BAB III PENGERTIAN DAN SEJARAH PANCASILA
D. Sejarah Kelahiran Pancasila
Dalam historiografi Indonesia, 1 Juni 1945 merupakan tanggal yang sarat dengan muatan sejarah karena memiliki makna yang sangat berarti bagi perjalanan
bangsa dan terbentuknya negara Indonesia. Bermula dari Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, hingga kini tanggal tersebut diabadikan sebagai hari kelahiran Pancasila,
47
di samping terkaitan dengan pidato Soekarno yang mengemukakan pandangannya mengenai
dasar-dasar Indonesia Merdeka. Dalam usulannya, ia menyebutkan bahwa dasar kebangsaan berupa pandangan tentang dasar Kebangsaan yang dianggap sebagai dasar
pertama yang baik bagi bangsa dan negara Indonesia, selain empat usulan lainnya,
48
yang mana pada muaranya hasil rumusan tersebut diharapkan berwujud pendirian satu Negara Kebangsaan Indonesia.
49
Kelima asas ini yang kemudian di-rumuskan dan selanjutnya dinamakan dengan Pancasila.
50
Di samping itu, Soekarno juga menyampaikan sebuah terobosan mengenai “teori perasan”, dimaksudkan bahwa lima sila tersebut sebelumnya ‘disaring’ menjadi
47
Bernhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, alih bahasa Hasan Basari, Jakarta: LP3ES, 1987, hal. 359-360.
48
Amin Aryoso, Pantja-Sila Dasar Falsafah Negara, Jakarta: PNP LPS, 2000, hal. 19.
49
Penelitian dua dekade terakhir menyatakan bahwa ketegangan antara golongan Islam dan golongan nasionalis dalam melahirkan embrio dasar negara di zaman pendudukan tidaklah setajam
seperti dugaan Belanda. Mereka pada prinsipnya bersedia untuk berkompromi. Lih. Dahm, Sukarno dan Perjuangan…
, hal. 362; Lih. juga Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun; Indonesian Islam Under the Japanese Occupation 1942-1945
, The Hague and Bandung: V. Hoeve, 1958, hal. 89.
50
Ulasan beberapa pandangan Soekarno mengenai lima dasar negara dapat ditelusuri dalam Aryoso, Pantja-Sila Dasar…, hal. 24-29; Antitesis mengenai asal usul dari lima usulan Pancasila versi
Soekarno dapat ditelusuri dalam William H. Frederick dan Soeri Soeroto ed, Pemahaman Sejarah Indonesia; Sebelum dan Sesudah Revolusi
, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005, Cet. ke-3, hal. 15; Lih. juga Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, Jakarta: Universitas Paramadina, 2004, Cet. ke-3,
hal. 88.
tiga sila Trisila; pertama, socio-nationalisme yang mencakup kebangsaan Indonesia; kedua, socio-democratie yang mencakup demokrasi dan kesejahtraan
sosial; dan terakhir, Ketuhanan. Trisila ini kemudian diperas menjadi satu sila Ekasila yang di dalamnya terdapat inti sari berupa gotong royong.
51
Selang satu hari setelah menyampaikan pidato bersejarahnya, tanggal 22 Juni 1945, Soekarno membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan, kemudian panitia
ini dikenal dengan nama “Panitia Sembilan” yang beranggotakan antara lain: Soekarno sebagai ketua, Mohammad Hatta, Mr. Alfred Andie Maramis, Abikoesno
Tjoksoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Soebardjo, Abdul Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin.
52
Panitia ini disinyalir terbentuk untuk merumuskan dasar negara dimaksudkan mencari jalan keluar antara apa yang disebut golongan kebangsaan mengenai agama
dan negara yang masalahnya sudah muncul sejak masa persidangan pertama.
53
Perdebatan tersebut muncul dari pengambilan sikap dalam penentuan asas Pancasila yang belum diterima secara bulat, artinya masih terdapat pertentangan dalam
menentukan asas negara; pertama, menginginkan bahwa Indonesia didirikan sebagai negara Islam; kedua, menginginkan bahwa Indonesia didirikan atas persatuan
nasionalis yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama Islam. Pada gilirannya, forum ini akhirnya berhasil mencapai jalan keluar dan membentuk suatu
“Rancangan Pembentukan Hukum Dasar” yang kemudian dikenal dengan nama “Piagam Jakarta” atau The Jakarta Charter, sebagaimana seperti yang diungkapkan
oleh Muhammad Yamin.
54
51
Aryoso, Pantja-Sila Dasar….., hal. 31-32.
52
Roeslan Abdulgani, Resapkan dan Amalkan Pantjasila, Djakarta: BP Prapantja, tt, hal. 25; Lih. juga Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,
Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 88.
53
Effendy, Islam dan Negara…., hal. 88.
54
Dahm, Sukarno dan Perjuangan…, hal. 363; Bandingkan M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, Cet. ke-5, hal. 321.
Dalam Piagam Jakarta itu terdapat kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya”, yang mana tujuh kata ini dipandang sebagai
kemenangan kaum nasionalis muslim, karena dengan kalimat ini memungkinkan mereka untuk menerapkan syariat bagi komunitasnya dalam negara Indonesia
Merdeka, meskipun mereka harus menerima Pancasila dan bukannya Islam sebagai dasar ideologi negara.
55
Akhirnya, dari perdebatan yang cukup panjang dan melelahkan, beberapa panitia perumus dasar negara tersebut memiliki satu komitmen bersama yang
diwujudkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 -kemudian dinyatakan kembali pada UUD 1945, dan pada muaranya memunculkan suatu simpulan secara nasional bahwa
perumusan Pancasila dalam UUD 1945 itulah yang berlaku secara sah dan resmi hingga saat ini.
56
E. Kandungan Pancasila