Latar Belakang Pandangan Abdurrahman Wahid Terhadap Pancasila Sebagai Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Eksistensi dasar negara dalam kehidupan negara bangsa nation state menjadi penentu bagi perjalanan bangsa itu sendiri. 1 Indonesia dengan tingkat keragamannya baik dari aspek budaya, suku, adat-istiadat, dan agama dengan maksud eklusif, yakni heterogen secara sosial-keagamaan membutuhkan dasar negara yang mampu mengayomi keragaman tersebut. Itulah yang mendasari kehadiran Pancasila sebagai dasar negara bagi bangsa Indonesia. 2 Kehadiran Pancasila dianggap sebagai alat pemersatu dan miniatur budaya bangsa yang merupakan dasar negara tidak bisa terlepas dari terpaan kontroversi. Belakangan ini, sebagian besar kelompok masyarakat masih mengangankan kehadiran dasar negara yang berbeda. Setidaknya, berangkat dari wacana dan perdebatan yang sempat menguat dan memuncak sepuluh tahun terakhir, yaitu munculnya upaya re- eksistensi Piagam Jakarta, 3 dan upaya penerapan ideologi trans-nasional. 4 Hal ini menyiratkan bahwa tumbuh kembangnyanya ego sekterianisme dan chauvinisme yang justru akan dapat menafikan keragaman yang menjadi identitas Indonesia sebagai negara bangsa. 1 Menurut Benedict Anderson, bangsa merupakan sebuah komunitas terbayang. Di mana hal terpenting dalam tetap berdirinya sebuah bangsa adalah persamaan kebersamaan dan persaudaraan sebagai anggota komunitas bangsa, karena setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota dari bangsa tersebut. Bahwa semua itu muncul akibat kuatnya akar-akar nasionalisme. Dengan begitu nasionalismelah yang melahirkan bangsa. Lebih lanjut baca. Benedict Anderson, Imagined Communities Komunitas-komunitas Terbayang, Alih bahasa; Omi Intan Naomi, Yogyakarta: INSIST, 2001, hal. 172-175. 2 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 109. 3 Telusuri ulasan Moh. Afandi, Piagam Jakarta dan Kontroversinya dalam http:www. suaramerdeka.comharian080202kha1.htm . 4 Lihat http: www.nuonline.org.id , diakses 07 Mei 2007; Baca lebih lanjut Abdurrahman Wahid ed, Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009. Dinamika wacana terhadap legalisasi dasar negara ini sudah berlangsung sejak lama. Bila dirunut dari kacamata sejarah, wacana mendasar dan krusial yang dirasakan dari dinamika tersebut ialah bagaimana menyepakati dasar negara sebagai komitmen kebangsaan. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, paling tidak ada empat persoalan utama; bentuk negara, geografis negara, dasar filsafat negara dan persoalan yang bertalian dengan pembuatan suatu konstitusi. Sidang BPUPKI yang membahas keempat persoalan tersebut berjalan lancar, terkecuali tentang persoalan dasar negara. Ketika membahas persoalan dasar negara ideologi yang menjadi pokok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sidangpun menjadi panas, karena terjadi perdebatan yang cukup lama dan alot, antara kelompok nasionalis dan Islam, di mana setiap kelompok berusaha untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing. 5 Perdebatan ideologis antara dua kelompok ini, berkaitan dengan hubungan agama dan negara, merupakan problem yang mendasar dalam perjalanan bangsa Indonesia. Realitas sejarah memberikan bukti adanya konflik-konflik ideologis tersebut sejak masa persiapan kemerdekaan tahun 1945 sampai masa Konstituante 1950. Pada waktu yang sama perdebatan juga berlangsung dalam sidang Dewan Konstituante tentang dasar negara semakin buruk. Dalam sidang tersebut terdapat tiga rancangan draft dasar negara yang saling bertentangan, yaitu; Islam, Pancasila, dan Sosial-Ekonomi. 6 Di kalangan gerakan Islam sendiri dalam mencapai kemerdekaan dengan segala macam polemik yang diakibatkan tidak terlepas dari kiprahnya dalam dunia politik. Implikasi yang muncul dari pergulatan politik itu pada akhirnya berimbas pada perpecahan kelompok, meskipun pada awalnya perbedaan tersebut hanya berkisar pada 5 Ahmad Syafii Maarrif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante - Edisi Revisi, Jakarta: LP3ES, 2006, hal. 103-125. 6 Maarrif, Islam dan Pancasila..., hal. 126. persoalaan syara’. 7 Berangkat dari polemik inilah, persoalan mengenai Islam dan negara telah sampai pada klimaksnya berupa terwujudnya upaya-upaya untuk mengimplementasikan cita-cita tersebut. Meskipun masing-masing kelompok berangkat dari semangat nasionalisme, namun pada faktor-faktor tertentu memiliki perbedaan yang sangat mendasar dan menjadi polemik berkepanjangan. Perkembangan agama Islam memang sudah menjadi bagian integral dari sejarah Indonesia. 8 Perdebatan hubungan antara agama dan kekuasaan menjadi wacana yang menarik di kalangan pemerhati agama maupun akademisi. Jika agama diperlakukan sebagai alat yang konstruktif, maka dengan sendirinya agama dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengontrol segala kebijakan yang dilakukan penguasa. Bahkan pada masa kolonial, agama dijadikan sebagai sarana dalam mengusung “Ideologi Jihad” untuk melawan ekspansi penjajah, meskipun pada mulanya hanya bersifat sosio-kultural. 7 Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, hal. 116. 