ANALISIS ALIRAN INFORMASI GENETIK VIA SERBUK SARI DAN PENYEBARAN BENIH TANAMAN JATI ASAL

55 Pendahuluan Aliran gen gene flow adalah proses transportasi informasi genetik melalui transportasi serbuk sari penyebaran gamet jantan dan transportasi melalui benih migration. Aliran gen lewat serbuk sari berhubungan erat dengan proses perkawinan tanaman, dimana serbuk sari yang bergerak bila sampai ke kepala putik akan terjadi peristiwa pembuahan. Untuk tanaman menyerbuk sendiri autogami, pergerakan serbuk sari dapat sangat minimal misal untuk tanaman cleistogami serbuk sari berasal dari bunga yang sama, fertilisasi terjadi saat bunga mekar, dan beberapa meter untuk geitonogami serbuk sari berasal dari bunga yang berbeda pada tanaman yang sama,. Sedangkan untuk tanaman menyerbuk silang, pergerakan serbuk sari dapat beberapa meter bahkan beberapa kilometer, pembuahan terjadi bila serbuk sari dari satu tanaman sampai ke kepala putik yang receptive siap dibuahi dari tanaman lain dari jenis yang sama xenogami. Pergerakan gamet jantan serbuk sari memerlukan vektor berupa angin anemophily atau hewan zoophily Aliran informasi genetik melalui benih dapat juga disebut proses migrasi, dan tidak mempengaruhi secara langsung terhadap sistem perkawinan, namun penyebaran benih ini penting untuk pembentukan populasi sekitar. Vektor penyebaran benih pohon terdiri atas vektor abiotik seperti oleh angin anemochory, air hydrochory, berat barochory dan vektor biotik yaitu dibantu oleh hewan zoochory yang meliputi endozoochorous setelah melalui pencernaan atau exozoochorous tanpa melalui pencernaan. Efisiensi aliran gen baik itu melalui sebuk sari atau benih sangat penting bila dikaitkan dengan ukuran populasi yang berproduksi secara efektif, terutama menyangkut pola spatial variasi genetik. Aliran gen yang rendah dan tidak efisien dapat menghasilkan diferensiasi genetik antar sub-populasi dan dapat menyebabkan terbentuknya struktur famili. Sedangkan aliran gen yang tinggi dan efisien dapat berguna untuk menghindari terjadinya silang dalam yang kuat yang mungkin sangat merugikan dilihat dari sisi pemuliaan. Aliran informasi genetik dapat dipelajari dengan mengamati pergerakan serbuk sari secara fisik dari tingkah laku serangga menggunakan pewarna 56 fluoresence kemudian penyebaran fluoresence tersebut dianalisa, namun metode ini sangat sulit dilakukan karena transportasi serbuk sari pada pohon terjadi sebagian besar di kanopi atau bagian atas tajuk sehingga tidak dapat dilihat secara langsung. Metode lain yaitu menggunakan penanda genetik seperti, gen lokus isoenzim dan penanda gen mikrosatelit yang sangat berguna untuk menduga pergerakan serbuk sari yang efektif secara genetik di antara tanaman. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mempelajari aliran gen menggunakan penanda genetik isozim seperti pada populasi tanaman Hopea odorata Ihara et al. , 1986 dalam Finkeldey, 2005, Pinus merkusii Siregar dan Hattemer, 2000; sedangkan Dawson et al. 1997 menggunakan penanda gen mikrosatelit untuk mengetahui aliran gen melalui serbuk sari pada pohon neotropis Gliricidia sepium, pada populasi tanaman Eugenia dysentrica Zucchi et al., 2003 dan Eterpe edulis Gaiotto et al., 2003. Aliran informasi lewat penyebaran benih telah dipelajari pula seperti pada tanaman Jacaranda copaia Jones et al., 2005. Namun demikian penelitian aliran gen pada populasi tanaman jati masih belum banyak dilakukan terutama menggunakan penanda genetik mikrosatelit. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari sistem aliran informasi genetik melalui serbuk sari dan benih pada tiga buah populasi tanaman jati di Sulawesi Tenggara. Bahan dan Metode Material Populasi dan Ekstrasi DNA Tiga populasi jati yang memiliki level kerusakan atau gangguan terhadap tegakan jati tersebut akibat adanya aktivitas manusia. Untuk itu dipilih tiga lokasi populasi tegakan jati di Sulawesi Tenggara dengan berbagai level gangguan yaitu dua populasi dari Kabupaten Muna Dolok dan Warangga dan satu populasi dari Kabupaten Buton Sampolawa. Untuk masing-masing lokasi dipanen buah jati secara terpisah famili half-sib yang berasal dari 13-19 pohon induk benih yang kemudian dikecambahkan lihat Lampiran 11. Selain itu juga dikoleksi secara sensus tanaman jati yang dapat diidentifikasi berpotensi sebagai sumber serbuk sari bagi pohon induk benih pada areal 4 – 6 ha atau 60 – 100 tanaman dewasa. 57 Tabel 6.1. Koleksi progeni famili half-sib jati dari 13-19 pohon induk benih serta semua tanaman jati yang diindentifikasi berpotensi sebagai sumber serbuk sari pada tiga lokasi yang memiliki level kerusakan akibat aktivitas manusia dianalisis menggunakan 10 penanda mikrosatelit Asal Populasi Jumlah Tanaman Pohon sebagai sumber serbuk sari 105 Pohon induk benih 17 Bibit yang ditanam di rumah kaca 62 Dolok, Muna Tanaman juvenil dari lapang 25 Pohon sebagai sumber serbuk sari 111 Pohon induk benih 13 Warangga, Muna Bibit yang ditanam di rumah kaca 132 Pohon sebagai sumber serbuk sari 99 Pohon induk benih 19 Sampolawa, Buton Bibit yang ditanam di rumah kaca 119 Total 702 tanaman Keterangan : Bibit yang ditanam dirumah kaca merupakan famili half-sib dari pohon induk benih yang ditanam secara terpisah DNA total diisolasi dari daun kecambah, daun muda progeni half-sib dari 13-19 pohon induk benih berserta induknya dan semua daun muda dari tanaman jati sekitar yang berpotensi sebagai sumber serbuk sari hasil sensus Tabel 6.1. Untuk semua lokasi pengambilan sampel maka dilakukan pemetaan posisi relatif spatial setiap individu Lampiran 1, 2 dan 3. Ekstraksi DNA dilakukan menggunakan procedure CTAB selengkapnya disajikan pada Bab 3 dan Lampiran 8. Analisis Marka Mikrosatelit Amplifikasi product PCR menggunakan 10 primer mikrosatelit Tabel 3.2 menggunakan profil PCR Lampiran 8, sedangkan visualisasi dilakukan menggunakan prosedur elektroforesis polyacrylamide Lampiran 9. Analisis Data Terdapat dua metode yang dapat digunakan untuk menduga gene flow, yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung diduga berdasarkan pada distribusi keragaman genetik di antara populasi. Secara tidak 58 langsung gene flow diduga berdasarkan hasil pengamatan dari perpindahan serbuk sari dan benih. Pendugaan secara tidak langsung diduga dari nilai F ST untuk menghitung banyaknya imigran efektif per generasi N e m sebagai berikut Hamrick dan Nason 2000: 1 4 ST e ST F N m F − = dimana N e adalah banyaknya individu-individu efektif dalam populasi dan m adalah laju imigrasi. Pengukuran gene flow secara langsung dapat diduga dari perbedaan frekuensi alel antara tetua dan generasi biji. Jika m adalah laju migrasi gene flow ke dalam populasi misal proporsi alel-alel yang berimigrasi, dan 1-m adalah proporsi alel-alel yang tidak berimigrasi, q t adalah frekuensi alel pada generasi ke-t, dan q adalah rata-rata frekuensi alel dari populasi yang