10 a
b
c d
Gambar 3. Histologi gonad ikan lele jantan pada perlakuan ekstrak purwoceng melalui pakan: a kontrol, b dosis 2,5 gkg, c dosis 5 gkg, d dosis
7,5 gkg pada perbesaran 100 kali. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa nilai derajat spermatogenesis menurut
kriteria Johnsen terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 7,5±1 Gambar 3a, sedangkan tertinggi terdapat pada perlakuan dosis purwoceng 2,5 gkg yaitu
9,25±0,96 Gambar 3b. Hal itu ditunjukkan dengan kelengkapan fase spermatogesis dari dosis 2,5 gkg yang lebih baik daripada kontrol dan perlakuan
lainnya. Adapun contoh gambar yang memperlihatkan derajat spermatogenesis pada perlakuan dengan dosis 2,5 gkg dapat dilihat pada Lampiran 6. Sedangkan
untuk diameter tubulus seminiferus yang terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 20±7,41
m dan tertinggi pada perlakuan dengan dosis purwoceng 5 gkg pakan yaitu 32,35±14,9
m.
3.2. Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh data mengenai perkembangan diameter tubulus seminiferus, derajat spermatogenesis menurut
kriteria Johnsen dan gambaran histologi dari perlakuan dengan penambahan
11 ekstrak purwoceng melalui pakan. Hasil pada Gambar 1 menunjukkan bahwa
terjadi perkembangan diameter tubulus seminiferus pada perlakuan yang diberikan bila dibandingkan dengan kontrol. Nilai perkembangan diameter tubulus
seminiferus tertinggi terdapat pada perlakuan 5 gkg yaitu sebesar 33,67±3,41 m.
Hal ini menjelaskan bahwa pada perlakuan 5 gkg pakan diduga terjadi peningkatan proses spermatogenesis bila dibandingkan dengan kontrol. Adanya
peningkatan proses spermatogenesis menimbulkan peningkatan diameter tubulus seminiferus, karena pada testis yang produksi spermanya rendah atau tidak
berproduksi sama sekali, didapatkan penurunan diameter tubulus seminiferus Gulkesen et al., 2002 dalam Purwoko, 2005. Berdasarkan hasil analisis ragam
yang telah dilakukan diketahui bahwa perlakuan penambahan ekstrak purwoceng pada pakan pada dosis 5 gkg pakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap perkembangan diameter tubulus seminiferus P0,05. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Juniarto 2004, yang mengatakan bahwa pemberian
ekstrak purwoceng dan pasak bumi dapat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perkembangan diameter tubulus seminiferus.
Testis dalam proses reproduksi mempunyai dua fungsi utama yaitu memproduksi hormon dan spermatozoa. Kedua fungsi tersebut secara anatomi
berlangsung terpisah yaitu hormon testosteron dihasilkan oleh sel leydig, sedangkan sel spermatozoa dihasilkan oleh sel epithel tubulus seminiferus Burger
et al., 1977 dalam Nyoman dan Laksmi, 2010. Proses pembentukan sel spermatozoa di dalam tubulus seminiferus disebut spermatogenesis. Terdapat
beberapa tingkatan spermatogenesis pada perkembangan testis ikan lele Clarias batrachus yaitu spermatogonium, spermatosit primer, spermatosit sekunder,
spermatid dan spermatozoa Chinabut et al., 1991. Fase-fase inilah yang digunakan dalam penentuan derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen.
Hasil pengamatan terhadap derajat spermatogenesis pada tubulus seminiferus menurut kriteria Johnsen terlihat bahwa terdapat perbedaan antara
perlakuan yang diberikan dengan kontrol. Rata-rata derajat spermatogenesis testis tertinggi terdapat pada perlakuan 2,5 gkg pakan yaitu sebesar 9,22±0,30.
Sedangkan rata-rata derajat spermatogenesis testis terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 8,00±0,33. Hasil ini menunjukkan bahwa pada
12 perlakuan 2,5 gkg pakan memiliki tingkat kematangan gonad yang lebih baik bila
dibandingkan kontrol. Hal ini tidak berkorelasi dengan hasil pengukuran diameter tubulus seminiferus sebelumnya, sehingga bertentangan dengan pendapat dari
Juniarto 2004 yang menyatakan bahwa pemeriksaan diameter tubulus seminiferus dan derajat spermatogenesis seharusnya mempunyai korelasi positif
karena semakin tebal dinding tubulus maka derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen juga semakin tinggi. Hal ini diduga disebabkan karena lamanya
pemeliharaan ikan uji tidak disesuaikan dengan lamanya waktu daur spermatogenesis epitel seminiferus pada ikan lele. Menurut Sukmaningsih et al.
