Demokrasi dalam pandangan Abdurrahman Wahid

(1)

DEMOKRASI

DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)

Diajukan Oleh:

Ato Sugiarto

103033227781

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H./2010 M.


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi

berjudul

DEMOKRASI DALAM PANDANGAN

ABDURRAHMAN WAHID

telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 Januari 2010.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial

(S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 27 Januari 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota,

Sekretaris Merangkap Anggota,

Idris Thaha, M.Si.

NIP: 19660805 200112 1 001

Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag.

NIP: 19690210 199403 2 004

Anggota

Dra. Haniah Hanafie, M.Si.

NIP: 19610524 200003 2 002

M. Zaki Mubarok, M.Si.

NIP: 19730927 200501 1 008


(3)

DEMOKRASI DALAM PANDANGAN

ABDURRAHMAN WAHID

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)

Oleh

Ato Sugiarto

NIM: 103033227781

Di Bawah Bimbingan

Idris Thaha, M.Si.

NIP: 19660805 200112 1 001

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H./2010 M.


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1.

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3.

Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 16 Desember 2009


(5)

(6)

ABSTRAK

Ato Sugiarto

Demokrasi dalam Pandangan Abdurrahman Wahid

Demokrasi Pancasila yang digulirkan Orde Baru secara sederhana digambarkan

Abdurrahman Wahid sebagai “demokrasi seolah-olah”. Seolah-olah demokrasi padahal di

dalamnya semua komponen demokrasi ditelikung dan dibendung. Orde Baru telah menjadikan

Pancasila sebagai quasi ideologi apologetik untuk membungkus praktik kekuasaan tiranik

dengan nilai-nilai demokrasi yang Pancasilais hingga melahirkan Otoritarianisme penafsiran

yang kemudian menjadikan Pancasila sebagai milik mutlak dari pemerintah, dan demokrasipun

menjelma formalisme prosedural yang despotik.

Dari ruang inilah gagasan demokrasi Abdurrahman Wahid lahir. Sebagai antitesa dari

demokrasi Pancasila a la Orde Baru yang secara concern

beliau perjuangkan. Baginya,

demokrasi yang hanya bertumpu pada institusionalisasi; trias politica, pemilu, Komnas HAM

dan seterusnya belum bisa menjamin terpenuhinya rasa keadilan, persamaan hak serta

kebebasan.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana seharusnya demokrasi diaplikasikan dalam

pandangan Abdurrahman Wahid. Dari penelitian ini kemudian diketahui bahwa

konstitusionalisasi demokrasi melalui upaya mewujudkan kedaulatan hukum merupakan

prasyarat utama bagi demokrasi.

Elemen penting lainnya yang merupakan pilar demokrasi baginya adalah pentingnya

penegakan Hak Asasi Manusia, peningkatan kesejahteraan rakyat, penghargaan terhadap

pluralitas dan pemberdayaan masyarakat sipil. Kelima hal inilah yang pada akhirnya harus kita

perjuangkan secara konsisten demi terwujudnya keadilan, persamaan hak dan kebebasan

sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945.


(7)

v i

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Shalawat serta salam saya haturkan

kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi yang saya beri berjudul “Demokrasi dalam Pandangan

Abdurrahman Wahid”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan

memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Selain itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu baik materil maupun moril

dalam penyusunan skripsi ini taerutama kepada:

1.

Bapak Prof. Dr. Bachtiar Effendi, MA. selaku Dekan Fakultas ISIP (Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Bapak Idris Thaha, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan masukan-masukan kritik maupun saran yang sangat berarti

bagi penulis, serta kesabarannya memberikan waktu untuk membimbing

penulis

3.

Seluruh dosen dan staf akademik prodi Pemikiran Politik Islam Fakultas

Ilmu Sosial dan ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4.

Ayahanda Bapak Rusman, dan ibunda Sarah yang senantiasa membasahi

kedua lisannya dengan curahan do’a bagi keberhasilan penulis meraih cita

dan harapan, pula tidak penulis lupakan H. Muhammad Salam serta

keluarga yang telah membantu mengarahkan penulis untuk tetap fokus

dalam menyusun skripsi ini.

5.

Ketua Yayasan Citra Nurul Falah dan seluruh dewan guru di Sekolah Citra

Alam Ciganjur yang telah memberikan fasilitas yang digunakan penulis

demi lancarnya penyusunan skripsi ini.

6.

Seluruh teman-teman alumni Pesanten Luhur Sabilussalam terutama: Jang

opik dari Karawang, Yazid dari Sukabumi, Fa’ri dari Cimone, wa Ucup


(8)

v ii

dari Tasikmalaya, Ujang dan Sugih dari Bogor, Istiyanti, Alfine Harista

Dewi, yang telah memberikan kontribusinya dalam penyusunan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi para pembaca yang ingin mempelajari lebih jauh tentang pemikiran

kenegaraan Adurrahman Wahid tentang demokrasi.

Jakarta, 5 Maret 2010


(9)

viii

DAFTAR ISI

ABSTRAK

...

i

KATA PENGANTAR

...

ii

DAFTAR ISI

...

iv

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah ...

1

B.

Batasan dan Rumusan Masalah ...

4

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian ...

4

D.

Tinjauan Pustaka ...

5

E.

Metode Penelitian ...

6

1.

Pendekatan Penelitian ...

6

2.

Sumber Data ...

7

3.

Analisis Data ...

7

4.

Sistematika Penulisan ...

7

BAB II TEORI DEMOKRASI: SEBUAH KERANGKA KONSEPTUAL

A.

Definisi dan Parameter Demokrasi ... 11

B.

Demokrasi: Ide dan Realitas Politik ... 17

C.

Varian-varian Demokrasi ... 24

1.

Demokrasi Konstitusional ... 24

2.

Demokrasi Rakyat ... 27

3.

Demokrasi Pancasila ... 29

BAB III BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID

A.

Pesantren: Dunia Pergumulan Intelektual ... 31


(10)

ix

C.

Perjuangan Kultural: Pemikiran dan Aksi Politik ... 40

BAB IV PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG

DEMOKRASI

A.

Pilar-pilar Demokrasi ... 45

1.

Kedaulatan Hukum ... 45

2.

Penegakan Hak Asasi manusia ... 50

3.

Peningkatan Kesejahteraan Rakyat ... 55

4.

Penghargaan terhadap Pluralitas ... 58

5.

Pemberdayaan Masyarakat Sipil ... 50

B.

Relasi Islam dan Demokrasi ... 63

C.

Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Demokrasi ... 70

BAB V PENUTUP

1.

Kesimpulan ... 73

2.

Saran ... 75


(11)

Bab 01

Pemikiran Politik Gus Dur

Membicarakan pemikiran politik Gus Dur, tidak bisa terlepas dari kenyataan bahwa Ia berada pada posisi beyond the symbols1. Berbagai macam simbol atau peran melekat pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh pemahaman Gus Dur sendiri terhadap realitas sosial yang multi dimensi, sehingga tanggapan atas realitas tersebut tidak bisa bersifat monolitik. Secara psikologis, Gus Dur besar diantara “tiga dunia”; yakni pertama, dunia pesantren yang penuh dengan ortodoksi, berstruktur hirarkis, feodal dan serba mengedepankan etika formal. Kedua, dunia Timur Tengah yang terbuka dan keras, dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekular (Al-Zastrouw, 1999: 32).

Dari kompleksitas kepribadian inilah, terbentuk perspektif pemikiran dan perhatian yang multi dimensi. Mulai dari revivalisme pesantren, kritik pragmatisme pembangunan, pembaruan pemikiran agama, pribumisasi Islam, penjagaan budaya, sistem politik demokratis, dsb. Disisi lain berbagai peran yang bisa saling berlawanan satu sama lain yakni kyai, ketua ormas tradisional, pemikir liberal-humanis, politisi, aktivis LSM, budayawan, dan Presiden RI, membuat Gus Dur tak bisa lepas dari kontradiksi. Contoh, ketika sebagai presiden dari kalangan muslim malah mengusulkan diperbolehkannya lagi ajaran komunisme berkembang, padahal sebagai presiden apalagi muslim, ia seharusnya tetap mengubur ideologi “sesat” yang dikutuk kaum muslim dan bersifat traumatik dalam rekaman sejarah orang Indonesia, semuanya terjadi karena Gus Dur selain berperan sebagai presiden-kyai, juga seorang pemikir humanis.

Dalam Teologi Politik Gus Dur (2004), Listiyono Santoso menelusuri pemikiran politik Gus Dur dari perspektif paradigma teologinya. Pengambilan angle (sudut pandang) ini merupakan penggambaran pemikiran demokrasi Gus Dur ketika berhadapan dengan isu relasi antara agama dan negara. Karena dalam kehidupan demokratisasi terlebih Indonesia, keinginan untuk menyatukan agama dengan

1

Meminjam judul buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur,


(12)

negara pada tataran formal state merupakan kegelisahan sepanjang masa, meskipun sejak Proklamasi 1945, Indonesia oleh beberapa founding fathers (termasuk agamawan) sudah final merumuskan bentuk negara Indonesia adalah nation state berdasarkan azas pluralisme Pancasila.

Gus Dur dalam hal ini memaklumi kegelisahan tersebut. Menurutnya, keinginan sebagian muslim untuk menjadikan Islam sebagai azas negara dikarenakan Islam sendiri merupakan agama hukum. Sebuah agama hukum haruslah menentukan dengan rinci hubungan antara negara dan hukum itu sendiri, agar ajaran Islam yang berupa hukum-hukum agama itu bisa terlaksana dalam kehidupan.

Gus Dur sendiri menurut Listiyono juga setuju dengan penyatuan agama dengan negara, makanya pemikiran politik Gus Dur (dan seluruh concern

pemikirannya) bersifat teologis. Hanya saja, penyatuan agama dan negara bagi penganut Islam substantif ini tidak bersifat formal, sebab Islam tidak mengenal doktrin tentang negara, tetapi sebagai agama, Islam merupakan landasan keimanan warga negara dan pemberi motivasi spiritual dalam menjalankan negara. Pemikiran Gus Dur ini memiliki kecenderungan kepada sekularisasi politik yang lebih mengartikan adanya prinsip membedakan, bukan memisahkan agama dengan politik sebagaimana prinsip sekularisme murni.

Bagi Gus Dur (1999: 186), yang profan diprofankan, yang sakral disakralkan, tidak dicampur-adukkan secara a-rasional dan a-histories. Itulah sebabnya Gus Dur lebih mencita-citakan “Republik Bumi” yang dipertahankan sampai ke sorga, daripada “Kerajaan Tuhan” di bumi. Gus Dur kemudian tidak menginginkan idealisasi negara dari perspektif Islam, melainkan lebih menekankan aspek praktis dan substansial dari negara itu sendiri, dalam perspektif Islam. Dalam hal ini, mekanisme demokrasi kemudian menjadi kaidah konstitutif yang mutlak. Sehingga ketika ada tuntutan penerapan syari’ah Islam pada level hukum nasional, maka harus dikembalikan kepada UUD 1945, yang didalamnya menyerahkan segala pengaturan ketata-negaraan kepada kedaulatan rakyat melalui perwakilannya (L Santoso, 193-199).


(13)

Penelusuran pemikiran relasi agama dan negara Gus Dur juga dilakukan oleh Fahrurroji M Bukhori (2003) dalam Membebaskan Agama dari Negara : Komparasi Abdurrahaman Wahid dan Ali Abd Raziq. Dalam buku ini, pemikiran Gus Dur dikategorikan masuk dalam perspektif fungsionalisme struktural a la sosiolog Talcolt Parson, yang menyatakan bahwa hubungan antara agama dan negara bersifat fungsional. Seperti kita tahu, bahwa teori fungsionalisme berangkat dari konsep struktur organisme yang masing organnya mempunyai fungsi tertentu. Organisme biologis tersebut baru bisa aktif secara maksimal ketika masing organ berfungsi secara proporsional.

