, “Mahkamah Etik Penyelenggara Negara di Negara Demokrasi,” dalam Jurnal

Etika & Pemilu, edisi 1, Mei 2015: 14.

47 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

48 Peraturan Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

dan pada kasus yang terjadi di US, investigasi pelanggaran etika berdasar pada

Mahkamah bersifat ad

prosedur investigasi kriminal. 49

hoc, karena mahkamah

Peradilan etik ini diperlukan karena sejumlah alasan. Pertama, dalam sistem

ini hanya akan bekerja

demokrasi, pengawasan terhadap perilaku bagi politisi yang memiliki posisi setelah ada kasus penting dalam demokrasi merupakan conditio sine qua non dalam kehidupan pengaduan etik yang berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu pengawasan dalam rangka memberikan

berkaitan dengan

sanksi menjadi salah satu pilihan.

pelanggaran kode etik

Kedua, politisi merupakan profesi yang penting bagi kehidupan bernegara

politisi dan partai politik.

di negara-negara demokrasi. Politisi seperti orang-orang yang menduduki jabatan

Mahkamah dibentuk

publik, pengurus partai, anggota parlemen, dan politisi yang menduduki jabatan

oleh negara apabila ada

di eksekutif, memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan dan mengambil pengaduan dari beberapa kebijakan yang berdampak bagi kehidupan masyarakat secara luas. Dalam prinsip

lembaga/institusi dan/

hubungan antara kekuasaan dan etika, ungkapan Lord Acton bahwa kekuasaan

atau perorangan yang

cenderung disalahgunakan dan kekuasaan mutlak pasti disalahgunakan (power

mengajukan perlunya

tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely) telah terbukti dalam berbagai

peradilan etik.

kasus pada sejarah penyelenggaraan pemerintahan. Karenanya diperlukan sebuah lembaga yang bisa mengawasi perilakunya

Ketiga, politisi bekerja tidak dalam ruang yang hampa (kosong), tetapi berada pada ruang publik atau norma kepatutan masyarakat. Kaidah dan norma tersebut sebenarnya merupakan internalisasi dari nilai-nilai yang diidealkan Penegakan etik sebagai kebaikan, keluhuran, dan kemuliaan berhadapan dengan nilai-nilai yang

merupakan salah

buruk, tidak luhur dan tidak mulia. Kaidah-kaidah apa yang boleh, apa yang yang

satu instrumen

diwajibkan dan apa yang dilarang sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat dari

mendasar

waktu ke waktu. 50 Oleh karena itu, ada nilai-nilai kepatutan yang perlu dijaga dan

dalam menjaga

menjadi bagian dari integritas sebagai seorang politisi.

kehormatan

Keempat, untuk menghindari abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan,

dan martabat

pengawasan terhadap perilaku politisi menjadi sebuah keniscayaan. Kontrol dan

(dignity) sebuah

pengawasan terhadap kekuasaan dalam sistem demokrasi dimaksudkan agar profesi dan/atau pemegang kekuasaan memiliki tanggungjawab dan akuntabilitas terhadap jabatan

organisasi.

yang didudukinya. Selain alasan-alasan di atas, penegakan peradilan etik perlu dilakukan oleh sebuah lembaga yang independen, imparsial dan otonom. Diusulkan bahwa lembaga yang menegakkan etik berbentuk mahkamah etik yang bersifat ad hoc. Mengapa Mahkamah Etik? Bentuk tersebut dipilih karena proses penegakan etik

Peradilan etik tidak

sebaiknya dilakukan di luar mekanisme internal partai politik. Sebagaimana kita

mengenal immunity

ketahui, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa mekanisme internal partai

atau kekebalan,

dalam menegakkan disiplin dan pelanggaran-pelanggaran, baik pelanggaran etik

dalam pengertian

maupun pelanggaran di luarnya cenderung bersifat tertutup, tidak transparan, pelanggaran etika diintervensi oleh orang kuat partai, tidak adil, dan syarat dengan politik hanya berlaku bagi kepentingan.

kader, anggota

Mahkamah bersifat ad hoc, karena mahkamah ini hanya akan bekerja setelah

partai, dan

ada kasus pengaduan etik yang berkaitan dengan pelanggaran kode etik politisi

pimpinan (Ketua

dan partai politik, yang tidak dapat diselesaikan oleh Mahkamah Partai secara

Umum) secara

internal yang menangani masalah pelanggaran etik. Dalam hal ini, partai-partai

terbatas.

politik diharuskan membuat sebuah lembaga yang khusus menangani penegakan

49 National Democratic Institute for International Affairs, Legislative Research Series Paper #4, hlm. 6. 50 Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi , (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 49-50.

52 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

etik secara internal. Dalam kaitan itu, Mahkmah Etik yang bersifat ad hoc ini hanya akan bekerja apabila ada pengaduan yang tidak dapat diselesaikan oleh proses peradilan etik di internal partai.

Mahkamah ini dibentuk oleh negara apabila ada pengaduan dari beberapa lembaga/institusi dan/atau perorangan yang mengajukan perlunya peradilan etik. Mengapa negara? Dalam prinsip demokrasi dan negara modern, negara adalah representasi tertinggi bagi kehidupan berpolitik dan bernegara, sebagai sebuah institusi yang mewakili kepentingan umum dan/atau kepentingan rakyat di atas kepentingan kelompok dan golongan. Dalam implementasinya, sebagai representasi dari negara, Presiden sebagai Kepala Negara dapat membentuk Mahkamah Etik yang perlu dibentuk.

Penegakan etik juga berkaitan dengan peradilan yang berhak memberikan

Persidangan

sanksi. Dalam kaitan itu, peradilan yang dijalankan bentuknya harus adil, bebas

penegakan

dari intervensi (independen), dan terbuka. Peradilan harus terbuka karena persoalan

dugaan

etik bagi politisi dan partai politik bukan semata-mata berhubungan dengan hak

pelanggaran

dan privasi individu, tetapi politisi adalah sebuah profesi yang bersifat publik dan

etik berlangsung

mewakili publik. Oleh karena itu prosesnya perlu terbuka sebagai bagian dari

secara adil,

tanggungjawab fungsional etika (functional ethics) yang sudah semestinya dapat

independen dan

dibuka dan diketahui oleh publik dan tidak ditutupi dengan alasan urusan privasi

terbuka.

atau individu. 51 Peradilan etik tidak mengenal immunity atau kekebalan, dalam pengertian pelanggaran etika hanya berlaku bagi kader, anggota partai, dan pimpinan (Ketua Umum Partai) secara terbatas. Peradilan etik berlaku bagi seseorang yang disebut sebagai politisi, baik sebagai kader partai, pengurus partai, calon anggota legislatif, calon pasangan kepala daerah, calon presiden dan wakil presiden serta pejabat publik yang mewakili partai di lembaga negara.