mengelilingi populasi penerima populasi donor. Hubungan antara gene flow dengan perubahan frekuensi adalah sebagai berikut: 1 1 t t q q m qm − = − + nilai 1 , , dan t t q q q − dapat diduga secara langsung dari pengamatan, nilai-nilai tersebut dapat digunakan untuk menduga m, sebagai berikut: 1 1 t t t q q m q q − − − = − Analisis hubungan tetua dengan turunannya dilakukan menggunakan program komputer CERVUS 2.0 Marshall, 2001. Hasil Berikut ini disajikan salah satu genotiping lokus AG16 Gambar 6.1, memperlihatkan lokus tersebut terdiri atas enam alel dimana sebagai contoh genotipe homozigot pada Gambar tersebut adalah line 47 sampai 51 dengan genotipe 22 dan yang heterozigot misal line 52 sampai 54 dengan genotipe 26, sedangkan genotipe lainnya dapat dilihat pada Gambar 6.1. 59 Gambar 6.1. Contoh profil pola pita lokus AG16 pada tanaman jati Dari analisis tetua yang dilakukan berhasil mendeteksi kandidat tetua sebagai sumber serbuk sari pada progeni sebanyak 30 untuk Sampolawa, 81 untuk Dolok dan 87 untuk Warangga Lampiran 4 sampai Lampiran 6. Sedangkan analisis terhadap tanaman semai untuk mendeteksi kedua tetua berhasil mendeteksi sebanyak 76 Lampiran 7. Hasil penelitian menunjukkan transportasi informasi genetik melalui serbuk sari terjadi secara acak dari segala arah Gambar 6.2. Rata-rata jarak sumber serbuk sari terhadap pohon induk benih berjarak 34.27 m dengan range 30.23 m untuk Sampolawa dan 39.43 m Warangga. Sedangkan banyaknya sumber serbuk sari benih terdekat 0-10 m kurang dari 10 dan 10-20 m antara 13-26 dan sumber serbuk sari yang terjauh dapat mencapai di atas 80 m terjadi pada populasi Warangga Gambar 6.3. Gambar 6.2. Perpindahan informasi genetik gene flow via serbuk sari 60 8.26 15.60 24.77 28.44 15.60 4.59 2.75 0.00 0.00 0.00 0.00 5 10 15 20 25 30 10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 90-100 100 Jarak tetua jantan ke tetua betina m Persent ase jumlah sum ber polen 4.00 26.00 22.00 18.00 16.00 10.00 4.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5 10 15 20 25 30 10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 90-100 100 Jarak tetua jantan ke tetua betina m Per sentase jum lah sumber polen 8.70 13.91 13.91 17.39 12.17 15.65 7.83 7.83 1.74 0.87 0.00 5 10 15 20 25 30 10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 90-100 100 Jarak tetua jantan ke tetua betina m Persent ase jumlah sum ber polen Gambar 6.3. Jarak dan sumber serbuk sari untuk lokasi Sampolawa atas, Dolok tengah dan Warangga bawah 61 Aliran informasi genetik via penyebaran benih menunjukan benih penyebarannya dibantu oleh angin anemochory, tanaman juvenil yang terbentuk berada cukup jauh dari kedua tetuanya rata-rata 36.05 m sampai 37.11 m jarak terdekat 7.17 m dan jarak terjauh 70.06 m. Kosekuensi genetik aliran informasi melalui serbuk sari lebih efisien dibanding via benih, karena via serbuk sari dapat mencapai jarak yang jauh. Karena tidak efisiennya transportasi via benih maka biasanya akan terbentuk struktur famili yaitu antar pohon tetangga akan lebih mirip satu sama lain secara genetik. Sedangkan jarak yang jauh dari serbuk sari dapat menghindari terjadinya silang dalam. Dari hasil penelitian memperlihatkan tanaman juvenil berada cukup jauh dari kedua tetuanya 30-40 m jarak terdekat 7.05 m dan terjauh sampai 68.73 m, sedangkan jarak kedua kandidat tetuanya antara 0–60 m Gambar 6.3 dan 6.4. Gambar 6.4. Perpindahan informasi genetik melalui benih Persentase tanaman juvenil tumbuh di dekat tetuannya dengan jarak 0-20 m sebesar 31, namun persentase jarak tetua yang berhasil menjadi tanaman juvenil dilapang dengan persentase mencapai 47.34 terjadi pada jarak 50-70 m Gambar 6.5. 