8 Effendi, Islam dan Negara; ..., hal. 21. Sejak Islam masuk pertama kali di Nusantara 9 -sekarang disebut Indonesia- kiai atau ulama telah menempati posisi dan peran penting dalam setiap perubahan sosial-politik yang ada sampai saat ini. Pada masa penyebaran ajaran Islam periode awal, saat bumi Nusantara dicengkram oleh kejamnya sistem kolonial, pada masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, serta era mengisi kemerdekaan dalam gerak pembangunan masyarakat, kiai atau ulama tidak pernah absen dari keterlibatan di dalamnya dengan berbagai manifestasi pemikiran dan gerakan yang sangat plural dan dinamis melalui saluran pendidikan dan politik. 10 Pemikiran tersebut terus berlangsung hingga saat ini yang direpresentasikan dengan munculnya tokoh-tokoh Islam yang mendukung terhadap keutuhan negara berdasarkan Pancasila sebagai dasar negara bagi masyarakat yang majemuk baik segi budaya, suku, 9 http:www.e-dukasi.netmodul_onlineMO_121sej107_03.htm , diakses 05 Mei 2008, beberapa pendapat mengenai masuknya Islam di Indonesia baca: Nusantara; Teori Gujarat “Islam masuk ke Indonesia abad 13 berasal dari Gujarat Cambay, India.Berdasarkan hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa, adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai Malik AS-Saleh tahun 1297 yang bercorak Gujarat, dan keterangan Marcopolo yang singgah di Perlak Perureula tahun 1292 bahwa di Perlak banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam, Teori Makkah bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 berasal dari Arab Mesir, berdasarkan: pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam Arab; dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina, kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah sedangkan GujaratIndia adalah penganut mazhab Hanafi dan Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir, Teori Persia : Islam masuk ke Indonesia abad 13 berasal dari Persia Iran. Dasarnya adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya Islam Indonesia seperti: Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi, yang sangat di junjung oleh orang SyiahIslam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara TabuikTabut. Sedangkan di Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro, kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu al– Hallaj, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda- tanda bunyi Harakat, ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik. Disampaikan bahwa berdasarkan Seminar Sejarah Masuknya Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963 menyatakan bahwa Islam masuk Indonesia sejak abad pertama Hijriyah abad 7 Masehi dan menyebar secara intensif ke berbagai pulau pada abad 13 M, Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat India. Lihat Syamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam, Katolik, Protestan di Indonesia Surabaya: Usha Bersama, 1987, hal. 22-23. 10 Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Yogyakata: SIPPRESS, 1992, hal. 15-17. maupun agama. Salah satu tokoh Islam ulama atau kiai tersebut adalah Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid selanjutnya disebut Gus Dur adalah salah satu kyai atau ulama yang turut berperan dalam sejarah perpolitikan Indonesia, yang secara genetik juga merupakan keturunan kiai atau ulama besar sekaligus tokoh penting bangsa Indonesia. Bapaknya bernama A. Wahid Hasyim yang ikut berperan dalam perumusan Pancasila, sementara kakeknya bernama Hasyim Asyari yang mendapat julukan Hadratussyaikh . Seperti diketahui bersama, ia adalah salah satu tokoh yang mendirikan organisasi keagaman bernama Nahdlatul Ulama NU pada tahun 1926. Kiprah Gus Dur dalam dunia politik, serta pemikiran dan aksinya yang diterapkan telah diakui mampu membangkitkan gairah, di samping pandai mensiasati kefakuman politik yang diciptakan rezim Soeharto, dengan mendirikan Fordem Forum Demokrasi yang bertujuan untuk memberikan kesadaran politik dan wacana demokrasi. Gus Dur juga bisa disebut sebagai representasi dari orang-orang yang berani merebut wacana ideologi yang merupakan kawasan terlarang ketika semua orang menutup diri untuk membicarakannya. Pemikiran Gus Dur serentak mendapatkan apresiasi yang cukup dan mampu mendobrak kebekuan pemikiran di tanah air. Alasan yang mendasari penulis dalam mengangkat tema tentang Gus Dur sebagai kajian dalam skripsi ini berdasarkan beberapa hal; pertama, Gus Dur merupakan tokoh nasional dengan segenap atribut yang luar biasa; kedua, pengaruhnya yang cukup besar, dan; ketiga, yang terpenting adalah gagasan dan kiprahnya dalam bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dalam hal ini adalah gagasannya mengenai Pancasila dan UUD 1945 sebagai filosofi dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta kiprahnya untuk mempertahanan filosofi dan dasar negara tersebut. Sebagaimana pernyataan Gus Dur yang dikutip oleh Douglas E. Ramage: “Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide-ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa raga saya, terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam.” 11 Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengangkat per- masalahan tersebut ke dalam karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan mengambil judul Pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara.

B. Tinjauan Pustaka