Tan Jin Sing : bupati Yogyakarta tahun 1813-1830.

(1)

ABSTRAK

TAN JIN SING : BUPATI YOGYAKARTA TAHUN 1813-1830

Oleh: Hakmi Sulistri Universitas Sanata Dharma

2015

Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) proses pengangkatan Tan Jin Sing sebagai bupati Yogyakarta, (2) peran Tan Jin Sing saat menjabat menjadi bupati Yogyakarta, (3) akhir dari kekuasaan Tan Jin Sing sebagai bupati Yogyakarta.

Makalah ini disusun dengan menggunakan metode sejarah yang mencakup lima tahapan yaitu perumusan judul, pengumpulan sumber, verifikasi (kritik sumber), interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sosial politik. Teknik penulisan yang digunakan adalah deskriptif analitis.

Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa: (1) setelah Tan Jing Sing menjadi seorang kapiten Tionghoa yang cukup terkenal, kemudian diangkat menjadi bupati Yogyakarta, (2) peran Tan Jin Sing yang telah membantu Sultan Hamengku Buwono III untuk naik tahta kembali sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono III. (3) akhir dari masa jabatan Tan Jin Sing digantikan oleh anaknya yaitu Dadang sebelum meninggal dunia.


(2)

ABSTRACT

TAN JIN SING : REGENT YOGYAKARTA IN 1813-1830

By: Hakmi Sulistri Sanata Dharma University

2015

This paper aims to describe: (1) Tan Jin Sing’s appointment process as regent of Yogyakarta, (2) the role of Tan Jin Sing while serving as regent of Yogyakarta, (3) the end of the power of Tan Jin Sing as regent of Yogyakarta.

This paper was prepared using the historical method that includes five stages, namely the formulation of the title, collection sources, verification (source criticism), interpretation and historiography. The approach used is a social political. The repost writing technique used is descriptive analysis.

The results of this paper show that: (1) after becaming a captain of the Chinese Tan Jin Sing was known, and later became regent of Yogyakarta, (2) Tan Jin Sing has a role in helping Hamengku Buwono III to reaseend the throne. (3) by the end of his term, Tan Jin Sing was replaced by his son Dadang.


(3)

TAN JIN SING : BUPATI YOGYAKARTA TAHUN

1813-1830

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

HAKMI SULISTRI

101314036

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

TAN JIN SING : BUPATI YOGYAKARTA TAHUN 1813-1830

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

HAKMI SULISTRI

101314036

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Makalah ini saya persembahkan kepada:

1. Makalah ini saya persembahakan untuk kedua orang tua saya yaitu almarhumah ibu saya Sujilah dan bapak Dakir.

2. Adik saya Herka Yulisda Nugraha.

3. Teman-teman Pendidikan Sejarah 2010 yang senantiasa mendukung saya.


(8)

v

MOTTO

Kebaikan tidak bernilai selama diucapkan akan tetapi bernilai sesudah dikerjakan.

(Hakmi Sulistri)

Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang telah dilaksanakan / diperbuatnya.

( Ali Bin Abi Thalib )

Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan selama ada komitmen bersama untuk menyelesaikannya.

(Hakmi Sulistri)

Berangkat dengan penuh keyakinan Berjalan dengan penuh keikhlasan Istiqomah dalam menghadapi cobaan

“ YAKIN, IKHLAS, ISTIQOMAH “


(9)

(10)

(11)

viii

ABSTRAK

TAN JIN SING : BUPATI YOGYAKARTA TAHUN 1813-1830

Oleh: Hakmi Sulistri Universitas Sanata Dharma

2015

Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) proses pengangkatan Tan Jin Sing sebagai bupati Yogyakarta, (2) peran Tan Jin Sing saat menjabat menjadi bupati Yogyakarta, (3) akhir dari kekuasaan Tan Jin Sing sebagai bupati Yogyakarta.

Makalah ini disusun dengan menggunakan metode sejarah yang mencakup lima tahapan yaitu perumusan judul, pengumpulan sumber, verifikasi (kritik sumber), interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sosial politik. Teknik penulisan yang digunakan adalah deskriptif analitis.

Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa: (1) setelah Tan Jing Sing menjadi seorang kapiten Tionghoa yang cukup terkenal, kemudian diangkat menjadi bupati Yogyakarta, (2) peran Tan Jin Sing yang telah membantu Sultan Hamengku Buwono III untuk naik tahta kembali sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono III. (3) akhir dari masa jabatan Tan Jin Sing digantikan oleh anaknya yaitu Dadang sebelum meninggal dunia.


