ANALISIS SITEM PERKAWINAN TANAMAN JATI SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA

67 Pendahuluan Sistem perkawinan mating system pada suatu tanaman merupakan faktor yang sangat berperan penting dalam menentukan variasi serta distribusi genetik di dalam dan antar populasi suatu spesies tanaman Hamrick et al., 1979; Boshier, 2000. Sistem perkawinan dipengaruhi oleh 1 ukuran dan kerapatan populasi, 2 tingkah laku polinator, 3 pola fenologi bunga dan waktu pembungaan, 4 struktur genetik dari populasi, dan 4 adanya sistem self-incompatibility pada tanaman Ribeiro dan Lovato, 2004. Struktur genotipe dari satu populasi terutama ditentukan oleh sistem perkawinan, dengan demikian analisis untuk menduga parameter-parameter sistem perkawinan dari suatu analisis struktur genotipe perlu dilakukan seperti pendugaan derajat penyerbukan sendiri selfing rate dan lawannya derajat penyerbukan silang outcrossing rate serta besarnya silang dalam inbreeding. Parameter-parameter tersebut sangat penting untuk diketahui terutama dalam menyusun program pemuliaan serta konservasi yang akan dilakukan. Struktur genotipik keturunan yang berasal dari penyerbukan sendiri hanya mempunyai alel-alel dari pohon induknya, pada seluruh lokus gen, meskipun genotipe sebuah keturunan berbeda dari pohon induknya, dalam hal ini pohon induknya heterozigot. Keturunan hasil penyerbukan silang membawa alel-alel yang ada pada populasi. Jati memiliki bunga hermaprodit dimana penyerbukannya dibantu oleh serangga. Jati merupakan jenis yang melakukan penyerbukan silang dengan tingkat self incompatibility yang tinggi 96-100, juga indikasi adanya self inviability seperti yang terjadi pada jenis lain dari famili Verbenaceae, yaitu Gmelina arborea yang diduga karena tingginya tingkat selfing Bolstad dan Bawa, 1982. Konsekuensi genetik yang terjadi adalah terbentuknya buah inbred yang memiliki daya kecambah rendah. Pada pohon yang melakukan penyerbukan silang, buah inbreed juga terbentuk karena aktivitas polinator yang hanya berkeliaran pada satu pohon saja Hedegart, 1973. 68 Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari sistem perkawinan pada populasi tanaman jati dengan berbagai level kerusakan populasi akibat aktivitas manusia menggunakan data genetik dari 10 lokus mikrosatelit. Bahan dan Metode Material Tanaman dan Isolasi DNA Material tanaman diperoleh dari tiga populasi jati yang memiliki level kerusakan akibat adanya aktivitas manusia. yaitu dua populasi dari Kabupaten Muna Dolok dan Warangga dan satu populasi dari Kabupaten Buton Sampolawa. Untuk masing-masing lokasi dipanen buah jati secara terpisah progeni famili half-sib yang berasal dari 13-19 potensial induk benih potential female parent yang kemudian dikecambahkan Lampiran 7 untuk diisolasi DNAnya. Tabel 7.1. Progeni famili half-sib jati dari 13-19 pohon induk benih yang dikoleksi pada tiga lokasi yang memiliki level kerusakan akibat aktivitas manusia dianalisis menggunakan 10 penanda mikrosatelit Asal Populasi Kode Jumlah Tanaman pohon induk benih MT 17 Dolok, Muna total progeni FT 62 poohon induk benih MW 13 Warangga, Muna total progeni FW 132 poohon induk benih MS 19 Sampolawa, Buton total progeni FS 119 Total 49 famili 362 tanaman DNA total diisolasi menggunakan prosedur CTAB yang telah dikembangkan dari project ICA4-2000-20053, diisolasi dari daun kecambah serta daun muda dari 13-19 pohon induk benih yang dikoleksi Tabel 7.1. Analisis Penanda Mikrosatelit Reaksi amplifikasi dengan mesin PCR menggunakan 15-30 ng genom DNA dalam 25 µl volume yang menggandung 50 mM KCl, 20 mM Tris-HCl pH 8.8; 1.5 mM MgCl 2 ; 10 mM dNTPs; 0.2 µl primer forward dan reverse dan 1 U dari Tag polymerase. 