2011, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap langkah perkembangan sel spermatogenik berbeda, oleh karena itu akan terjadi berbagai
bentuk kombinasi sel dari berbagai jenis perkembangan sel-sel germinal di dalam tubulus seminiferus.
Selain penyesuaian lama daur spermatogenesis, perbedaan tersebut diduga juga disebabkan karena terdapat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan
gonad yaitu faktor lingkungan ataupun hormon. Hal ini merujuk pada pemeliharaan ikan uji yang dilakukan di laboratorium lapangan yang tidak dapat
terkontrol maksimal seperti di dalam ruangan karena air hujan dan pencahayaan dapat mempengaruhi kondisi air dalam bak pemeliharaan. Scott 1979 dalam
Affandi dan Tang 2004 menyatakan bahwa faktor lingkungan yang dominan mempengaruhi perkembangan gonad adalah suhu dan makanan, serta cahaya dan
musim. Sehingga pada perlakuan dengan dosis 5 gkg pakan yang memiliki diameter tubulus seminiferus tertinggi Gambar 1, derajat spermatogenesisnya
lebih rendah dari pada perlakuan 2,5 gkg pakan Gambar 2. Ekstrak purwoceng mempengaruhi gambaran histologi testis yaitu pada
kelengkapan spermatogenesis, misalnya pada perlakuan 2,5 gkg pakan ekstrak purwoceng menunjukkan komponen spermatogonium, spermatosit primer,
spermatosit sekunder, spermatid, dan spermatozoa dibandingkan dengan perlakuan lainnya Gambar 3b. Gambar 3c memperlihatkan bahwa perlakuan 5
gkg pakan memiliki diameter rata-rata tubulus seminiferus yang lebih besar bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya, tetapi kelengkapan komponen
spermatogenesisnya kurang lengkap. Pada gambar 3d, terlihat bahwa perlakuan
13 7,5 gkg pakan memiliki diameter tubulus seminiferus yang lebih besar bila
dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan 2,5 gkg pakan, namun komponen spermatogenesisnya tidak selengkap perlakuan 2,5 gkg pakan tetapi lebih baik
bila dibandingkan dengan perlakuan 5 gkg pakan. Sedangkan pada kontrol menunjukkan kriteria Johnsen serta rata-rata diameter tubulus seminiferus yang
paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya Gambar 3a. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan 2,5 gkg menunjukkan perkembangan kematangan
gonad yang lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun diameter tubulus seminiferusnya lebih rendah dari perlakuan 5 gkg. Sedangkan
perlakuan 5 gkg menunjukkan perkembangan tubulus seminiferus yang lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun memiliki derajat
spermatogenesis yang lebih rendah dari perlakuan 2,5 gkg. Hasil dari pengamatan berdasarkan gambaran histologinya menunjukkan
bahwa penambahan ekstrak purwoceng melalui pakan dapat mempengaruhi perkembangan derajat spermatogenesisnya bila dibandingkan dengan kontrol. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Juniarto 2004 yang mengatakan bahwa pemeriksaan histologi menunjukkan bahwa terjadi proses spermatogenesis yang
lebih baik pada testis tikus yang diberi perlakuan purwoceng yang pada akhirnya meningkatkan pula jumlah spermatozoa yang dihasilkan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Ekstrak purwoceng yang diberikan melalui pakan dengan dosis 5 gkg berpengaruh nyata terhadap perkembangan tubulus seminiferus pada gonad ikan
lele jantan bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Selain itu, derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen secara histologi menunjukkan
perbedaan di mana pada perlakuan ekstrak purwoceng lebih tinggi 9 dibandingkan kontrol 8.
4.2. Saran
Purwoceng merupakan salah satu dari fitoandrogen yang baru pertama kali diaplikasikan untuk mempercepat kematangan gonad, sehingga diperlukan
pengetahuan mengenai siklus kematangan gonad jantan ikan lele untuk menyesuaikan lama penelitian dengan lamanya siklus spermatogenesis pada ikan
lele. Selain itu, untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk memperhatikan faktor lingkungan dan efek dari purwoceng terhadap kesehatan ikan.