62 10.53 21.05 10.53 5.26 21.05 15.79 10.53 5.26 5 10 15 20 25 30 35 10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 90-100 100 Jarak antara seedling ke tetua 1 Pe rsent ase b anyak nya se edlin g 0.00 31.58 10.53 15.79 15.79 15.79 5.26 5.26 5 10 15 20 25 30 35 10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 90-100 100 Jarak antara seedling ke tetua 2 P esent ase ba nyakn ya see dling 5.26 15.79 15.79 10.53 5.26 15.79 31.58 0.00 5 10 15 20 25 30 35 10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 90-100 100 Jarak antara tetua 1 dengan tetua 2 Per sentase bany aknya seedl ing Gambar 6.5. Analisis tetua parentage analysis via benih untuk populasi Dolok 63 Pembahasan Analisis tetua pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tetua sebagai sumber serbuk sari untuk analisis gene flow via serbuk sari dan pasangan tetua untuk migrasi via benih, sehingga proses transportasi informasi genetik dapat dipelajari. Persentase progeni yang berhasil dideteksi memperoleh sumber serbuk sari dari kandidat tetua menurun dengan meningkatnya jumlah tanaman per hektar di lapangan kerapatan populasi. Hasil penelitian menunjukkan transportasi informasi genetik melalui serbuk sari terjadi secara acak dari segala arah, hal ini menunjukan transportasi serbuk sari dibantu oleh vektor serangga zoophily. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Finkeldey 2005 menyatakan bahwa bunga jati banyak didatangi oleh serangga, keculi kumbang dan kemungkinan lalat adalah penyerbuk utamanya. Hasil penelitian terhadap sistem perkawinan menunjukan bahwa jata merupakan tanaman yang menyerbuk silang dengan persentase di atas 95 Bab 7 Kebanyakan serbuk sari diangkut ke pohon tetangga saja mencapai 30 yaitu pada jarak 0-20 m, hasil ini sejalan dengan penelitian sistem perkawinan Bab 7 yang menyatakan terjadinya biparental inbreeding yang disebabkan perkawinan dari tetangga terdekat. Sedangkan hasil penelitian Finkeldey menggunakan lokus gen isoenzim hanya mencapai 20 saja. Hasil penelitian menunjukan pula semakin rapat populasi maka persentase serbuk sari dibawa ke tetangga terdekat semakin besar pula, namun secara rata-rata 34.64 m dan jarak terjauh mencapai di atas 80 m, namun dengan persentase yang relatif kecil. Kecilnya persentase transportasi serbuk sari yang menyebar jauh dibawa oleh polinator sampai ratusan meter namun demikian mungkin viabilitas serbuk sari tersebut sudah hilang. Kosekuensi genetik aliran informasi melalui serbuk sari lebih efisien dibanding via benih, karena via serbuk sari dapat mencapai jarak yang jauh. Karena tidak efisiennya transportasi via benih maka biasanya akan terbentuk struktur famili yaitu antar pohon tetangga akan lebih mirip satu sama lain secara 64 genetik. Sedangkan jarak yang jauh dari serbuk sari dapat menghindari terjadinya silang dalam. Proses perpindahan informasi genetik melalui benih lebih cenderung dikatagorikan sebagai suatu migrasi genetik. Proses ini sangat penting dalam proses pembentukan populasi jati sekitarnya. Finkeldey 2005 menyebutkan dilihat dari bentuk dan bobot buah, jati tidak mempunyai penyesuaian khusus untuk menjamin penyebaran benihnya, diduga buah yang masak diangkut oleh angin