Hidrolisis Pati Palma dengan β-Amilase dan Pullulanase secara Suksesif

25

4.2.2 Hidrolisis Pati Palma dengan β-Amilase dan Pullulanase secara Suksesif

β-amilase disebut juga α-l,4-glukan maltohidrolase E.C. 3.2.1.2 merupakan tipe ekso-enzim yang memutus ikatan α-1,4-glukosidik pada gugus amilosa dan amilopektin pati mulai dari bagian rantai luar molekul, yaitu tiap dua molekul pada ujung rantai non-pereduksi. Mekanisme kerja enzim ini akan mencari dan memutus seluruh ikatan α-1,4-glukosidik pada rantai di percabangan terluar terlebih dahulu kemudian memutus ikatan α-1,4-glukosidik yang berada di rantai lurus amilosa sehingga waktu yang dibutuhkan untuk hidrolisis dengan enzim ini sangat lama. Karena β-amilase tidak dapat menghidrolisis ikatan α-1,6-glukosidik pada titik percabangan, maka pada hidrolisis dengan enzim ini akan dihasilkan produk samping berupa β-limit dekstrin. Hidrolisis dilakukan secara kontinu selama 48 jam hingga substrat pati palma terhidrolisis sempurna pada tingkat hidrolisis 100. Pada awal hidrolisis dilakukan sampling untuk analisa total karbohidrat sedangkan tiap waktu tertentu juga dilakukan sampling untuk analisa gula pereduksinya. Kedua analisa dilakukan untuk menghitung nilai Derajat Polimerisasi DP, Dextrose Equivalent DE, tingkat hidrolisis, dan persentase kandungan β-limit dekstrin yang dihasilkan. Nilai DP, DE, tingkat hidrolisis, dan persentase kandungan β-limit dekstrin yang dihasilkan pada tiap waktu hidrolisis yang dilakukan oleh β-amilase dan pullulanase yang dilakukan secara suksesif untuk masing-masing pati palma tersaji pada Lampiran 7. Selama proses hidrolisis nilai DP mengalami penurunan yang signifikan pada menit ke-5 untuk semua pati palma setelah ditambahkan enzim β-amilase kemudian terus menurun secara perlahan hingga substrat pati mencapai tingkat hidrolisis 100 pada jam ke-48. Sebaliknya terjadi peningkatan nilai DE secara perlahan mulai dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Pada jam ke-24 ditambahkan β-amilase berlebih dengan konsentrasi enzim sebesar 20 Ug pati dari sisa larutan pati yang dihidrolisis. Penambahan β-amilase berlebih ini dilakukan untuk meningkatkan kerja enzim dalam memutus ikatan α-1,4-glukosidik pada sisa larutan pati sehingga diperoleh kandungan gula pereduksi yang semakin meningkat. Namun, seiring dengan waktu inkubasi, β-amilase mulai berhenti bekerja yang ditandai dengan pola grafik tingkat hidrolisis yang stasioner pada Gambar 16 dari jam ke-28 sampai jam ke-36 sebelum penambahan enzim pullulanase karena β-amilase tidak dapat memutus ikatan α-1,6-glukosidik pada titik percabangan. Hal ini menyebabkan terbentuknya β-limit dekstrin dengan berat molekul yang tinggi berisi seluruh ikatan α-1,6. Kandungan β-limit dekstrin yang terkandung pada pati kentang mencapai 54,5 dan pati tapioka sebesar 58,3 Bertoft 2008 sedangkan menurut Hizukuri 1981, persentase β-limit dekstrin yang dihasilkan dalam pati kentang sebesar 68 dan pati tapioka sebesar 64. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dari hasil penelitian Nilsson 2001 dimana β-limit dekstrin yang dihasilkan pada Potato Amylopectin Starch PAP sebesar 54. Dari nilai tersebut diketahui bahwa pada umbi-umbian memiliki kandungan β-limit dekstrin yang sangat tinggi pada hidrolisis dengan β-amilase karena rantai percabangan pati umbi-umbian cukup panjang dengan jumlah rantai percabangan yang lebih banyak dibandingkan pada pati palma. Karena rantai cabang inilah yang menyebabkan enzim β- amilase tidak dapat menghidrolisis pati secara sempurna sehingga dihasilkan β-limit dekstrin. Semakin banyak dan panjang rantai percabangan pada struktur amilopektin pati, maka semakin banyak bagian pati yang tidak dapat terhidrolisis oleh enzim β-amilase. Berbeda dengan pati umbi- umbian, hampir semua pati palma memiliki keragaman amilopektin yang tinggi tetapi rantai cabang yang dimiliki pendek-pendek sehingga β-limit dekstrin yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan pati umbi-umbian. Untuk masing-masing pati palma yang digunakan diperoleh persentase kandungan β-limit dekstrin yang berbeda. Persentase kandungan β-limit dekstrin tiap pati palma yang disajikan pada Tabel 10. 