Sanksi yang diberikan bukan semata-mata sanksi berupa pujian atau cacian, tetapi sanksi yang diberikan dalam penegakan Etika Politisi perlu konkrit atau jelas sebagai bentuk sanksi yang memiliki efek jera bagi politisi dan partai politik. Sebaliknya, penegak etik juga memberikan peluang bagi rehabilitasi kehormatan dan martabat politisi apabila dalam persidangan yang bersangkutan tidak terbukti melakukan kesalahan atau pelanggaran etika yang dituduhkan.

IV.1. Prinsip Penegakan Etik

1. Persidangan penegakan dugaan pelanggaran etik berlangsung secara adil, independen dan terbuka;

2. Dalam penegakan etik didasarkan pada prinsip: praduga tak bersalah, adil, independen, pembuktian, hak untuk membela diri/mengajukan keberatan;

3. Pembuktian didasarkan pada:

a. keterangan pengadu,

b. keterangan teradu;

c. keterangan saksi;

d. keterangan ahli;

e. surat atau tulisan;

51 Dari wawancara dan FGD yang dilakukan oleh tim baik di Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Medan, terdapat pilihan yang berbeda dari sejumlah pihak. Ada yang menilai bahwa peradilan dilakukan secara tertutup, namun hasilnya diumumkan kepada publik. Sebagian lainnya menilai bahwa peradilan dilakukan secara terbuka sebagai bentuk dari pertanggungjawaban kepada publik secara luas dan agar tidak terjadi proses-proses yang menyimpang.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

f. petunjuk;

g. keterangan para pihak;

h. data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun di dalam kertas, maupun yang terekam secara elektronik atau optik yang berupa tulisan, suara, gambar, foto, atau perforasi yang memiliki makna; dan

i. bukti-bukti lainnya yang mendukung.

4. Informasi proses dan keputusan penegakan etik bersifat terbuka, wajib dipublikasikan, dan dapat diakses oleh publik, kecuali informasi atau dokumen yang telah secara khusus ditentukan oleh mahkamah etik untuk tidak dipublikasikan; dan

5. Mahkamah etik harus memastikan sistem yang tepat untuk merekam dan melindungi semua informasi dalam penegakan etik.

IV.2. Mahkamah Etik

1. Untuk menegakkan kode etik politisi dan partai politik maka perlu dibentuk Mahkamah Etik;

2. Mahkamah etik adalah sebuah badan independen yang mengadili dugaan

pelanggaran etika politisi dan partai politik pada tingkat akhir; 52

3. Mahkamah etik berjumlah tujuh orang, yang terdiri atas lima orang dari unsur luar partai dan dua orang berasal dari perwakilan partai yang bersifat ad hoc. Penjelasan:

• Jumlah anggota mahkamah etik harus ganjil agar mempermudah pembuatan keputusan

• Berjumlah tujuh orang dengan unsur: (1) Dua orang perwakilan Mahkamah etik partai yang disepakati oleh partai-partai politik, 53 dan (2) lima berjumlah tujuh orang perwakilan masyarakat, yang terdiri atas: ahli di bidang etika

orang, yang terdiri

politik, ahli yang sesuai dengan delik aduan, ahli di bidang hukum

atas lima orang tata negara, ahli di bidang politik, dan psikolog. 54 dari unsur luar

4. Pemerintah, dalam hal ini Presiden sebagai Kepala Negara dapat membentuk

partai dan dua

suatu tim independen dalam rangka membentuk Mahkamah Etik apabila ada

orang berasal dari

pengaduan dan/atau laporan tertulis dari seseorang, sekelompok orang atau

perwakilan partai

lembaga/instansi yang keberatan atas perilaku politisi.

yang bersifat ad

5. Mahkamah etik berfungsi sebagai:

hoc.

a. Badan independen yang memiliki otoritas tertinggi untuk menegakkan Kode Etik Politisi; dan

b. Badan independen yang memproses pengaduan dan/atau laporan tertulis dari seseorang, sekelompok orang atau lembaga/instansi yang keberatan atas: (1) keputusan persidangan etik oleh Dewan Etik Partai secara

52 Yang dimaksud dengan tingkat akhir adalah tidak ada peradilan lain yang dapat mensidangkan persoalan etik yang telah diajukan. Konsekuensinya harus ada pengaturan peradilan etik ini pada Undang- Undang yang mengatur Partai Politik.

53 Perwakilan partai politik ini ditentukan oleh partai-partai politik yang terdaftar sebagai partai peserta pemilu sesuai dengan UU Partai Politik dan UU Pemilihan Umum yang berjalan. Mekanisme penentuan wakil partai yang akan duduk di Mahkamah Etik diatur lebih lanjut pada mekanisme pembentukan Mahkamah Etik oleh negara.

54 Komposisi lima orang Mahkamah Etik yang berasal dari perwakilan masyarakat bidang-bidang keahliannya dapat ditentukan oleh tim yang dibentuk oleh Presiden atas dasar kebutuhan dalam sidang etik sesuai dengan masalah etik yang akan disidangkan.

54 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Mahkamah etik bertugas:

internal, (2) keputusan persidangan etik oleh Majelis Kehormatan Dewan

a. Menerima sengketa

(MKD) di DPR dan DPRD, (3) pelanggaran etik yang berdampak buruk

terkait pelanggaran

secara luas bagi masyarakat, dan (4) melanggar kode etik sebagai politisi.

etika Politisi dan

6. Mahkamah etik bertugas:

partai politik

a. Menerima sengketa terkait pelanggaran etika Politisi dan partai politik;

b. Melakukan

dan

penyelidikan,

b. Melakukan penyelidikan, pemeriksaan, dan pembuktian kasus

pemeriksaan, dan

pelanggaran etika politisi dan partai politik

pembuktian kasus

7. Mahkamah Etik berwenang:

pelanggaran etika

a. Dalam melakukan pemeriksaan dan pembuktian Mahkamah Etik

politisi dan partai

memiliki akses istimewa atas segala informasi yang diperlukan dalam

politik.

penanganan kasus dugaan pelanggaran Kode Etik Politisi dan partai politik;

b. Menolak, menerima dan/atau membatalkan kasus dugaan pelanggaran Kode Etik Politisi dan partai politik;

c. Dalam melakukan pemeriksaan dan pembuktian Mahkmah Etik dapat membentuk tim pemeriksa pelanggaran Kode Etik Politisi dan partai politik;

d. Hasil pemeriksaan dan penelitian dilaporkan kepada Mahkamah Etik;

e. Memberikan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Politisi dan partai politik;

f. Merekomendasikan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk mendiskualifikasi partai politik sebagai peserta pileg, serta mendiskualifikasi hak partai politik untuk mengajukan pasangan calon dalam pilkada dan pilpres;

g. Merekomendasikan kepada Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan partai politik; dan

h. Membuat keputusan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran Kode Etik Politisi dan partai politik

