BAB II BIOGRAFI DAN SKETSA PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID
D. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Abdurrahman Wahid lahir di Jombang pada 7 September 1940.
15
Semasa kecilnya, ia diberi nama Abdurrahman al-Dakhil
16
oleh orang tuanya,
17
namun dengan berbagai pertimbangan pribadi ia sekarang lebih akrab dengan panggilan Gus Dur.
18
Ayahnya adalah tokoh terkenal pernah menjadi menteri agama RI pertama dan aktif dalam Panitia Sembilan yang merumuskan “Piagam Jakarta”. Dari garis ayah, dia
adalah cucu dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, sedangkan dari ibu, dia cucu KH Bisri Syansuri. Dengan demikian, nasab atau garis keturunan yang dimiliki oleh Gus
Dur itu berasal dari para ulama besar dan sekaligus pendiri organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama atau NU.
Jika kita melihat dari latar belakang keluarga Gus Dur secara genetik utamanya berasal dari tradisi pesantren merupakan keturunan darah biru, meminjam istilah C.
15
Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biografi of Abdurrahman Wahid, Alih bahasa; Lie Hua, Yogyakarta: LKiS, 2004, hal. 25.
16
Di dalam buku Beyond The Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, menjelaskan bahwa kata ad-Dakhil ini mengandung arti “Sang Penakluk”, penamaan Abdurrahman Ad-
Dakhil oleh orang tuanya itu merupakan doa dan harapan yang di sandarkan kepada Abdurrahman Ad- Dakhil Abdurrahman I tokoh pahlawan dinasti Umayyah yang pernah memegang kekuasaan selama 32
tahun 756-788 dan mendirikan peradaban di Spanyol. Lebih lanjut lihat: Philip K Hitti, dalam buku Beyond The Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur,
Bandung: INCReS dan Remaja Rosdakarya, 2000, hal. 26; Barton, Biografi Gus Dur..., hal. 33.
17
Abdurrahman Wahid terlahir dari pasangan Abdul Wahid Hasyim dan Shalehah. Ketika Abdurrahman Wahid kecil berumur 12 tahun, ibunya telah berstatus janda dan menjadi single parent
dalam keluarga. Barton, Biografi Gus Dur…, hal. 42-44.
18
Gus adalah sebutan atau panggilan kehormatan khas pesantren bagi seorang anak kiai, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang berati abang atau mas. Kata Gus bisa juga berarti
kependekan dari ucapan Bagus, sebuah harapan seorang ayah kepada anaknya agar menjadi bagus. Panggilan ini pada umumnya ditujukan sebelum si anak menjadi kiai. Tetapi dalam kenyataannya tidak
sedikit yang sudah layak disebut sebagai kiai atau memang sudah menjadi kiai, masih dipanggil Gus. K.H. Abdurrahman Wahid adalah salah satu contoh yang paling popular. Lihat, Tim INCReS, Beyond
The Symbols...
, hal. 26. Dalam pembahasan selanjutnya Abdurrahman Wahid disebut dengan Gus Dur.
Greertz bahwa Gus Dur dapat tergolong santri sekaligus priyayi.
19
Dalam tipologi masyarakat Jawa, Gus Dur menempati strata sosial yang tinggi.
Gus Dur sebagai anak pertama dari Wahid Hasyim, dan cucu dari Hasyim Asy’ari. Maka dengan sendirinya ia bukan hanya sebagai pewaris ayahnya, tetapi juga
harapan segenap keluarga. Karena sebagaimana kebudayaan yang ada pada masyarakat Jawa, putra pertama diharapkan untuk mengikuti jejak sang ayah menjadi cendikiawan
agama dan pemimpin rakyat. Gus Dur tumbuh dari lingkungan pejabat pemerintahan karena terlahir dalam
keluarga yang sangat terhormat. Pada komunitas Muslim Jawa Timur, Gus Dur melewati masa kecil yang berbeda dari kebanyakan orang. Hal ini bisa terlihat sewaktu
ia di tawari sekolah oleh ayahnya, ia memilih sekolah yang biasa-biasa saja tidak sekolah di mana anak para pejabat pemerintah bersekolah. Meskipun ia terlahir sebagai
kelompok elit perkotaan, ia tidak serta merta memanfaatkan itu. Pendidikan formalnya berawal di Sekolah Dasar SD di Jakarta 1947-1953.
Gus Dur kecil memiliki hobi yang berbeda dengan kebanyakan temannya, seperti membaca buku, bola, catur dan musik, di samping ia juga dikenal selalu bertindak
implusif.