(12)

ix

ABSTRACT

TAN JIN SING : REGENT YOGYAKARTA IN 1813-1830

By: Hakmi Sulistri Sanata Dharma University

2015

This paper aims to describe: (1) Tan Jin Sing’s appointment process as regent of Yogyakarta, (2) the role of Tan Jin Sing while serving as regent of Yogyakarta, (3) the end of the power of Tan Jin Sing as regent of Yogyakarta.

This paper was prepared using the historical method that includes five stages, namely the formulation of the title, collection sources, verification (source criticism), interpretation and historiography. The approach used is a social political. The repost writing technique used is descriptive analysis.

The results of this paper show that: (1) after becaming a captain of the Chinese Tan Jin Sing was known, and later became regent of Yogyakarta, (2) Tan Jin Sing has a role in helping Hamengku Buwono III to reaseend the throne. (3) by the end of his term, Tan Jin Sing was replaced by his son Dadang.


(13)

(14)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 4

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D.Sitematika Penulisan ... 6

BAB II TAN JIN SING MENJADI BUPATI A.Kapiten Cina Di Kedu ... 7

B. Kericuhan Di Yogyakarta ... 12

C.Penyerbuan Ke Yogyakarta ... 20

BAB III PERAN TAN JIN SING SEBAGAI BUPATI A.Gelar Untuk Tan Jin Sing ... 23

B. Dilantik Sebagai Bupati ... 26


(15)

xii BAB IV AKHIR KEKUASAAN TAN JIN SING

A. Sultan Sepuh “Come Back” ... 36 B. Hamengku Buwono II Mangkat ... 40 C. Tan Jin Sing Wafat ... 41

BAB V KESIMPULAN

KESIMPULAN ... 46 DAFTAR PUSTAKA ... 48

LAMPIRAN

SILABUS ... 49


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdebatan akademis tentang kapan orang Tionghoa hadir untuk pertama

kalinya di kota Yogyakarta, mencapai sebuah kesepakatan bahwa keberadaan

orang Tionghoa di Yogyakarta adalah setua usia kota itu sendiri. Ini berarti

bahwa orang Tionghoa sudah ada sejak kota Yogyakarta pertama kali didirikan

tahun 1755. Hal itu tidak mengherankan, mengingat bahwa dibangun sebuah

kota biasanya diikuti dengan pembangunan sarana ekonomi, terutama pasar yang

kemudian diikuti oleh datangnya para pedagang ke wilayah baru tersebut.

Sebagian pedagang tersebut kemudian menetap di kota baru ini, di antaranya

adalah orang Tionghoa. Bukti paling kuat tentang hal itu adalah fakta

diangkatnya seorang kapiten Tionghoa untuk daerah Mataram yang bernama To

In (1755-1764), pada saat Sultan Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi)

mendirikan kota Yogyakarta. Dengan diangkatnya seorang kapiten Tionghoa

dapat diperkirakan bahwa pada waktu itu terdapat suatu komunitas Tionghoa

yang cukup mapan di kota baru tersebut.1

Sebelum lahirnya Yogyakarta, semasa masih berdirinya kerajaan

Mataram Islam, yang wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh Jawa,

orang Tionghoa merupakan salah satu komunitas pendatang yang cukup besar di

Jawa dan keberadannya memiliki posisi cukup signifikan. Pada waktu itu secara

1 Budi Susanto, Identitas Dan Postkolonialitas Di Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal. 73.


(17)

umum dapat dikatakan bahwa orang Tionghoa memiliki hubungan yang baik

dengan masyarakat Jawa dan pihak Kraton.

Memang hubungan baik antara masyarakat Jawa dengan orang Tionghoa

di Yogyakarta pernah merosot, hal ini disebabkan karena keterlibatan orang

Tionghoa dalam konflik internal Kraton. Hal ini mengakibatkan citra orang

Tionghoa semakin hari semakin merosot di mata masyarakat pribumi. Kesan dan

citra buruk orang Tionghoa semakin bertambah dan meluas di kalangan

masyarakat, ketika orang Tionghoa merelakan dirinya menjadi alat penguasa dan

menjadi kepanjangan tangan dari suatu kebijakan ekonomi yang mencekik

masyarakat kebanyakan. Sistem pemungutan pajak jalan tol dan perdagangan

candu yang dipercayakan orang Tionghoa, menyebabkan hubungan dengan

masyarakat pribumi semakin berjarak.