beberapa meter ketika mulai jatuh, tidak satupun hewan yang diketahui menyebarkan benih jati. Dari hasil penelitian ini Gambar 6.4 dan 6.5 memperlihatkan tanaman juvenil berada cukup jauh dari kedua tetuanya 30-40 m. Jauhnya jarak tanaman juvenil dari kandidat tetuanya diduga oleh angin dimana biji akan jatuh dan terbawa angin beberapa meter dari pohon induknya, kemudian tumbuh menjadi tanaman juvenil atau terbawa aliran air hujan sehingga jaraknya semakin jauh dari pohon induknya sehingga tanaman juvenil yang tumbuh akan berada jauh dari kandidat parentnya sampai puluhan meter Gambar.6.4. Informasi jarak kedua kandidat parent pada studi seed dispersal sebenarnya menunjukan jarak pergerakan informasi genetik melalui serbuk sari, dengan demikian jarak pergerakan serbuk sari baik pada studi pollen dispersal atau seed dispersal memberi hasil yang relatif sama, yaitu 0 – 60 m. Kesimpulan dan Saran Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: • Serbuk sari menyebar ke segala arah yang mengindikasikan bahwa penyerbukan dibantu oleh vektor serangga. Penyerbukan dapat terjadi sampai sejauh 80 m, namun penyerbukan sebagian besar terjadi dengan rata-rata 34.47 m. • Tanaman juvenil penyebaran via benih diidetifikasi jauh dari kedua kandidat tetuanya 30-40 m dan terjauh mencapai 68.73 m. 65 Daftar Pustaka Dawson I.K, Waugh R, Simons A.J, Powell W. 1997. Simple sequence repeats provide a direct estimate of pollen-mediated gene dispersal in the tropical tree Gliricidia sepium. Molecular Ecology 6:179-183 Finkeldey, R. 2005. Pengantar genetika hutan tropis. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Gaiotto FA, Grattapaglia D, Vencovsky R. 2003. Genetic Structure, Mating System, and Long-Distance Gene Flow in Heart of Palm Euterpe edulis Mart.. Journal of Heredity 945:399–406 Hamrick JL, Nason JD. 2000. Gene flow in forest tree. Di dalam: Young A, Boshier D, Boyle T, editor. Forest Conservation Genetics, Principles and Practice. CSIRO Publishing and CABI Publishing. Australia. Jones FA, Chen J, Weng GJ, Hubbell SP. 2005. A Genetic Evaluation of Seed Dispersal in the Neotropical Tree Jacaranda copaia Bignoniaceae. The American Naturalist 1665:000-000 Marshall TC. 2001. Cervus Ver. 2.0. University of Edinburgh, UK. Siregar IZ, Hattemer HH. 2000. Gene flow and mating system in a seedling seed orchard and natural stand of Pinus merkusii Jungh. et de Vriese in Indonesia. Part 3: Genetic resources, reproduction, management Zucchi MI et al. 2003. Genetic structure and gene flow in Eugenia dysenterica DC in the Brazilian Cerrado utilizing SSR markers. Genetics and Molecular Biology, 26, 4, 449-457

7. ANALISIS SITEM PERKAWINAN TANAMAN JATI SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA

MIKROSATELIT 1 Mating system analysis of teak from Southeast Sulawesi by using microsatellite markers Abstract In this work, investigated the mating system of three populations of teak from Southeast Sulawesi which indicated human disturbance level, using genetic data from 10 microsatellite loci. Progeny half-sib was carried out from 13 to 19 potential female parents. The mating system parameters were estimated using the mixed mating model, implemented by the software MLTR. The singlelocus outcrossing rate t s varied among loci and populations, but multilocus outcrossing rates t m were equal to one for Sampolawa and Warangga populations and so it is with biparental inbreeding t m -t s