20
Karena itu, dia tidak biasa ditekan dan selalu berbuat semaunya. Melalui hobi membaca buku di akhir kelulusan SD, Gus Dur juga pernah memenangkan
perlombaan karya tulis mengarang se-wilayah Jakarta.
21
Di masa kecil ini, Gus Dur juga belajar bahasa Belanda dengan Williem Iskandar Buhl yang selalu menyajikan
19
Clifford Greertz, seorang antropolog terkenal yang melakukan penelitian ini telah menemukan tiga varian Islam di Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya, yakni; abangan,
santri, dan priyayi. Santri: orang yang berpengetahuan agama dan taat dalam peribadatan serta menerapkan doktrin Islam dalam kehidupan, sementara Priyayi: menurut istilah aslinya menunjuk
kepada orang-orang yang bisa menyelusuri asal-usul keturunannya sampai kepada raja-raja besar di Jawa jaman sebelum penjajahan, kemudian penggunaan istilah ini meluas dan mencakup para: birokrat,
klerk, dan guru-guru, atau dengan kata lain priyayi itu sama dengan aristokrat. Untuk lebih lanjut baca: Clifford Greertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Alih bahasa; Aswab Mahasin,
Jakarta: Pustaka Jaya, 1989, hal. 173, 307-308.
20
Barton, Biografi Gus Dur ..., hal. 38-40.
21
Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. 7.
musik klasik Barat kepadanya. Di sinilah awal perkenalan Gus Dur dengan budaya Barat.
22
Kemudian sekitar tahun 1953-1957, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama SMEP di Yogyakarta. Pada tahun yang sama dia juga mempelajari
agama dan bahasa Arab di pondok pesantren al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta dibawah bimbingan KH. Ali Maksum. Akan tetapi ia tidak memilih tinggal di pondok
melainkan kost di rumah Haji Junaedi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah, yang sedikit banyak dari pergaulannya itu mewarnai kehidupan, terutama dalam memahami
perbedaan agama. Di Yogyakarta sebuah kota yang dikenal dengan sebutan kota pelajar adalah
kota di mana Gus Dur telah menghabiskan waktu mudanya. Di kota inilah “pemikiran liar” Gus Dur mulai terlihat, karena didukung dengan lingkungan yang kondusif dan
kemampuan bahasa Inggris yang didapat dari ibu Rufi’ah, salah seorang aktivis Gerwani
sekaligus guru sekolah di SMEP. Dari Rufi’ah, Gus Dur mendapat banyak ilmu dan mampu menyalurkan kegairahan untuk membaca dan berpikir. Hal ini bisa
dilihat ketika berusia lima belas 15 tahun, Gus Dur sudah meng-khatamkam-kan buku sekelas Das Kapital, sebuah buku yang merupakan magnum opus-nya kitab
suci kaum sosialis dunia karya Karl Marx 1818-1883, dan What is To be Done Apa yang harus dikerjakan sebuah buku yang berisi tentang petunjuk praktis revolusi karya
Vladimir Ilyich Lenin 1870-1924.
23
Di sisi yang lain, Gus Dur juga menekuni ilmu-ilmu agama. Hal ini terlihat dari kesibukan yang cukup padat untuk mengkaji ilmu-ilmu di pesantren. Saat pagi-pagi
22
Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. 6.
23
Dalam usia yang sama Gus Dur juga membaca karya-karya penulis besar, baik novel maupun buku ilmiah, seperti: Ernest Hemingway, Jhon Stinbach, William Faulkner, Johan Huizinga, Andre
Malraux, Ortega Y. Gasset, Gus Dur juga membaca beberapa karya penulis Rusia seperti Pushkin, Tolstoy, dan Dostoevsky. beberapa jilid buku karya Will Durant yang berjudul, The Story of
Civilization , Andre Gide yang mengarang novel, La Porte Etroite, serta buku yang menjadi favoritnya
karya Mikhail Sholoskov yang bejudul And Quiet Flows the Don. Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. 10-11.
buta ia telah mengaji tiga kitab dengan seorang kiai pengasuh pesantren seperti KH. Fattah, siangnya bergantian ia yang mengajar kepada para santri, selepas shalat Dhuhur
ia lanjutkan kembali menimba ilmu kepada kiai lain seperti KH. Masduki yang kemudian dilanjutkan dengan mengaji kitab lain dengan Ustad Bisri Syamsuri.