Maka, untuk mencapai harmonisasi antara fungsi agama dan negara, haruslah tercipta sebuah kecocokan antara keduanya, baik pada level nilai, kultur masyarakat, dan struktur negara. Sayangnya, diantara organ tersebut, sering mengalami disfungsi, dan inilah yang mengakibatkan disharmoni. Dari sini Gus Dur kemudian menyimpulkan bahwa, hubungan agama dan negara bisa harmonis ketika masuk dalam relasi yang substantif. Sementara Ali Abd Raziq dicover oleh Fahrurroji dari metode analisis wacananya Nasr Hamid Abu Zaid, yang menggunakan analisa hermeneutik dalam mengkritisi teks-teks keagamaan yang sering dijadikan rujukan oleh kaum formalisme Islam dalam melegitimasi “jihad” daulah Islamiyyah-nya (Fahrurroji M B, 2003 : 107-114).

Salah satu hasil riset yang menarik tentang discourse politik Gus Dur adalah yang dilakukan oleh H Fuad Anwar yang dibukukan dalam Melawan Gus Dur (2004). Riset tentang gaya komunikasi dan kepemimpinan Gus Dur ini diawali dengan pembahasan demokratisasi dalam tubuh “Republik Gus Dur” yang menuai fenomena “perlawanan” terhadap Gus Dur.

Ada tiga kasus perlawanan terhadap Gus Dur. Pertama, perlawanan beberapa kyai NU terhadap pencalonan Gus Dur sebagai presiden RI dalam Pemilu 2004, karena faktor gangguan kesehatan mata. Para kyai tersebut menggunakan kaidah fiqh yang terkodifikasi dalam kitab al-ahkam al-shulthaniyyah milik al-Mawardi yang menyatakan salah satu syarat kepemimpinan adalah kesehatan fisik. Pada perkembangan selanjutnya, para kyai ini masuk dalam gerbong pendukung cawapres KH Hasyim Muzadi yang memang seorang pelawan Gus Dur, terlebih


(14)

ketika Ketum PBNU tersebut tidak direstui Gus Dur untuk “menikah” dengan Megawati. Kedua, perlawanan Syaifullah Yusuf dalam interuksi reposisi jabatannya sebagai Sekjen PKB, dan ketiga, kegagalan tokoh-tokoh besutan Gus Dur dalam pemilihan gubernur Jawa Timur, bupati Lumajang dan bupati Jombang. Ada ketidaksingkronan antara interuksi Gus Dur dengan kesepakatan pengurus PKB level wilayah yang membuat jago dari PKB gagal meraih kursi.

Point gaya komunikasi politik Gus Dur terdapat pada pencoveran dengan menggunakan analisa sosilogis a la teori Dramaturgi. Teori ini merupakan konsep interaksi kontemporer dari Erving Goffman dalam The Presentational of Selfin Every Day Life. Teori ini melihat gaya manuver politik Gus Dur sebagai trik seorang aktor sekaligus sutradara dalam sebuah pertunjukan drama. Ketika Gus Dur melontarkan wacana yang kontroversial dan bersifat teatris-simbolik, Gus Dur sebenarnya sedang berada di atas “panggung depan”, dengan target penciptaan kesan simbolik kepada para “penonton”, padahal the true reality yang dimaksudkan oleh Gus Dur berada pada “panggung belakang” di mana skenario drama digodog (H Fuad Anwar, 2004: 50-55).

Gaya komunikasi seperti ini memang khas a la Gus Dur. Pada era perang terhadap otoritarianisme Orba, gaya zig-zag dengan lontaran-lontaran simbolik dan tak langsung, terbukti sangat manjur untuk menyerang, bertahan, kemudian “menghilang”, sehingga seringkali Soeharto kecele ketika menghadapi manuver pionner Fordem Demokrasi tersebut. Hanya saja gaya “menyerang tak langsung” ini dikritik oleh James Cladd (2000) sebagai gaya politik kuno yang tidak relevan lagi untuk “permainan” politik kontemporer. Namun bagaimanapun gaya komunikasi politik Gus Dur ini telah berhasil menjadikan wacana demokrasi sebagai “hantu” bagi rezim Soeharto, sekaligus mampu menjaga NU agar tetap survive dalam keadaan ketertindasan politik.

Rahim pemikiran

Situasi ketika pemikiran Gus Dur dilahirkan adalah era developmentalisme yang merupakan varian ekonomi-politik dari agenda modernisasi. Kondisi politik saat itu memang dilematis, akibat strategi depolitisasi Islam oleh Orde Baru (Orba). Namun, kondisi tersebut ternyata membuahkan blessing in disguise (hikmah


(15)

tersembunyi), yakni terbukanya ruang bagi transformasi Islam kultural, dalam hal ini pembaruan pemikiran Islam.

Secara sosiologis, era developmentalisme (khususnya dekade 1970-an) telah banyak melakukan perubahan basis masyarakat, yang pada akhirnya menciptakan perubahan pada ranah struktural, hubungan Islam dan negara. Jika pada Orde Lama, negara selalu dibuat was-was dengan aspirasi politik Islam (Piagam Jakarta), maka pada era Orba, Islam dan pemerintah berada dalam hubungan simbiosis mutualisme. Satu sisi, Islam kultural mencoba memberikan legitimasi teologis atas ideologi tunggal Pancasila, berbarengan dengan terbukanya akses bagi santri kelas menengah untuk memasuki jabatan strategis baik dalam pemerintahan, birokrasi dan bisnis. Lahirlah birokratisasi Islam dan Islamisasi birokrasi, yang menandai pudarnya dikotomi santri-priyayi Geertzian, akibat mobilisasi pendidikan tinggai kaum santri (priyayinisasi santri).

Seperti kita tahu, mainstream sosio-politik Orde Baru adalah penerimaannya terhadap gagasan-gagasan pembangunan (development), yang merupakan konsep ekonomi-politik tertua di Barat. Elemen sentral dari perspektif ini adalah metafora pertumbuhan (growth), yakni pertumbuhan yang terwujud dalam organisme, laiknya konsep organisme fungsional Parsonian. Pembangunan, sesuai dengan metafora ini dihayati sebagai organik, imanen, terarah, kumulatif, evolutif, tak bisa berbalik, dan bertujuan.

Dalam konsep modernizing paradigm ini, pembangunan dilihat dari perspektif evolusioner, sehingga keadaan keterbelangan (under developed) dipetakan dalam berbagai perbedaan yang bisa dilacak, antara bangsa kaya dan miskin. Lahirlah term

Dunia Ketiga, yang menjadi trade mark negara-negara baru pasca-kolonialisme, yang miskin, tradisional, dan terbelakang, sehingga membutuhkan uluran tangan kemajuan dan pembangunan dari negara maju (eks-kolonialis). Pembangunan dengan demikian menjembatani jurang-jurang perbedaan tersebut melalui proses peniruan (imitative process), dimana bangsa yang kurang berkembang, secara perlahan mengadopsi kualitas dari bangsa-bangsa industri.


(16)

Sejak awal 1970-an, pendukung utama paradigma modernisasi ini adalah kalangan menengah kota yang disebut Liddle sebagai secular modernizing intellectual. Dengan meminjam perspektif ilmu-ilmu sosial layaknya karya Herb Feith, Geertz, Edward Shils, Fred Riggs, Eisanstadt, Rostow, dsb, mereka mencoba mempengaruhi iklim intelektual dimasa pasca-Soekarno dengan slogan-slogan modernisasi dan pembangunan. Inti dari ideologi pembangunan (isme) tersebut adalah perbedaan yang tajam antara masyarakat modern dengan tradisional. 2

Secara struktural, sebuah masyarakat modern lebih terdiferensiasi, kendati terintegrasi, dimana ikatan-ikatan sekular maupun sekunder, mengontrol atas ikatan suci dan primer. Sementara itu, masyarakat tradisional hanya memiliki sedikit struktur otonom, dimana ikatan kekeluargaan dan agama sangat dominan. Meminjam dikotomi Weberian, masyarakat modern lebih menggunakan rasionalitas instrumental yang memiliki tujuan dan metode pencapaiannya, sementara masyarakat tradisional masih terjebak dalam rasionalitas nilai, dimana tujuan dari perilaku sosial dilandaskan pada nilai (tradisi-agama) yang magis, dan tentunya tidak manageable. Pada tataran politis, modernisasi kemudian menciptakan “kemajemukan fungsional yang bertata nilai” (fungtional valuational pluralism). 3 Yakni kemajemukan fungsional yang mengakui agama, hanya sebagai salah satu nilai, diantara sekian banyak bidang kehidupan lain, semisal pemerintahan, ekonomi, birokrasi, filsafat, ideologi, estetika, dan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Agama, dalam hal ini berarti tidak memilki legitimasi fungsional bagi jalannya pemerintahan, sebab berbagai fungsi sudah diambil alih oleh lembaga-lembaga rasional dengan manajemen berdasarkan filsafat sekular.

Disinilah Orde Baru melakukan proyek de-Islamisasi besar-besaran, sebagai satu tahapan utama bagi depolitisasi secara keseluruhan. Rehabilitasi Masyumi tidak diberikan, sementara partai-partai Islam diikat kedalam PPP, yang sudah terkondisikan sebagai partai pemerintah. Nama PPP (Partai Persatuan Pembangunan) pun merupakan kompromi politik yang bersifat pragmatis, yakni antara terma “persatuan” (ummah) dengan kata “pembangunan”. Hal ini sudah mengindikasikan pelunakan ideologi Islam oleh ideologi pembangunanisme.

2

Fachry Ali, Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru, Prisma 3, Maret 1991 hlm 87-90

3


(17)

Memang, hubungan Orde Baru dengan Islam mengalami naik-turun. Pada awal rezim tersebut berdiri, Islam menjadi satu ekstrim kanan bersandingkan dengan komunisme. Hal ini tentu merupakan prasyarat logis dari orientasi ekonomisme yang dipilih Orba, sebab pembangunanisme mensyaratkan “matinya ideologi”. Dalam strukturnya, pembangunan tidak hanya mensyaratkan berlakunya doktrin evolusionisme : bergantinya masyarakat agraris kepada masyarakat industri, namun juga menghendaki lunturnya pertarungan politik berdasarkan ideologi, sehingga energi negara tidak terserap habis untuk mengatasi konflik, tetapi secara maksimal mengejar surplus ekonomi tingkat tinggi, berdasarkan industrialisasi dan perdagangan global. Inilah resiko demokrasi, dimana pertarungan berdasarkan idealisme aliran, harus dikubur, diganti dengan kompetisi rasional dalam parlemen, melalui mekanisme partai, pemilu, dan kompromi politik.

Dalam kaitan ini, paradigma pembangunanisme telah mengadopsi berbagai “ketakutan” sosiologis terhadap agama. Diberbagai literatur teoritis, hubungan agama dan modernisasi, hampir bisa kita pastikan “ketakutan” tersebut. Bryan S Turner, misalnya selain mendefinisikan agama sebagai bentuk ikatan (cement) sosial yang menciptakan kohesi sosial ditengah potensi konfliktual, juga melihat agama sebagai “racun sosial” yang akan memaksa konflik kepentingan diantara kelompok yang saling bertentangan. Demikian juga Smith yang melihat terjadinya konflik antara otoritas agama versus negara, jika agama hendak memperluas pengaturan sosialnya. Semakin “gemuk” agama dalam sistem sosio-politik, maka semakin lebarlah potensi konflik tersebut. 4

Hal ini seperti kita tahu, adalah ekses hegemoni sekularisasi. Tentu kitapun mafhum dengan ramalan Weber yang memperlihatkan “keangkuhan” rasionalisasi dalam mengganti segala bentuk sentimen ideologis, tradisi, dan komunalisme. Tuah agama, dalam abad rasionalisasi telah digantikan oleh kecanggihan ilmu spesialis sebagai perubahan otoritas dari rasionalitas nilai kepada rasionalitas instrumental. 5 Apalagi jika kita menyaksikan kekuatan kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang pasti akan menghancurkan dasar-dasar kebudayaan. Schumpeter menyatakan,

4

DE Smith (ed), Religion, Politics and Social Change, The Free Press, 1971, hlm 1-2

5


(18)

meskipun kapitalisme berdiri diatas nilai-nilai tradisional, semisal moral agama, namun ia memiliki potensi “penghancur kreatif” yang makin memperlemah tradisi dan oleh karena itu akan merontokkan susunan penopangnya, untuk kemudian berdiri tegak diatas kredibilitasnya sendir

Dari sinilah Orde Baru kemudian menggerakkan politik integrasi. Yakni sebuah paradigma yang berhasrat untuk menyatukan semua komponen masyarakat dalam suatu sistem politik nan stabil. Hal ini merupakan inti paradigma politik Orde Baru, di mana pembangunan pada level politik, selalu membutuhkan integrasi pada level sosial. Ini terjadi karena pemercepatan pembangunan ekonomi tidak akan berhasil, jika pada level masyarakat, konflik baik atas nama agama, ideologi, paham kelompok, dsb berbenturan. Satu hal yang terjadi pada era Soekarno, di mana politik menjadi panglima, sehingga benturan ideologi menjadi sesuatu yang niscaya.