69 Protokol dari PCR terdiri atas suatu periode denaturasi awal pada 96 o C selama 5 menit, diikuti oleh 30 siklus yang pada 94 o C untuk 40 detik, 52 o C selama 1 menit, 72 o C selama 1 menit, dan step selanjutnya untuk ekstension akhir pada 72 o C selama 7 menit. Fragmen hasil amplifikasi kemudian dipisahkan dalam 6 gel akrilamide yang di running dengan 1X TBE pada 2200 volt selama 2 jam dan distaining dengan silver nitrat. Analisis Data Parameter sistem perkawinan diduga dari adanya variasi genetik dari turunannya progeny arrays dari suatu tetua baik itu genotipe maternalnya diketahui atau tidak diketahui dapat digunakan untuk menghitung proporsi silang dalam inbreeding dan penyerbukan silang outcrossing. Ritland, 1996, Ritland, 2002; Ritland and Jain, 1981. Derajat penyerbukan silang lokus tunggal dihitung dari persen penyerbukan silang lokus ke-i pada tetua ke-j adalah proporsi banyaknya progeni yang memiliki salah satu alelnya berbeda dengan maternalnya pada lokus tersebut n ij terhadap banyaknya progeni yang diuji pada tetua tersebut N ij . Sedangkan derajat penyerbukan silang untuk lokus tunggal t s adalah rata-rata dari persen penyerbukan silangnya, dihitung dengan formula sebagai berikut: s 100 outcrossing t = banyaknya keseluruhan tetua yang diuji ij ij n N N = ∑ sedangkan derajat penyerbukan silang multilokus dihitung dari persen penyerbukan silang untuk multilokus pada tetua ke-j adalah proporsi banyaknya progeni dengan salah satu alelnya berbeda dari maternalnya untuk keseluruhan lokus n .j terhadap banyaknya progeni yang diuji pada tetua tersebut N .j . Sedangkan derajat penyerbukan silang untuk multilokus t m adalah rata-rata dari persen penyerbukan silangnya, dihitung dengan formula sebagai berikut: . . m 100 outcrossing t = banyaknya keseluruhan tetua yang diuji j j n N N = ∑ Dari kedua pendugaan parameter sistem perkawinan di atas maka dapat dihitung nilai biparental inbreeding perkawinan atar kerabat, yang disebabkan 70 meningkatnya homozigositas yaitu selisih antara derajat penyerbukan silang multilokus ganda dengan derajat penyerbukan silang lokus tunggal, sebagai berikut: Biparental inbreeding = m s t t − sedangkan koefiesien silang dalam diperoleh menggunakan transformasi, sebagai berikut: f = 1-t 1+t Pendugaan parameter sistem perkawinan seperti derajat penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang serta depresi silang dalam inbreeding depression dalam penelitian ini dilakukan menggunakan model perkawinan campuran mixed mating Brown dan Allard, 1970 dengan prosedur multilocus maximum- likelihood technique menggunakan program komputer MLTR Multilokus Mating System Program dari Ritland dan Jain 1981. Standard error untuk parameter dihitung dari 500 bootsraps dengan resampling pengambilan ulang di antara famili-famili. Sedangkan untuk membandingkan parameter di antara populasi dilakukan menggunakan uji-t students untuk menentukan apakah nilai-nilai signifikan lebih kecil dari satu t m