TINJAUAN PUSTAKA Keragaman dan Struktur Genetik Populasi Jati Sulawesi Tenggara Berdasarkan Marka Mikrosatelit

5 Departement Kehutanan Republik Indonesia, 1992. Indonesia memiliki luas areal pertanaman jati yang relatif tinggi. Sampai tahun 1975, tercatat ada sekitar 774.000 hektar tanaman jati yang sebagian besar berada di Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB, Maluku, dan Lampung Sumarna, 2001. Spesies jati di Indonesia diyakini merupakan introduksi dari India pada abad ke 14 Kaosa-ard, 1986. Walaupun demikian jati yang ada di Jawa ternyata memiliki variasi genetik yang berbeda dengan jati di India yang dianggap sebagai pusat diversitas jati. Para ahli menyatakan bahwa spesies tersebut telah beradaptasi dengan kondisi edafis dan iklim setempat sehingga membentuk vegetasi yang berbeda. Karakter Vegetatif, Generatif, dan Pembungaan Jati Karakter Vegetatif Jati adalah salah satu jenis pohon berdaun lebar. Pada kondisi tempat tumbuh yang sesuai, tinggi total dapat mencapai 30 - 40 m pada umur masak tebang 70 - 80 tahun, sedangkan pada kondisi yang kurang baik pertumbuhannya agak terhambat. Di daerah subur dengan kondisi lingkungan yang mendukung, tinggi bebas cabang dapat mencapai 15 - 20 m atau lebih dan diameter dapat mencapai 150 cm atau lebih Departemen Kegutanan Republik Indonesia, 1992; Keiding, 1985. Daun jati berukuran relatif besar, panjangnya berkisar antara 25 - 50 cm dan lebarnya 15 - 35 cm, berbentuk bulat telur dengan permukaan luar kasar. Warna daun hijau sampai hijau tua dan kedudukan pada satu tangkai saling bersilangan Keiding, 1985. Bentuk tajuk tak beraturan, menyerupai kubah, agak lebar dan termasuk jenis menggugurkan daun Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 1992. Batang umumnya bulat dan lurus, batang yang besar pada umumnya berbanir dan berlekuk-lekuk; warna kulit agak kelabu muda, agak tipis dan beralur memanjang agak dalam Departemen Kehutanan Repubublik Indonesia, 1992. Bagian vegetatif lain dari pohon jati yang perlu diketahui adalah sistem perakarannya. Pada umumnya salah satu ciri dari perakaran jati adalah tidak tahan terhadap kekurangan zat asam. Menurut Soekotjo 1977, jati termasuk 6 tanaman yang tahan terhadap kekurangan air untuk selang waktu 0 - 10 hari dan jika lebih dari itu tanaman akan tumbuh merana dan mati. Karakter Generatif Bunga jati berukuran kecil diameter 6 – 8 mm, berwarna keputihan dengan tangkai yang pendek dan termasuk jenis biseksual atau hermaprodit, yaitu dalam satu bunga terdapat putik dan benang sari. Jati juga disebut tanaman berumah satu monoecious, karena bunga jantan dan bunga betina ada pada pohon yang sama Samingan, 1991. Tipe bunga jati adalah bunga majemuk tak terbatas, yaitu dikenal dengan bentuk malai atau tandan majemuk. Ukuran malai biasanya besar, terdiri atas ratusan kuncup bunga yang keluar secara serentak. Kuncup ini akan bermekaran dalam waktu yang cukup singkat yaitu dalam selang 2 - 4 minggu Keiding, 1985. Menurut Kaosa-ard 1995 dan Cordes 1992 bunga jati merupakan bunga sempurna yang terdiri atas bagian kelopak bunga berwarna coklat terang, berbentuk lonceng, dan tidak terpisah pada bagian bawahnya, yang berfungsi untuk melindungi kuncup bunga selama tahap perkembangannya. Mahkota bunga berwarna keputih-putihan, berbentuk tabung sama panjang dengan kelopaknya, yang berfungsi merangsang penyerbukan. Mahkota bunga terdiri atas enam buah petal pada bagian tabung mahkota yang mengandung sedikit nectar pada bagian basal. Di sebelah mahkota ada enam stamen dan masing-masing terdiri atas sebuah filament dan sebuah antera bercaping dua two-lobed berwarna kuning. Pada bagian tengah ada sebuah pistil yang terdiri atas sebuah ovari, sebuah stilus bercabang dua dan berbulu halus. Pada ujung masing-masing stilus terdapat sebuah stigma. Karakter Biologi Pembungaan Pembungaan pada tanaman jati terjadi tidak seragam, tergantung pada tempat tumbuh, iklim, sistem silvikultur serta faktor genetik Keiding, 1985. Pada