Hubungan baik antara masyarakat Tionghoa dan Kesultanan Yogyakarta

waktu itu, tidak dapat dilepaskan dari peran dan sosok seorang kapiten Tionghoa

bernama Tan Jin Sing (masa jabatan 1803-1813). Sebagai teman penerjemah,

dan asisten dari Putra Mahkota, ia memainkan peran diplomatik penting dalam

mempengaruhi penguasa Inggris saat itu agar mendukung pengangkatan Putra

Mahkota sebagai Sultan Hamengku Buwono III. Oleh karena jasanya itu, maka

Tan Jin Sing diangkat sebagai Bupati Yogyakarta pada tanggal 18 September

1813 yang dilantik oleh Gubernur Jendral Raffles dengan gelar Kanjeng Raden


(18)

berpenduduk seribu kepala keluarga. Sebelum ia dilantik menjadi bupati, Tan Jin

Sing pindah agama menjadi Islam.2

Sesungguhnya ia putra Demang Kalibeber, Wonosobo. Tetapi setelah

kematian ayahnya, ia dipungut-anak oleh seorang Cina, Oei Tek Liong, yang

kemudian memberinya nama Cina yaitu Tan Jin Sing. Pada usia muda, Tan Jin

Sing telah menjadi Kapiten Cina di Kedu, dan berkat jasanya membantu Sri

Sultan Hamengku Buwono III dalam merebut kembali Yogyakarta dengan gelar

Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat.

Ketika kecil beliau dikenal dengan nama Tan Jin Sing. Seorang

wiraswasta sukses, yang pada usia 30 tahun berhasil menjadi Kapiten Cina di

Kedu. Lalu beberapa tahun kemudian Kapiten Cina di Yogyakarta. Sempat

terjun ke kancah politik, mempertaruhkan jiwa dan harta miliknya, membantu

Pangeran Surojo atau Sultan Raja memperoleh kembali tahta Kesultanan

Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono III. Atas jasa-jasa yang

telah beliau lakukan, kemudian diangkat menjadi pembantu utama Sultan

Hamengku Buwono III, sebagai bupati, dengan gelar Raden Tumenggung

Secodiningrat.

Keunikan dalam hidupnya, ia dilahirkan dari keluarga priyayi Jawa dan

diangkat anak oleh keluarga Cina, kemudian menjadi Kapiten Cina. Oleh Sultan

Hamengku Buwono III ia diangkat kembali menjadi priyayi Jawa dengan

memberikan gelar Raden Tumenggung Secodingrat. Ia dapat memegang dua

jabatan pada waktu yang sama, Kapiten Cina sekaligus bupati di Kesultanan


(19)

Yogyakarta. Orang Barat yang mengenalnya harus mengakui bahwa ia pandai,

cerdik, terampil, dan penuh dinamika. Ia juga menguasai beberapa bahasa seperti

Cina, Melayu, Jawa (ngoko dan kromo), Belanda dan Inggris. Ia pandai dalam

memadukan antara kepiawaian seorang Cina dengan unggah-ungguh Jawa.

Posisi Tan Jin Sing yang berada di tiga kultur bangsa berbeda yaitu Tionghoa,

Jawa dan Eropa. Namun ada yang tidak senang dengan beliau, mengejeknya

dengan “Cina warung, Londo durung, Jawa tanggung” atau Cina bukan, belum menjadi Belanda, Jawa ya tidak.3 Sebagai seorang Bupati ia bekerja keras agar

Kesultanan Yogyakarta menjadi maju dan makmur.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas mengenai Tan Jin Sing, maka dalam penulisan

ini ada beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya

sebagai berikut :

1. Bagaimana proses pengangkatan Tan Jin Sing sebagai Bupati Yogyakarta?

2. Bagaimana peran Tan Jin Sing saat menjabat sebagai Bupati Yogyakarta?

3. Bagaimana akhir dari kekuasaan Tan Jin Sing sebagai Bupati Yogyakarta?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

a. Mendeskripsikan dan menganalisis hal yang melatarbelakangi Tan

Jin Sing sebelum menjadi sebagai Bupati Yogyakarta.


(20)

b. Mendeskripsikan dan menganalisis peran Tan Jin Sing pada saat

menjabat menjadi Bupati Yogyakarta.

c. Mendeskripsikan dan menganalisisakhir dari kekuasaan Tan Jin

Sing sebagai Bupati Yogyakarta.

2. Manfaat

a. Bagi ilmu sejarah, hasil dari penulisan sejarah ini berguna untuk

memperkaya khasanah penulisan sejarah Indonesia.

b. Bagi civitas akademika Universitas Sanata Dharma, pada umunya dan

bagi civitas akademika program studi pendidikan sejarah pada

khususnya, penulisan inin untuk menambah wawasan nusantara dan

semangat nasionalisme serta menambah referensi dari apa yang terdapat

dalam sejarah Indonesia.

D. Sistematika Penulisan

Makalah yang berjudul “Tan Jin Sing” : Bupati Yogyakarta Tahun

1813-1830 memiliki sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I : Berupa pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat, serta sistematika

penulisan.

BAB II : Menjelaskan tentang proses pengangkatan Tan Jin Sing sebagai

bupati Yogyakarta

BAB III : Menganalisa peran Tan Jin Sing saat menjabat sebagai bupati di


(21)

BAB IV : Menguraikan akhir-akhir dari kekuasaan Tan Jin Sing sebagai

bupati Yogyakarta.