dan t s atau lebih besar dari nol f, t m -t s , dan r p . Asumsi yang digunakan dalam penerapan model tersebut adalah bahwa setiap benih yang dihasilkan dapat dihasilkan dari peristiwa penyerbukan sendiri dengan peluang sebesar s atau penyerbukan silang dimana serbuk sari terpilih secara acak berasal dari seluruh populasi dengan peluang sebesar t=1-s. Hasil Hasil analisis sistem perkawinan populasi jati asal Sulawesi Tenggara menggunakan 10 lokus mikrosatelit AG04, AG16, AGT10, AC44, AC01, AG14, ATC02 , AC28, AAG10, dan CPIMS menghasilkan total 43 alel dengan rata-rata banyaknya alel per lokus 4.3 dengan kisaran alel mulai dari dua AGT10 pada populasi Sampolawa sampai enam alel AG16 informasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.2. 71 Gambar 7.1. Contoh profil pola pita lokus AC28 pada tanaman jati Gambar 7.1 memperlihatkan salah satu contoh genotiping lokus mikrosatelit yaitu AC28, dimana lokus tersebut teridentifikasi tiga alel, dengan demikian contoh genotipe individu homozigot yaitu yang memiliki alel yang sama seperti individu pada line 31-36 dengan genotipe 33, dan untuk yang heterozigot akan memiliki pasangan alel yang berbeda misal pada line 22-24 dengan genotipe 23 demikian seterusnya. Sedangkan line 37 adalah Ladder. Semua progeni memiliki paling sedikit satu alel yang berasal dari tetua betina mengikuti pola pewarisan Mendelian. Derajat penyerbukan silang lokus tunggal t s bervariasi di antara lokus dan populasi Tabel 7.2. Pada populasi Sampolawa, lokus AG16 dan ATC02 memperlihatkan nilai t s yang kecil tetapi koefisien parental inbreeding f positif hanya pada lokus AGT10 dan sama dengan nol untuk lokus AC44, AC01, AG14, dan AC28. Nilai positif mengindikasikan homozigot lebih banyak ketimbang struktur populasi Hardy-Weinberg, proses inbreeding diindikasikan bila f bernilai positif. Hasil pengujian untuk progeni pada populasi Dolok memperlihatkan nilai t s yang kecil untuk lokus AG04 dan f sama dengan nol untuk semua lokus kecuali lokus AC44, AC28, AAG10, dan CPIMS. Untuk populasi Warangga mempunyai nilai t s yang relatif besar untuk semua lokus dan f positif hanya untuk lokus CPIMS dan sama dengan nol hanya untuk lokus AG16, AGT10, AG14, dan CPIMS . 72 Tabel 7.2. Derajat penyerbukan silang berdasarkan lokus tunggal t s dan nilai frekuensi serbuk sari pollen dan ovule dari alel yang sering muncul untuk tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara, Pop = populasi; A = banyaknya alel; f = koefisien parental inbreeding; SE = Standart Error ; S = Sampolawa; T = Dolok; W = Warangga Pop Lokus A Pollen Ovule t s ± SE f ± SE S AG04 3 0.927 0.868 1.200 ± 0.087 -0.200 ± 0.020 AG16 6 0.593 0.579 0.672 ± 0.093 -0.200 ± 0.024 AGT10 2 0.650 0.632 1.200 ± 0.093 0.548 ± 0.213 AC44 5 0.497 0.474 1.200 ± 0.005 -0.019 ± 0.149 AC01 5 0.507 0.842 0.888 ± 0.137 0.275 ± 0.330 AG14 5 0.521 0.447 0.934 ± 0.160 -0.084 ± 0.100 ATC02 4 0.523 0.658 0.695 ± 0.235 -0.200 ± 0.000 AC28 3 0.787 0.684 1.085 ± 0.146 -0.127 ± 0.153 AAG10 5 0.681 0.816 1.185 ± 0.076 -0.200 ± 0.000 CPIMS 3 0.723 0.579 1.200 ± 0.077 -0.200 ± 0.034 T AG04 3 0.634 0.853 0.575 ± 0.241 0.297 ± 0.360 AG16 6 0.344 0.324 0.706 ± 0.119 0.033 ± 0.135 AGT10 3 0.405 0.529 1.001 ± 0.214 0.317 ± 0.234 AC44 5 0.352 0.647 1.029 ± 0.133 -0.200 ± 0.000 AC01 5 0.570 0.500 1.121 ± 0.091 0.342 ± 0.175 AG14 5 