BAB IV AKHIR KEKUASAAN TAN JIN SING
A. Sultan Sepuh “Come Back”
Belanda kembali melancarkan serangan besar-besaran. Dalam serangan kali ini di bawah pimpinan Mayor Jendral Van Geen didukung prajurit Kraton
pimpinan Pangeran Panular dan Murdaningrat. Penyerbuan pada bulan juli 1826 ini memilih sasaran markas besar Pangeran Diponegoro di Dekso. Tetapi mereka
menemukan desa Dekso yang sudah kosong, karena barisan Diponegoro sudah menyingkir lebih dahulu, setelah mengetahui pasukan musuh jauh lebih besar.
Setelah 20 hari menduduki Dekso, Van Geen dengan pasukannya berangkat kembali ke Yogyakarta. Sementara Pangeran Panular dan Pangeran Murdaningrat
dengan prajuritnya yang ditambah satu kompi tentara Belanda pimpinan Letnan Haubert tetap di Dekso. Dalam perjalanan pulang melewati daerah Kasuran yang
berjurang, terjadi penyergapann gemilang oleh barisan Diponegoro yang dipimpin Sentot Prawirodirjo. Banyak prajurit Belanda tewas bergelimpangan dalam
jurang. Van Geen sendiri berhasil meloloskan diri dan tiba dengan selamat di Yogyakarta. Jendral ini lalu memerintahkan sisa pasukannya dan prajurit Kraton
yang masih di Dekso untuk kembali saja ke Yogyakarta melalui Lengkong yang dianggap aman.
Pada 30 Juli 1826, Letnan Haubert, Pangeran Panular, dan pangeran Murdaningrat bersama seluruh pasukannya meninggalkan Dekso. Di Lekong
mereka dicegat oleh barisan Diponegoro, yang dipimpin oleh Sentot Prawirodirjo
36
dan Pangeran Diponegoro. Kedua pemimpin tersebut berhasil memukul musuh yang menderita kerugian besar, termasuk terbunuhnya Letnan Haubert, Pangeran
Panular, dan Pangeran Murdaningrat. Meskipun memenangkan pertempuran namun Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi sedih atas meninggalnya kedua
Pangeran tersebut. Pangeran Panular adalah paman Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Murdaningrat adalah kakaknya. Mendengar kekalahan ini, Jendral De
Kock menjadi gelisah dan mencari siasat baru. Ia mengusulkan kepada Komisaris Jendral Belanda agar Sultan Sepuh yang berada dalam pengasingan di Ambon, di
angkat kembali menjadi raja Yogyakarta dengan harapan wibawanya dapat mengakhiri pemberontakan. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1812 Sultan
Sepuh diasingkan Inggris ke Penang dan setelah Jawa dikembalikan kepada Belanda, ia dipindahkan ke Ambon.
22
Sultan Sepuh sangat bergembira menerima surat tawaran Belanda untuk diangkat kembali menjadi raja Yogyakarta. Ia menyatakan bersedia membantu
Belanda untuk memulihkan keamanan di Jawa bila ia nanti kembali menjadi kembali menjadi Sultan Hamengku Buwono II. Dengan menumpang kapal
“Melempas” Sultan Sepuh dan istrinya, Ratu Kenconowulan meninggalkan Ambon, pada permulaan bulan Agustus 1826. Kemudian pada tanggal 17 Agustus
1826 bertempat di Istana Bogor, Komisaris Belanda mengangkat Sultan Sepuh kembali menjadi Sultan Hamengku Buwono II. Mendengar berita itu, Sugiarto
segera menanyakan tanggapan majikannya. Tumenggung Secodiningrat berpendapat, pengangkatan kembali Sultan Sepuh sebagai Sultan Hamengku
22
Dwiyanto Djoko, Kraton Yogyakarta, Paradigma Indonesia, Yogyakarta, 2009, hal. 63
Buwono II tidak akan mengakhiri peperangan. Pangeran Diponegoro, sejak orang tuanya masih hidup, sudah tidak cocok dengan kakeknya dan tentu ia tak akan
menghentikan perlawanan terhadap Belanda, hanya karena kakeknya kembali menjadi Sultan Yogyakarta. Ternyata dengan “come back”nya Sultan Sepuh
menjadi Sultan Yogyakarta memang tidak menggoyahkan semangat perjuangan barisan Diponegoro. Hal ini terbukti pada tanggal 28 Agustus 1826, ketika
pertahanan Belanda di Delanggu diserang pasukan Diponegoro. Dalam pertempuran dahsyat ini tak terhitung korban serdadu musuh maupun senjata yang
dirampas. Untuk merayakan kemenangan ini Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya mencukur habis rambut mereka.