BAB V : Penutup. Dalam bab ini berisi kesimpulan dari pembahasan yang

dilakukan pada bab I, II, III, IV.

Demikian sistematika penulisan makalah ini, dari uraian di atas dapat

dicermati bahwa penulis ingin menyajikan tentang Tan Jin Sing dari Kapiten


(22)

BAB II

TAN JIN SING MENJADI BUPATI

A. Kapiten Cina Di Kedu

Tan Jin Sing atau R. T. Secodiningrat lahir tahun 1760. Ibunya yang

bernama R. A Patrawijaya, puteri R. M. Kunting keturunan ketiga Sunan

Mangkurat Agung (Tegal Arum). Ayahnya yang bekerja sebagai demang desa

Kalibeber, dekat Wonosobo. Ayahnya meninggal 6 bulan sebelum ia dilahirkan

dalam keadaan miskin. Ayahnya yang bekerja sebagai demang itu sudah lama

tidak aktif karena menderita sakit yang membuatnya harus berhutang demi biaya

hidup dan pengobatan. Setelah meninggal dunia, ibunya memiliki hutang yang

sangat banyak. Dalam suasana seperti itulah Tan Jin Sing lahir.

Karena persalinan yang banyak menyerap tenaga, maka R. A. Patrawijaya

menjadi lemah. Mungkin karena lama menjaga suaminya yang sakit dan

mengabaikan kesehatan dirinya sendiri, selain memang hidup dalam keadaan

serba kekurangan. Beruntunglah masih ada seorang kawan dari Ki Demang yang

bernama Oei Tek Liong, yang tidak melupakan keluarga yang tertimpa musibah

itu dengan terus-menerus memberikan bantuan.4

Karena penderitaan hidup R. A. Patrawijaya mendorong untuk merelakan

Tan Jin Sing kepada keluarga Tan Jin Hong akan memeliharanya sambil

menyusui selama 7 bulan. Kemudian diberi nama Tan Jin Sing. Diberikannya

nama Tan Jin Sing mengingat anak kandung Sing Hong, yang sebaya sudah diberi

4 Werdoyo, T.S, Tan Jing Sing Dari Kapiten Cina Sampai Bupati Yogyakarta, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1990, hal.1


(23)

nama Tan Tek Sing. Sebelum pulang Tek Liong memberikan sumbangan untuk

klenteng, dan kepada Sing Hong diberikan dana yang memadai untuk mengasuh

Jin Sing selama 7 bulan.

Tak lama setelah kejadian R. A. Patrawijaya memutuskan untuk tinggal

bersama ibunya di Banyumas. Sambil menjenguk sebelum berpisah, Tek Liong

memberikan bekal hidup yang cukup untuk ibu kandung Tan Jin Sing. Ternyata

drama manusia ini tidak diceritakan kepada istrinya. Hanya beberapa hari sebelum

mengambil Tan Jin Sing ia berkata kepada istrinya bahwa ia ingin memungut

anak lelaki karena mereka belum dikaruniai anak meskipun sudah sepuluh tahun

menikah. Istrinya yang merindukan, namun tidak dapat melahirkan, maka ia

setuju.

Tepat pada saat Tan Jin Sing berumur 7 bulan, Tek Liong membawanya

pulang, kemudian dijelaskan kepada istrinya, ia mengangkat anak dari keluarga

Sin Hong, yang diterima istrinya dengan suka cita, apalagi Tan Jin Sing memiliki

warna kulit seperti orang Cina. Kebahagiaan menyelimuti keluarga suami-istri

Tek Liong.

Sayangnya, semua ini hanya berjalan sekitar satu tahun, karena menjelang

Tan Jin Sing berusia 2 tahun, istri Tek Liong meninggal dunia sesudah mendadak

sakit keras. Hal ini merupakan suatu pukulan bagi keluarga Tek Liong. Setelah

setahun lamanya menduda sambil mengasuh putranya seorang diri. Akhirnya ia

memutuskan untuk memanggil R. A. Patrawijaya dari Banyumas. Ibu kandung

Tan Jin Sing ini segera datang karena ia juga sangat rindu akan anaknya. Begitu


(24)

kecil Tan Jin Sing digendong diciumi sepuas hati. Pengaruh ikatan darah pun

berbicara. Anak kecil itu sama sekali tidak menolak, meskipun baru pertama kali

melihat wanita itu. Bahkan segera membalas memeluk wanita itu erat-erat. Hal ini

membawa pengaruh tersendiri pada Tek Liong. Terpikir olehnya, takkan ada

orang lain yang bisa mengasuh Tan Jin Sing sebaik ibunya sendiri. Ia pun segera

memutuskan untuk melamar R. A. Patrawijaya yang tentu saja senang sekali bisa

berkumpul lagi dengan anaknya. Wanita yang bersedia berkorban demi anaknya

ini menyandang gelar Raden Ayu, salah satu putri R. M. Kunting, keturunan

ketiga Sunan Mataram Mangkurat Agung (Tegal Arum). Hal ini berarti Tan Jin

Sing adalah keturunan ketiga dari Sunan Mataram tersebut.