0.398 0.500 0.973 ± 0.125 0.042 ± 0.164 ATC02 4 0.395 0.382 1.080 ± 0.126 -0.143 ± 0.140 AC28 3 0.438 0.441 0.905 ± 0.318 -0.200 ± 0.044 AAG10 5 0.490 0.618 1.200 ± 0.171 0.501 ± 0.185 CPIMS 3 0.991 0.706 1.200 ± 0.564 -0.200 ± 0.000 W AG04 4 0.565 0.462 1.008 ± 0.108 -0.200 ± 0.000 AG16 6 0.463 0.385 0.886 ± 0.184 -0.020 ± 0.116 AGT10 3 0.830 0.654 0.961 ± 0.123 -0.190 ± 0.136 AC44 5 0.335 0.615 0.881 ± 0.154 -0.200 ± 0.003 AC01 4 0.392 0.385 1.109 ± 0.116 -0.200 ± 0.097 AG14 5 0.344 0.385 1.129 ± 0.084 0.140 ± 0.203 ATC02 4 0.307 0.385 1.187 ± 0.115 -0.142 ± 0.063 AC28 3 0.498 0.577 1.178 ± 0.152 -0.200 ± 0.003 AAG10 6 0.439 0.385 1.166 ± 0.089 -0.197 ± 0.069 CPIMS 3 0.498 0.577 1.200 ± 0.047 0.463 ± 0.250 73 Hasil analisis terhadap parameter sistem perkawinan terhadap populasi jati menunjukan bahwa derajat penyerbukan silang multilokus t m mempunyai nilai antara 0.985 sampai 1.200 dan nilai t s lebih besar dari t m untuk populasi Sampolawa dan Warangga sehingga nilai biparental inbreeding t m -t s kecil atau sama dengan nol untuk populasi ini. Sebaliknya untuk populasi Dolok mempunyai nilai t m lebih besar dari pada t s , sehingga biparental inbreeding bernilai positif dan tidak sama dengan nol. Nilai t m dan t s sama dengan 1 untuk semua populasi kecuali t m untuk Dolok. Sedangkan parameter koefisien parental inbreeding f berbeda secara signifikan dari nol hanya untuk populasi Sampolawa Tabel 7.3. Tabel 7.3. Parameter sistem perkawinan dari tiga populasi jati Sulawesi Tenggara. Parameter yang diuji meliputi derajat outcrossing multilokus t m , derajat outcrossing rata-rata lokus tunggal t s , biparental inbreeding t m -t s , koefisien parental inbreeding f, korelasi t dugaan r t , korelasi p dugaan r p , kerapatan tanaman per hektar N r Parameter Sampolawa, S Dolok, T Warangga, W t m ± SE 0.989 ± 0.070 1.200 ± 0.002 0.985 ± 0.081 t s ± SE 1.018 ± 0.044 0.978 ± 0.023 1.026 ± 0.038 t m -t s ± SE -0.028 ± 0.053 0.222 ± 0.023 -0.041 ± 0.075 f ± SE -0.200 ± 0.068 0.081 ± 0.066 -0.064 ± 0.050 r t ± SE 0.999 ± 0.486 -0.200 ± 0.000 0.999 ± 0.579 r p ± SE 0.247 ± 0.065 0.179 ± 0.071 0.184 ± 0.044 N r 200 143 120 Tabel 3 juga memperlihatkan nilai r t korelasi derajat penyerbukan silang di dalam pengujian progeni mempunyai nilai kecil pada populasi dolok dan r p korelasi outcrossed paternity dalam pengujian progeni mempunyai nilai kecil untuk semua populasi. Pembahasan Hasil pendugaan derajat penyerbukan silang yang dihitung dengan prosedur multilocus maximum-likelihood technique Ritland dan Jain, 1981 yaitu sebesar 0.985-1.200, nilai yang diperoleh ini sejalan dengan hasil penelitian pada jati menggunakan gen isozim yang dilakukan oleh Kertadikara dan Prat, 1995 74 serta Finkeldey 2005 yaitu antara 0.829 – 0.983. Dengan demikian jati termasuk tanaman yang menyerbuk silang, sehingga transfer serbuk sari pada jati memerlukan agen penyerbuk vektor yang menurut Hedegrat 1973 dibantu oleh serangga berupa lebah dan kupu-kupu. Nilai derajat penyerbukan silang yang diperoleh sangat besar menunjukkan bahwa pada jati kejadian menyerbuk silang sangat tinggi. Diharapkan dengan sistem perkawinan penyerbukan silang akan berperan penting untuk menjaga keragaman genetik yang akan terpelihara karena adanya rekombinasi gen antara penggabungan dari dua gamet yang berasal dari tetua yang