was different from zero for Sampolawa and Warangga populations. Biparental inbreeding occured for Dolok population and parental inbreeding for Sampolawa population. Keywords: Tectona grandis , mating system, microsattelite Abstract Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sistem perkawinan pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara yang mempunyai level kerusakan akibat adanya aktivitas manusia, menggunakan data genetik 10 lokus mikrosatelit. Progeni half-sib diperoleh dari 13 sampai 19 tanaman dari setiap populasi sebagai pohon induk benih potensial female parents. Parameter sistem perkawinan diduga di bawah model perkawinan percampuran, menggunakan software MLTR. Derajat penyerbukan silang lokus tunggal t s bervariasi di antara lokus dan populasi, tetapi derajat penyerbukan silang multilokus t m secara statistik sama dengan satu untuk populasi Sampolawa dan Warangga demikian pula dengan koefisien biparental inbreeding t m -t s sama dengan nol untuk populasi Sampolawa dan Warangga. Terjadi biparental inbreeding pada populasi Dolok dan parental inbreeding f pada Sampolawa. Hal ini menunjukan bahwa walaupun derajat penyerbukan silang besar namun pada lokasi Dolok dan Sampolawa terjadi proses silang dalam. Kata kunci: Tectona grandis , sistem perkawinan, mikrosatelit 1 Bagian disertasi ini telah dipublikasikan di Jurnal Ilmiah Kehutanan RIMBA Kalimantan edisi pertama volume 11 bulan Juli 2007 dengan judul yang sama 67 Pendahuluan Sistem perkawinan mating system pada suatu tanaman merupakan faktor yang sangat berperan penting dalam menentukan variasi serta distribusi genetik di dalam dan antar populasi suatu spesies tanaman Hamrick et al., 1979; Boshier, 2000. Sistem perkawinan dipengaruhi oleh 1 ukuran dan kerapatan populasi, 2 tingkah laku polinator, 3 pola fenologi bunga dan waktu pembungaan, 4 struktur genetik dari populasi, dan 4 adanya sistem self-incompatibility pada tanaman Ribeiro dan Lovato, 2004. Struktur genotipe dari satu populasi terutama ditentukan oleh sistem perkawinan, dengan demikian analisis untuk menduga parameter-parameter sistem perkawinan dari suatu analisis struktur genotipe perlu dilakukan seperti pendugaan derajat penyerbukan sendiri selfing rate dan lawannya derajat penyerbukan silang outcrossing rate serta besarnya silang dalam inbreeding. Parameter-parameter tersebut sangat penting untuk diketahui terutama dalam menyusun program pemuliaan serta konservasi yang akan dilakukan. Struktur genotipik keturunan yang berasal dari penyerbukan sendiri hanya mempunyai alel-alel dari pohon induknya, pada seluruh lokus gen, meskipun genotipe sebuah keturunan berbeda dari pohon induknya, dalam hal ini pohon induknya heterozigot. Keturunan hasil penyerbukan silang membawa alel-alel yang ada pada populasi. Jati memiliki bunga hermaprodit dimana penyerbukannya dibantu oleh serangga. Jati merupakan jenis yang melakukan penyerbukan silang dengan tingkat self incompatibility yang tinggi 96-100, juga indikasi adanya self inviability seperti yang terjadi pada jenis lain dari famili Verbenaceae, yaitu Gmelina arborea yang diduga karena tingginya tingkat selfing Bolstad dan Bawa, 1982. Konsekuensi genetik yang terjadi adalah terbentuknya buah inbred yang memiliki daya kecambah rendah. Pada pohon yang melakukan penyerbukan silang, buah inbreed juga terbentuk karena aktivitas polinator yang hanya berkeliaran pada satu pohon saja Hedegart, 1973.