Dari ibu kandung Tan Jin Sing belajar bahasa Jawa halus dan adat istiadat

priyayi Jawa tanpa mengetahui, siapa sebenarnya wanita yang sangat menyayangi

dirinya itu. Sedangkan ayahnya memanggil seorang guru untuk mengajar Tan Jin

Sing dan anak-anak tetangga ketika berusia 6 tahun. Ia belajar bahasa Cina,

berhitung dan adat istiadat Cina. Semua itu membuat Tan Jin Sing, yang memang

anak pandai, sudah lancar bahasa Cina, Jawa (ngoko dan kromo inggil) serta

Melayu, ketika usianya masuk 10 tahun. Bahasa Melayu dan Jawa ngoko ia serap

lewat percakapan sehari-hari dengan para pembantu dan kawan-kawanya. Ia juga

pandai berhitung dengan menggunakan sipoa (alat hitung Cina dari kayu). Selain

itu ia menggemari epos Ramayana dan Mahabarata. Bila ada pangelaran wayang

kulit di Wonosobo, ia selalu hadir dan terkadang baru pulang ke rumah lewat


(25)

Menjelang 11 tahun usia Tan Jin Sing ibunya jatuh sakit. Segala macam

obat telah diberikan, tetapi tidak menolongnya, bahkan membuatnya kian parah.

Merasa tidak dapat bertahan lagi, R. A. Patrawiaya memanggil Tan Jin Sing ke

kamarnya dan menceritakan siapa ia sebenarnya. Semua ini membuat Tan Jin

Sing sangat terharu karena sadar ia sedang berhadapan dengan ibu kandungnya,

bukan ibu tiri seperti anggapan selama itu. Namun R. A. Patrawijaya memohon

dengan sungguh-sungguh kepada anaknya, agar rahasia ini jangan sampai bocor

ke siapa pun. Tan Jin Sing berjanji akan menjaga rahasia ini, sehingga membuat

ibunya tenang meninggalkan putranya untuk selama-lamanya.

Perasaan duka menyelimuti keluarga Tek Liong dan Tan Jin Sing yang

ditinggal R. A. Patrawijaya. Untuk melupakan kesedihan, 6 bulan kemudian Tek

Liong mengajak Tan Jin Sing pindah ke Magelang untuk memulai hidup baru dan

membangun usahanya yang berangsur-angsur membesar berkat relasinya yang

memang tidak sedikit. Setelah dua tahun menduda, Tek Liong berkenalan dengan

seorang janda berkecukupan bernama Lim Lian Nio. Keduanya saling jatuh cinta

yang berlanjut hingga diresmikannya sebagai suami istri. Ny Tek Liong yang baru

ternyata pandai dan punya banyak relasi dengan sejumlah pemuka Cina, Jawa,

dan Belanda di daerah Kedu. Berkat bantuanya ini usaha suaminya mengalami

kemajuan pesat. Terhadap Tan Jin Sing perhatiannya pun sangat besar. Ia, yang

tidak mempunyai anak sendiri, menumpahkan rasa sayang kepada Tan Jin Sing.

Untuk menambah pendidikan Tan Jin Sing ia meminta kenalannya, seorang

Belanda keturunan Portugis, untuk memberikan pelajaran bahasa Belanda dan


(26)

mahir berbicara maupun menulis dalam kedua bahasa tersebut. Memasuki usia

yang ke-17 tahun Tan Jin Sing sudah bisa membantu usaha orang tuanya.

Kemampuanya dalam berbagai bahasa membuatnya mudah bergaul dengan

berbagai lapisan masayarakat sehingga orang tuanya tambah terkenal.

Bapak dari Tan Jin Sing memiliki tiga saudara, yaitu Tek Bhe seorang

pengusaha di Semarang, Tek Ho yang juga sebagai pengusaha besar dan

kemudian menjadi Kapiten Cina di Yogyakarta, dan Tek Biauw menjadi salah

satu bupati di Semarang dengan gelar Kyai Tumenggung Reksonegoro I. Saudara

kedua dari bapaknya yang yaitu Tek Ho mempunyai anak yang bernama U Li, ia

berusia dua tahun lebih muda dari Tan Jin Sing, dan terkenal cantik. Diantara

kedua bersaudara ini sepakat untuk menjodohkan U Li dengan Tan Jin Sing.