Paradigma integrasi ini berangkat dari konsepsi sistem yang melihat kehidupan sebagai kesatuan jaringan struktur yang saling melengkapi, menuju tujuan politik nan baku. Seperti tubuh biologis, kehidupan politik dilihat sebagai kesatuan sel-sel; budaya, agama, ormas, ideologi, dan segenap elemen kultural masyarakat, yang mengabdi pada tujuan utama sistem politik. Dalam hal ini, tujuan itu telah diarahkan kepada pembangunan ekonomi, karena dengan tujuan inilah Orde Baru membedakan dirinya dengan Orde Lama, yang lebih menjadikan pembangunan politik sebagai tujuan pemerintahan. Dalam model itu, politik menjadi panglima, di mana kemajemukan ideologi politik diakomodir dalam suatu model demokrasi terpimpin yang sentralistik. Ini yang membuat orientasi ekonomi terbengkalai, sehingga kelahiran Orde Baru terbebani oleh inflasi ekonomi yang tidak stabil. Soeharto hadir untuk membalik situasi itu, yakni super-ordinasi pembangunan ekonomi atas pergulatan politik ideologis, yang nyata membawa Indonesia pada konflik sektarian melelahkan. Setidaknya inilah legitimasi yang diciptakannya, sehingga masyarakat diharapkan percaya bahwa lahirnya Orde Baru, membawa perbaikan bagi kondisi bangsa yang tercarut oleh marut perbenturan politik era Soekarno.

Hal inilah yang dalam domain agama melahirkan paradigma integratif, di mana agama hanya dilihat sebagai unsur pemersatu masyarakat. Ia mengacu pada


(19)

kesadaran kolektif (collective solidarity) dari sosiologi Durkheim yang menempatkan agama sebagai lapisan nilai penjaga konsensus moral. Bagi pendekatan ini, agama kemudian menjelma common denominator (sebutan bersama) bagi kesepakatan masyarakat.

Paradigma ini yang dikritik Gus Dur, karena dalam sejarah, selain memainkan peran integrasi, agama terlebih menggerakkan transformasi. Sejak Islam hadir misalnya, agama ini telah mengamanatkan pembaruan struktur sosial yang egaliter, melampaui kapitalisme feodal dari elite Mekkah. Cara pandang integrasi kemudian menjebak agama, dan elemen kultural lainnya dalam suatu gerak statis legitimatif atas kekuasaan yang ada.

Dari keyakinan akan pembaruan inilah, Gus Dur kemudian menambatkan basis politiknya pada level kultural. Artinya, domain pemikiran politik beliau lebih berangkat dari kekuatan budaya, serta orientasi kebudayaan, dibanding kepercayaan akan institusi. Hal ini wajar, sebab sejak awal, Gus Dur dan masyarakat nahdliyin lahir dalam rengkuhan kultur, yang otonom, sekaligus mampu mempengaruhi supra-kultur secara umum. Kepercayaan terhadap kultur ini pada akhirnya akan menjadikannya sebagai penggerak counter-hegemony, menandingi hegemoni negara. Jadi, Gus Dur bisa disandingkan dengan Gramsci yang melihat budaya sebagai elemen penggerak perubahan politik. Satu hal yang membuatnya melakukan kritik atas Marxisme, yang hanya menempatkan kultur sebagai bias dari basis struktur ekonomi.

Inilah yang membuahkan orientasi kultural dari demokrasi Gus Dur. Artinya, demokrasi bukan pergulatan institusional atau teortisnya yang terpenting. Tetapi praktik demokratisasi pada level budaya. Kebudayaan demokratislah yang diperjuangkan Gus Dur, karena tanpa hal itu, demokrasi bahkan menjadi kekerasan simbolik (symbolic violence), di mana negara mempraktikkan penindasan dengan bersembunyi dalam lembaga-lembaga demokrasi.

Orientasi kultural ini pula yang membuat Gus Dur tidak melakukan revolusi, karena bagi masyarakat Sunni, muara perjuangan politik adalah kemashlahatan umat yang terwakili, bukan terpuaskannya idealisme ideologis. Tentu hal ini


(20)

kemudian membutuhkan suatu pendekatan pergerakan, yang Gus Dur sebut sebagai sosio-kultural. Pendekatan ini merujuk pada kebutuhan melakukan pembaruan, bukan pada supra-struktur politik, tetapi pada pelaksanaan nilai dalam sub-sistem.6 Semisal Pancasila, di mana Gus Dur tidak hendak menggantikannya dengan ideology Islam. Pancasila sebagai supra-struktur negara tidak diganti, karena yang terpenting adalah penjagaan atas pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam praksis politik. Gerak sosio-kultural kemudian turun ke bumi, untuk menggerakkan kesadaran masyarakat agar mampu hidup dalam potensi internal kebudayaannya. Artinya, pendekatan sosio-kultural memiliki dua gerak: kritik atas penyimpangan nilai pada supra-struktur politik, sembari melakukan pendampingan masyarakat bawah, guna menggali kemandirian masyarakat yang telah disediakan oleh basis kultur.

Pemikiran politik Gus Dur juga berangkat dari paradigma pembaruan sosial. Paradigma ini mengacu pada kebutuhan untuk melakukan modernisasi, bukan dari ruang luar kesadaran masyarakat, tetapi berangkat dari potensi internal rakyat. Satu hal yang kemudian menjadi kritik atas pendekatan pembangunanisme yang memaksakan modernisasi sembari abai terhadap tradisi masyarakat.

Dalam pergulatan modernitas dan tradisi, persoalan yang sering muncul adalah problem akulturasi. Disini, proses “pembumian” nilai-nilai modernitas yang hegemonik, haruslah menciptakan identifikasi terhadap wilayah, serta siapa agen perubahan yang harus dirangkul guna menggerakkan berbagai proyek kemajuan. Disisi lain, dari pihak masyarakat Dunia Ketiga sendiri haruslah melakukan identifikasi diri, terhadap segenap kekuatan serta kelemahan: apakah tradisi bisa beradaptasi, atau bahkan melakukan perlawanan dengan modernitas?

Berangkat dari sinilah, perdebatan siapakah “manusia dan kebudayaan Indonesia” lahir. Dalam kaitan ini, Gus Dur kemudian memberikan tiga model pemikiran tentang tipologi manusia pribumi beserta segala tradisinya. Pertama, pandangan yang menilai manusia Indonesia sebagai bangsa malas, bersikap pasif dihadapan tantangan modernisasi, dan paling jauh tidak mampu melakukan sesuatu

6

Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-9


(21)

yang berarti atas prakarsa sendiri. Para kritikus sosial ini kemudian menyalahkan hidup tradisional yang sudah berlangsung ratusan tahun, struktur pemerintahan yang tidak demokratis, keterbelakangan dalam segala bidang, serta kekuatan politik begitu mutlak dari elite yang mampu memperoleh begitu banyak hasil dari karya yang tidak sebanding artinya dengan kedudukan yang mereka pegang.7

Pandangan ini yang diwakili oleh para penulis (literati) tua, semisal Sutan Takdir Alisjahbana, berangkat dari satu kritik atas adaptasi masyarakat terhadap modernitas yang hanya terhenti pada “produk”, tanpa mampu menjadikan nilai-nilai kebudayaan modern sebagai mentalitas dan sikap hidup. Bagi Sutan, modernitas adalah suatu kebudayaan yang mempunyai susunan nilai-nilainya sendiri. Ia menentukan etik maupun disiplin kelakuan manusia berdasarkan satu paradigma dan tujuan hidup. Disinilah makna kebudayaan modern menemu ruang, yakni sebuah kebudayaan rasional dimana progresifitas sains dan ekonomi menggantikan ekspresifitas agama dan seni, guna mencapai tata aturan hukum alam serta keuntungan atau utilitas yang sebesar-besarnya.

Dalam kebudayaan modern, ilmu (alam) dan ekonomi kemudian melahirkan

industrial civilization, melalui penciptaan teknologi, sehingga hubungan raisonalitas instrumental antara kedua hal itu menjadi satu kesatuan organik yang tidak dapat terpisah. Hanya saja substansi dari modernitas ini, menurut Sutan banyak disalah pahami, dengan hanya mengacu pada berbagai ekses negatif kebudayaan modern seperti yang terlihat dalam hiburan dangkal penuh sex dan kekerasan, sikap individualisme dan anarki yang tidak memperdulikan masyarakat, kerusakan moral, hilangnya agama, dst. Padahal berbagai “sisi gelap” ini merupakan luapan kebebasan dari sebagian masyarakat modern guna mengatasi kebosanan kehidupan yang monoton dalam industrialisasi.8 Dari sinilah para kritikus semacam Sutan, atau Mochtar Lubis kemudian mengkritik mental manusia Indonesia, yang gagal dalam menemukan “ruh” modernitas semisal ketidakmampuan bangsa dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta ketiadaan disiplin kerja penuh efisiensi, seperti yang dikehendaki kebudayaan modern.

7

Abdurrahman Wahid, Nilai-nilai Indonesia, Apakah Keberadaannya Kini? Dalam Prisma, No 11, November 1981, h., 3

8

Sutan Takdir Alisjahbana, Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Prisma 11, November 1981, h., 23-24


(22)

Kritik serupa juga dilontarkan oleh SI Poeradisastro. Dalam makalah,

Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah, sejarawan kawakan ini juga mengkritik “mental agraris” dimasyarakat perkotaan Indonesia, yang secara material telah mengalami industrialisasi, namun secara mental masih tetap bersekukuh dengan kultur pertanian. Hal inilah yang menurutnya telah menimbulkan mental “mengais sampah” modernitas berupa ekses hedonistik dari budaya konsumen dan hiburan. Paparnya:

“Di dalam setiap perjumpaan unsur-unsur kebudayaan, ada dua hal yang mudah diterima, yakni yang bermanfaat dan menyenangkan indria (convenient to the senses). Yang menyenangkan dan merayu indria ini pada umumnya justru yang buruk dan merusak atau setidak-tidaknya dangkal. Bukan yang terbaik yang dipasarkan dan dipromosikan di Indonesia dari Eropa, Amerika, Hongkong dan Taiwan, melainkan sebaliknya sampah dan buih yang hanyut dipermukaan gelombang. Di dalam tabrakan kebudayaan (clash of cultures) ini kita adalah pihak yang rugi. Kegemaran mengais sampah ini tak terbatas pada golongan menengah dan atas saja, melainkan melalui tempat persewaan video-tapes telah mulai menjalar ke kalangan rakyat jelata, misalnya anak muda putus sekolah. Tapi konsumerisme yang menyertai hidup memburu kesenangan keseharian ini tetap merupakan sosis yang diikatkan di ujung cambuk kereta anjing, yang takkan pernah terjangkau.” 9

Pandangan kedua tentang manusia dan nilai-nilai Indonesia lahir dari sikap yang sangat mengidealisir nilai-nilai luhur bangsa, serta meletakkan kesemua nilai tersebut pada kedudukan yang sangat diagungkan, sebagai prinsip pengarah yang telah membawa bangsa kepada kejayaan kemerdekaan, dan dengan sendirinya harus akan membawa bangsa pada upaya tak berkeputusan untuk emncapai masyarakat yang adil dan makmur. Prinsip ini mengambil bentuk “sikap bijaksana” seperti “keserasian tanpa menghilangkan kreativitas perorangan”, kesediaan berkurban untuk mengurbankan kepentingan sendiri demi kepentingan orang lain, melakukan banyak hal untuk orang lain tanpa mengharapkan imbalan (sepi ing

9


(23)

pamrih, rame ing gawe), kesabaran dihadapan kesulitan dan penderitaan, dst. Karena adanya sikap demikian bijaksana dalam dirinya, bangsa Indonesia menjadi bangsa pecinta damai, sopan kepada orang lain tanpa sedikitpun menyerahkan diri kepada akibat-akibat koruptif dari modernisasi, giat berkarya tetapi memiliki akar yang dalam pada kehidupan yang kaya dengan refleksi dan meditasi, serta sabar tetapi tekun dalam membangun masyarakat adil di masa depan. Walaupun bertentangan satu sama lain, semua nilai diatas telah menjadi bahan kontemplasi paling intensif dalam penyiapan dan penyelenggaraan indoktrinasi falsafah negara Pancasila, penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengmalan Pancasila).