daerah dengan iklim yang memungkinkan tanaman jati pada saat fase juvenilnya tumbuh cepat, pembungaan terjadi setelah tanaman berumur 2 tahun, contohnya di daerah Afrika Barat, pada hutan dataran tinggi. India dan Thailand 7 tempat tumbuh alaminya, pembungaan terjadi setelah tanaman berumur 6 - 8 tahun, malah kadang-kadang lebih 1ambat lagi Keiding, 1985. Pembungaan mulai terjadi pada bulan Juni sampai dengan Oktober dan berbuah antara bulan Mei sampai dengan Desember tahun berikutnya, terutama Juni sampai September Departement Kehutanan Republik Indonesia, 1992. Penyerbukan secara alami pada bunga jati terutama dengan bantuan serangga, walaupun dengan bantuan angin dapat terjadi Bryndum dan Hedegart, 1969. Di Thailand, Heriodes biparvula dan Ceratina hieroglyphica yang menjadi penyerbuk utama Hedegart, 1976. Meskipun demikian berbagai macam lalat dan kupu-kupu juga terlibat Bryndum dan Hedegart, 1969. Persentase pembuahan pada jati dalam penyerbukan alami umumnya rendah, karena tidak cukupnya serangga penyerbuk Hedegard, 1973 dan proporsi self incompatibility tinggi yaitu dapat mencapai 96 - 100 Hedegart, 1976. Pembuahan terjadi 24 jam setelah penyerbukan, dan zigot mulai berkembang pada 3 - 5 hari setelah penyerbukan. Buah mencapai ukuran penuh sekitar 50 hari setelah terjadi penyerbukan terkendali, tetapi mencapai tingkat kematangan penuh setelah berumur 120 – 200 hari setelah penyerbukan. Tanda buah sudah masak adalah jika pohon ranting digoyangkan maka buah akan jatuh, atau jatuh sendiri ke tanah Hedegart, 1976. Marka Genetik Terdapat tiga jenis marka genetik yang dapat digunakan untuk analisis genom dan analisis populasi seperti mendeteksi keragaman genetik suatu individu di dalam atau antar populasi yaitu marka morfologi, marka biokimia dan marka molekular. Marka morfologi adalah penanda yang dapat diamati secara langsung seperti jumlah anakan, karakteristik batang, daun, bunga, buah, biji, dan lain sebagainya. Keuntungan dari penanda jenis ini adalah pengamatannya mudah, namun demikian penanda ini memiliki kelemahan karena dapat dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman dan lingkungan serta jumlahnya sangat terbatas, sehingga kadangkala tidak dapat dibedakan antar genotipe yang diamati karena secara morfologi kelihatannya sama, tetapi sebenarnya berbeda akibat adanya interaksi intra dan inter gen. Demikian pula dengan marka biokimia jumlahnya 8 sangat terbatas dan mempunyai tingkat polimorfisme yang relatif rendah, serta ekspresinya sedikit dipengaruhi oleh lingkungan. Marka molekuler seringkali juga dikenal sebagai sidik jari DNA karena mengacu pada pita polimorfisme berupa fragmen DNA. Keunggulan utama penanda molekular adalah 1 keakuratan yang tinggi dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan yang mempengaruhi ekspresi gen tersebut, 2 dapat diuji pada semua tingkat perkembangan tanaman, 3 pada pengujian ketahanan hama dan penyakit tidak tergantung pada organisme pengganggu tersebut, dan 4 seleksi pada tingkat genotipe ini dapat mempercepat proses seleksi dan hemat pada pengujian selanjutnya di lapang. Analisis genetik berdasarkan penanda molekular dapat dilakukan dengan hibridisasi fragmen DNA dengan penanda DNA pada teknik non-PCR seperti RFLP Restriction Fragment Length Polymorphism Serret et al., 1997, dengan amplifikasi fragmen DNA dalam mesin PCR Polymerase Chain Reaction seperti RAPD Random Amlified Polymorphic DNA William et al., 1990, AFLP Amplified Fragmen Length Polymorphisms, SSR Simple Sequence Repeat dan lain-lain. DNA Mikrosatelit DNA mikrosatelit merupakan rangkaian pola nukleotida antara dua sampai enam pasang basa yang berulang secara berurutan. DNA mikrosatelit biasa digunakan sebagai penanda genetik untuk menguji kemurnian galur, studi filogenetik, lokus pengendali sifat kuantitatif dan forensik. DNA mikrosatelit diamplifikasi menggunakan teknik PCR dengan beberapa pasang primer mikrosatelit. DNA produk PCR dideteksi menggunakan teknik