Sultan Hamengku Buwono II sendiri baru tiba di Yogyakarta pada 27 September 1826. Pihak Belanda Sibuk mengadakan upacara penyambutan secara
besar-besaran. Di tengah upacara Sultan Sepuh menyerukan agar kaum pemberontak bersedia meletakkan senjata sambil menegaskan, bahwa
pemerintahan Belanda akan memberi pengampunan bagi mereka yang menaati seruannya itu. Sultan Sepuh juga menyurati Pangeran Diponegoro agar
mengakhiri peperangan, dan kembali ke Kraton mengingat banyak kerabat Kraton dan rakyat jadi korban. Surat balasan yang ditulis Pangeran Mangkubumi diterima
Sultan Sepuh pada tanggal 26 Oktober 1826. Isi surat mnyatakan bahwa mereka tidak pernah memulai peperangan ini. Belanda telah menipu mereka dengan
mengadakan penyerangan secara mendadak atas perintah Residen Smissaert pada waktu itu. Mereka juga menyesal, Sultan Sepuh yang dahulu terkenal anti-
Belanda, sekarang justru bekerja sama. Mereka hanya bersedia kembali ke Kraton
setelah Belanda meninggalkan daerah Yogyakarta. Pada bulan November tahun itu terdengar desas-desus, Sultan Hamengku Buwono II secara rahasia membantu
Diponegoro dalam perjuangan melawan Belanda. Desas-desus ini akhirnya sampai juga ke telinga pejabat Residen, I. J. Van Sevenhoven. Lalu ia
mengerahkan kaki-tangannya untuk melakukan penyelidikan. Tetapi mereka tidak bisa menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kemudian Van Sevenhoven
mengadakan wawancara dengan Sultan Hamengku Buwono II memperlihatkan kebencianya
terhadap Diponegoro
yang mengangkat
dirinya Sultan
Ngabdulhamid Herukoco, dan ia menyatakan ingin melihat cucunya itu ditumbangkan.
Pada awal bulan November, Tumenggung Secodiningrat menerima surat kawan lamanya, Kapten Trevers tentang Raffles sebagai lanjutan dari surat yang
dikirim sebelumnya. Surat kali ini ditulis dari Irlandia, tempat ia tinggal setelah meninggalkan Bengkulu. Isi surat tersebut sebagai berikut : Raffles dua kali
berada di Singapura. Pertama kali untuk menduduki dan kedua kali untuk membangunnya sebagai kota pelabuhan, tempat persinggahan kapal-kapal dari
Eropa menuju Asia. Sejak perawatan terakhir ke Singapura, Juli 1823, Raffles sering
menderita sakit
kepala. Obat
yang diberikan
dokter tidak
dapat menyembuhkannya, hanya meringankan rasa sakitnya. Bila ia lelah setelah kerja
keras, penyakitnya kambuh. Ia berpendapat, iklim di Inggris dapat
menyembuhkan sehingga memutuskan kembali ke tanah airnya, yang dilaksanakan pada 2 Februari 1824
menumpang kapal “Fame” bersama istrinya.
23
B. Hamengku Buwono II Mangkat