8. Keputusan Mahkamah Etik bersifat final dan mengikat

IV.3. Pengaduan

1. Kegiatan seseorang, sekelompok orang atau lembaga/instansi yang keberatan atas perilaku politisi dan partai politik;

2. Pengadu adalah seseorang, sekelompok orang atau lembaga/instansi publik;

Majelis Sidang Etik

dan

adalah anggota

3. Teradu adalah politisi dan partai politik, yang diadukan.

Mahkamah Etik

yang menyidangkan pelanggaran kode

IV.4. Proses Pengaduan

1. Setiap pengaduan wajib diajukan secara tertulis dan/atau dengan mengisi

etik yang dilakukan

formulir pengaduan yang disediakan oleh Mahkamah Etik;

oleh pihak teradu

2. Pengadu wajib mencantumkan identitas diri yang jelas;

atas laporan pihak

3. Pengaduan dapat dilakukan oleh seseorang dan/atau oleh kuasa pengaduan;

pengadu.

4. Setiap pengaduan wajib menyertakan alasan pengaduan dan/atau laporan;

5. Alasan pengaduan dan/atau laporan memuat sekurang-kurangnya mengenai tindakan atau sikap teradu dan/atau terlapor meliputi: waktu perbuatan, tempat perbuatan, perbuatan yang dilakukan, dan cara perbuatan dilakukan;

6. Mahkamah Etika menyelesaikan pengaduan paling lama 60 hari sejak pengaduan disampaikan;

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

7. Pengaduan dianggap gugur apabila: (a) pengadu tidak menanggapi 3 kali Politisi dan partai surat panggilan Mahkamah Etik; dan (b) pengadu mencabut pengaduannya;

politik yang

dan

melanggar Kode

8. Mahkamah Etik berkewajiban untuk melindungi setiap pengadu yang Etik Politisi dan memberikan laporan kepada mahkamah.

Kode Etik Partai politik dapat diberi

IV.5. Proses Persidangan

sanksi ringan,

IV.5.1 Para Pihak

sanksi sedang, dan

1. Pengadu adalah warga negara dan institusi publik yang merasa dirugikan oleh

sanksi berat.

perilaku dan tindakan politisi dan/atau partai politik;

2. Teradu adalah politisi dan/atau partai politik yang diduga melakukan pelanggaran kode etik;

3. Majelis Sidang Etik adalah anggota Mahkamah Etik yang menyidangkan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pihak teradu atas laporan pihak pengadu;

4. Pembela adalah orang yang memberikan bantuan kepada teradu atas dasar pemahaman etik yang dikuasainya; dan

5. Saksi Ahli adalah orang yang memiliki keahlian sesuai dengan kasus yang

Persidangan

diadukan. Seorang saksi ahli bisa memberatkan atau meringankan teradu.

dilaksanakan oleh Ketua

IV.5.2 Persiapan Persidangan

dan Anggota

1. Sekretariat Mahkamah Etik menyediakan anggaran, sarana dan prasarana Mahkamah Etik, serta keperluan lainnya guna mendukung penyelenggaraan persidangan;

yang kemudian

2. Dalam keadaan tertentu Mahkamah Etik dapat menyediakan sidang jarak disebut sebagai jauh; dan

Majelis Sidang

3. Persidangan/Acara Pemeriksaan dilaksanakan dengan tertib, khidmat, aman,

Etik.

lancar dan berwibawa.

IV.5.3 Pelaksanaan Persidangan

1. Persidangan dilaksanakan oleh Ketua dan Anggota Mahkamah Etik, yang kemudian disebut sebagai Majelis Sidang Etik;

2. Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Sidang Etik;

3. Majelis Sidang Etik tidak dapat mengajukan pertanyaan di luar pokok aduan yang diajukan dalam pokok perkara;

4. Pelaksanaan persidangan meliputi: -

Mendengarkan keterangan Pihak Pengadu di bawah sumpah -

Mendengarkan keterangan dan pembelaan Pihak Teradu. -

Mendengarkan keterangan saksi di bawah sumpah -

Mendengarkan keterangan ahli di bawah sumpah -

Mendengarkan keterangan pihak lain yang terkait -

Memeriksa dan mengesahkan alat bukti dan barang bukti -

Pihak Pengadu, Teradu, dan saksi-saksi dapat menyampaikan alat bukti tambahan dalam Persidangan

IV.5.4 Penetapan Putusan

1. Penetapan putusan dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah sidang pemeriksaan dinyatakan selesai;

56 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Merekomendasikan

2. Sebelun menetapkan putusan, Majelis Sidang Etik mengadakan Rapat Pleno

pembubaran

yang dilakukan secara tertutup dan diikuti oleh seluruh anggota Majelis

partai politik

Sidang Etik dengan dihadiri paling sedikit 5 (lima) orang anggota Majelis

yang melakukan

Sidang Etik;

pelanggaran etik

3. Dalam Rapat Pleno sebagaimana dimaksud butir 2, Majelis Sidang Etik

berat kepada

mendengarkan penyampaian berita acara persidangan;

Mahkamah

4. Dalam Rapat Pleno sebagaimana dimaksud butir 2, Majelis Sidang Etik

Konstitusi.

mendengarkan pertimbangan atau pendapat tertulis para Majelis Sidang Etik untuk selanjutnya menetapkan putusan;

5. Penetapan putusan dalam Rapat Pleno Majelis Sidang Etik dilakukan secara musyawarah untuk mufakat;

6. Dalam hal tidak tercapai musyawarah untuk mufakat dalam penetapan keputusan dapat dilakukan berdasarkan suara terbanyak;

7. Dalam hal terjadi perbedaan dalam pengambian keputusan menyangkut hal ikhwal yang luar biasa, setiap anggota Majelis Sidang Etik yang berbeda pendapat dapat menuliskan pendapat yang berbeda sebagai lampiran putusan dan dibacakan dalam penetapan putusan sidang Mahkamah Etik; dan

8. Putusan Mahkamah Etik bersifat final dan mengikat.

IV.6. Sanksi

1. Politisi dan partai politik yang melanggar Kode Etik Politisi dan Kode Etik Partai politik dapat diberi sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi berat;

2. Sanksi ringan dapat berupa teguran lisan dan teguran tertulis;

3. Sanksi sedang dapat berupa (a) diberhentikan sementara dari keanggotaan dan/atau kepengurusan partai; dan (b) diberhentikan sementara dari jabatan publik yang disandangnya; dan

Merekomendasikan

4. Sanksi berat dapat berupa:

kepada KPU dan

a. Merekomendasikan kepada institusi terkait agar yang bersangkutan

Bawaslu untuk

dicabut haknya untuk memimpin partai dan menduduki jabatan publik

mendiskualifikasi

untuk jangka waktu tertentu.

hak partai

b. Memberhentikan yang bersangkutan dari keanggotaan dan/atau

politik menjadi

kepengurusan partai.

peserta pileg

c. Merekomendasikan yang bersangkutan diberhentikan dari jabatan publik

dan mengajukan

yang disandangnya.

d. Mendiskualifikasi caleg dari pencalonan pada pemilu legislatif.

pasangan calon

dalam pilkada dan

e. Merekomendasikan pembubaran partai politik yang melakukan

pilpres.

pelanggaran etik berat kepada Mahkamah Konstitusi.

f. Merekomendasikan kepada KPU dan Bawaslu untuk mendiskualifikasi hak partai politik menjadi peserta pileg dan mengajukan pasangan calon dalam pilkada dan pilpres.