berbeda, namun demikian pada populasi Dolok terjadi biparental inbreeding yaitu inbreeding yang disebabkan oleh perkawinan antara kerabat dekat, hal ini mengindikasikan bahwa polinator yang berperan membantu dalam penyerbukan mempunyai jelajah yang terbatas, demikian pula pada Sampolawa parental inbreeding disebabkan karena daerah jelajah polinator yang terbatas, kejadian inbreeding ini secara nyata meningkatkan derajat selfing dalam populasi. Dengan demikian usaha konservasi pada lokasi yang luas terutama di Dolok dan Sampolawa sangat diperlukan agar terjadi kejadian penyerbukan silang di antara individu yang bukan berkerabat untuk menjaga keragaman genetik tanaman tetap tinggi. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan analisis aliran informasi genetik yang menyatakan bahwa penyebaran serbuk sari terjadi secara acak ke segala arah menunjukan bahwa jati cenderung menyerbuk silang dan dibantu oleh serangga. Sedangkan penyerbukan sendiri hanya terjadi sekitar 1-2, rendahnya proses penyerbukan sendiri mungkin disebabkan adanya mekanisme self-incompatibilitas genetik pada jati, yaitu ketidakmampuan suatu tanaman berbiji hermaprodit fertil untuk menghasilkan zigot setelah penyerbukan sendiri seperti yang dilaporkan oleh Hedegart 1976. Mekanisme self incompatibilitas merupakan faktor penting karena akan memelihara keragaman genetik yang tinggi karena proses inbreeding tidak akan terjadi kecil akibat sistem perkawinan didominasi oleh penyerbukan silang yang terjadi secara acak. Hasil uji t-student pada selang kepercayaan 95 menunjukan bahwa nilai t m pada populasi Dolok berbeda dengan kedua populasi lainnya, sedangkan untuk t s menunjukan ketiga populasi mempunyai nilai t s yang sama. L iengsiri et al 75 1998 memperlihatkan bahwa perbedaan derajat penyerbukan silang yang tampak di antara 11 populasi dari Pterocarpus macrocarpus mempunyai derajat gangguan habitat, densitas dan distribusi dari pembungaan pohon. Dalam penelitian ini derajat gangguan akibat aktifitas manusia dan kerapatan populasi cenderung mempengaruhi sistem perkawinan. Populasi dengan level gangguan yang lebih besar dan memiliki kerapatan individu yang tinggi cenderung akan terjadi proses silang dalam. Nilai-nilai r p yang rendah menunjukkan tidak ada korelasi yang berkaitan dengan asal usul tetua sumber serbuk sari, atau dapat dikatakan dalam alur famili tidak terjadi full-sib, analisis menunjukkan kearah half-sib, hal ini diperkuat bahwa serbuk sari yang dibawa oleh polinator sangat berlimpah dan penyerbukan oleh serbuk sari terjadi dalam segala arah lihat Bab 6. Kesimpulan dan Saran Dari penelitian tentang sistem perkawinan tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: • Semua lokus mikrosatelit bersifat polimorfisme, dengan rata-rata alel per lokus sebesar 4.3 dengan kisaran alel mulai dari dua AGT10 pada populasi Sampolawa sampai enam alel AG16. • Tanaman jati adalah tanaman menyerbuk silang dengan derajat penyerbukan yang tinggi dengan nilai t m dan t s berkisar dari 0.978 sampai 1.200. • Koefisien biparental inbreeding t m -t s terjadi pada populasi Dolok, sedangkan koefisien parental inbreeding f terjadi pada populasi Sampolawa. • Nilai r t korelasi derajat outcrossing dalam pengujian progeni mempunyai nilai kecil pada populasi dolok dan r p korelasi outcrossed paternity dalam pengujian progeni mempunyai nilai kecil untuk semua populasi. • Penelitian sistem perkawinan selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sehingga hasilnya selalu bersifat dinamis, dengan demikian perlu dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sistem perkawinan jati lainnya pada lokasi dan waktu yang berbeda. 