adalah Sun Yat Sen, Jose Rizal, Jawaharal Nehru, Mahatma Gandhi, dan tentu saja Soekarno”. Inilah para guru-guru Gus Dur, selain para kiai di pondok pesantren.
29
Melihat dari latar belakangnya dalam lingkungan keluarga dan pendidikan yang dimiliki, hemat penulis bahwa Gus Dur termasuk orang yang menghargai kebudayaan
Islam tradisional, dan mempunyai pandangan hidup yang terbuka open Minded. Maka tidak mengherankan bila ia memiliki berbagai aktivitas yang tidak sehaluan dengan
dunia ke-pesantren-an.
E. Ragam Aktivitas
Perkembangan perjalanan kehidupan Gus Dur sebagai aktivis sejak tahun 1970- an semakin menunjukkan arah pembentukan kepribadian dan minatnya untuk
menekuni dalam bidang tulis menulis di media massa, kebudayaan, dan kritik ideologi yang semakin kokoh. Perkembangan perjalanan tersebut membawa Gus Dur semakin
mendalami bidang pengembangan pemikiran dan konsepsi ideologi kritik dan counter attact
terhadap ideologi yang dominan dikembangkan oleh negara pada masa rezim Orde Baru.
Dilihat dari latar belakangnya dalam lingkungan keluarga dan pendidikan yang dia jalani, Gus Dur sangat menghargai kebudayaan lokal atau bisa disebut sebagai
Islam tradisional, sehingga lingkup persahabatannya menjadi luas. Hal ini yang menjadikan dia aktif di berbagai sektor atau lingkup yang bisa dikatakan tidak lazim
oleh seorang kiai. Dalam masalah ini salah satu kiai dari Jawa Timur memberi dia laqab
Arab; Julukan “kiai ketoprak”.
30
Setelah menamatkan studinya di Baghdad, pada tahun 1972 Gus Dur pulang ke Indonesia. Dia menjadi dosen sekaligus Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas
Hasyim Asy’ari Unhasy di Jombang hingga tahun 1974. Ketidakaktifannya dalam
29
Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. 22.
30
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, Yogyakarta: Ar-Ruzz Yogyakarta, 2004, hal. 71.
civitas akademis membuat ia menekuni kembali bakat menulis dan menjadi kolumnis pada beberapa media massa di antaranya Majalah Tempo, Jurnal Prisma dan surat
kabar Kompas dan Pelita yang kemudian belakangan ini diterbitkan dalam bentuk buku.
31
Selain itu, Gus Dur bersama para intelektual muda Islam dan kaum sosial demokrat seperti; Dawam Raharjo, Adi Sasono, Aswab Mahasin bekerja pada sebuah
Lembaga Pengkajian Pengetahuan Pendidikan Ekonomi dan Sosial LP3ES yang merupakan salah satu dari sejumlah LSM yang ada pada tahun 1970-an. Lembaga ini
didanai oleh German Neumann Institute dan kemudian mendapat bantuan dari Yayasan Ford sebagai bentuk realisasi dari cita-cita pendirian pusat riset sosial dan
pemikiran kritis di Indonesia. Lembaga ini menunjukan minat yang besar terhadap dunia pesantren dan mencoba untuk menggabungkannya dengan pengembangan
masyarakat. Salah satu prestasi penting lembaga ini adalah menerbitkan Jurnal Prisma, yang selama bertahun-tahun merupakan sebuah jurnal ilmu sosial utama di Indonesia,
di mana Gus Dur merupakan salah satu penulis tetap di jurnal ini.
32
Progresivitas dan liberalisasi pemikiran Abdurrahman Wahid juga tampak dalam berbagai gerakan sosial yang pernah diikutinya di luar organisasi keagamaan
Nahdlatul Ulama NU. Misalnya, menjabat ketua Dewan Kesenian Jakarta DKJ
31
Tulisanya di Majalah Tempo diterbitkan dalam tiga buah buku, dua buku diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta, yaitu kiai Nyentrik Membela Pemerintah 1997 dan Tuhan Tak Perlu Dibela 1999,
sedangkan Tempo menerbitkan sendiri, dengan judul Melawan Melalui Lelucon 2000. Tulisannya dalam Majalah Prisma juga diterbitkan LKiS dengan judul Prisma Pemikiran Gus Dur 1999.