26 Tabel 10. Kandungan β-limit dekstrin pati palma Nilai-nilai pada Tabel 10 merupakan persentase bagian pati yang tidak terhidrolisis oleh β- amilase. Semakin besar nilai β-limit dekstrin yang dihasilkan, maka semakin banyak ikatan 1,6- glikosidik pada amilopektin pati yang tidak dapat terhidrolisis oleh β-amilase. Nilai β-limit dekstrin ketujuh pati palma yang digunakan berkisar antara 22,2–38,8 dari total pati. Berdasarkan nilai-nilai tersebut diketahui bahwa pati sagu baruk 2 merupakan pati palma yang memiliki kandungan amilopektin yang tidak terhidrolisis oleh β-amilase paling tinggi dibandingkan keenam pati palma lainnya sedangkan sagu rumbia memiliki persentase kandungan β-limit dekstrin paling rendah karena keragaman amilopektin pada rantai patinya paling rendah sehingga β-amilase dapat menghidrolisis lebih optimum dan menghasilkan gula pereduksi yang lebih banyak dibandingkan pati palma lainnya. Keberadaan β-limit dekstrin sebagai hasil samping hidrolisis yang tidak sempurna dan biasanya diminimalisir pembentukannya, tetapi β-limit dekstrin memiliki beberapa fungsi yang dapat diaplikasikan sebagai pengental rendah kalori dan stabilizer Poliana 2007 serta sebagai bulking agent , texture providers, pembentuk lapisan film, dan freeze-control agent Tester 2011. Keterangan: A1a= Sagu baruk 1; A1b= Sagu baruk 2; A1c= Sagu baruk 3; A2a= Sagu rumbia; A2b= Sagu komersial; A3= Aren; A4= Caryota mitis Gambar 16. Pola hidrolisis pati palma dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Jenis Pati β-Limit Dekstrin Sagu Baruk 1 30,1 Sagu Baruk 2 38,8 Sagu Baruk 3 29,9 Sagu Rumbia 22,2 Sagu Komersial 27,4 Aren 29,4 Caryota mitis 28,2 pullulanase β-amilase berlebih 27 Pada Gambar 16 terlihat bahwa tingkat hidrolisis meningkat secara perlahan hingga jam ke-10 dan mulai stasioner hingga jam ke-24. Selanjutnya setelah penambahan β-amilase berlebih pada jam ke-24 mulai mengalami peningkatan kandungan gula pereduksi yang signifikan hingga jam ke-28 lalu kembali stasioner hingga jam ke-36. Peningkatan gula pereduksi yang dihasilkan terus terjadi setelah penambahan pullulanase. Pada gambar tersebut terlihat pola hidrolisis dengan peningkatan yang lambat pada awal proses hidrolisis karena kerja enzim β-amilase mencari dan memutus seluruh gugus non-pereduksi pada rantai terluar pati terlebih dahulu lalu setelah itu memutus bagian tengah rantai pati hingga semua bagian rantai pati terhidrolisis sehingga kerja enzim ini sangat lambat. Berdasarkan hasil peningkatan tingkat hidrolisisnya, pada jam ke-48 ketujuh pati palma telah mengalami 92,3-99 hidrolisis karena adanya kerja enzim β-amilase dan pullulanase yang berlangsung suksesif sehingga hampir semua rantai baik pada gugus amilosa maupun amilopektin pati telah terputus menjadi gula- gula pereduksi, yaitu maltosa seperti yang diharapkan. Hasil dari hidrolisis semakin lama waktu inkubasi, maka semakin banyak gula pereduksi yang dihasilkan sehingga semakin tercapai tingkat hidrolisis yang sempurna. Tingkat hidrolisis dihitung untuk mengetahui berapa lama waktu hidrolisis dibutuhkan untuk menghasilkan produk dengan nilai DP dan DE yang diinginkan sesuai kebutuhan sehingga untuk membuat suatu produk hidrolisat pati dapat digunakan