76 Daftar Pustaka Boshier DH. 2000. Mating system. Di dalam: Young A, Boshier D, Boyle T, editor. Forest Conservation Genetics, Principles and Practice. CSIRO Publishing and CABI Publishing. Australia. Brown, A.H.D and R.W. Allard. 1970. Estimation of mating systems in open- pollinated maize populations using isozyme polimorphisms. Genetics 66: 133-145 Finkeldey R. 2005. Pengantar genetika hutan tropis. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Hamrick JL, Linhart YB, Mitton JB. 1979. Relationship between life history characteristic and electrophoretically detectable genetic variation in plant. Annu Rev Ecol Syst 10:173-200 Hedegart. 1973. Pollination of teak Tectona grandis Linn. F.. Silvae Genetica 224: 124-128 Hedegart. 1976. Breeding system, variation and genetic improvement of teak Tectona grandis L.f. p 109-123. Di dalam: Burley J, Styles BT, editor. Tropical Trees. Academic Press London. Kertadikara AWS, Prat D. 1995. Genetic structure and mating system in teak Tectona grandis provenances. Silvae Genetica 44, 2-3: 104-110. Liengsiri C, Boyle TJB, Yeh FC. 1998. Mating system in Pterocarpus macrocarpus Kurz in Thailand. J Hered 89:216-221 Ribeiro RA, Lovato MB. 2004. Mating system in a neotropical tree species, Senna multijuga Fabaceae. Genetics and Molecular Biology, 27, 3, 418- 424 Ritland K. 1996. Multilocus mating system program MLTR. fttp:128. 100.165.100. Ritland K. 2002. Extensions of models for the estimation of mating systems using n independent loci. Heredity 88: 221-228. Ritland K, Jain. S. 1981. A model for the estimation of outcrossing rate and gene frequencies using independent loci. Heredity 471: 35-52.

8. PEMBAHASAN UMUM

Marka mikrosatelit merupakan marka genetik yang dapat digunakan dalam mempelajari keragaman genetik seperti yang telah dilaporkan oleh Qian et al., 2001 pada tanaman padi juga pada apel dan pear Yamamoto, 2001; mempelajari kemiripan genetik seperti pada kultivar gandum Bohn, 1999; mempelajari struktur genetik seperti pada kakao dan padi Goran, 2000 dan Gao, 2002; mempelajari sistem perkawinan seperti pada Caryocar brasiliense Collevati, 2001; dan gene flow seperti pada Gliricidia sepium Dawson, 1997 dan Caryocar brasiliense Collevati, 2001. Dalam mempelajari struktur genetik serta aspek genetik lainnya pada tanaman jati marka mikrosatelit merupakan marka yang sangat informatif dan mempunyai resolusi yang tinggi melengkapi marka genetik lainnya seperti isoenzim yang sudah sering digunakan misal pada tanaman jati, namun demikian penggunaan marka mikrosatelit membutuhkan biaya yang mahal dan membutuhkan waktu untuk pengembangan primer yang spesifik. Hasil resolusi yang tinggi yang ditunjukan oleh marka mikrosatelit sangat menakjubkan, karena setiap individu dalam famili half-sib memiliki paling sedikit satu alel yang berasal dari pohon induk benih, dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas mana progeni yang melakukan penyerbukan sendiri dan mana yang melakukan penyerbukan silang. Keunggulan