Pada titik inilah negara, sebagai representasi paling sah bagi nilai-nilai Indonesia, kemudian mengambil langkah “pengamanan” atas Pancasila, agar tidak terjadi penyimpangan penafsiran baik oleh lawan politik (political adversaries) maupun musuh politik (political enemies). “Pengamanan” Pancasila sebagai ideologi negara ini senantiasa mengambil bentuk penguasaan aparat pemerintah dan kelengkapan negara, serta mendayagunakannya bagi perumusan “penafsiran yang benar” atas ideologi negara.10 Proses ini, yang oleh Gus Dur disebut sebagai “rekayasa sosial” guna penurunan “suhu ideologi”11 menemu ruang misalnya dalam penolakan (atas nama) Pancasila oleh para pejabat negara, terhadap liberalisme, baik dalam bentuk sistem demokrasi maupun filsafat hidup.

Penolakan yang tidak terbatas pada retorika seremoni negara, namun telah termaktub dalam P4 ini mengacu pada sifat “tidak Indonesia” dalam liberalisme, semisal budaya politik bersaing asal bersaing saja, yang dianggap membahayakan pandangan integralistik Pancasila, karena langkanya keseimbangan antara hak perorangan dengan hak kolektif. Demokrasi liberal juga ditolak karena mendukung kontradiksi dan instabilitas politik, sementara Demokrasi Pancasila justru mendukung proses kesatuan dalam keragaman. Dari sini Pancasila kemudian dibedakan melalui idealisasi nilai-nilai Indonesia. Dikatakanlah bahwa persaingan dibolehkan, bahkan didorong, guna memungkinkan tercapainya kemajuan. Namun persaingan harus dilangsungkan secara penuh kesopanan, dipenuhi suasana saling memberi dan menerima. Yang menang tokh akan mewakili kepentingan semua

10

Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, Prisma 11, November 1980, h., 14

11

Abdurrahman Wahid, Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta:LKiS, 2000, h., 28


(24)

pihak, melalui keputusan berdasarkan konsensus. Dengan ungkapan lain, berbeda dengan liberalisme, Pancasila melihat budaya persaingan sebagai bagian dari proses pencapaian konsensus yang berwatak integralisitik.12

Pandangan ketiga datang dari kaum akademisi. Pandangan ini tidak mengacu pada perdebatan kaum “pelap-lap” versus kritkus tradisi, melainkan berangkat dari satu postulat akademis, bahwa demi ditemukannya nilai-nilai Indonesia, maka kita harus menggunakan kaidah ilmiah guna menemukan orientasi hidup masyarakat secara empiris dan objektif. Dalam hal ini Gus Dur melihat adanya transformasi dalam metodologi riset sosial-budaya yang mengarah pada pemahaman unsur-unsur kehidupan masyarakat, lebih koheren. Bagi Gus Dur, pendekatan positivistik dalam antropologi a la Clyde Kluckhohn telah membuat pemecahan berbagai aspek sosio-budaya kedalam wilayah riset yang terpecah. Hal ini misalnya tercermin dalam premis antropologis milik Prof. Koentjaraningrat yang melihat orientasi tertentu masyarakat, seperti mentalitas tradisional berupa ketundukan terhadap

priyayi keraton, sebagai penghambat pembangunan. Kelemahan pendekatan ini Gus Dur temukan dalam ketidakmampuan peneliti untuk menangkap “..konflik apakah yang dibutuhkan untuk mengarahkan kembali sebuah nilai yang dianggap negatif terhadap pembangunan, agar mengikuti jejak nilai lain yang dianggap positif bagi pembangunan?” Dari sinilah Gus Dur kemudian mengamini sebuah transformasi metodologis bagi tercapainya riset kebudayaan yang komprehensif dan mampu masuk dalam “pergulatan sosial” masyarakat.

Panggung politik

Sampai disini, Gus Dur masih “membumikan” pemikiran ideal demokrasinya kedalam gerakan civil society melalui NU, Fordem dan aktivitas

12

Sayangnya, dalam real politics masih banyak terjadi kontradiksi. Pada satu sisi, pelaksanaan nilai-nilai Pancasila ternyata belum sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat. Bahkan dalam banyak kasus, persaingan politik dalam masyarakat masih mencerminkan “persaingan bebas tanpa konsensus” a la

liberalisme. Parahnya, kekisruhan tersebut ditambah melalui intervensi pemerintah dalam proses pergulatan politik sipil, seperti yang terlihat dalam intervensi negara pada berbagai suksesi partai politik (era Orba: PDI-PPP). Demikian juga dari sisi pemerintah, belum tercipta tolok ukur penerapan demokrasi integralisitik, sehingga perilaku politik yang masih jauh dari harapan Pancasila masih belum terdeteksi. Permasalahan bertambah ketika hubungan antara liberalisme dan Pancasila juga belum dirumuskan secara komprehensif dengan mengajak berbagai kekuatan bangsa. Faktanya, setiap gerakan, pandangan, dan kritik yang dilakukan masyarakat, akan selalu dianggap subversif, ketika pandangan tersebut tidak sesuai dengan penafsiran pemerintah atas Pancasila. Lihat Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Liberalisme, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001, h., 63-68


(25)

kecendekiawanannya. Hingga kemudian, moment reformasi menjadi fase bagi Gus Dur untuk “membelokkan” strategi gerakannya kepada politik praktis dengan mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dilahirkan dari rahim NU.

Banyak yang mempertanyakan pilihan Gus Dur ini, terlebih dari kalangan anak muda yang telah menjelma gerbong intelektualisme baru NU pasca Khittah 26. Kebingungan tersebut muncul karena Gus Dur selama menjabat PBNU selalu menggelorakan gerakan unpolitical politics 13(berpolitik tanpa politik), yakni gerakan kultural sebagai oposisi bagi politik praktis14. Manifesto Khittah 26 merupakan usahanya untuk mengembalikan NU kepada jalur civil society yang sebelumnya telah dibelokkan oleh kaum politisi NU.

Pilihan Gus Dur untuk terjun dipolitik praktis memang merupakan langkah kontradiktif. Sebab paradigma antara aktivis pergerakan dengan politisi jelas berbeda dan cenderung berseberangan. Memang keduanya sama-sama praksis. Jika merunut kepada konsep Bassam Tibi tentang pembaruan Dunia Ketiga, maka Gus Dur sebagai aktivis atau intelektual organik, telah melakukan kerja transformatif yang tidak berhenti pada “pembaruan wacana” (layaknya intelektual liberal murni) akan tetapi melanjutkannya kepada kerja praksis yang masuk dalam kantong-kantong kebudayaan masyarakat awam.

Sementara kerja politisi, jika merujuk pada konsep politik konvensional seperti batasan klasik oleh Lasswell (1958) yang mendefinisikan politik sebagai “siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana”, atau jika meminjam istilah yang diselalu dipakai Gus Dur sendiri untuk mendefinisikan politik, yakni politic is the art of possibility (politik adalah seni kemungkinan), maka praktik politik adalah bagaimana membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, sehingga tolok ukurnya bukan idealitas tetapi kemungkinan dari realitas. Disinilah kemudian “permainan” menjadi rule of the game, apalagi jika melihat budaya politik Indonesia yang dikuasai oleh paradigma Machiavellian yakni struggle to power (perebutan kekuasaan), maka

13

Ulil Abshar-Abdalla, Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik”, Tashwirul Afkar, Edisi No 4/1999, hlm. 51

14

Term inilah yang kini sudah tidak berlaku lagi, sebab pasca lengsernya Soeharto, Gus Dur menjadi politisi lewat PKB, apalagi pasca lengser kepresidenan, Gus Dur terlihat total masuk dalam politik praktis.


(26)

kerja politisi jelas kontradiktif dengan idealisme pergerakan kaum aktivis yang berangkat dari ideal untuk ideal.


(27)

Ba b 0 2

Kr it ik D e m o k r a si I n st it u sio n a l

Pem ikiran kenegaraan Gus Dur berangkat dari keprihat inan filosofis, at as ot orit arianism e negara. Sat u hal yang lahir dari krit ik pendekat an st at e cent ered

t erhadap konst it usi. Dalam perspekt if ini, konst it usi dilihat sebagai payung legit im at if at as gerak kekerasan negara. Hal ini m em ang sesuai dengan konsepsi negara m odern yang m enem pat kan inst it usi polit ik t ert inggi ini sebagai pem egang sah hegem oni kebenaran, dan oleh karenanya berhak m enggunakan kekerasan.

Dalam kait an ini negara kem udian m em ilik i dua m acam kekerasan. Pert am a, kekerasan represif yang diperankan oleh m ilit er, polisi, UU, peradilan, dan penj ara. Wuj ud kekerasan ini hingga ke relung fisik, sej ak dari penyiksaan, pem enj araan, hingga pem bunuhan, sering at as nam a UU. Kedua, kekerasan koersif yang m engacu pada kekuasaan negara unt uk m em bent uk m asyarakat sesuai dengan st andar nilainya. Aparat yang lebih kult ural ini diperankan oleh lem baga pendidikan, depart em en kesehat an, kem ent erian agam a, sist em pem ilu, dsb yang m erupakan m ekanism e reprodukt if unt uk m enj aga st abilit as sist em polit ik.1 Kekerasan t et ap t erj adi, karena m asyarakat sering dij ebak dalam ket idaksadaran akan hak fundam ent alnya, karena m ereka sudah m apan m erasuk dalam sist em .

Pada t it ik ini, concern Gus Dur lebih pada lapis pert am a, yakni kecenderungan negara unt uk m enj adikan konst it usi sebagai pem benar prakt ik dom inat if. Tent u hal ini berm asalah karena sej ak awal, konst it usi dilahirkan dalam rangka kont rak sosial, di m ana pem erint ah sebenarnya lebih m erupakan pelayan bagi kebut uhan m asyarakat . Melalui kont rak sosial, rakyat lah yang m enj adi m aj ikan, sehingga konst it usi dibent uk dem i m enj am in am anat t ersebut t erlaksana, m inus prakt ik korupt if. I ni m erupakan kem aj uan sist em polit ik yang t idak lagi m enj adik an m onarkhi dan feodalism e sebagai m ekanism e berm asyarakat , karena dalam sist em t ersebut t idak t erdapat keset araan ant ara raj a dan rakyat . Konst it usi dilahirkan, selain unt uk m em bangun sist em int ernal kenegaraan (Trias Polit ica) , j uga t erlebih unt uk m em bat asi kewenangan negara, sehingga am anat rakyat t idak t erberangus oleh kesewenangan t anpa bat as.

1


(28)

Bagi Gus Dur, konst it usi harus dikem balikan pada akar filosofis t ersebut . I a t idak lagi m enj elm a pelindung konst it usional bagi penindasan negara, t et api sebaliknya, m enj elm a advokasi bagi ket ert indasan rakyat oleh negara yang t erlindungi oleh konst it usi. I nilah perebut an t afsir polit ik it u, di m ana Gus Dur t engah m em berikan t afsir populis dan ant i- negara at as konst it usi. Deskripsinya :

Konst it usi pada hakikat nya m engat ur t ent ang kekuasaan dan hubungan kekuasaan di dalam negara, m em beri bat as t egas pada w ew enang kekuasaan negara, dan sekaligus m eneguhkan hak- hak warganegaranya, berikut m enj am in perlindungan baginya. Kit a ingin m em berikan penekanan pada segi ini, yait u bahw a konst it usi j ust ru diadakan unt uk m enj am in warganegara dari kem ungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan negara. I ni didasarkan faham bahwa pem egang kekuasaan m em ang bisa m enyalahgunakan kekuasaan.