elektroforesis gel poliakrilamida PAGE yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak. Daerah DNA Mikrosatelit DNA genom terdiri atas DNA ruas khas specific sequence dan DNA ruas berulang repetitive sequence. DNA ruas berulang dalam genom eukariot dapat mencapai 90 DNA total yang ada dalam genom tanaman Weising et al., 1995. Makin besar ukuran genom suatu tanaman, maka cenderung makin besar 9 pula proporsi DNA ruas berulangnya. Dari beberapa hasil penelitian diketahui proporsi DNA ruas berulang dalam genom tanaman jagung mencapai 60 Gupta et al. , 1984, gandum dan kerabat liarnya mencapai 70 Flavel, 1980, kedelai mencapai 60 Walbot dan Goldberg, 1979, dan pada padi mencapai 50 McCouch et al., 1988. DNA ruas berulang dapat berupa DNA yang ruasnya berulang secara moderat atau berselang-seling intersperse, dan DNA yang ruasnya berulang secara berurutan tandem. Perulangan ruas DNA secara tandem diklasifikasikan berdasarkan panjang dan jumlah ruas berulang di dalam genom, dan dapat berupa: 1 DNA satelit yang biasanya jarang ditemukan dalam lokus genom, karena perulangannya sangat tinggi biasanya antara 1000 sampai 100000 kopi dan bentuknya sangat panjang, sering berada pada bagian heterokromatin dengan panjang fragmen berulang antara 2 sampai beberapa ribu pasang basa tetapi umumnya ditentukan antara 100-300 pasang basa, 2 minisatelit yang biasanya banyak terdapat dalam genom, bentuknya lebih pendek 10 - 60 bp dan menunjukkan derajat perulangan yang lebih rendah, 3 fragmen sederhana atau biasa disebut mikrosatelit disebut juga fragmen berulang sederhana atau perulangan tanden sederhana, ruas perulangannya pendek dan derajat perulangannya lebih sedikit, terdistribusi lebih banyak pada lokus genom, dan 4 midisatelit untuk kategori DNA yang tipenya merupakan kombinasi dari satelit perulangan yang panjang pada lokus genom tunggal dan minisatelit fragmen berulang secara tandem kira-kira 40 bp Weising et al., 1995. Pola ulangan DNA mikrosatelit terdiri atas pola di-, tri-, atau tetranukleotide berulang. Pola ini ditemukan dalam semua organisme, baik prokariot maupun eukariot. Ulangan dinukleotide yang paling sering ditemukan pada tanaman adalah AATT dan ATTA, sedangkan pada hewan GTAC Hoelzel, 1998. Keungulan DNA Mikrosatelit Hoelzel 1998 menyebutkan bahwa DNA mikrosatelit merupakan salah satu penciri genetik yang ideal untuk analisa genom karena jumlahnya cukup banyak di dalam genom. DNA mikrosatelit memiliki tingkat ulangan 5-100 tiap lokus dan ditemukan pada sejumlah besar lokus spesifik tertentu dalam genom 10 sehingga polimorfismenya lokus tersebut dapat diketahui berdasarkan jumlah ulangannya yang berbeda. DNA mikrosatelit memiliki jumlah lokus yang banyak 104 - 105 dengan tingkat variabilitas yang tinggi dalam hal jumlah salinan berulangnya Tautz, 1993. Tingkat polimorfismenya tinggi serta mudah untuk dianalisis, misalnya dengan teknik PCR Ellegreen et al., 1993. DNA mikrosatelit lebih sedikit dalam penggunaan enzim dan runutan inti lokus dapat digunakan sebagai probe dibandingkan penciri genetik lainnya sehingga akan mengurangi biaya Winaya, 2000. Alel-alel DNA mikrosatelit berekspresi dalam bentuk kodominan. Sifat tersebut memungkinkan untuk membedakan antara individu-individu homozigot dari heterozigotnya Wright dan Benzen, 1994. Sistem Reproduksi Seksual Tanaman Proses reproduksi seksual pada tanaman merupakan proses penggabungan gamet jantan dan betina yang akan menghasilkan zigot. Pada proses reproduksi seksual ini akan terbentuk berbagai macam kombinasi gen sehingga menghasilkan turunan dengan berbagai genotipe. Dengan demikian reproduksi seksual akan menghasilkan sejumlah besar turunan yang berbeda secara genetik. Fase reproduksi selama perkembangan populasi merupakan hal yang menarik dari sisi genetik karena fase ini menyebabkan terjadinya perubahan yang dinamis dari struktur genetik dalam populasi tanaman Finkeldey, 2005. Aspek dinamik struktur populasi genetik sangat penting dipelajari