V. PENUTUP DAN REKOMENDASI

Kode etik politisi dan partai politik ini dibuat agar menjadi pegangan bagi politisi dan partai politik dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam sistem demokrasi. Beberapa negara yang sistem demokrasinya sudah mapan juga memiliki kode etik bagi politisi dan partai politik. Bedanya ialah, ada negara yang membuat kode etik dan kode prilaku secara terpisah, ada pula yang menyatukannya di dalam

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

satu naskah. Perbedaan lain yang menyolok ialah ada negara yang di dalam menerapkan sanksi atas pelanggaran kode etik dan kode prilaku menggunakan lembaga yang berada di luar partai, bersifat permanen dan ketat, ada pula negara yang hanya mengandalkan institusi internal partai dalam menegakkan kode etik dan kode prilaku politisi dan partai politik.

Satu hal penting yang perlu dicatat ialah, kode etik dan kode perilaku politisi dan partai politik sebaiknya sejalan, koheren dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum yang berlaku di negara tersebut, dari UUD, UU Kepartaian, UU pemilu eksekutif dan legislatif. Harmonisasi perundang-undangan terkait dengan partai politik, politisi, pemilu, pemerintahan di pusat dan di daerah adalah suatu keniscayaan.

Kode etik dan kode perilaku politisi dan partai politik perlu dibuat dan diterapkan secara baik agar partai politik dan politisi bersikap dan berperilaku baik pula. Untuk itu diperlukan mahkamah dan peradilan etik yang bersifat ad hoc yang berada di luar institusi partai agar berlaku bagi semua partai politik dan politisi. Ini semua untuk membangun legitimasi politik dan kepercayaan publik terhadap partai politik dan politisi serta membangun sistem demokrasi yang mapan. Baiknya partai politik dan politisi akan menjadikan demokrasi di Indonesia baik pula, demikian juga sebaliknya.

Agar Naskah Kode Etik Politisi dan Partai Politik ini memiliki dampak yang mengikat dan memberikan keharusan untuk dijalankan kepada partai politik di Indonesia, sejumlah pihak (stakeholders) dalam workshop di Makassar, Surabaya dan Medan merekomendasikan beberapa hal, antara lain: Pertama, agar substansi naskah kode etik ini menjadi salah satu bagian penting pada Undang- Undang tentang Partai Politik. Kedua, Naskah ini menjadi salah satu persyaratan mutlak apabila negara akan memberikan dana dari APBN kepada partai politik sebagai salah satu konsekuensi logis partai menjadi badan hukum publik. Ketiga, Kementerian Hukum dan HAM menerapkan naskah kode etik politisi dan parpol ini sebagai bagian mutlak dari persyaratan partai-partai politik yang akan mengajukan permintaan badan hukum kepada Kementerian Hukum dan HAM. Keempat, adanya gerakan masyarakat sipil secara terus menerus agar naskah kode etik politisi dan partai politik ini menjadi sebuah keniscayaan bagi partai politik di Indonesia. n

58 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi , (Jakarta: Sinar Grafika, 2014). Amal, Ichlasul, ed., Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, (Yogyakarta: TWC, 1996).

Asshiddiqie, Jimly, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005).

Ashiagbor, Sefakor, Political Parties and Democracy in Theoretical and Practical Perspectives NDI and USAID, 2008

Aceron, Joy,“It’s the (non-) System Stupid!: Explaining ‘Mal-Development’ of Parties in The Phillipines,” dalam Reforming the Philippine Political Party System: Ideas and Initiatives, Debates, and Dynamic, (FES, 2009).

Abginn (2014), “Recruitment Options for a Democratic Majority in the US House in 2016,” dalam www.aceproject.org, diakses melalui www.dailykos.com. Act on Political Parties (Political Parties Act) (Parteiengesetz – PartG) [of 24 July 1967]. In the version published on 31 January 1994 (Federal Law Gazette I 1994, p. 149), last amended by the Ninth Act amending the Political Parties Act, of 22 December 2004 (Federal Law Gazette I 2004).

Badoh, Z. Fahmy, dan Abdullah Dahlan, Korupsi Pemilu di Indonesia, (Jakarta: Yayasan TIFA dan IC, 2010).

Budi, Arya,“Membongkar Vote Player dalam Politik Kepartaian Indonesia Menuju Pemilu 2014,” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 17, Nomor

1. Juli 2013: 55. Budiardjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai,

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998). ------------, Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi revisi),( Jakarta: PT Gramedia, 2008).

Bennett, Colin, 2013, “The Politics of Privacy and the Privacy of Politics: Parties, Elections, and Voter Surveillence in Western Democracies,” dalam First Monday, Vol. 18, No. 8.

Bowman, Ann, State and Local Government: The Essentials, (Boston: Wadsworth, 2012).

Bone, Huge A, & Austin Ranney, Politics and Voters, (USA: Mc Graw-Hill, 1981). Carlos Clarita R. & Dennis M. Lalata, with Dianne C. Despi & Portia R. Carlos,

Democratic Deficits in the Phillipines: What is to be Done, (Centre for Political and Development Reform & KAS, 2010).

Croisant, Aurel, “Electoral Politics in South Korea,” dalam http://library.fes.de/ pdf-files/iez/0136100�.pdf, diunduh pada 3 Mei 2016.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Campbell, August et.al., The American Voter, (USA, Jhon Wiley and Sons, Inc., 1966).

“Code of Ethics and Conduct Quebec Liberal Party”, Parti Liberal du Quebec, dalam

https://www.plq.org/files/documents/03_code_of_ethics.pdf, diakses pada 18 Mei 2016. “Code of Official Conduct, Rules of the House of Representatives-114th Congress”, dalam https://ethics.house.gov/publication/code-official- conduct, diakses pada 20 Juni 2016.

