22
BAB IV NILAI MORAL DAN FAKTOR PERBUATAN MORAL TOKOH DALAM
NOVEL JASMINE KARYA RIAWANI J
4.1 Nilai Moral dalam Novel Jasmine
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa nilai moral merupakan landasan sikap dan perilaku manusia sehari-hari yang menunjukkan kualitas yang berharga
atau berguna bagi manusia. Sikap dan perilaku moral tersebut berkaitan dengan hal nilai-nilai susila, hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang
dianggap perbuatan tersebut benar atau salah. Setelah membaca novel Jasmine karya Riawani J, maka peneliti menetapkan
nilai moral yang akan dikaji adalah nilai moral kejujuran, kesediaan bertanggung jawab, keberanian moral, dan kerendahan hati.
4.1.1 Nilai Moral Kejujuran
Kejujuran dapat diartikan sebagai sikap keadaan jujur yang mengedepankan ketulusan dan kelurusan hati baik dalam bertindak berkelakuan maupun dalam
perkataan. Proses menuju kejujuran memang tidak selalu mudah. Pikiran buruk dan hasil yang tidak sesuai dengan harapan mendorong manusia berlaku curang dengan
mengesampingkan nilai kebenaran. Akan tetapi, dengan tetap memilih berlaku jujur
Universitas Sumatera Utara
23
akan memberikan ketenangan batin dan kepercayaan masyarakat orang lain terhadap orang yang melakukannya.
Novel Jasmine memasukkan nilai moral kejujuran dalam rangkaian ceritanya. Berikut penggalan paragraf dalam novel Jasmine yang menunjukkan nilai moral
kejujuran: “Lantas, sekarang bagaimana, Fi? Kamu bilang kalau tantenya Priyatna sedang
menunggu di ruang tamu? Lalu, apa yang akan kita sampaikan padanya? Memberitahunya kalau gadis itu kabur, lalu membiarkan dia menuding kita tak
lebih dari yayasan amatir yang lalai dan tak bertanggung jawab?”
Luthfi menatap Malika. Merasa sedikit terjengit oleh kata-kata Malika. Gadis itu benar. Mereka harus secepatnya menyiapkan kalimat yang tepat untuk
memberitahu tante Priyatna. Sementara itu, disaat bersamaan, mereka juga tak boleh mengabaikan akan kasus kaburnya Jasmine dari yayasan.
“Sekarang kita berbagi tugas. Aku akan menghubungi polisi, dan kamu yang menyampaikan berita ini pada tante Priyatna. Atau sebaliknya. Yang mana
kamu pilih?”
Malika menimbang-nimbang dalam waktu kurang dari tiga detik sebelum menjawab tegas. “Biar aku yang bicara pada tante Priyatna.” J, 2011:123
“Maafkan atas kelalaian kami, Bu. Tapi, nyatanya memang tidak seorang pun di sini yang tahu kapan Jasmine pergi,” ucap Malika penuh hati-hati.
Luthfi muncul di pintu. Mengamati kedua wanita yang masih bertahan dalam diam itu sebelum melangkah masuk.
“Saya sudah menghubungi polisi, juga Priyatna.” Rowena mengangguk pelan. Dadanya terasa berat. Kembali untuk kali sekian
dalam hidupnya, ia harus menanti kabar. Sungguh, ia tak tahu sampai kapan ia masih sanggup bertahan untuk tetap menunggu J, 2011:138.
Penggalan paragraf di atas menunjukkan adanya kekhawatiran Malika dan Luthfi untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Rowena, ibu yang mencari
Universitas Sumatera Utara
24
putrinya yang hilang yang diduga adalah Jasmine. Akan tetapi Jasmine telah kabur dari yayasan. Pada akhirnya, mereka berdiskusi dan mengatakan keadaan yang
sebenarnya dan mengesampingkan pikiran buruk atas tuduhan sebagai pengurus yayasan yang tidak bertanggungjawab. Meskipun berat mengatakan kebenaran,
namun perbuatan tokoh dalam novel Jasmine mencerminkan nilai kejujuran yang harus tetap dipertahankan walau akan sangat berat untuk mengatakannya.
Kejujuran akan membawa ketentraman, kebahagiaan, serta kepuasan tersendiri bagi seseorang yang melakukannya. Kejujuran tidak hanya mengatakan keadaan yang
sebenarnya, tetapi juga memenuhi janji yang telah diberikan kepada seseorang. Jasmine yang selama ini bersembunyi di balik kebohongannya dan mengaku amnesia,
tidak dapat menahan dan menutupi kebenaran ketika Awang, bocah pemulung yang pernah ia janjikan akan diajarkan membaca. Ia tidak dapat membohongi dirinya
sendiri dan melepas kebohongannya karena Awang menuntut janjinya. Jasmine berjanji akan menepatinya sehingga pada akhirnya janji itu ia tepati dan membawa
keceriaan dan kebahagiaan bagi Jasmine. Nilai kejujuran ini dapat terlihat pada sepenggal paragraf berikut ini:
“Kak…” Jasmine menoleh. Awang beringsut mendekatinya. Sangat hati-hati, seakan
takut menyenggol selang infus yang menancap di pergelangan tangan Jasmine. “Om yang polisi itu, juga om yang satu lagi, mereka mecari saya di ruli
pemukiman rumah liar. Katanya mereka mau mempertemukan saya dengan Kakak. Tapi mereka juga bilang kalau Kakak…lagi sakit. Kakak banyak
lupanya. Tapi saya tidak percaya kalau Kakak sekarang pelupa. Kakak pasti tak pernah lupa sama janji Kakak untuk mengajari saya membaca. Iya kan?”
Universitas Sumatera Utara
25
Airmata Jasmine langsung runtuh. Bagaimana mungkin ia tega berkeinginan ‘melenyapkan’ Awang, dari ingatannya dan menganggap bocah itu tak lebih
dari sosok yang tak pernah ia kenal? Masihkan ia tegah untuk berbohong?
“Doakan Kakak cepat sembuh, ya Kakak janji, setelah sembuh nanti pasti akan mengajarimu membaca.”
Sementara di luar, Priyatna dan Luthfi menunggu Awang. “Bagaimana, Dik? Apa dia ingat padamu?” Tanya Priyatna pada Awang.
“Tak tahu, Om. Kakak hanya minta saya mendoakannya, supaya dia bisa mengajari saya membaca.”
“Membaca?” kedua alis Priyatna merapat. Awang mengangguk. “Waktu masih di ruli, Kakak pernah janji mau mengajari saya membaca.
“Kamu dengar? Perkiraan kita selama ini, ternyata sama sekali nggak meleset Gadis itu hanya berpura-pura amnesia” ujar Priyatna pada Luthfi dengan penuh
antusias.
“Waktu dia dirawat di rumah sakit kali pertama, sebelum kamu membawanya ke yayasan, dia bilang padamu kalau dia tidak ingat pernah tinggal di ruli dan
tidak bisa mengingat namanya. Begitu kan, Fi?” tanya Priyatna J, 2011:208- 209.
“B-A-T-A” “BATA”
“Kita lanjut yang lebih sulit, ya?” ujar Jasmine disambut anggukan Awang penuh antusias. Dan hari ini Awang sangat bahagia. Jasmine tampak sangat
benar-benar antusias mengajarinya membaca J, 2011:264.
4.1.2 Kesediaan Bertanggung Jawab