24
Pendidikan tingginya ditempuh dengan menjadi mahasiswa di Departemen Of Higher Islamic and Arabic Studies
, Universitas Al-Azhar Kairo 1964-1969 atas biaya dari Departemen Agama yang saat itu di pegang oleh KH. Saifuddin Zuhri. Sewaktu
menempuh perjalanan dalam studinya di al-Azhar, dia tidak memuaskan gairah intelektualitasnya, karena menurut dia ini tidak ada bedanya seperti di pesantren yang
hanya menumpukan pada sisi hafalan. Di sini dia banyak meluangkan waktunya untuk mengunjungi perpustakaan di Mesir, termasuk yang berada di Kairo yang terkenal
lengkap American University Library dan berbagai toko buku, sekaligus menyalurkan hasratnya menikmati musik-musik klasik dan film, serta tidak ketinggalan sepak bola
yang memang sudah dari kecil manjadi hobinya itu.
25
Dalam studinya di Mesir, Gus Dur sempat kecewa dengan sistem pembelajaran yang menurutnya hampir sama dengan di pesantren hafalan. Akan tetapi di bawah
kepemimpinan Presiden Gamal Abdul Nasser dirasa tidak seutuhnya mengecewakan karena ada hal yang menarik perhatian Gus Dur, di mana ber-kembangnya diskursus
intelektualitas dan bertukar pendapat telah mendapat perlindungan yang cukup. Satu misal, antara para pendukung negara Islam Mesir dengan kaum sosialis melakukan
debat terbuka melalui buku-buku, surat kabar dan kolom-kolom majalah. Dengan begitu, Gus Dur kagum pada dua sosok yang dianggap kontroversial, sekuler dan
24
Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid Gagasan dan Pemikiran, Jakarta: Bina Utama, 1999, hal. 4-5.
25
Bahar, Biografi Kiai Politik…, hal. 15-6.
membias dari akidah Islam, yaitu; Thoha Husein dan `Ali Abdu al-Raziq. Di sini pula Gus Dur tertarik pada paham ‘sosialisme yang berbudaya’.
26
Kekecewaan Gus Dur tersebut kemudian dilampiaskan ke Depertement of Religion
Universitas Baghdad, Irak 1970-1972, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Universitas ini ia banyak membaca pemikiran
Emile Durkheim dan filsuf-filsuf Barat lainnya, sehingga di bawah atmosfir Irak akhir ia memperkaya khazanah pengetahuan serta kemampuannya di bidang kajian yang
diminta untuk meneliti asal usul historis Islam di Indonesia. Ada hal yang menarik dalam realitas pergumulan intelektualitas yang dijalani
oleh Gus Dur di tengah ia ‘berpikir secara sistematis’,
27
bentuk implementasi dari pengkajian yang dilakukan secara empiris dengan menggunakan pisau metodologis
yang tajam. Di sisi lain, ia juga menemukan kembali sumber spiritualitasnya dengan mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syeikh Abdu al-
Qâdir al-Jailanî, pendiri Thariqah Qadiriyyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaidi al-Baghdadî, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU di
Indonesia.
28
Beberapa bulan setelah menjadi Presiden, Gus Dur dalam kunjungan kenegaraannya ke Seoul menemui Presiden Kim Dae Jung, mengatakan “saya datang
sebagai murid kepada gurunya”. “Bagi saya ada dua guru yang masih hidup, yaitu Kim Dae Jung dan Sulakhshi Bharaksa dari Thailand. Sedangkan yang telah meninggal
26
Bahar, Biografi Kiai Politik…., hal. 16.
27
Tulisan yang dicetak miring adalah ungkapan Gus Dur sendiri yang ditulis dalam buku Beyond The Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur,
Bandung: INCReS dan Remaja Rosdakarya, 2000.
28
Budi Hadrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia Pengusung Ide Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama,
Jakarta: Hujjah Press, 2007, h. 18; Bahar, Biografi Kiai Politik…. hal. 3; Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. 17.
adalah Sun Yat Sen, Jose Rizal, Jawaharal Nehru, Mahatma Gandhi, dan tentu saja Soekarno”. Inilah para guru-guru Gus Dur, selain para kiai di pondok pesantren.
29
Melihat dari latar belakangnya dalam lingkungan keluarga dan pendidikan yang dimiliki, hemat penulis bahwa Gus Dur termasuk orang yang menghargai kebudayaan
Islam tradisional, dan mempunyai pandangan hidup yang terbuka open Minded. Maka tidak mengherankan bila ia memiliki berbagai aktivitas yang tidak sehaluan dengan
dunia ke-pesantren-an.
E. Ragam Aktivitas