Constitutional Reform and Governance Act, 2010. “California Democratic Party Voter Services Committee”, dalam www.cadem.

org, diunduh pada 14 September 2016. Dhakidae, Daniel,“Partai-Partai Politik di Indonesia Kisah Pergerakan dan

Organisasi dalam Patahan-Patahan Sejarah,” dalam Tim Penelitian dan Pengembangan Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia Ideologi, Strategi, dan Program,( Jakarta: Gramedia, 1999).

Dye, Thomas R., Politics in States and Communities, (New Jersey: Pearson Education, 2009). DPR, Kode Etik DPR, dalam http://www.dpr.go.id/files/kode_etik_2015.pdf, diakses pada 2 April 2016.

DKPP, Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu, dalam https://www. scribd.com/document/216563102/Pedoman-Beracara-DKPP, diakses pada

2 April 2016. Democratic Party of Virginia, The Local Committee Chairs Handbook of

Democratic Party of Virginia, (Virginia: Democratic Party of Virginia, 2016).

“Daerah Otonom (Provinsi, Kabupaten, Dan Kota) Di Indonesia Per Desember 2013”, dalam http://www.otda.kemendagri.go.id/images/file/data2014/ file_konten/jumlah_daerah_otonom_ri.pdf, diunduh pada 10 Mei 2016.

Evans, Kevin Raymond, Sejarah Pemilu & Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: PT. Aries Consultancies, 2003). Elections Manitoba, “Shared Code of Ethical Conduct”, 1999, dalam http://www. electionsmanitoba.ca/en/Political_Participation/Ethical_Conduct, diakses pada 7 Mei 2016.

European Parliament’s Committee on Constitutional Affairs, The Selection of Candidates for The European Parliament By National Parties and the Impact of European Political Parties, (Brussels, 2009).

“European Parliament, Criteria, conditions, and procedures for establishing a political party in the Member States of the European Union,” DE, FR, 2012: 48.

Feith, Herbert & Lance Castles (eds.), Indonesian Political Thinking 1945-1965, (Ithaca: Cornell University Press, 1970).

Fisher, Justin, Edward Fieldhouse, dan David Cutts, 2011, Members are Not the Only Fruit: Volunteer Activity in Political Parties, makalah dipresentasikan dalam The Annual Conference of the PSA Elections, Public Opinion, and Parties Specialist Group (EPOP),; www.allthingdemocrat.com, diunduh

60 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

pada 14 September 2016. Gideon, Rahat, “Which Candidate Selection Method is More Democratic?”,

Center for the Study of Democracy (CSD) Working Papers. Green, John C., Daniel J. Coffey dan David B. Cohen (eds.), The State of

The Parties: The Changing Role of Contemporary American Parties, (Maryland: Rowmand & Littlefield, 2014).

Geddes, Barbara, Politician’s Dilemma: Building State Capacity in Latin America. (Berkeley: University of California Press, 1994). Hamid, �ulkifli, Sistem Politik Australia, (Jakarta: Remaja Rosdakarya dan LIPI- FISIP-UI, 1999).

Hazan, Reuven Y. & Gideon Rahat, Democracy within Parties: Candidate Selection Methods and their Political Consequences. Oxford: Oxford University Press, 2010.

-------, Reuven Y.,“Candidate Selection,” dalam Lawrence LeDuc, Richard G. Niemi dan Pippa Norris, Comparing Democracies 2, New Challenges in the Study of Elections and Voting, (London: Sage Publictions, 2009).

Haris, Syamsuddin (ed.), Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses

Nominasi dan Seleksi Legislatif Pemilu 2004, (Jakarta: Gramedia, 2005). -------, Partai, Pemilu dan Parlemen Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2014). -------, Pemilihan Umum 1955, (Jakarta: LP3ES, 1985). Husodo, Adnan Topan, “Gunung Es Korupsi di Parlemen,” dalam Jangan Bunuh

KPK, (Jakarta: Gramedia, 2009). --------, “Kode Etik, Sistem Rekrutmen dan Kaderisasi Partai Politik”, Materi

Paparan FGD LIPI-KPK di Jakarta, 31 Mei 2016. Heywod, Andrew, Politics, third edition, (Macmillan: Palgrave foundation,

2007). IDEA, “Code of Conduct for Political Parties: Campaigning in Democratic

Elections”, dalam http://www.idea.int/publications/catalogue/code- conduct-political-parties-campaigning-democratic-elections-0, diakses pada 1 Maret 2016.

Katz, Richard S.,“The Problem of Candidate Selection and Models of Party Democracy,” dalam Arya Budi, Partai: Tantangan Lembaga Demokrasi ke Organisasi Demokratis, (Pol-Tracking Institute: Center for Democracy & Leadership Research).

Kavanagh, Denis, Political Science and Political Behaviour, (London: George Allen& Unwin, 1983).

Labour Party, 2013, Labour Party Rule Book 2013, London: Labour Party; www. gp.org yang diunduh pada 12 September 2016.

“Laporan Rilis Survei 13 Mei 2014 “Split-ticket Voting, Karakteristik Personal, dan Elektabilitas Capres” – dalam http://www.indikator.co.id/news/ details/2/49/Laporan-Rilis-Survei-13-Mei-2014-Split-ticket-Voting- Karakteristik-Personal-dan-Elektabilitas-Capres-#sthash.4rjwJ0WK.dpuf, diakses pada 3 Maret 2016.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

“Legislative Ethics: A Comparative Analysis”, Legislative Research Series Paper No.4, National Democratic Institute for International Affairs, 1999.

Maor, Moshe, Political Parties & Party Systems: Comparative Approaches & the British Experience, (London and New York: Routledge, 1997). Meleshevich, Andrey A, Party Systems in Post-Soviet Countries: A Comparative Study of Political Institutionalization in the Baltic States, Russia, and Ukraine, (New York: Palgrave Macmillan, 2007).

Mas’oed, Mochtar & Collin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press: 2000).

Masood, Alauddin, “Code of Ethical Conduct for Political Parties”, KAS, Juli 2008, dalam http://www.kas.de/wf/doc/kas_14598-1522-1-30. pdf?120222103614, diakses pada 8 Mei 2016.

“Model Code of Conduct for the Guidance of Political Parties and Candidates”, Election Commission of India, 2007, dalam http://www.eci.gov.in., diakses pada 18 Mei 2016.

“Munaslub Golkar di Bali: Kaderisasi Unik Mahyudin Sekasur, Sedapur, Sesumur, Sedulur”, dalam http://bali.tribunnews.com/2016/05/13/kaderisasi-unik- mahyudin-sekasur-sedapur-sesumur-sedulur, 13 Mei 2016, diakses pada

15 Juni 2016. National Democratic Institute for International Affairs, “Legislative Ethics:

A Comparative Analysis”, Legislative Research Series Paper #4, dalam https://www.ndi.org/files/026_ww_legethics.pdf, diakses pada 2 Maret 2016.