Ternyata keduanya juga saling mencintai satu sama lainnya, dan kemudian

dilanjutkan dengan pesta perkawinan yang berlangsung meriah. Pada waktu itu

usia Tan Jin Sing 25 tahun.

Sementara itu Tek Liong yang merasa dirinya bertambah tua, mulai

berangsur-angsur menyerahkan perkerjaannya kepada Tan Jin Sing, maka hal ini

meningkatkan kemampuan Tan Jin Sing sehingga ia tidak mengalami kesulitan

ketika ayahnya meninggal dunia lima tahun kemudian. Bahkan usahanya

bertambah maju. Pada tahun 1793 ia di angkat sebagai Kapiten Cina untuk daerah

Kedu saat berusia 33 tahun.

Pada tahun 1802 Tek Ho, mertua Tan Jin Sing yang mulai sakit-sakitan

memanggilnya ke Yogya, dan ternyata ia diminta meneruskan usaha sang mertua


(27)

menerima permintaan terakhir itu. Semua ini membuat Tan Jin Sing mengajak

keluarganya pindah ke Yogyakarta pada tahun berikutnya. Rumah yang di

Magelang di serahkan kepada ibu tirinya, kemudian ia memulai tugas sebagai

Kapiten Cina di Yogyakarta.

Setelah dua tahun meninggal Tek Ho kemudian disusul istrinya. Tentu saja

harta warisan jatuh ke tangan Tan Jin Sing, sehingga menambah kokoh posisinya

sebagai salah satu orang terkaya di Jawa Tengah, selain itu kepandaiannya dalam

mengolah usaha dan bergaul, membuatnya terkenal tokoh yang mudah diterima

semua lapisan masyarakat. Ia juga menjalin hubungan erat dengan pamannya,

Kyai Tumenggung Reksonegoro I yang tinggal di pinggir kota Yogyakarta.

Pamannya ini menjadi penasihat Sultan dalam bidang keagamaan dan

kerohaniawan, tetapi sering juga dimintai pendapat tentang urusan lain. Melalui

pamannya, Tan Jin Sing menjalin hubungan dengan para pejabat Kraton. Tidak

lama setelah ayahnya meninggal dunia, pamannnya yang Tumenggung ini juga

meninggal dunia. Kedudukannya digantikan anaknya, dengan gelar Kyai

Tumenggung Reksinegoro II. Sepupunya ini sebaya dengan Tan Jin Sing dan

merupakan salah satu kawan baiknya.

B. Kericuhan Di Yogyakarta

Pada saat Sultan Hamengku Buwono I mangkat tanggal 24 Maret 1792,

kemudian digantikan Gusti Raden Mas Sundoro yaitu anak tertua dari ibu Ratu

Kadipaten ini memakai nama Sultan Hamengku Buwono II, dan terkenal pula


(28)

kabupaten-kabupaten Yogyakarta, Magetan, Sokawi, Panjang, Bagelen, Kedu,

Madiun, Grobogan, Caruban, Pacitan, Bojonegoro, Tulung Agung, Mojokerto,

Kalangbret, Sela, Bumigede, dan Wirasari. Sultan Sepuh terkenal berwatak keras,

terkadang kurang bijaksana, dan mudah sekali dipengaruhi istri-istrinya. Tidak

sedikit keputusan yang di ambil hanya berdasarkan naluri, tanpa dipikirkan lebih

dalam. Beliau memiliki 4 orang istri resmi (garwo padmi) dan 28 orang selir

(garwo ampeyan). Dari mereka Sultan Sepuh mendapatkan 80 anak.5

Ketika anak-anaknya masih kecil perselisihan antar mereka dapat

diselesaikan. Namun pada saat menjelang dewasa, perselisihan menjadi lain.

Ditambah lagi Sultan Sepuh mempunyai seorang adik yaitu Pangeran

Notokusumo, dari selir R. A. Trenggono. Pangeran yang pro-Belanda ini

mengatakan kepada kompeni Belanda, bahwa sebenarnya ayahnya (Sultan HB I)

ingin ia yang menjadi Sultan Yogyakarta, karena ayahnya lebih mencintai dan

menilainya lebih pandai dari pada sang kakak. Mendengar kabar ini Sultan Sepuh

menjadi curiga terhadap Notokusumo dan orang-orang Belanda. Khawathir suatu

saat Notokusumo dan Belanda akan merebut kekuasaannya sebagai Sultan.

Ditambah lagi ia percaya akan ramalan, suatu waktu Notokusumo akan menjadi

orang besar di Yogyakarta. Maka keretakan ke dua saudara ini tidak dapat

dielakan lagi.