terutama dalam program breeding dan untuk koservasi tanaman tersebut Yeh, 2000. Sistem reproduksi seksual terdiri atas beberapa sub-sistem yang berbeda yaitu sistem seksual, aliran gen gene flow, dan sistem perkawinan mating system . Sistem Seksual Sistem seksual pada tanaman sangat beragam, yaitu kemampuan tanaman dalam suatu populasi untuk dapat saling berkawin, tergantung dari kemampuan tanaman dalam menghasilkan gamet jantan serbuk sari atau polen atau gamet betina sel telur atau ovul atau keduanya. Secara umum sistem seksual ini dikelompokkan ke dalam tiga tipe utama yaitu i dioecious dimana semua individu-individunya dalam suatu populasi mempunyai bunga jantan dan bunga 11 betina terletak pada tanaman yang berbeda, ii hermaprodit dimana individu- individu dari suatu spesies mempunyai gamet jantan dan betina dalam bunga yang sama, dan iii monoecious dimana individu memiliki bunga jantan dan betina terpisah dalam satu tanaman Boshier, 2000 Tanaman dioecious tidak mungkin kawin sendiri self pollination sehingga derajat inbreeding dalam populasi rendah. Mayoritas spesies tanaman dalam hutan tropikal adalah hermaprodit, sedangkan di hutan temperet spesiesnya monoecious . Pada hutan tropical sistem polinasi bunga hermaprodit dominan terjadi disebabkan oleh bantuan hewan terutama serangga Gailing et al., 2003 Sistem Aliran Informasi Genetik Gene Flow Gene flow adalah perpindahan informasi genetik melalui serbuk sari dan biji. Jadi gene flow bertanggung jawab terhadap distribusi informasi genetik dalam populasi intrapopulasi gene flow dan antar populasi interpopulation gene flow . Efisiensi gene flow melalui serbuk sari dan biji merupakan hal yang sangat penting berkenaan dengan ukuran populasi efektif dalam bereproduksi. Ukuran populasi sangat penting dalam menggambarkan pola penyebaran keragaman genetik dan perbedaan genetik di antara populasi Hamrick, 2000 dan Gailing et al. , 2003. Banyaknya tanaman, jarak serta arah gene flow melalui serbuk sari dalam tegakan menentukan apakah perkawinan yang terjadi antar tanaman yang berbeda outcrossing atau dalam tanaman itu sendiri selfing. Oleh karena itu, gene flow bila dikaitkan dengan tipe perkawinan dan segala aspek-aspeknya merupakan hal yang sangat menarik dalam menganalisis sistem perkawinan mating system. Dalam sistem pembungaan tanaman ada dua tipe transpor serbuk sari yaitu melalui angin anemophily dan hewan zoophily. Namun polinasi pada hutan tropis terutama disebabkan oleh serangga entomophily Hamrick, 2000 dan Gailing et al., 2003. Sistem Perkawinan Mating System Tipe mating system sangat menentukan struktur genetik dalam suatu populasi. Tujuan dari analisis mating system adalah untuk menentukan asal gamet dari induknya dalam suatu populasi. Bentuk struktur genetik individu dalam 12 populasi sangat tergantung pada faktor lingkungan seperti densitas populasi, tata letak tanaman, fenologi, dan vektor polinasi Collevatti, 2001. Pendugaan laju selfing dan outcrossing sangat dipengaruhi oleh kondisi lapang. Untuk menghindari selfing dikembangkan berbagai mekanisme seperti sistem inkompatibilitas, perbedaan waktu pembungaan pada bunga jantan dan betina, terpisahnya bunga jantan dan betina. Selfing merupakan proses inbreeding dalam penurunan heterozigositas. Hal tersebut dapat menyebabkan penurunan viabilitas dalam turunannya berkaitan dengan peningkatan kerusakan alel-alel dalam genotipe-genotipe homosigositas. Khususnya untuk spesies yang langka dengan densitas rendah, selfing dapat mempercepat kepunahan. Jadi ukuran laju selfing dapat digunakan untuk mengembangkan prioritas dan strategi program konservasi Gailing et al., 2003. Proporsi ovul yang terbuahi secara selfing disebut laju selfing s dan frekuensi ovul yang dibuahi secara outcrossing disebut laju outcrossing t. Dimana s + t = 1. Nilai laju outcrossing berkisar dari t = 0 100 selfing sampai t = 1 100 outcrossing. Nilai-nilai yang signifikan kurang dari t=1 mengindikasikan terjadi inbreeding