NDI, “Republic of Macedonia Code of Conduct of Political Parties for Free and Fair Parliamentary”, dalam http://iknowpolitics.org/sites/default/files/ macedonia20_code20of20conduct.pdf, diakses pada 3 April 2016.

National Electoral Commission Republic of Sierra Leone, “Code of Election Campaign Ethics”, 13 Juni 2007, National Electoral Commission, dalam http://news.sl/drwebsite/exec/view.cgi?archive=4&num=5760&printer=1, diakses pada 5 Maret 2016.

Pamungkas, Sigit, Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism, 2011).

Park, Cheol Hee,“Institutionalization of Party Political Democracy and the Challenges of Stable Governance in South Korea,” dalam International Political Science Review, Vol. 30 No. 5, Sage Publication: November 2009.

Prakoso, Rizki Andono (Tesis), Politik Kekuasaan Vladimir Putin di Rusia Tahun 2003-2007, Jakarta: Juni 2012. Protsyk & Marius Lupsa Matichescu, “Clientelism and Political Recruitment in Democratic Transtition Evidence From Romania”, Comparative Politics, Vol. 43, No. 2, Januari 2011.

Preston, Noel, & Charles Sampford (eds), “Ethics and Political Practice”, Routledge Studies in Governance and Public Policy, 2003.

Pillet, Jean-Benoit Rumyana Kolarova, dkk., Constitutional Affairs: The Selection of Candidates for the European Parliament by National Parties and the

62 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Impact of European Political Parties, (Brussels: European Parliament, 2009).

Political Parties Act, (Parteiengesetz – PartG) [of 24 July 1967]. Dalam versi yang dipublikasikan pada 31 Januari 1994 (Federal Law Gazette I 1994, hlm. 149), amandemen terakhir dilakukan oleh Ninth Act amending the Political Parties Act, 22 Desember 2004 (Federal Law Gazette I 2004, hlm. 3673).

“Pasek Ungkap Aturan Rekayasa Kongres Demokrat”, dalam http://nasional. sindonews.com/read/999017/12/pasek-ungkap-aturan-rekayasa-kongres- demokrat-1431081012, 8 Mei 2015.

Partai Demokrat, Kode Etik dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Partai Demokrat, dalam http://www.demokrat.or.id/wp-content/uploads/2012/03/Kode-Etik- Partai-Demokrat.pdf, diakses pada 2 April 2016.

PDIP, Kode Etik dan Disiplin Anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Quimpo, Nathan Gilbert,“The Philippines: Political Parties and Corruption,” dalam Southeast Asian Affairs (2007), ISEAS: 2007. Romli, Lili, Pelembagaan Partai Politik Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Pusat Penelitian Politik-LIPI, 2008).

Rahat dan Hazan, 2010, dalam Jean-Benoit Pillet, Emilie Van Haute, dkk., 2012, Constitutional Affairs: Criteria, Conditions, and Procedures for Establishing a Political Party in the Member States of the European Union, Brussels: European Parliament.

Rooks, Douglas, Statesman: George Mitchell and the Art of Possible, (Maryland: Rowmand & Littlefield, 2016). Resolusi UN General assembly, A/RES/51/59, 28 January 1997. http://www.alecomm.com/index.php/governments/politics/political- parties/961-list-of-registered-political-parties diakses pada 18 Agustus 2016.

Republican Party of Texas, 2015, Precinct Chairman Handbook, (Texas: Republican Party of Texas, 2015).

Riset Pusat Penelitian Politik LIPI, Aisah Putri Budiatri Zidni (koordinator), “Faksi dan Konflik Internal Partai Politik di Indonesia Era Reformasi”, (Jakarta, P2Politik LIPI: 2016).

Suleman, �ulfikri, “Mahkamah Etik Penyelenggara Negara di Negara Demokrasi,” dalam Jurnal Etika & Pemilu, edisi 1, Mei 2015: 14. Siavelis, Peter M. dan Scott Morgenstern, “Candidate Recruitment and Selection, Latin America: A Framework for Analysis”, Latin American Politics and Society, Vol. 50, Issue 4 Winter 2008.

S. Mainwaring & T. R. Scully, 1995, Building Democratic Institutions: Party

Systems in Latin America, (Stanford, CA: Stanford University Press). Scarrow, Susan E, Parties and Their Members, Organizing for Victory in Britain

and Germany,(New York: Oxford University Press, 1996). Schwartz, Mark S, “Effective Corporate Codes of Ethics: Perceptions of Code

Users”, Journal of Business Ethics, 55: 323-343/ 2004.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Sadan, Nirvachan, “Election Commission of India”, Model Code of Conduct for the Guidance of Political Parties and Candidates, Election Commission of India, 2007.

Steinberg, David I. & Myung Shin, “Tensions in South Korean Political Parties in Transition: From Entourage to Ideology,” dalam Asian Survey, Volume 6, Juli, Agustus 2006.

Section 2 “definition of a political party” ayat 2. Germany political Parties Acts 2004. Section 3 “definition of a political party” ayat 3. Germany political Parties Acts 2004.

Section 4, “name”, Germany political Parties Acts 2004. Seksi 10-13 dari Akta tentang asosiasi tertanggal 5 August 1964 (Federal Law

Gazette I). Summary Offence, section 66, RPA (Representation of People Act) 1983, dalam

http://www.legislation.gov.uk/ukpga/1983/2/pdfs/ukpga_19830002_ en.pdf, diakses pada 2 September 2015.

State Primary Election Types, dalam www.ncsl.org, diakses pada 26 September 2016.

The Republican National Committee, 2014, The Rules of The Republican Party, The Republican Party; www.gop.com diunduh pada 25 September 2016.

The Electoral Comission: Guidance on Policing Elections and Referendums, February 2011.

“Thematic Compilation of Relevant Information Submitted by Republic of Korea, Article � UNCAC, Code of Conduct for Public Officials”, dalam https:// www.unodc.org/documents/corruption/WG-Prevention/Art_8_Codes_of_ conduct/Republic_of_Korea.pdf, diakses pada 20 Juli 2016.

The House Magazine, 5 July 1995. The Zanzibar Electoral Commission, “Guidelines for Political Parties Code of

Ethics for 2015 Election”, Zanzibar Electoral Commission, 2015. Thomas, Paul G, “A Code of Ethics or Code of Conduct for Political Parties as a

Potential Tool to Strengthen Electoral Democracy in Canada”, Elections Canada, 2014.

Wood, David, The Step Back, Ethic and Politics After Deconstruction, (New York: State University of New York Press Albany, 2005).