Cara m endekat i seper t i ini, berlainan dengan kebiasaan yang m elihat konst it usi sebagai sum ber pem beri kekuasaan pada negara; m em buka kem ungkinan unt uk m em aham i bahwa kekuasaan negarapun bisa bert indak ‘inkonst it usional’, yait u ket ika ia bert indak m elam paui bat as kew enangan yang dit et apkan dalam konst it usi. Sehingga suat u pelanggaran at au pengingkaran hak- hak warganegara, bahkan sekadar pengham bat annya oleh kekuasaan negara, baik m elalui keput usan pej abat at aupun perat uran perundang- undangan sekalipun, t idak lain adalah perbuat an inkonst it usional. Tet api soalnya, siapa at au badan apa yang akan m enilai k onst it usionalit as suat u keput usan, kebij aksanaan at au perat uran?

Soal yang pelik ini, yang selain ber sifat legal j uga t erut am a polit is, t idak akan dapat kit a bahas pem ecahannya sekarang. Hanya t ent u kit a dengan yakin dapat m engat akan, bahwa t erm asuk dalam proses dem okrat isasi ialah usaha unt uk m enegakkan peradilan yang bebas

(independent j udiciary) , j uga berwenang m engadili gugat an pelanggaran

hak konst it usi warganegara, dan m encipt akan suat u inst ansi penguj i kesesuaian perat uran perundang- undangan dengan konst it usi (j udicial

review) , apakah it u Mahkam ah Agung at au suat u m ahkam ah konst it usi

t ersendiri. 2

2


(29)

Menarik di sini karena pada dekade 1990 t ersebut , Gus Dur sudah m eniscayakan urgensi suat u Mahkam ah Konst it usi ( MK) . Sat u hal yang kini t erealisir, t et api t et ap dengan fungsi berbeda. Apa yang diharapkan Gus Dur adalah m ahkam ah konst it usi yang m enj adi pem bela rakyat dari penindasan konst it usional negara. I ni m erupakan paradigm a krit is at as kecenderungan proseduralism e dem ok rasi, yang sayangnya m asih t erj adi pada Mahkam ah Konst it usi kit a saat ini. Art inya, w ew enang MK yang t erbat as pada pem beri fat wa at as perselisihan lem baga- lem baga t inggi negara, t ent u t idak cukup m em enuhi harapan Gus Dur di at as. Bagaim anapun, w ewenang t ersebut t et ap berkut at pada “ negara unt uk negara” (st at e qua st at e) , bukan perlindungan kosnt it usional dari penindasan konst it usi. Hal ini m em ang dilem at is, karena sit uasi polit ik saat it u, yakni t ot alit erism e Orde Baru, m em buat Gus Dur perlu m em ik irkan alt ernat if sist em polit ik. Negara Orde Bar u adalah negara Leviat han, yang m erasa bert anggungj awab at as ket ert iban polit ik, dan t ent u j uga m oral, sehingga perlu unt uk m enancapkan “ cengkeram an polit ik” nya, di segenap lini kehidupan.

Secara garis besar, konsepsi konst it usi Gus Dur yang ant i- ot orit arianism e negara ini m erupakan kom it m en krit is beliau at as ket erj ebakan prosedur dem okrasi. Ya, t ent u kit a t ahu, kecerm elangan dem okrasi yang m em buat nya m enj adi “ t erbaik dari yang t erburuk” adalah kem am puannya unt uk m encipt akan prosedur polit ik rasional dan dem okrat is. Hal ini berangkat dari kepr ihat inan akan pot ensi konflik ideologis ant ar kelom pok polit ik, yang past i t idak kondusif bagi sebuah pem erint ahan. Di sini prosedur dem okrasi, baik berupa pem isahan dan pem ilahan kekuasaan ant ara parlem en, eksekut if, dan yudikat if; konst it usi dasar, m et ode perum usan undang- undang regulasi publik, penem pat an w akil kelom pok dalam sist em m ult i part ai, hingga yang prosedur yang paling m enent ukan, yakni pem ilu, m enj adi prakt ik polit ik m odern m inus konflik dan kecenderungan korupt if.

Dem okrasi lahir dar i alas pikir ini, m engingat prakt ik polit ik t radisional yang m asih m eniscayakan ket erw akilan ideologis. Sat u hal yang dirasa akan m engham bat pem buat an kebij akan publik (public policy) rasional, yang t ent u m ensyarat kan absennya em osi kelom pok . I ni t erj adi karena pem buat an kebij akan publik berada dalam ruang publik (public sphere) . Yakni sebuah ruang bersam a, t em pat sem ua m asyarakat m erum uskan kepent ingan bersam a, bukan kepent ingan kelom pok. Dalam ruang ini, m asing kelom pok harus m elunakkan kepent ingan golongan, dan secara bersam a- sam a m erum uskan apa yang sering disebut sebagai agam a publik (public religion) , berupa keadilan, keset araan


(30)

hukum , pem erat aan ekonom i, dsb. Dem okrasi m asuk dalam ruang ini, dengan m encipat akan m ekanism e dan prosedur rasional, di m ana konflik ideologi digant i oleh konsensus ( at au sering m enyim pang m enj adi kom prom i) rasional.

Hanya saj a, pot ensi dem okrat is dari prosedur alism e polit ik t elah dit elikung oleh dirinya sendiri, akibat pendekat an yang t erlalu m engacu pada inst it usi. Hal ini w aj ar, sebab epos polit ik m odern adalah epos t ent ang im plem ent asi filsafat polit ik ke ranah praksis. Jadi, m asyarakat polit ik m odern berusaha m em bum ikan aj aran filosofis t ent ang apa yang baik dan buruk dalam polit ik, m elalui pem bent ukan berbagai inst it usi polit ik yang secara legal kem udian dinam ai konst it usi. Sayang, pada t it ik ini m uncul perm asalahan, karena gerak subst ant if dari filsafat polit ik t idak begit u m udah t erw adahi dalam pelem bagaan polit ik. Art inya, inst it usi sepert i parlem en m isalnya, t idak sert a- m ert a m am pu m enj alankan fungsi ket erw akilan yang m erupakan esensi dari dem okrasi. Represent at iveness dalam prakt iknya t elah t ert elikung oleh lem baga perw akilan polit ik, sehingga banyak aspirasi rakyat yang hanya t erhent i pada pem buat an undang- undang. Dalam kait an ini, Gus Dur m enyat akan:

Dalam keadaan efekt if, lem baga- lem baga dem okrasi m em ang dibut uhkan unt uk m ekanism e dem okrasi. Tet api bukan berart i bahwa proses dem okrasi cukup disalurkan dalam lem baga- lem baga it u saj a. Hak rakyat unt uk m enyat akan dan m enyat ukan pendapat nya secara langsung t et ap m erupakan bagian t erpent ing dalam m ekanism e dem okrasi. Keadaan yang kit a saksik an sekarang, sayangnya, adalah t er balik. Sekalipun lem baga- lem baga dem okrasi kurang berfungsi t et api ia m alah dij adikan alibi ( bukt i) adanya dem okrasi, sam bil m enj adikan lem baga- lem baga it u sat u- sat unya t em pat yang sah bagi pem berian izin m elakukan kegiat an pencet usan aspirasi rakyat . Seolah- olah dengan m em buat badan-badan, dengan sendirinya j iwa dem okrasi m enj adi ada dan hidup. I ni adalah cara pandang yang sem pit m engenai “ dem okrasi

inst it usional”. Dengan akibat , dim ana seharusnya aspirasi yang

m enent ukan j enis dan w at ak lem baga yang dibut uhkan, nam un yang t erj adi ialah lem baga- lem baga ( inst it usi) t elah m em bat asi aspirasi yang dim ungkinkan. 3

3


(31)

Dalam sit uasi sepert i inilah Gus Dur kem udian m encet uskan ist ilah “ dem okrasi seolah- olah” . Jadi, seolah- olah dem okrat is padahal sebenarnya t idak ada prakt ik dem okrasi. I ni t erj adi karena bahkan t erbent uknya inst it usi dan konst it usi dij adikan alibi bahw a dem okrasi t elah t erlaksana. I ni m erupakan kekerasan sim bolik, di m ana negara hendak m enut up kesadaran krit is m asyarakat at as penyim pangan kekuasaan dari sang penguasa. Dengan adanya MPR dan DPR, pem erint ah m enyat akan bahw a aspirasi rakyat t elah t ert am pung dalam proses legislasi. Dengan adanya Mahkam ah Agung dan lem baga peradilan, seakan rasa keadilan rakyat t elah t erpenuhi. Dengan adanya Kom nas HAM, persoalan hak asasi m anusia seolah t elah t eradvokasi pem er int ah.4 Dalam kenyat aannya, khususnya pada era Soehart o di m ana Gus Dur unt uk pert am a kali m encet uskan ist ilah “ dem okrasi seolah- olah” t ersebut , segenap lem baga polit ik it u hadir bersam a dengan prakt ik negara yang ant i aspirasi, t im pang keadilan, sert a haus darah kem anusiaan.

Krit ik t erhadap inst it usionalism e dem okrasi ini Gus Dur gerakkan, karena sej ak Orde Baru, budaya polit ik kit a t elah m engalam i bir okrat isasi. Sat u hal yang m em ang m enj adi cir i k has dari negara m oder n (nat ion st at e) . Di sini birokrat isasi dim aknai sebagai proses rasionalisasi polit ik yang m engarah pada penggunaan t eknokrasi; sebuah t eknologi adm inist rat if, yang m em bent uk sist em polit ik dalam st rukt ur int egrat if nan hirarkis. Birokrasi oleh karenanya sering disebut sebagai keraj aan pej abat (officialdom) , karena j angkauan polit iknya yang ekslusif, hanya m engacu pada usaha reproduksi kekuasaan.

Dalam kait an ini t erdapat beberapa cir i birokrasi, yang pada sat u t it ik, m em buat Gus Dur harus m engrit iknya. Pert am a, ket erj ebakan adm inist rat if. Mem ang pada sat u sisi, adm inist rasi m em berikan kem udahan t eknis bagi perum usan m asalah sosial yang kom pleks. Nam un, ia kem udian m elakukan penyederhanaan ( sim plifikasi) dengan m em asukkan berbagai persoalan sosial kem anusiaan, ke dalam kat egori- kat egori verbal yang ant i- em pat i.

I ni yang m elahirkan sifat kedua, yakni st rukt ur hirarkis. Sebagai sebuah sist em , ia m em bent uk diri (self organizing) dalam st rukt ur hirarkis yang selalu t erkont rol. Hal ini berangkat dari kebut uhan sist em unt uk m enst abilkan dirinya. I nilah yang m enim bulkan j enj ang ot orit as dalam pengat uran problem kem anusiaan. Akhirnya w at ak ant i- kem anusiaan lahir, karena logika hirarki hanya m engenal penungguan, pelem paran, dan pem aksaan ot orit as. Seorang

4


(32)

kepala sub- divisi m isalnya, t ak bisa segera m enangani soal m endesak kem anusiaan, karena ia harus m enunggu keput usan pim pinan yang sering lebih m enyibukkan diri dalam persoalan sim bolis polit is.5 Dari sini t erlihat j elas, bahw a birokrat isasi t idak hanya berhent i pada t eknokrasi pem erint ahan, t et api birokrat isasi kehidupan it u sendiri. Tut ur Gus Dur:

Ket ika bahasa m isalnya, yang m erupakan alat berpikir diposisikan sebat as t echnically oleh para penent u “policy bahasa” , m aka ia m erupakan birokrat isasi alat ber pikir, dan pada akhirnya birokrat isasi proses berpikir it u sendir i. 6

Pada t it ik ini, Gus Dur t elah m enem bakkan keprihat inan filosofisnya at as hubungan negara dan proses budaya yang t im pang. I ni t erj adi karena hegem oni negara yang m enggurit a, m erasuk ke segenap lini kehidupan. Negara pada era Orde Baru adalah “ negara gurit a” yang t erlalu m elakukan int ervensi at as segenap sekt or hidup. Sat u hal yang kem udian m encipt a birokrat isasi t ersebut , karena m isalnya sepert i kasus policy bahasa di at as, negara kem udian hanya m elihat persoalan bahasa, yang seharusnya m enj adi persoalan budaya keilm uan, m enj adi m urni persoalan t eknik dan kebij akan polit ik. Hal ini bukanya t ak beresiko, karena dengan cara dem ikian, negara t elah m engam bil alih persoalan budaya yang seharusnya m enj adi m ilik m asyarakat sipil, m enj adi sah m ilik negara. Persoalan yang m uncul kem udian adalah, bukan hanya ket erj ebakan t erhadap birokrat isasi bahasa yang m em buat produksi ilm u bahasa bersifat st agnan, t et api t erlebih penggunaan bahasa dem i kekuasaan negara. Proses ini t erj adi m elalui pencipt aan berbagai eufim ism e polit ik, di m ana penghalusan bahasa m erupakan st rat egi unt uk m enyem bunyikan kekerasan dan penindasan HAM.