yang disebabkan oleh selfing atau perkawinan antar saudara. Struktur tata letak tanaman, komposisi tanaman dan densitas populasi, serta adanya variasi pembungaan dan mekanisme inkompatibilitas dapat menghasilkan variasi dalam laju outcrossing pada tegakan dan individu tanaman Gailing et al., 2003. Mating system dapat dipelajari bila terdapat tipe alel atau genotip yang unik dalam populasi, dan tujuan ini dapat dicapai dengan tersedianya marka molekular dengan polimorfik yang tinggi seperti mikrosatelit atau paling sedikit terdapat satu alel unik pada tanaman dalam suatu populasi Boshier, 2000. Koefisien inbreeding atau indek fiksasi adalah ukuran deviasi antara pengamatan struktur genotipe dan struktur genotipik sesungguhnya di bawah asumsi random mating, dan asumsi lainnya seperti tidak ada seleksi, mutasi, migrasi, dan lain sebagainya. Koefisien inbreeding untuk setiap single lokus dihitung dari perbedaan struktur genotipik berupa heterozigot yang diamat terhadap heterozigot harapan pada kondisi keseimbangan Hardy-Weinberg, yang diformulasikan sebagai F = 1 – H o H e . Nilai positif mengindikasikan homosigot 13 lebih banyak ketimbang struktur populasi Hardy-Weinberg dan proses inbreeding diindikasikan bila F bernilai positif pada semua lokus yang diamati Gailing et al., 2003.

3. METODE UMUM PENELITIAN

Ruang Lingkup Penelitian Disertasi ini disusun berdasarkan empat topik penelitian yaitu: 1 Analisis kemiripan genetik genetic similarity tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit, 2 Analisis struktur genetik genetic structure populasi jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit, 3 Analisis aliran gen via serbuk sari gene flow dan biji migration pada tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit, dan 4 Analisis sistem perkawinan mating system tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Biologi Molekuler Tanaman PMB, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sampel daun dan benih dari tanaman jati diperoleh terutama dari hutan jati di kabupaten Muna dan Buton, Sulawesi Tenggara. Lama penelitian ini adalah 3 tahun, dimulai Mei 2003. Bahan dan Metode Penelitian Bahan Tanaman Populasi tegakan atau hutan jati yang dipilih adalah yang mempunyai level kerusakan atau gangguan terhadap tegakan jati tersebut akibat adanya aktivitas manusia. Untuk itu telah dipilih tiga lokasi populasi di Sulawesi Tenggara Gambar 3.1 dan Tabel 3.1 dengan berbagai level gangguan yaitu dua populasi dari Kabupaten Muna dan satu populasi dari kabupaten Buton, sebagai berikut: Lokasi Warangga terletak dekat kota Raha, Kabupaten Muna. Lokasi tanaman jati di Warangga ini relatif terjaga dari penebangan liar. Tanaman jati di lokasi ini ditanam sekitar tahun 1938. Lokasi ini sekarang dipertahankan dan mulai dipagari untuk dijadikan kebun bibit. Lokasi Dolok terletak di Tampo, Kabupaten Muna. Tanaman jati di lokasi ini diperkirakan berumur 40 tahun. Lokasi ini relatif tidak terganggu oleh aktivitas manusia. 15 Lokasi Wadila terletak di Gunung Sejuk, Sampolawa, kabupaten Buton. Lokasi ini awalnya merupakan lokasi pertanaman jati yang pernah ditebang habis pada tahun 1958, kemudian dibiarkan sampai sekarang, dan pada lokasi ini kemudian tumbuh secara alami tanaman jati dan sekarang dikenal oleh masyarakat sebagai jati alam. Tabel 3.1. Koordinat posisi geografis populasi jati dari Sulawesi Tenggara Populasi Lintang Bujur Lokasi Dolok 4.63 LS 122.70 BT Pulau Muna Warangga 4.84 LS 122.65 BT Pulau Muna Sampolawa 5.53 LS 122.68 BT Pulau Buton Pengambilan sampel tanaman berupa daun muda serta buah jati ditujukan untuk mempelajari keragaman genetik, struktur genetik serta aspek dinamika akibat adanya perpindahan informasi genetik berupa aliran gen gene flow melalui serbuk sari dan biji, serta untuk mempelajari sistem perkawinan mating system pada tanaman jati. Gambar 3.1. Peta lokasi tempat pengambilan sampel populasi jati di Kabupaten Muna Dolok dan Warangga dan Kabupaten Buton Sampolawa