Wheeler, Paul, “Political Recruitment: How Local Parties Recruit Councillors”, Joseph Rowntree Foundation, 2006. https://www.gov.uk/government/collections/civil-service-conduct-and-guidance diakses 4 September 2016 http://www.electoralcommission.org.uk/__data/assets/pdf_file/0008/108485/ Code-of-conduct-postal-vote-applications-England-Wales-2012.pdf diakses 4 September 2016

http://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/ Parliamentary_Library/pubs/rp/rp9899/99rp02 diakses 18 Agustus 2016 http://www.elections.ca/res/rec/tech/cod/pdf/code_of_ethics_e.pdf diakses 18 Agustus 2016.

64 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

h t t p : / / w w w. a p h . g o v. a u / A b o u t _ P a r l i a m e n t / P a r l i a m e n t a r y _ Departments/Parliamentary_Library/pubs/rp/rp9899/99rp02 diakses pada 18 Agustus 2016

http://www.elections.ca/res/rec/tech/cod/pdf/code_of_ethics_e.pdf, diakses pada 18 Agustus 2016.

Undang-Undang dan Dokumen

Pasal 7 Undang Undang No.10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Pasal 5, 6 dan 7 UU No.42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 6 UU 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pasal 7 UU 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Ketentuan persyaratan calon pada Undang-undang No. 8 tahun 2012

tentang Pemilu Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-

Undang. Juklak -5/DPP/Golkar/IX/2005 yang dikuatkan dengan keluarnya

Keputusan Nomor 145/DPP/Golkar/II/2007 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2015 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Peraturan Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum.

Focus Group Discussion (FGD) Jakarta

FGD 1, Selasa, 31 Mei 2016, Hotel Santika Jakarta. FGD 2, Rabu, 1 Juni 2016, Hotel Santika Jakarta.

Surabaya

FGD 1, Kamis, 9 Juni 2016, Hotel Mercure Surabaya. FGD 2, Jumat, 10 Juni 2016, Hotel Mercure Surabaya. FGD 3, Sabtu, 11 Juni 2016, Hotel Mercure Surabaya.

Makassar

FGD 1, Selasa, 21 Juni 2016, Hotel Aryaduta Makassar. FGD 2, Rabu, 22 Juni 2016, Hotel Aryaduta Makassar. FGD 3, Kamis, 23 Juni 2016, Hotel Aryaduta Makassar.

Medan

FGD 1, Selasa, 26 Juli 2016, Hotel Santika Medan.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

FGD 2, Rabu, 27Juli 2016, Hotel Santika Medan. FGD 3, Kamis, 28 Juli 2016, Hotel Santika Medan.

Wawancara Jakarta

1. Prof. Dr. R. Siti Zuhro, peneliti senior LIPI, Kamis, 25 Agustus 2016

2. Prof. Dr. Jimly Assiddiqie, Ketua DKPP, Kamis, 25 Agustus 2016

3. Prof. Dr. Hamdi Muluk, Dosen Universitas Indonesia, Kamis, 25 Agustus 2016

4. Prof. Dr. Maswadi Rauf, Dosen FISIP UI, Selasa, 29 Agustus 2016

5. Dr. J. Kristiadi, Peneliti CSIS, Selasa, 6 September 2016

Surabaya

1. Gubernur Jawa Timur, Bapak Soekarwo, Jumat, 10 Juni 2016.

2. Wakil Walikota Surabaya, Whisnu Sakti, Sabtu, 11 Juni 2016.

3. Dr. Priyatmoko, Dosen FISIP UNAIR, Senin, 13 Juni 2016.

4. Prof. Dr. Ramlan Surbakti, Senin, 13 Juni 2016.

5. Redaktur Harian Surya, Selasa, 14 Juni 2016.

6. Redaktur Jawa Pos, Selasa, 14 Juni 2016.

Makassar

1. Wakil Gubernur Sulawesi Selatan, Ir. H. Agus Arifin Nu’mang, MS, Jumat,

24 Juni 2016.

2. Wakil Walikota Makassar, Dr. Syamsu Rizal MI, Senin, 20 Juni 2016.

3. Rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Dwia A. Tina Pulubuhu, Jumat, 24 Juni 2016.

4. Rektor UIM, Prof. Dr. Majdah M. Zain, Kamis, 23 Juni 2016.

5. Wakil Rektor UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr. Lomba Sultan, Sabtu, 25 Juni 2016.

6. Redaksi Fajar TV, Rabu, 22 Juni 2016.

7. Redaksi Tribun Makassar, Jumat, 24 Juni 2016.

Medan

1. Gubernur Sumatera Utara, Tengku Erry Nuradi, Selasa, 26 Juli 2016.

2. Prof. Dr. Subhilhar (Mantan Rektor USU), Selasa, 26 Juli 2016.

3. Wakil Walikota Medan, Akhyar Nasution, Rabu, 27 Juli 2016.

4. Sumut Pos, Kamis, 28 Juli 2016.

5. Sinar Indonesia Baru, Kamis, 28 Juli 2016

6. Kantor Biro Antara Sumut, Jumat, 29 Juli 2016

7. Charles Silalahi, Peradi, Jumat, 29 Juli 2016.

8. AJI Sumut, Sabtu, 30 Juli 2016.

66 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK BIODATA PENYUSUN

Syamsuddin Haris

Profesor Riset pada Pusat Penelitian Politik LIPI. Ia menyelesaikan program doktor ilmu politik pada Universitas Indonesia (2008). Selain mengajar pada program pascasarjana di FISIP Universitas Nasional dan FISIP UI, professor riset bidang perkembangan politik Indonesia ini juga aktif di Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan juga aktif dalam Elektoral Research Institute (ERI). Ia telah menulis sejumlah buku, diantaranya “Demokrasi di Indonesia: Gagasan dan Pengalaman” (2005) yang memperoleh penghargaan sebagai buku terbaik di bidang ilmu sosial dari yayasan buku utama (2006), “Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi” (Yayasan Pustaka Obor, 2014) dan “Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi” (Yayasan Pustaka Obor, 2014).

Ikrar Nusa Bhakti

Adalah mantan Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Gelar sarjana ilmu politik diperolehnya dari FISIP UI dan Ph.D. di bidang Sejarah Politik dari School of Modern Asian Studies, Griffith University Brisbane, Australia. Beberapa kontribusi tulisannya telah diterbitkan, antara lain termuat dalam buku-buku Tentara yang Gelisah, Tentara Mendamba Mitra, Bila ABRI Berbisnis, “…Bila ABRI Menghendaki, “Menata Negara, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru (Penerbit Mizan, Bandung); The Fall of Soeharto, Human Security in Asia, serta di jurnal-jurnal ilmiah lainnya.