Secara m akro, st rukt ur yang dihadapi Gus Dur m em ang m eruj uk pada w at ak polit ik negara- sent ris. Sebuah sit uasi di m ana negara ada unt uk dirinya, dan m elingkupi segenap unsur sosio- kult ur- polit ik, unt uk dirum uskan sesuai dengan kepent ingan penguasa. I ni yang m elahirkan hegem oni Orde Baru it u. Pada t at aran ideologis, Orde Baru m enancapkan sent ralit asnya m elalui azas t unggal Pancasila, di m ana segenap ideologi lain: kom unism e, m arheinism e, dan I slam , diberangus unt uk digant i dengan keseragam an penafsiran m onolit ik at as Pancasila.

5

Peter M. Blau, Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta: Pustakaraya, 2000, h., 22-38

6

Abdurrahman Wahid, Negara dan Kebudayaan, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan,


(33)

Pada level sosial, Orde Baru t elah m elakukan reproduksi sosial m elalui rest rukt urisasi lem baga polit ik sert a reorient asi nilai- nilai budaya. I ni yang m elahirkan sekularisasi m elalui pelucut an orient asi agam a dalam part ai polit ik. At as nam a pem bangunan dan sist em polit ik m odern, m aka segenap akt ivit as polit ik harus sepi dari sent im en keagam aan, sehingga I slam Yes, Part ai I slam No!

m enj adi slogan sakral yang m enj elm a syarat bagi boleh t idaknya warga negara berpart isipasi dalam polit ik. Proses ini bukan t idak beresiko karena ia berart i suat u pem angkasan nilai- nilai polit ik, yang seharusnya dilindungi oleh UU. I ni t erbukt i ket ika Orde Baru runt uh, m aka segenap sent im en polit ik I slam lahir kem bali m eram aikan pent as polit ik nasional. Sat u hal yang m enggam barkan bahw a sekularisasi er a Soehart o bukanlah m urni kesadaran polit ik m asyarakat m uslim , t et api suat u represi polit ik yang berangkat dari kepent ingan negara. Pada level inilah, kolaborasi ant ara birokrat , m ilit er, dan t eknokrat , m enj elm a piram ida birokrat isasi, di m ana ilm u penget ahuan digunakan sebagai m esin polit ik unt uk m erubah st rukt ur m asyarakat , agar sesuai dengan kepent ingan negara.7 Pada t ahap ini, negara t elah berkem bang begit u kuat bersam aan

dengan m elem ahnya m asyarakat sipil, sehingga baik pada t at aran st rat egi polit ik m aupun alt ernat if pem ikiran, m asyarakat berada dalam sub- ordinasi.

Dalam hal ini, Gus Dur kem udian m enggunakan m odel hegem oni Gram scian sebagai pergerakan polit iknya. Sepert i kit a t ahu, hegem oni m erupakan konsep pergerakan rakyat yang m enj adikan budaya sebagai elem en vit al. Art inya, dim ensi supra- st rukt ur; ideologi, kult ur, t radisi, pem ikiran, dst yang oleh Marxism e ort odoks hanya m erupakan “ bias” dari infrast rukt ur ekonom i, digerakkan unt uk m elakukan t ransform asi polit ik.8 Hal ini bisa dilakukan m elalui penggalian pot ensi t ransform at if dari elem en kult ural, dalam kasus Gus Dur, t radisi agam a. Jadi pada level ini, Gus Dur sebagai pem im pin m uslim t radisional t elah m enghadapkan dua gerbong besar; hegem oni negara vis a vis count

er-hegem ony NU. Gerbong m uslim t radisional ini m am pu m enj adi oposisi kult ural,

karena sifat nya yang oleh Gus Dur disebut sebagai sub- kult ur.

Posisi ini m engacu pada sifat pesant ren yang m enj adi sub- sist em dari sist em budaya secara um um . I a t erpisah dan oleh karenanya m am pu independen, t et api sekaligus bisa m em pengaruhi perubahan sist em um um . Hal ini

7

M. AS Hikam, Negara, Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia, jurnal

Prisma 3, Maret 1991, h., 75-81

8


(34)

m em ang waj ar, m engingat pesant ren sej ak awal m erupakan keraj aan kecil ( pesisiran) yang m enj adi penyeim bang bagi keraj aran Hindu- Jawa pedalam an. Sej ak awal, m odel ot orit as budaya dari kyai, m am pu m encipt akan sist em kepem im pinan alt ernat if dari m odel ot or it as polit ik raj a. Bahkan pada sat u sisi, ot orit as budaya m em iliki “ cengkeram an polit ik” lebih kuat , karena ket undukan sant ri t erhadap kyai bukan sem at a ket undukan polit ik, t et api t erlebih ket undukan spirit ual. Dalam sit uasi ini, kohesifit as polit ik akan lebih kuat karena ia lahir dar i sifat sukarela, t anpa paksaan, represif m aupun koersif. Kepem im pinan kyai ini kem udian dit opang oleh sist em nilai unik, sert a cara hidup khas kaum sant ri, yang pada level polit ik t elah m em bent uk pem erint ahan sendir i berbasis paguyuban.9 I ni yang m em buat pada sat u t it ik, m asyarakat pesant ren dan j uga NU, t idak m em but uhkan negara. Sat u hal yang kem udian m em buat orm as I slam ini m am pu m enj adi oposisi at as negara.

Di sini Gus Dur kem udian m encipt akan hegem oni m elalui dua pergerakan. Pert am a, dengan m endirikan For um Dem okrasi ( Fordem ) dekade awal 1990. Forum ini m erupakan “ m arkas” para cendekia dan akt ivis pro- dem okrasi, guna m engelabor asi, m erum uskan, sert a “ m enyent akkan” berbagai ide dan krit ik dem okrat is, t erhadap penyelewengan negara. Sebagai forum urun rem bug dan crit ical discourse, Fordem t idak m erasa m elakukan m akar, sebab krit isism e m ereka m asih t erbat as pada pem bent ukan opini, belum m enj elm a gerak an subversif. Hanya saj a, bet apapun m asih sebat as opini, Fordem yang m erengkuh segenap elem en akt ivis dari purnawirawan j endral, cendekiawan, senim an, akt ivis, hingga art is, t sb t elah m em buat “ denyut ” st at us quo kekuasaan berdet ak kencang. Hasilnya, halal bi halal Fordem Mei 1992 di Tam an I sm ail Marzuki, “ dibredel” aparat , dengan alasan perizinan. Gus Dur- pun t idak j adi m em bacakan pernyat aan Tum buhkan Kem bali Daya Krit is Masyarakat, sebab aparat t erlanj ur m encurigainya sebagai sebuah langkah aw al propanganda polit ik. 10

Kedua, NU. Pada level ini, Gus Dur t elah m elakukan t ransform asi paradigm at is, dengan m engadopsi krit ik t eologi t ransform at if t erhadap gerakan Neo- Marxis, yakni ket idakm am puan dalam m elihat agam a sebagai pot ensi pergerakan berbasis budaya. Meruj uk pada Guet erez, 11 Gus Dur kem udian

9

Abdurrahman Wahid, Pesantren sebagai Subkultur, dalam Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2001, h., 7-11

10

Gus Dur dan Suksesi, Forum Keadilan No 02, 14 Mei 1992

11

Abdurrahman Wahid, Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogya : LKiS, 2000, hlm 178-179


(35)

m enj adikan basis prim ordialism e m assa konon 30 j ut a, berj alinan dengan ket undukan religius baik kepada j am ’iyyah, kyai, m aupun I slam .

Disinilah perlaw anan Gus Dur- NU t elah m encipt akan posisi dilem at is bagi Soehart o. Sat u sisi, Gus Dur dan NU dibut uhkan negara sebagai penyeim bang radikalism e I slam , sehingga negara kem udian m em but uhkan kekuat an NU. Nam un, sisi lain, per gerakan “ kaum sarungan” ini t erbukt i sering m em buat “ m erah t elinga” kekuasaan. Sat u m om en besar yang m enj adi ruj ukan sej arah, adalah ket ika sebagai Ket um PBNU, Gus Dur m enggelar Rapat Akbar dalam rangka Harlah ke- 68 NU, pada 1 Maret 1992. 12 Terdapat sekit ar 150.000 warga

nahdliyyin m em enuhi st adion ut am a Senayan Jakart a, dengan sat u t uj uan :

m enegaskan kem bali keset iaan NU t erhadap Pancasila dan UUD 45 sebagai ideologi dan falsafah hidup bangsa.

Kenapa penegasan keset iaan t erhadap Pancasila dim unculkan kem bali? Bukankah hal t ersebut sudah diselesaikan NU pada Mukt am ar ke- 27 1984 ? Dalam kait an inilah, Gus Dur m enggunakan konsep hegem oni Gram sci guna m elawan prakt ik hegem onik negara. Melalui penegasan kem bali, keset iaan Pancasila, Gus Dur t elah m encipt akan war of posit ions dengan m elakukan “ perebut an sim bolik” at as legit im asi Pancasila. Secara st rat egis, Gus Dur t elah m enghancurkan m onopoli penafsiran negara at as “ t eks” Pancasila. Hasilnya, m uncullah t afsir populis at as Pancasila dari NU guna m engkrit ik penyelewengan polit ik yang dilakukan negara at as Pancasila. Langkah inilah yang m em buat Soehart o t idak berkut ik, sebab Gus Dur dalam m elakukan krit ik, m elandaskan diri pada keset iaan dan nilai luhur Pancasila. Sat u hal berbeda dengan nasib gerakan I slam is dan kom unis yang dengan gam pang dibrangus karena di cap, ant i-Pancasila.

Dem ikian j uga pada t at aran prakt is, pernyat aan set ia t erhadap Pancasila, m erupakan penolakan secara halus at as “ pem aksaan” Soehart o agar segenap orm as m endukung pencalonannya kem bali sebagai presiden pada Pem ilu 1992. Muham m adiyah sudah m elakukan dukungan t ersebut . Sem ent ara NU, m eruj uk pada Khit t t ah 26, t et ap berusaha m em bersihkan diri dari polit isasi negara. Penolakan t erhadap pencalonan Soehart o j uga disebabkan krit isism e at as prakt ik “ dem okrasi seolah- olah” yang dilakukan negara. Gus Dur secara lant ang m enyebut sit uasi dem okrasi Orde Baru hanya “ seolah- olah” , sebab t at anan

12

Douglas E Ramage, Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya, dalam


(36)

polit ik hanya dilandaskan pada m anipulasi inst it usional dan prosedural ( pem ilu) , t et api kebudayaan dem okrat is sem isal kebebasan berpendapat dan berserikat diberangus secara “ t enang t api m encekam ” . 13

Dari sini kit a kem udian faham bahw a m eskipun Gus Dur m engrit ik inst it usionalism e dem okrasi, t et api I a t et ap m enggunakan konst it usi sebagai alat dan legit im asi bagi krit ik t ersebut . Dalam hal ini Gus Dur sepert inya m elakukan pem ilahan ant ara inst it usi polit ik dan konst it usi. Yang pert am a m urni pengej aw ant ahan nilai dan cit a polit ik dalam lem baga m odern. Pelem bagaan polit ik dibut uhkan guna m enj em bat ani ide filosofis t ent ang m oral, t uj uan, kebaikan, dan idealit as polit ik kepada pelaksanaan di m asyarakat .14 Ket ika m asyarakat m odern sudah m enj adikan pem isahan kekuasaan fungsional, ant ara pem im pin eksekut if, parlem en sebagai w akil kedaulat an rakyat , dan yudikat if sebagai ot orit as hukum , m aka lem baga Trias Polit ica dibent uk unt uk m erealisasikan cit a- cit a t ersebut .