waktu yang sesuai dengan tingkat hidrolisis yang dibutuhkan. Pada jam ke-36 ditambahkan sejumlah enzim pullulanase dengan konsentrasi yang sama dengan jumlah β-amilase yang diberikan diawal proses hidrolisis, yaitu sebesar 2 Ug pati dari sisa larutan pati yang dihidrolisis. Penambahan enzim ini untuk memecah titik percabangan pada pati sehingga menghasilkan rantai-rantai lurus. Hal ini menyebabkan meningkatnya kandungan maltosa pada hasil akhir hidrolisis. Setelah dilakukan penambahan enzim ini terlihat pada Gambar 17 sampai 23 bahwa untuk masing-masing pati palma mengalami peningkatan kandungan gula pereduksi maltosa yang signifikan yang ditandai dengan peningkatan nilai DE dari jam ke-36 hingga jam ke- 38. Pullulanase yang ditambahkan bekerja memutus rantai percabangan pati menjadi rantai-rantai lurus sehingga keberadaan rantai lurus yang dihasilkan menyebabkan β-amilase kembali bekerja dimana pada titik inilah kerja kedua enzim berlangsung secara suksesif. Terbentuknya produk maltosa dari masing-masing pati palma rata-rata terjadi pada jam ke-37 sampai jam ke-38, yaitu pada tingkat hidrolisis 70-80. Hal ini tidak jauh berbeda pada hidrolisis pati kedelai dengan β-amilase yang menghasilkan produk maltosa pada tingkat hidrolisis 80-88 Bird 1953. Untuk nilai DE dan DP dari hidrolisat pati oleh β-amilase yang diperoleh tiap sumber pati berbeda-beda tergantung pada karakteristik kandungan rantai percabangan pati. Untuk pati umbi- umbian, seperti ubi kayu, ubi jalar, ganyong, talas, kimpul, dan suweg masing-masing pati memiliki nilai DP berturut-turut sebesar 2,2; 2,7; 2,8; 1,7; 2,5; dan 2,2 Sinaga 2004. Dari nilai DP tersebut menunjukkan bahwa pada tiap jenis pati umbi-umbian memiliki keragaman rantai percabangannya dimana pati talas memiliki jumlah rantai percabangan yang paling sedikit dibandingkan pati umbi lainnya. Tidak jauh berbeda nilai DP yang dihasilkan oleh pati palma dari hasil proses hidrolisis dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif diperoleh nilai DP dan DE rata-rata pada tingkat hidrolisis 10, 40, dan 100 yang disajikan pada Tabel 11. Berdasarkan data tersebut diketahui nilai DP rata-rata pada tingkat hidrolisis 10 berkisar antara 17,2-31,3 untuk masing-masing pati palma. Nilai DP pada tingkat hidrolisis 10 menunjukkan tiap pati palma masih memiliki rantai-rantai pati yang cukup panjang karena β-amilase baru memutus ujung-ujung gugus amilosa maupun amilopektin pada bagian terluar rantai pati sehingga gula pereduksi yang dihasilkan pun masih sedikit. Hal ini ditunjukkan dari nilai DE rata-rata untuk masing-masing pati pada tingkat hidrolisis 10 masih berkisar antara 3,6-5,7 dimana pati sagu baruk 1 termasuk pati palma yang memiliki nilai DP paling rendah dan DE paling tinggi pada tingkat hidrolisis 10. Sebaliknya pati Caryota mitis merupakan 28 pati palma yang memiliki nilai DP paling tinggi dan nilai DE paling rendah karena pati ini termasuk pati yang memiliki keragaman amilopektin yang tinggi selain pati aren. Untuk nilai DP rata-rata pada tingkat hidrolisis 40 berkisar antara 4,4-7,7 dengan nilai DE berkisar antara 14,1-22,4 untuk masing- masing pati palma. Pada tingkat hidrolisis 40 telah terjadi peningkatan gula pereduksi yang dihasilkan yang ditandai dengan semakin tingginya nilai DE untuk tiap pati palma. Dan pada tingkat hidrolisis 100 nilai DP rata-rata yang dihasilkan berkisar antara 1,7–2,9. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh rantai pada pati palma telah terhidrolisis secara sempurna dan menghasilkan produk akhir yang sebagian besar memiliki rantai yang terdiri atas 2 unit monosakarida, yaitu glukosa. Produk dengan 2 unit glukosa ini merupakan disakarida yang disebut maltosa. Selain itu, nilai DE yang dihasilkan pada masing-masing pati menunjukkan produk akhir yang dihasilkan adalah maltosa dimana nilai DE rata-rata berkisar antara 35,1–57,3. Karena menurut Kennedy 1995, nilai DE untuk produk maltosa sekitar 48–63. Berdasarkan Gambar 21 nilai DP pada tingkat hidrolisis 10, 40, hingga 100 pati Caryota mitis memiliki nilai peningkatan DE yang paling rendah bahkan jika dibandingkan dengan pati aren. Padahal dari rasio amilosa dan amilopektin kedua pati pada Tabel 7 keduanya memiliki rasio amilopektin yang sama-sama berkisar 79. Hal ini sama dengan hasil yang terjadi pada hidrolisis kedua pati oleh pullulanase karena pati aren memiliki rantai percabangan yang jauh lebih panjang dibandingkan pati Caryota mitis sehingga pati aren memiliki ikatan α-,14-glukosidik yang lebih banyak pada gugus amilopektin pati aren dibandingkan pada pati Caryota mitis. Karena banyaknya ikatan α-,14-glukosidik pada pati aren menyebabkan enzim β-amilase bekerja lebih optimum dalam memecah rantai tersebut dan menghasilkan lebih banyak gula-gula pereduksi yang berdampak pada peningkatan nila DE yang lebih tinggi pada produk hidrolisat pati aren dibandingkan pada pati Caryota mitis . Untuk hasil hidrolisat pada pati sagu baruk 1 pun demikian, meskipun termasuk pati yang memiliki rasio amilopektin yang cukup tinggi, pati ini merupakan pati palma yang memiliki nilai DP yang paling rendah dan DE yang paling tinggi dibandingkan pati sagu baruk 3 yang memiliki rasio amilopektin sama sekitar 76. Karena pati sagu baruk 1 memiliki rantai percabangan yang jauh lebih pendek dibandingkan pada pati sagu baruk 3 dan pati palma lainnya sehingga setelah kedua enzim yang digunakan, yaitu β-amilase dan pullulanase selesai memecah seluruh rantai-rantai amilosa dan amilopektin pati menjadi beberapa unit amilosa yang pendek-pendek, maka penurunan DP yang terjadi akan paling tinggi dan dekstrosa-dekstrosa yang terbentuk pun semakin banyak yang menyebabkan nilai DE sagu baruk 1 paling tinggi dibandingkan pada keenam pati palma lainnya. 29 Tabel 11. Nilai DP dan DE rata-rata pada hidrolisis 10, 40, dan 100 dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Jenis Pati DP rata-rata DE rata-rata Tingkat Hidrolisis 10 40 100 10 40 100 Sagu Baruk 1 17,2 4,4 1,7 5,7 22,4 57,3 Sagu Baruk 2 20,3 5,1 2,0 4,9 19,9 49,9 Sagu Baruk 3 25,7 7,5 2,8 3,9 14,2 36,2 Sagu Rumbia 19,9 5,3 2,1 5,0 19,2 46,8 Sagu Komersial 17,9 4,7 1,8 5,6 22,1 55,3 Aren 24,9 5,8 2,3 4,4 17,6 43,9 Caryota mitis 31,3 7,7 2,9 3,6 14,1 35,1 Pada Tabel 11 nilai DP rata-rata untuk ketujuh pati palma pada tingkat hidrolisis 100 berkisar antara 1,7-2,9. Menurut Kearsley 1995, nilai DP menunjukkan jumlah dari unit glukosa sebagai komponen individual dalam hidrolisat pati, DP 1= dekstrosaglukosa 1 unit, DP 2= maltosa 2 unit, DP 3= maltotriosa 3 unit. Adapun maksud dari nilai-nilai tersebut adalah untuk pati sagu baruk 2 dengan nilai DP rata-rata= 2,0 artinya dalam produk hidrolisat yang dihasilkan mengandung banyak maltosa sedangkan sagu baruk 1 dan sagu komersial dengan nilai DP rata-rata= 1,7 dan 1,8 artinya dalam produk hidrolisat yang dihasilkan mengandung sejumlah maltosa dan glukosa sehingga rata-rata derajat polimerisasi yang dimiliki produk akhir hidrolisat pati tersebut sekitar 1,7 dan 1,8. Untuk pati sagu rumbia dan aren dengan nilai DP 2,1 dan 2,3 artinya mengandung sejumlah maltosa dan maltotriosa dimana kandungan maltosa mendominasi produk hidrolisat yang dihasilkan. Untuk pati sagu baruk 3 dan Caryota mitis dengan nilai DP rata-rata= 2,8 dan 2,9 artinya terkandung maltosa dan maltotriosa pada produk akhir hidrolisat pati yang didominasi oleh kandungan maltotriosa.

4.3 APLIKASI PRODUK HIDROLISAT PATI PALMA