Yogyakarta Berkabung PERAN TAN JIN SING SEBAGAI BUPATI YOGYAKARTA

berdiri dan maju ke depan. Seorang abdi dalem menerima keris pusaka itu dari Sri Sultan. Ia kemudian menghampiri bupati baru ini dan mengambil keris yang dipakainya dari rumah untuk ganti keris pusaka Kraton. Sebelum pulang kepadanya juga diberikan payung kebesaran. Pada waktu meniggalkan Kraton menuju keretanya, seorang abdi dalem membuka payung itu untuk melindungi bupati baru dari panas matahari. Kemudian, abdi dalem itu berdiri dibagian belakang kereta dengan membawa payung tersebut. Malam harinya, berlangsung syukuran meriah yang diramaikan pertujukan tarian anak-anak dan dagelan. Ketika karyawan pamit pulang, Tan Jin Sing memberi mereka masing-masing amplop berisi uang sebulan gaji sebagai hadiah. 19

C. Yogyakarta Berkabung

Hujan deras disertai angin ribut dan sambaran petir menimpa Yogyakarta sejak 2 November. Esok malamnya hujan masih deras sekali. Sekitar pukul 11.00 malam itu Tan Jin Sing dalam tidurnya berteriak dalam mimpi, bahwa dalam mimpinya Sri Sultan datang ke rumahnya. Kemudian pagi harinya hujan telah berhenti namun langit tetap mendung. Sekitar pukul 07.00 pagi seorang abdi dalem Kraton datang membawa berita, bahwa Sri Sultan telah meninggal dunia pada hari Rabu malam tanggal 3 November 1814, setelah menderita sakit beberapa hari. Beliau mangkat dalam usia 43 tahun. Pada pukul 12.00 jenazah akan dibaringkan di Bangsal Kencono, dan Jumat pagi pukul 09.00 akan dikebumikan di Pasareyan Pajimatan Imogiri, Kedhaton Suwargan. 19 Ibid, hal. 72-76 Hal ini sangat memukul Tan Jin Sing yang langsung masuk kamar kerja dan menutup pintunya, lalu mengheningkan cipta. Beberapa menit kemudian ia menjatuhkan diri di atas kursi dan mulai melamun. Ia bertanya pada diri sendiri tentang peristiwa meninggalnya Sri Sultan, apakah ada hubunganya dengan mimpinya semalam dan mimpi 3 tahun lalu tentang perjumpaan dengan Sri Sultan yang membawa tanaman jagung, yang merupakan pertanda bahwa beliau hanya dapat bertahta selama tiga tahun. Sesudah sadar kembali, Tan Jin Sing merasakan kesedihan yang luar biasa. Kemudian ia memberitahukan tentang wafatnya Sri Sultan, dan mengajak bersama-sama naik kereta ke Pasar Bringharjo untuk membeli semua bunga melati dan mawar yang ada. Setelah semuannya dikemas dalam berupa puluhan keranjang, Tan Jin Sing lalu menyewa kereta dan menyuruh Hwie Kiong mengirimkannya ke Kraton untuk dipakai perkabungan. Ia sendiri berangkat ke kantor. Begitu tiba ia meminta Sugiarto menutup kantor selama seminggu sebagai tanda turut berkabung sekaligus memberi kesempatan kepada karyawan untuk sungkem terakhir kepada jenazah Sri Sultan. Tan Jin Sing pun kemudian pergi ke kantor Ki Rekso yang juga sudah menerima berita tentang wafatnya Sri Sultan. Dalam kunjungan ke kantor Ki Rekso Tan Jin Sing bertanya siapa yang kan menggantikan Sri Sultan mengingat Putra Mahkota masih berusia 10 tahun. Kemudian menurut Ki Rekso di Yogyakarta ada dua tokoh kerabat Kraton yang menonjol yaitu : 1. Pangeran Diponegoro, tetapi sayangnya ia telah menyatakan kepada kerabat Kraton, juga kepada Crawfurd dan Raffles bahwa ia tidak berniat menggantikan ayahnya sebagai Sultan. 2. Paku Alam I, yang sangat dekat dengan pemerintah Inggris, dan sejak menjadi Pangeran Notokusumo, ia berambisi menjadi Sultan Yogyakarta. Namun, kerabat Sultan Hamengku Buwono III kurang menyukainya. Selain itu, pemerintah Inggris di sini sebetulnya tidak stabil meskipun kelihatannya adem-ayem. Menurut berita yang didengarnya, dalam konvesi London 13 Agustus 1814, pulau Jawa akan dikembalikan kepada pemerintahan Belanda. Kemudian Tan Jin Sing berkata, menurut pendengarannya Raffles telah menulis surat kepada Pemerintahan Inggris di London, agar pulau Jawa dipertahankan karena mempunyai nilai strategis yang besar. Ki Rekso berpendapat meskipun Raffles penguasa di Jawa, namun pengaruhnya tidak banyak dan kemungkinan suratnya tidak ditanggapi oleh penguasa Inggris. Tan Jin Sing pun sependapat dengannya. Setelah selesai makan siang Tan Jin Sing