Hanya dalam perkem bangannya, inst it usi polit ik saj a t idak cukup, karena ia kem udian t ereduksi dalam prakt ik polit ik. Pendekat an polit ik t idak lagi cukup dengan hanya m endirikan lem baga dem i perealisaian ide polit ik . Lem baga, bagaim anapun hanya m esin yang digerakkan oleh akt or polit ik, yakni m anusia yang t ent u m em iliki hasrat , kepent ingan, dan kecenderungan korupt if. Apalagi polit ik t idak lagi dim ak nai sebagai cara unt uk m engat ur t at a m asyarakat dem i kesej aht eraan bersam a. Polit ik kini lebih dim aknai sebagai t he art of possibilit y; t ent ang siapa m endapat kan apa dengan cara bagaim ana. Polit ik kini t idak lagi m enj adi m oral Plat onis; ia kini t ergerak di dalam dan m elalui kekuasaan. Pergeseran dari polit ik m oral m enj adi polit ik kekuasaan inilah yang akhirnya m enj adikan cit a- cit a norm at if dan lem baga polit ik yang didirikan unt uk cit a it u m enj adi absurd dan polit is. I ni t erj adi ket ika bukannya nilai m oral yang m engendalikan kesew enangan, selayak kelahiran filsafat polit ik Abad Pencerahan. Tet api nilai- nilai m or al it u yang dij adikan alat bagi pencapaian dan pelanggengan kekuasaan. Pada t it ik ini, inst it usi polit ik sebagai m edia realisasi cit a- cit a polit ik m enj adi t ak efekt if lagi.

13

Abdurrahman Wahid, Negeri Ini Kaya dengan Calon Presiden, Forum Keadilan, No 02, 14 Mei 1992. Lihat juga wawancara Matra, “Saya Ini Makelar Akhirat: Abdurrahman Wahid, Tentang pemilu, Apel 2 Juta umat, dan Suksesi”, Maret 1992, wawancara Forum Keadilan No 8, Tahun II, 5 Agustus 1993, “Saya Menangisi Nasib Rakyat”.

14


(37)

Dari fakt a inilah m enj adi w aj ar j ik a Gus Dur kem udian m elakukan krit ik at as inst it usionalism e polit ik. Sat u langkah ant ara yang m em buat nya m em ilih konst it usi sebagai alat pergerakannya. Konst it usi di sini t erposisi m elam paui inst it usi DPR, MA, Presiden, dan segenap depart em en pem erint ah. Bagaim anapun berbagai isnt it usi t ersebut m erupakan pelaksana part ikular dari konst it usi dasar, yakni UUD 45. Gus Dur m em ilih ruang ini, karena UUD m erupakan landasan dan kesepakat an filosofis dari pendiri bangsa dan segenap kom ponen hukum unt uk m erum uskan garis besar haluan negara. Konst it usi t ekst ual ini m enj adi pent ing, karena ia m em berikan hak- hak polit ik bagi warga negara yang dij am in sebagai bangunan dari konst it usi it u sendir i. Sat u hal y ang pada t at aran prakt is kem udian diselewengkan oleh para penyelenggara negara dem i kepent ingan polit iknya. Hal ini pula yang m em buat Gus Dur lebih m enekankan gerak sipil dari pergerak an konst it usional. Art inya, pelaksanaan konst it usi secara benar t ernyat a t idak bisa diharapkan lahir dari negara. Maka, ia harus digerakkan oleh elem en sipil, yang secara esensial hidup dalam sebuah keadaban polit ik. Tut urnya:

Sit uasi ini m em but uhkan kem auan berbagai kelom pok akt ivis dalam isu- isu hak asasi m anusia, lingkungan hidup, hak kaum m inorit as, pem erat aan konsum en, keselam at an kerj a, dan sebagainya. Kalangan publik yang sem akin m eluas y ang m enaruh perhat ian pada isu- isu t ersebut , m em bent uk pendukung ut am a bagi upaya- upaya unt uk m engoperasionalisasik an UUD 1945 dalam prakt ik. Pendukung ini, yang kini t um buh dengan cepat di I ndonesia, m em bent uk sekt or pelopor yang m enggerakkan seluruh m asyarakat ke arah baru pem erint ahan berdasarkan hukum di m asa depan, karena perj uangan m ereka sepenuhnya t ergant ung pada penerapan yang adil dan j uj ur dari undang-undang yang ada, sert a pengundang-undangan undang-undang- undang-undang yang lebih baik.

Pada gilirannya, dua hal t ersebut sepenuhnya t ergant ung pada keinginan polit ik kalangan yang berkuasa unt uk m elaksanakan konst it usi secara konst it usi. Dengan dem ikian, m asa depan konst it usionalism e dan sifat kepolit ikan di I ndonesia t er j alin di dalam karya- karya berbagai kelom pok akt ivis di luar pem er int ahan, yang bert indak sebagai kat alisat or bagi perubahan m endasar dalam berbagai sect or kehidupan, m elalui peningkat an secara langsung m aupun t idak langsung kesadaran akan pem erint ahan berdasarkan hukum .15

15

Abdurrahman Wahid, The Future of Constitutionalism and the Nature of the Polity: the Case of Indonesia’s 1945 Constitution, A working paper for the Asian Regional Institute of the American


(38)

Dari paparan ini j elas, bahw a konst it usi m enj adi fakt or t erpent ing bagi konsepsi negara Gus Dur. Urgensit as fakt or ini t erdapat pada kebut uhan akan pem erint ahan yang berlandaskan suprem asi hukum . Hanya saj a, konst it usionalism e Gus Dur sering t ak berbanding lurus dengan kepent ingan negara. Sat u hal yang Gus Dur gerakkan m elalui “ ekst ra perlem en” m asyarakat sipil, di m ana para pej uang dem okrat isasi m enj adi pengont rol pelaksanaan negara. Sat u hal yang Gus Dur lanj ut kan dalam Kepresidenan ke- 4 RI , yang sayangnya m enj adi bum erang bagi pem erint ahannya. Keinginan Gus Dur unt uk m em buat “ negara ram ping” j ust ru m enj adi pem icu pada singkat nya kekuasaan beliau, sebab logika penguat an m asyarakat dengan kekuasaan negara t ent u bert ent angan. Gus Dur ket ika “ m enj adi negara” bahkan hendak m engurangi kekuasaan negara at as m asyarakat . Sat u gerak yang t ent u t ak di inginkan oleh segenap kekuat an polit ik dari negara, yang akhirnya m am pu m enurunkan Gus Dur dari t am puk kekuasaan.

Council of Learned Societies, Comparative Constitutionalism Project, being held in collaboration with the Law and Society Trust, Sri Lanka. February 23-27, 1989, Chiangmai, Thailand, h., 10-11


(39)

Bab 03

Pemikiran Politik Islam Gus Dur

Secara paradigmatik, pemikiran politik Islam Gus Dur berangkat dari kaidah fiqh yang berbunyi: tashharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuuthun bil mashlahah

(kebijakan seorang pemimpin terkait dengan kemashlahatan rakyat). Kenapa dirujukkan pada kaidah ini? Karena bagi muslim, praktik politik terkait dengan amanah, yang tidak hanya mengacu pada kontrak sosial dalam demokrasi, tetapi pertanggungjawaban manusia atas posisi khalifah, langsung dihadapan Tuhan. Kemashlahatan rakyat menjadi pijakan dan arah utama, karena Islam menganut prinsip keadilan (al-‘adalah), yang oleh Gus Dur ditempatkan sejajar bersama dengan demokrasi (syura) dan persamaan (al-musawah).1 Tanpa adanya keadilan, sebuah kepemimpinan politik, cacat di mata agama, dan oleh karena itu, halal untuk dilawan, apalagi ketika ketidakadilan itu mrembet pada penyimpangan syar’i.

Dalam hal inilah, Gus Dur dan NU tidak menambatkan tujuan politiknya kepada negara Islam. Kenapa? Karena menjadikan Islam sebagai tujuan, akan terjebak pada cita-cita semu, yang menyebabkan perjuangan menjadi simbolis. Ini yang dialami para “pembela Islam”, seperti yang terjadi pada perdebatan Piagam Jakarta di negeri kita. Bagi mereka, yang dinamakan dakwah Islam haruslah secara

letterlijk memasukkan kata-kata Islam atau syari’at kedalam konstitusi negara, seperti yang termaktub dalam konstitusi Saudi Arabia, Iran, dan Pakistan. Dari sini perjuangan menjadi simbolis, dimana tegaknya Islam dimaknai sebagai tersebarnya “lautan jilbab”, dan segala aturan formal akhlak Islam. Hal ini tentu telah melahirkan agama hipokrit, dimana pelaksanaan ibadah harus melalui pemaksaan politik, sehingga ia murni bersifat publik tanpa adanya kesunyian transendental.

Dari sini Gus Dur kemudian melakukan rekonstruksi kedalam, atas bangunan intelektualisme Islam. Ini urgen, sebab perumusan ulang pemikiran Islam merupakan ruang yang tak tergarap dari kebangkitan Islam tersebut, yang karena tak masuk dalam geliat intelektualisme, maka ia terjebak dalam perjuangan

1

Abdurrahman Wahid, Islam dan Titik Tolak Etika Pembangunan, makalah seminar pesantren dan pembangunan, Berlin Barat, Juli 1987


(40)

formalistik.2 Arah ini yang membedakan Gus Dur dengan para “pembela Islam”. Bagi Gus Dur dan kalangan NU, Islam terlebih adalah soal penguasaan metodologi keilmuan. Fakta ini searah dengan proses islamisasi awal abad ke-19, ketika jaringan ulama jawi membawa pembaruan pemikiran Islam, dari Mekkah, ke Nusantara. Inilah cikal bakal pesantren, yang akhirnya melahirkan kekayaan ilmu ‘alat, sehingga bagi muslim santri, keberislaman, terutama adalah penguasaan dan aplikasi dari manhaj al-fikr, sehingga Islam mampu menanggapi perubahan zaman.3 Satu hal yang berbeda dengan kalangan fundamentalis, yang hanya menjadi konsumen pemikiran dan produk hukum Islam, sehingga Islam kemudian menjelma “senjata sudah jadi”, dan siap dilawankan dengan apapun.

Pada titik inilah kita akan mengenal konsep kosmopolitanisme dan universalisme Islam milik Gus Dur. Konsepsi ini mengacu pada usaha untuk merumuskan bagaimana pemahaman terhadap ajaran Islam harus bersifat terbuka dengan pemikiran lain. Hanya saja keterbukaan ini bukanlah suatu adaptasi radikal terhadap Barat, tetapi sebuah keterbukaan pemikiran yang ditujukan untuk penggerakan perubahan struktural demi tata hidup berkeadilan.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslimin dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-muslim). Kosmopolitanisme yang seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata, bukannya hanya dalam postulat-postulat spekulatif belaka. 4

2

Abdurrahman Wahid, Kebangkitan Islam sebagai Titik Tolak Kebangkitan Umat, makalah diskusi Training HMI Badko Jawa Barat, di Cimacan, 16 Februari 1981

3

Abdurrahman Wahid, Principle of Pesantren Education, makalah the Pesantren Education Seminar,

Berlin, oleh TU Berlin dan FNS, Juli 9-12 1987, h., 4

4

Abdurrahman Wahid, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Pelita, 26 Januari 1988, h., 8


(1)

Pendahuluan

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melebihi apapun adalah seorang negarawan. Beliau boleh saja disebut sebagai cendekiawan muslim, budayawan, politisi. Namun segenap modal budaya tersebut Ia gerakkan untuk menjaga titik keseimbangan negara-bangsa. Apalagi segenap perjuangan saat Orde Baru telah terbayar melalui Kepresidenan ke-4 RI, di mana beliau mampu mewujudkan eksperimentasi kenegaraannya, yang lahir dari keprihatinan atas otoritarianisme politik Orde Baru.