lainnya penggunaan marka mikrosatelit adalah memiliki tingkat polimofisme yang tinggi 76 dan mempunyai banyak alel seperti pada lokus AG16 dan AAG10 memiliki enam alel dengan rata-rata jumlah alel 4.6. Sedangkan jumlah alel pada marka isoenzim memiliki jumlah alel yang terbatas seperti yang telah dilakukan pada tanaman jati hanya mempunyai dua alel Dewi, 2003 dan rata-rata jumlah alel per lokus 1.8 Kertadikara dan Prat, 1995. Bayangan genetik dari tanaman yang diambil secara acak dari pengunduhan beberapa tanaman masih memperlihatkan keragaman genetik yang masih cukup tinggi antar individu dan antar populasi bila dibandingkan dengan tanaman dewasa populasi asalnya. Dengan demikian pengunduhan yang berasal dari bulk 13-19 famili akan memberikan informasi keragaman genetik yang kurang lebih sama dengan populasi tanaman dewasa awalnya. Namun yang menjadi pertimbangan saat ini setelah penebangan hutan secara besar-besaran 78 menyebabkan sumber serbuk sari tidak melimpah lagi, sehingga benih yang diperoleh dari pengunduhan hanya dari beberapa pohon mungkin akan menyebabkan terjadinya peristiwa inbreeding dan penghanyutan genetik. Startegi yang dapat dilakukan adalah dengan bulk dari pengunduhan hasil banyak tanaman dan dari banyak lokasi sehingga dapat menjaga pembangunan keragaman genetik populasi tanaman hutan selanjutnya. Masih tingginya keragaman genetik dari tanaman semai yang diunduh kemungkinan disebabkan melimpahnya sumber serbuk sari serta besarnya aliran informasi genetik via serbuk sari dan serta tingginya derajat peyerbukan silang pada jati yaitu di atas 95. Keragaman genetik yang ditunjukan oleh nilai heterosigositas aktual dan harapan H a dan H e memperlihatkan bahwa nilai rata-rata heteozigositas aktual H a selalu lebih kecil dari nilai heterozigositas harapan H e pada kondisi kesetimbangan Hardy-Weinberg, hal ini berarti pada setiap populasi cenderung terjadi defisit heterozigositas, hasil ini juga diperkuat dari nilai indek fiksasi yang diperoleh terutama pada populasi dari kabupaten Muna yang bernilai positif sehingga stuktur genotipe akan mengarah pada peningkatan homozigositas. Sedangkan pada populasi dari Kabupaten Buton Sampolawa cenderung terjadi kelimpahan heterozigositas. Defisit heterozigositas dalam suatu populasi dapat terjadi karena adanya hambatan aliran gen dalam keseluruhan populasi dan meningkatnya hubungan kekerabatan antar individu pohon yang bertetangga Gregorius dan Namkoong, 1983 dalam Kertadikara dan Prat, 1995. Dari nilai indek fiksasi antar tanaman dalam populasi, nilai rata-rata F IS untuk populasi Dolok dan Warangga bernilai positif hal ini berarti terjadi defisit heterozigositas, nilai negatif ditemukan pada lokus CPIMS, AGT10, dan AC44 hal ini berarti pada lokus tersebut ditemukan kelimpahan heterozigot. Nilai F IS yang positif disebabkan terjadinya silang dalam yang meningkat, terdapat seleksi yang memihak homozigot serta efek wahlund dengan adanya migrasi Lowe, 2004. Namun dalam penelitian ini F IS positif mungkin lebih disebabkan meningkatnya silang dalam yang ditunjukkan adanya biparental inbreeding dan parental inbreeding dalam analisis sistem perkawinan. Sedangkan hasil diferensiasi genetik F ST 11 memberikan hasil yang lebih kecil dari hasil perhitungan AMOVA 14 diferensiasi antar group Muna dengan Buton yang dipisahkan