Tulisanya dalam Koran Kompas diterbitkan sendiri dengan judul Gus Dur Menjawab Tantangan Perubahan
1999. Sedangkan tulisannya dalam Media Indonesia diterbitkan oleh Erlangga dengan judul Islam, Negara, dan Demokrasi: Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur 1999. Kontroversi
pemikiran dan pernyataan Gus Dur juga didokumentasikan dalam bentuk buku oleh RMI Jawa Timur dengan judul Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi
1989. Sedangkan tulisan-tulisannya mengenai pondok pesantren diterbitkan oleh Lappenas dengan judul Bunga Rampai Pesantren 1978. Tulisan-tulisannya mengenai pemikiran keislaman juga
diterbitkan oleh Lappenas dengan judul Muslim di Tengah Pergumulan 1981. Adapun tulisan-tulisan lain yang tersebar diberbagai media massa juga dibukukan oleh penerbit Rosda dengan judul
Membangun Demokrasi
1999 dan penerbit Grasindo dengan judul Mengurai Hubungan Agama dan Negara
1999. Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. 19.
32
Barton, Biografi Gus Dur ..., hal. 110.
pada tahun 1982-1985, menjadi Juri Festival Film Nasional di tahun 1970-an dan 1980-an. Di samping itu, ia merupakan salah seorang Presiden pada Konfrensi Dunia
untuk Agama dan Perdamaian World Council for Religion and Peace yang berkedudukan di Jenewa, Swiss, juga menjadi anggota pembina Simon Pereze untuk
Perdamaian Simon Perez Peace Center yang bermarkas di Tel Aviv, Israel, dan menjadi Dewan Penasehat pada Internasional Dialoque Foundation on Perspective
Studies of Syariah and Secular Law , di Den Haag, Belanda.
33
Selanjutnya untuk membangun demokrasi di Indonesia, Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi Fordem sekitar tahun 1991 dan menjadi ketua umum dari
organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Selain itu, ia juga menggagas berdirinya Gerakan Anti Diskriminasi Gandi untuk
membentuk perlawanan atas munculnya indikasi formalisasi satu agama tertentu dalam politik kekuasaan. Perihal yang melatarbelakangi berdirinya Fordem diakui atau tidak
itu sebagai bentuk dari penolakan Gus Dur terhadap munculnya fenomena sekterianisme dalam perpolitikan nasional. Selain itu, forum ini juga sebagai antitesis
dari pendirian Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia ICMI, karena menurut dia ICMI merupakan organisasi sekterian.
Pada tanggal 13 Agustus 1993, Gus Dur bersama empat warga Asia lainnya Noburu Imamura dari Jepang, Banoo Coyaji dari India, Vo Tong Xuan dari Vietnam,
dan Brienvenido Lumbrera dari Filifina menerima hadiah Ramon Magsaysay, sebuah “Nobel Asia” di Manila, Filipina. Penghargaan itu diberikan berdasarkan
keterlibatannya yang besar dan mempunyai komitmen terhadap demokrasi serta upaya menumbuhkan toleransi beragama di Indonesia.
34
33
Bahar, Biografi Kiai Politik ..., hal. 37.
34
Mujamil Qamar, NU Liberal dari Tradisionalisme ke Universalisme Islam, Bandung: Mizan, 2002, hal. 167; Lihat juga Bahar, Biografi Kiai Politik ..., hal. 37.
Terlepas dari semua yang dilakukan Gus Dur, tidak dapat dipungkiri karena ini disebabkan dari hasil pembacaannya yang teramat banyak, sehingga memiliki
pandangan dan pemikiran yang progresif. Melalui buku yang dibacanya, hampir tidak ada tokoh besar yang berpengaruh dalam dunia pemikiran baik dari kalangan Islam
maupun Barat luput dari bacaannya, seperti Gamal Abdul Nasser, Mahamatma Gandhi, Soekarno, Karl Marx, Lenin. Hal ini yang menjadikan “perkawanan” secara dialetika
dan menjadikan perjalanan intelektualitas seorang Gus Dur yang me-nyandang berbagai macam atribut yang melekat pada dirinya dari; agamawan, sosiolog,
negarawan, seniman, budayawan dan lain-lain termasuk kepiawaiannya dalam humor,
35
bahkan ada juga yang menyebut dirinya sebagai wali.
36
F. Sketsa Pemikiran