Meskipun umur kepresidenanya tak lama. Tetapi kita tetap bisa menemukan garis merah konsepsional dari segenap kebijakan politik yang konon sering kontroversial. Dalam hal ini, studi tentang filsafat negara Gus Dur menjadi titik muara, karena ia tidak hanya merujuk pada domain politik, tetapi terlebih budaya. Dalam discourse negara, pemikiran Gus Dur bisa diletakkan secara menyeluruh, sebab sejak Orde Baru hingga sekarang, titik bidik Gus Dur adalah negara, tepatnya oposisi terhadap negara, bahkan ketika ia “menjelma negara”. Sayangnya, ketiadaan perumusan sistemik, serta pengangkatan Gus Dur pada level politik budaya, akan meniadakan gerak dan watak Gus Dur yang sejak awal sudah political. Politik dalam arti keberpihakan, politik dalam arti pengarahan praktik politik oleh sebuah pemikiran.

Hal ini nyata, sebab jauh sebelum Gus Dur menjadi presiden, Ketua PBNU, dan oposisi utama Soeharto, ia terlebih adalah cendekiawan sosial yang merumuskan kritik budaya dalam jurnal Prisma (LP3ES). Gus Dur sejak awal kedatangan ke Indonesia pasca studi di Baghdad adalah sosok sadar ideologi. Hal ini menjadi nyata, selayak kerja awal yang merujuk pada kritik atas pola pembangunan Orde Baru yang hanya mengacu pada pemercepatan ekonomi, minus pemerataan kesejahteraan.

Studi ini juga hendak menekankan proses transformasi hubungan antara negara dan masyarakat pasca Reformasi 1998. Fokusnya melingkup pada era pemerintahan Gus Dur, di mana pada lanskap politik, arus transisi tengah menjelma radikalisme demokrasi, sementara pada level tindakan politik mencerminkan dekonstruksi fundamental atas pemusatan negara terhadap masyarakat. Sebagai studi era transisi, kajian ini hendak mempermasalahkan, apakah berbagai komponen politik dan budaya pada saat itu, telah mampu menyediakan ruang bagi konsolidasi demokrasi? Dan sejarahpun menjawab, orde Gus Dur terjungkal oleh konspirasi partai, yang lahir dari legislative heavy. Apa yang dilihat para peneliti sebagai bentuk demokrasi pasca-otoritarianisme sungguh tak terlihat dengan jelas. Apakah era itu memang hanya menyediakan gerak transisional, kembali ke status quo, demokrasi hibrida, atau unconsolidated democracy?

Satu hal yang pasti, bahwa pemerintahan Gus Dur adalah pemerintahan dekonstruktif. Satu gerak politik, dimana Gus Dur bahkan bukan seorang politikus yang memobilisir kekuatan dan legitimasi politik demi stabilitas kuasanya. Yang terjadi, Gus Dur tetap seorang Ketua Pokja Forum Demokrasi, yang merealisasikan gagasan anarkis tentang minimalisasi peran negara demi kuatnya masyarakat sipil. Gus Dur telah “mengecilkan tubuh negara” yang selama dua


(2)

rezim otoritarian Orde Lama dan Orde Baru, menggelembung kemana-mana, melampaui batas konstitusi, menyesak-desakkan keringat kecut dan muka penuh amarah di ruang publik, tempat segenap kekuatan masyarakat terkebiri. Apa yang diperjuangkan Gus Dur adalah suatu cita-cita utopis tentang menguatnya masyarakat, yang mensyaratkan debirokratisasi dan demiliterisasi. Ini yang esensial dan akhirnya menjadi bumerang, sebab saat itu, bahkan hingga sekarang, kondisi struktural dan kultural tidak mengizinkan.

Memang berbagai kebijakan tersebut bahkan menjadi bumerang bagi pemerintahan Gus Dur, karena disatu sisi menciptakan destabilisasi politik, karena berjuta rakyat pegawai negeri yang harus menganggur sebab bubarnya beberapa departemen. Sementara disisi lain, para politisi partai memanfaatkan kebijakan dekonstruktif itu untuk menurunkan popularitas presiden. Satu hal yang kemudian bisa dinikmati hingga sekarang adalah buyarnya dwi-fungsi ABRI, sehingga militer semaksimal mungkin bisa dikembalikan ke baraknya. Hal yang berbeda dengan peniadaan batasan hanya lima agama, yang sayangnya dihapus oleh kepemimpinan Megawati sehingga sekarang diksriminasi agama tetap terjadi.

Hanya yang patut diangkat, dan menjadi concern kajian ini adalah, segenap lanskap pemikiran Gus Dur pada tataran abstraksi ideal, mengenai hubungan terbaik antara negara dan masyarakat. Ini yang menjadi arah gerakannya sejak era Orde Baru, dan hingga sekarang tetap menjelma problem tak terselesaikan. Pertanyaan yang muncul adalah, kenapa Gus Dur anti terhadap birokratisasi budaya yang seharusnya menjadi hak milik masyarakat? Apakah memang posisi negara yang begitu hegemonik, patut diamini sebagai keniscayaan evolusi masyarakat modern, sehingga potensi kemandirian “memerintah” dari masyarakat sendiri terbungkam? Berhakkah negara, pada tataran real melakukan pembunuhan atas manusia demi stabilitas politik? Berhakkah negara mengobok-obok kebebasan beragama dan berpikir, melalui otoritarianisme otoritas pengetahuan, entah melalui korpus KUHP ataupun lembaga MUI? Dimanakah posisi kajian hubungan negara dan masyarakat dalam studi dan proses demokrasi, sehingga seakan hal ini menghilang dalam arus reformasi pasca Leviathanisme negara?

Hal sama juga terjadi pada pertanyaan, kenapa Gus Dur menolak negara Islam? Apakah dengan demikian Ia tidak memiliki kehendak untuk memperjuangkan terbentuknya masyarakat berdasar nilai-nilai Islam? Tanya ini urgen sebab sikap keberislaman Gus Dur tentu mewakili sikap NU, dan mayoritas Islam di negeri ini. Pandangan Gus Dur mengenai hubungan antara Islam dan negara menjadi penting, sebab hingga saat ini, ada saja pihak yang hendak mempermasalahkanya dalam suatu perjuangan ideologis. Dalam kaitan ini, sikap Gus Dur sebagai gerbong tradisionalisme Islam tentu berbeda dengan pihak yang sama menolak negara Islam. Bagaimanapun Gus Dur dan NU bukanlah penganut sekularisasi. Sebagai agama hukum (religion of law), masyarakat sarungan ini memiliki kaidah pemikiran metodologis (qawa’idul manhajiyah) yang berangkat dari logika ushul fiqh. Ini yang menjadikan kaum nahdliyin tidak bisa melepaskan pendekatan dan pandangan agama dalam setiap keputusan politiknya.


(3)

Berbagai tanda tanya inilah yang hendak dicarikan jawabannya, dalam pemikiran Gus Dur, baik pada level intelektualisme, maupun praksis Kepresidenan ke-4 RI. Pada lanskap makro, tulisan ini juga hendak mencari jawab, kenapa transisi era Gus Dur bisa berakhir dengan hegemoni politisi partai dalam legislative heavy sehingga berbagai agenda besar perubahan politik yang tengah Gus Dur gerakkan, kandas ditengah jalan.


(4)

Penutup

Sisi positif dari pemikiran negara Gus Dur adalah wataknya yang anti totalitarianisme. Watak ini tetap menempatkan negara sebagai media capaian politik di mana kesejahteraan rakyat menemu prioritas. Hal ini yang membuat negara bukan untuk negara sendiri. Ia hanya menjadi alat bagi tujuan politik, yakni pensejahteraan masyarakat.

Dari posisi ini, negara kemudian dibatasi ke(se)wenangannya. Ini lahir dari kesadaran, bahwa sebagai alat politik, negara telah memiliki nyawa sendiri yang cenderung otoriter dan koruptif. Definisi negara modern yang menempatkan keabsahan penggunaan kekerasan menjadi bukti, bahwa melalui otoritas sentralnya, negara tetap berpotensi melaksanakan kejahatan. Kesadaran ini yang melingkupi Gus Dur, bukan hanya karena Ia lahir dalam pergulatan politik otoritarianisme Orde Baru. Melampaui hal itu, kecurigaan Gus Dur merupakan warisan kultural dari domain sub-kultur pesantren. Sebagai sub-kultur, masyarakat santri sudah terbiasa bermasyarakat tanpa negara.

Ini terjadi karena internal sistem sosialnya merujuk pada otoritas budaya, sehingga ia independen dari otoritas politik milik negara. Dari otonomi sub-kultur ini, masyarakat santri kemudian cenderung anti-birokrasi. Satu hal yang menjadi elemen utama hukum besi oligarki, yang membuat negara totaliter. Keprihatinan Gus Dur terletak di sini, yakni dalam domain birokratisasi kehidupan yang telah menjauhkan cita pengaturan publik (public regulation) dari empati kemanusiaan. Oleh birokrasi, manusia menjadi mesin minus perasaan, dan sebagai kaum tradisi yang biasa hidup bebas secara kultural, Gus Dur tentu alergi dengan hal ini.

Dari birokratisasi, kritik Gus Dur tertuju pada kekerasan negara. Satu kekerasan yang digerakkan atas nama konstitusi. Menariknya, meskipun Gus Dur mengritik dan berhasrat untuk “mengecilkan tubuh” negara, tapi mantan Presiden ke-4 RI ini, tetap menjadikan konstitusi untuk melawan negara. Inilah perlawanan simbolis itu, di mana Gus Dur telah melakukan de-monolitisisme tafsir atas konstitusi. Tentu ini merupakan gerakan filosofis, karena Gus Dur telah membongkar keterjebakan institusionalisme politik, dan mengembalikan segenap


(5)

lembaga politik tersebut kepada cita filosofisnya. Artinya, apa yang saat ini disebut sebagai konstitusi, ternyata lebih menjelma pelencengan: ide filosofis tentang kedaulatan rakyat, telah dikebiri oleh lembaga politik yang didirikan untuk mewujudkan cita tersebut.

Gerak konstitusional Gus Dur ini wajar, sebab cara berpikir Sunni yang merujuk pada kaidah metodologis (qawa’id al-manhajiyah) dari rasionalitas hukum Islam. Model berpikir inilah yang mampu menempatkan Pancasila sebagai “bangunan rumah”, sementara Islam sebagai “rumah tangga” kaum muslim. Dari sini mafhum kenapa Gus Dur tetap berpegang pada konstitusi dan UUD 45, karena sejak awal, masyarakat Sunni adalah masyarakat yang mendasarkan pembentukan pola kemasyarakatan pada supremasi hukum. Satu hal yang telah dilakukannya, melalui penempatan hukum Islam, sebagai sub-sistem hukum nasional. Pola pemikiran seperti inilah yang akhirnya membuat Gus Dur tidak menjadikan hukum Islam sebagai alternatif dari konstitusi negara, melainkan sebagai suplemen: penyempurna tata politik, di mana syari’at mampu melakukan kritik atas penyimpangan sosial yang sering menempatkan negara sebagai faktor utama.

Memang saat ini Gus Dur tengah berusaha untuk mengarahkan gerak negara melalui prosedur demokrasi: partai. Kita bisa memahami langkah ini sebagai penggarapan tugas yang belum selesai, karena kepresidenan beliau yang terkudeta secara konstitusional. Hingga saat ini, Ketua Umum Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa ini tetap berkehendak untuk mengembalikan arah dari pembangunan nasional, yang menurutnya tidak mengacu pada pemerataan social, tetapi hanya mengerucut pada kepentingan segelintir elite. Satu hal yang memang membutuhkan negara untuk mengarahkannya. Namun bahkan dalam titik inilah muncul kontradiksi. Hal ini terjadi pada perbedaan antara kritik demokrasi institusionalnya yang meniscayakan posisi “luar negara”, dengan keterlibatannya dalam partai yang cenderung prosedural. Hanya memang, sebagai pihak yang berpijak pada undang-undang, maka Gus Durpun mendasari keterlibatan dalam prosedur demokrasi ini, karena hanya partailah yang secara sah menjadi alat partisipasi politik.


(6)