Di dalam Kesultanan Yogyakarta terjadi kericuhan-kericuhan akibat ulah

kerabat Sultan sendiri, sehingga mendorong Daendels mengambil tindakan yang

merugikan Sultan Sepuh sekaligus membuat dirinya terjepit karena, pertama :

5Werdoyo, T.S, Tan Jing Sing Dari Kapiten Cina Sampai Bupati Yogyakarta, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1990, hal. 7


(29)

Raden Rangga Prawirodirjo, Bupati Nayoko daerah Madiun yang menjadi

menantu setelah menikah dengan Ratu Maduretno, Putri Sultan Sepuh dan Ratu

Kedaton yang terkenal ambisius dan pemberani. Kedua : Kepusingan Sultan

Sepuh bermula dari Ratu Kenconowulan. Istri ketiganya yang cantik, pandai

merayu, dan ambisius. Sayangnya tidak memiliki anak lelaki sehingga ingin sekali

menantunya Notodiningrat menjadi Putra Mahkota. Suami Ratu Ayu, anak

kesayangan Sultan Sepuh ini diharapkan mampu menyingkirkan Pangeran Surojo,

Putra Mahkota yang sah. Notodiningrat sendiri adalah putra sulung Pangeran

Notokusumo.

Pada bulan November 1810, Daendels melalui Residen Surakarta Van

Braan mengancam menyerang Yogyakarta bila Sultan Sepuh tidak bersedia

melaksanakan tuntutan-tuuntutan yang diajukan :

1. Mencabut kekuasaan Notodiningrat, dan mengembalikan sepenuhnya

kekuasaan Danurejo II sebagai patih

2. Memberikan kekuasaan penuh kepada Pangeran Surojo, Putra Mahkota sah,

untuk menjalankan pemerintah sehari-hari dalam Kraton

3. Memecat Raden Ronggo Prawiridirjo dan menyerahkan kepada Belanda untuk

dibuang keluar kesultanan Yogyakarta. Ia dianggap sebagai biang keladi

kerusuhan pada beberapa daerah di Jawa Tengah.

Mendengar berita ini Ronggo meninggalkan Kraton secara diam-diam.

Namum sempat memberitahukan Notokusumo dan Notodiningrat yang kebetulan

berada di Kraton, tentang niatnya memerangi Sunan Surakarta dan Belanda.


(30)

bersama pengikut-pengikutnya melakukan pemberontakan. Daendels bertambah

curiga dan lebih yakin mengenai adanya komplotan antara Notokusumo dan

Notodiningrat, Ratu Kenconowulan, dan Sumodiningrat, salah satu menantu

Sultan Sepuh.6

Gubernur Jendral Belanda menyiapkan pasukan untuk menghadapi

keadaan yang semakin memburuk, dan menuntut agar komplotan itu diserahkan

kepadanya. Sultan Sepuh mencari kompromi karena tentaranya tidak siap

melawan pasukan Belanda yang lebih besar dengan perlengkapan lebih muktahir.

Ia memohon agar istrinya, Ratu Kenconowulan, dan menantunya, Sumodiningrat,

diijinkan tetap tinggal di Kraton. Sebaliknya, ia rela menyerahkan Notokusumo

dan Notodinigrat kepada Belanda. Daendels menerima tawaran dan kedua

pangeran tersebut dibawa Belanda ke Semarang. Dari situ masuk rumah tahanan

Surabaya setelah sempat ditahan pada beberapa kota lainnya.

Ronggo Prawirodirjo sendiri terbunuh pada bulan Desember 1810 dalam

pertempuran melawan Pangeran Dipokusumo, yang memang diperintah Sultan

Sepuh untuk menangkapnya. Sesuai dengan keinginan Belanda, Sultan Sepuh

terpaksa mengangkat kembali Danurejo II sebagai Patih yang berkuasa.

Sedangkan putra sulungnya, Pangeran Surojo, sang Putra Mahkota diangkat

sebagai Penguasa Yogyakarta, dan selanjutnya dikenal dengan nama Sultan Raja7.

Rangkaian peristiwa yang menimpa dirinya membuat Sultan Sepuh sangat

murung, putus asa dan penuh dendam. Ia mengurung dirinya di dalam Kraton

setelah menyerahkan mahkotanya.