dan Ki Rekso naik keretanya untuk bersama pergi ke Kraton. Dihalaman sekitar Bangsal Kencana sudah dipenuhi banyak orang. Suasana berkabung mencekam dan sangat hening. Harum melati, mawar dan dupa memenuhi udara. Jenazah Sultan terbaring dalam peti berada di tengah Bangsal membujur ke utara diselimuti kain satin putih. Pada gilirannya kedua Tumenggung tersebut sungkem di muka peti jenazah dan memberi salam takzim. Mereka kemudian menghampiri ibu dan permaisuri Sri Sultan, Pangeran Diponegoro, dan juga anggota keluarga lainnya, untuk menyampaikan belasungkawa. Para tamu berdatangan. Lewat satu jam kedua Tumenggung meninggalkan ruangan. Sementara diluar Kraton banyak pelayat yang berdatangan guna memberikan penghormatan terahkir pada Rajanya. Pada Jumat paginya, sekitar pukul 07.30, Tumenggung Secodinigrat dan Tumenggung Reksonegoro pergi melayat ke Kraton dalam satu kereta. Mereka turun alun-alun selatan, tempat banyak kereta berjejer. Lalu keduanya berjalan kaki menuju Bangsal Kencana. Sementara suara bedug terdengar jauh. Lalu bunyi gamelan mangalun membawakan gendingi Monggang, yang iramanya maratap dan menyayat hati. Tamu terus berdatangan memenuhi pelataran Bangsal Kencana. Sekitar pukul 08.30 muncul 12 prajurit Kraton yang dengan perlahan mengangkat jenazah Sultan Hamengku Buwono III. Payung kebesaran berwarna kuning emas yang semula berada di sebelah peti jenazah dibawa ke luar bangsal. Gending Mogangan mengalun terus. Secara bergantian, prajurit Kraton, para keluarga dan kawan terdekat mengusung jenazah Sultan ke pintu gerbang Mogangan, tempat kereta jenazah menanti. 20 Kereta berwarna kuning emas dihiasi bunga melati, asparagus, dan anggrek. Dengan hati-hati peti jenazah dimasukkan kedalam kereta. Sementara di atas kuda putih, komandan prajurit Kraton menyiapkan pasukannya. Pukul 09.00 kereta jenazah mulai bergerak, diawali pasukan musik terdiri dari 12 tambur, 8 terompet, 12 seruling, 2 gong kecil, dan 2 gending. Dengan lirih dibunyikan irama Laratangis. Dibelakang pasukan musik berbaris 200 prajurit Kraton. Di depan kereta berjalan beberapa abdi dalem sambil terus menyebarkan sawur berupa 20 Ibid., hal. 95 beras kuning campur bunga melati, mawar dan kenanga. Para keluarga Sri Sultan berjalan di belakang kereta jenazah diikuti pelayat lainnya. Setelah sampai alun- alun selatan kereta jenazah berhenti diantara pohon beringin kembar. Para keluarga dan pelayat lalu naik ke dalam kereta masing-masing yang sudah menunggu di situ. Ada sekitar 100 kereta menunggu di alun-alun selatan. Di tepi jalan yang menuju ke kompleks makam kerajaan di Imogiri, ribuan rakyat menyaksikan prosesi ini. Menjelang pukul 14.00 kereta jenazah tiba di Imogiri. Kompleks makam itu berada di atas bukit untuk mencapainya harus naik 400 anak tangga. Jenazah Sri Sultan diusung ke masjid Pajimatan yang terletak di kaki bukit untuk disembayangkan dahulu sebelum diusung ke atas. Tidak lama kemudian, diawali dengan bunyian tambur, 12 prajurit mengusung peti jenazah dengan perlahan dan hati-hati mendaki anak tangga. Setiap sepuluh menit prajurit lain menggantikannya. Satu jam berlalu sebelum peti tiba di atas. Kompleks makam kerajaan ini, yang terletak diatas bukit, yang kemudian dikenal dengan nama Pasareyan Pajimatan, dibangun oleh Sultan Agung yang memerintah antara tahun 1627- 1647. Pada saat itu terdapat 4 kompleks makam, yang terbagi menjadi atas Kesultanan Agung, Paku Buwono, Kasuwargan Surakarta, dan Kasuwargan Yogyakarta. Jenazah Sultan Hamengku Buwono III masuk ke Kasuwargan Yogyakarta. Liang lahat sudah disiapkan menanti peti yang diturunkan perlahan- lahan. Sekitar pukul 16.00 upacara pemakaman selesai. Sepasang nisan dipasang, dan payung emas ditancapkan di ujung kepala makam, di sisi kiri letak makam Sultan Paku Buwono I. 21 Selesai pemakaman, keluarga dan kawan dekat Sri Sultan, termasuk Tumenggung Secodiningrat dan Reksonegoro, melakukan upacara ngebekten, menghaturkan sembah pada makam Sultan, diikuti penaburan bunga. 21 Ibid., hal. 96

BAB IV AKHIR KEKUASAAN TAN JIN SING