Moch. Nurhasim

Peneliti Pusat Penelitian Politik-LIPI. Dia menyelesaikan studi S1 jurusan Politik di Universitas Airlangga dan S2 bidang Politik di Universitas Indonesia dengan tesis masalah perdamaian di Aceh. Penelitian yang pernah ditekuni adalah kaitannya dengan konflik di berbagai daerah, masalah pedesaan, pemilihan umum, dan masalah kemiliteran. Selain itu, dia juga aktif sebagai Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Jakarta. Penulis dapat dihubungi melalui email: hasim_nur@yahoo.com

Sri Nuryanti

Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana ilmu politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, pada tahun 1993 dan Menyelesaikan Pendidikan Master dari Faculty of Asian Studies, Australian National University, pada tahun 2001. Selain aktif terlibat dalam isu- isu politik nasional dan juga isu-isu politik lokal, ia pernah menjabat sebagai komisioner KPU RI pada tahun 2007-2012. Bidang kajian yang ditekuninya berkaitan dengan pemilu, partai politik, dan demokrasi. Kini, ia juga bergabung sebagai bagian dari Elektoral Research Institute (ERI).

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Sri Yanuarti

Adalah peneliti Pusat Penelitian Politik - LIPI. Gelar sarjana ilmu politik diperolehnya dari Universitas Diponegoro Semarang. Beberapa kontribusi tulisannya telah diterbitkan, antara lain termuat di buku-buku Tentara yang Gelisah, Tentara Mendamba Mitra, Bila ABRI Berbisnis, Bila ABRI Menghendaki, Menata Negara, Pemilu 99 dan Kekerasan Politik, Militer dan Kekerasan Politik di Masa Orde Baru, dan lain-lain. Studi yang diminati adalah bidang politik domestik, khususnya berkaitan dengan kajian politik-militer. Karya atau bukunya antara lain: (1) Beranda Perdamaian: Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, 2008 (Pustaka Pelajar); (2) Model Capacity Building Lembaga Pemerintah dan Masyarakat: Upaya Penyelesaian Konflik di Maluku, 200� (LIPI); (3) Problematik Capacity Building: Upaya Penyelesaian Konflik di Maluku, 2007 (LIPI); (4) Pengelolaan Keamanan Dalam Negeri: Studi Kasus Konflik Komunal, 200� (LIPI); dan (5) Pengelolaan Pertahanan di Daerah (Dephan, 2008).

Mardyanto Wahyu Tryatmoko

Adalah peneliti pada Bidang Perkembangan Politik Lokal, Pusat Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ia mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2001. Setelah bergabung dengan LIPI pada tahun 2002, Mardyanto aktif melakukan penelitian di bidang konflik dan otonomi daerah. Pada tahun 2009, ia mendapatkan dua gelar master yaitu dari Magister Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang dan Economic, Planning, and Public Policy Program (EPP), National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo, Jepang.

Irine H. Gayatri

adalah Peneliti Madya pada Puslit Politik LIPI dan Pimred situs Puslit Politik LIPI. Gelar Master diperoleh dar i Uppsala University, Swedia. Bidang kajiannya mencakup isu-isu konflik dan perdamaian, konflik Sumber daya alam, gender, politik dan hak-hak minoritas. Beberapa hasil karyanya dapat dibaca di: https:// www.researchgate.net/profile/Irine_Gayatri/contributions Email: irine.gayatri@gmail.com

Beberapa publikasi di media massa antara lain: http://www.thejakartapost.com/academia/2016/08/23/after-71-years-democratic- deficit-remains.html

Opini di The Jakarta Post http://www.thejakartapost.com/news/2016/04/23/1965- symposium-youth-and-reconciliation.html

Opini di Deutsche Welle http://www.dw.com/id/pluralisme-tahun-2015-di- bawah-pemerintahan-jokowi-jk/a-189332 56

Co author dengan Philips J. Vermonte dalam buku berjudul “The Increased Number of Female Members of Parliament: Identifying its Origins and Obstacles in Indonesia, The Philippines and Timor-Leste” dalam http://iknowpolitics.org/sites/default/files/ikat_us_party_recruitment_en_-_final. pdf

68 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Sarah Nuraini Siregar

Sarah Nuraini Siregar sejak tahun 2004 sampai sekarang menjadi salah satu peneliti bidang perkembangan politik nasional di Pusat Penelitian Politik LIPI dengan konsentrasi studi Reformasi Sektor Keamanan dan Demokratisasi . Gelar Sarjana dan Master Ilmu Politik diraih dari FISIP UI. Tulisannya telah diterbitkan sebagai bagian dari karya buku antara lain: Problematika Pengelolaan Keamanan dan Pertahanan di Wilayah Konflik (Aceh dan Papua), Model Kaji Ulang Pertahanan Indonesia: Supremasi Sipil dan Transformasi Pertahanan, Evaluasi Penerapan Darurat Militer di Aceh 2003-2004, dan Hubungan Sipil Militer Era Megawati. Kajian Kepolisian dan Demokrasi di antaranya: Polri di Era Demokrasi: Dinamika Pemikiran Internal, Evaluasi Reformasi Polri, Beranda Perdamaian Aceh, dan sebagai Pemakalah tentang Pemolisian Masyarakat di forum internasional, serta karya lainnya di jurnal nasional. Saat ini ia juga aktif sebagai salah satu staf pengajar di jurusan Ilmu Politik FISIP UI.

Indriana Kartini

Peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI sejak 2003 hingga sekarang. Menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran pada tahun 2002. Penulis melanjutkan studi S2 di University of Melbourne, Australia, dan memperoleh gelar Master of International Politics pada tahun 2008. Penulis juga aktif dalam Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), dan redaktur Jurnal Masyarakat Indonesai.

Aisah Putri Budiatri

adalah peneliti pada Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.Ia mengenyam pendidikan ilmu politik program sarjanadi Universitas Indonesia dan program pasca-sarjana di Rockefeller College, State University of New York at Albany (SUNY at Albany). Beberapa tulisan akademik mengenai partai politik, parlemen, pemilu, konflik Papua, dan perempuan politik telah diterbitkan di dalam jurnal, buku dan dipresentasikan di dalam konferensi nasional dan internasional. Beberapa judul artikel yang telah diterbitkan diantaranya berjudul: “Pengawasan DPR RI 1999-2004: Mewakili Partai, Mengabaikan Rakyat?”, “Representasi Perempuan dalam Pusaran Politik Papua,” “Peran Partai Politik dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR RI dan DPRD),” dan beberapa artikel lainnya.

NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

70 NASKAH KODE ETIK POLITISI DAN PARTAI POLITIK

Diterbitkan oleh:

Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Pencegahan, Komisi Pemberantasan Korupsi Bekerja sama dengan

Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2Politik LIPI)