9
3.1.2. Derajat Spermatogenesis Kriteria Johnsen
Hasil pengamatan terhadap derajat spermatogenesis berdasarkan kriteria Johnsen pada gonad ikan lele jantan setelah dipelihara selama 30 hari dapat dilihat
pada Gambar 2. Rata-rata derajat spermatogensis pada perlakuan dosis purwoceng Pimpinella alpina Molk. mencapai 9 versus 8 kontrol.
Gambar 2. Histogram derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen. Pada Gambar 2 menunjukkan rata-rata derajat spermatogenesis testis
tertinggi terdapat pada perlakuan 2,5 gkg pakan yaitu sebesar 9,22±0,30, dan yang terendah adalah pada perlakuan kontrol 8,00±0,33. Oleh karena data tidak
tersebar normal non parametrik maka tidak dilakukan uji statistik Lampiran 3. Berdasarkan pengamatan derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen
melalui gambaran histologinya disajikan pada Gambar 3. Derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen sesuai dengan gambaran histologinya pada perlakuan
kontrol; 2,5 gkg; 5 gkg dan 7,5 gkg dosis purwoceng Pimpinella alpina Molk. berturut-turut adalah 7,5±1; 9,25±0,96; 8,75±0,96; dan 9±0,82. Hasil gambaran
histologi merupakan hasil preparasi histologi yang diamati di bawah mikroskop pada perbesaran 100 kali. Adapun proses histologi tersebut terlampir pada
Lampiran 4 dan 5.
8,00 9,22
9,00 8,92
0,00 2,00
4,00 6,00
8,00 10,00
12,00
Kontrol 2,5
5 7,5
D e
rajat S
p e
rm ato
g e
n e
si s
J o
h n
sen
Dosis Purwoceng gkg
10 a
b
c d
Gambar 3. Histologi gonad ikan lele jantan pada perlakuan ekstrak purwoceng melalui pakan: a kontrol, b dosis 2,5 gkg, c dosis 5 gkg, d dosis
7,5 gkg pada perbesaran 100 kali. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa nilai derajat spermatogenesis menurut
kriteria Johnsen terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 7,5±1 Gambar 3a, sedangkan tertinggi terdapat pada perlakuan dosis purwoceng 2,5 gkg yaitu
9,25±0,96 Gambar 3b. Hal itu ditunjukkan dengan kelengkapan fase spermatogesis dari dosis 2,5 gkg yang lebih baik daripada kontrol dan perlakuan
lainnya. Adapun contoh gambar yang memperlihatkan derajat spermatogenesis pada perlakuan dengan dosis 2,5 gkg dapat dilihat pada Lampiran 6. Sedangkan
untuk diameter tubulus seminiferus yang terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 20±7,41
m dan tertinggi pada perlakuan dengan dosis purwoceng 5 gkg pakan yaitu 32,35±14,9
m.
3.2. Pembahasan