6Ibid., hal. 10


(31)

Sesungguhnya sejak tahun 1803 Inggris sudah terlibat perang dengan

Prancis di bawah Kaisar Napoleon yang berambisi menguasai lebih dari separuh

Eropa Barat. Melihat hal ini Inggris khawatir, Napoleon juga berniat memperluas

kekuasaannya di Asia. Tidak mengherankan bila Lord Minto, Gubernur Jendral

Inggris untuk Asia Selatan yang berkedudukan di Kalkuta, India, ingin

mengurangi kekuasaan Prancis di Asia. Salah satunya dengan menyerbu Indonesia

yang dikuasai Prancis setelah Belanda menjadi bagi Prancis. Tugas Pulau Jawa

diserahkan kepada Raffles.8

Kemudian tepat pada 4 Agustus 1811 Raffles bersama pasukannnya,

gabungan tentara Inggris dan Gurka (Sepoi atau Sepehi) di bawah komando

Kolonel Gillepsi, mendarat di Batavia. Selanjutnya dalam waktu satu bulan

Raffles berhasil mendudukkan tentara Belanda yang tidak banyak melakukan

perlawanan. Jansens yang melarikan diri dari Batavia berhasil ditangkap di

Salatiga dan menyerah pada tanggal 18 September 1811. Letnan Gubernur Raffles

yang ternyata seorang politikus yang pandai bergaul dengan macam-macam

bangsa dan lapisan masyarakat. Meskipun kantor resminya di Batavia, ia lebih

suka tinggal bersama Olivia, istrinya di Bogor di rumah yang pernah dipakai

Jensens. Raffles yang pernah tinggal di Penang dan Malaka mengerti bagaimana

cara berhadapan dengan para raja. Ia sebenarnya ingin menjalin hubungan baik

dengan Sultan Yogyakarta dan Sunan Surakarta. Namun ia pun ingin agar

perjanjian-perjanjian antara para raja dengan Belanda tetap dipatuhi dan tidak

8 Wiharyanto Kardiyat A, Sejarah Indonesia Madya Abad XVI-XIX, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2008, hal. 108.


(32)

boleh diubah tanpa tujuannya. Raffles juga ingin memperbaiki keadaan rakyat

kecil yang selama pemerintahn Daendels seorang tiran sekaligus diktator yang

kejam.9

Selama peralihan pemerintahan Belanda kepada Inggris, Sultan Sepuh

mengambil kesempatan melaksanakan kehendaknya untuk mendapatkan kembali

mahkotanya. Patih Danurejo II yang dianggap telah berkhianat, dipanggil

menghadap. Syahdan, Sultan menyuruh pembantunya membunuh sang Patih di

hadapannya. Bahkan ayah Patih, Kyai Danukusuma I yang tinggal di Pacitan,

turut dibunuh karena dianggap mendukung Danurejo II. Jabatan Patih dipegang

kembali oleh Sindunegoro.10

Peristiwa tragis ini sangat mengelisahkan Sultan Raja. Ia khawatir

nasibnya bisa sama seperti iparnya itu dan memutuskan untuk berunding dengan

putra sulungnya, Diponegoro. Antara lain mengambil keputusan demi

keselamatan dirinya untuk mengembalikan mahkota kepada Sultan Sepuh yang

tentu saja menerimanya dengan penuh suka cita. Surojo dicopot dari seluruh

kekuasaannya, dan Sultan menunjuk Mangkudiningrat, putra ke-11 dari istrinya,

Ratu Hemas sebagai wakilnya.

Sesungguhnya Sultan Sepuh sama sekali tidak suka pada Pangeran Surojo.

Beberapa kali di muka saudara-saudaranya sang ayah memakinya dianggap salah

dan kurang becus dan tidak tahu diri. Semua tindakannya dia anggap salah dan

merugikan. Sebagian adiknya tidak berani membela meskipun bersimpati. Hanya

putranya, Pangeran Diponegoro, yang selalu membela ayahnya bila dimarahi

9 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 dari EmperiumSampai

Imperium, Jakarta, PT Gramedia, 1987, hal. 129.


(33)

kakeknya. Tetapi Sultan Sepuh menganggap seperti cucunya, bahkan ibu

Diponegoro yang kemudian kena marah karena dianggap tidak bisa mendidik

anaknya. Sultan Sepuh pernah berniat membunuh Pangeran Surojo, bila tidak

mengembalikan mahkotanya.11

Berita duka tentang Danurejo II dan penyerahan mahkota kepada Sultan

Sepuh tersebar luas. Tan Jing Sing yang selalu mengikuti perkembangan, sangat

cemas. Kejadian terakhir ini membuatnya tidak suka kepada Sultan Sepuh. Ia

lebih bersimpati kepada Pangeran Surojo. Dikarenkan Pangeran Surojo yang

sebenarnya berhak atas kekuasaan pada masa itu.12

Selain memperkenalkan diri kepada penguasa Kraton, ia juga mengundang

Tan Jin Sing untuk datang ke loji (rumah residen) untuk berkenalan. Residen

Inggris ini menganggap Tan Jin Sing sebagai tokoh Cina yang memiliki pengaruh

di Yogyakarta. Selama pertemuan itu Tan Jin Sing berusaha mengetahui pribadi

Letnan Gubernur Raflles. Residen Crawfurd menceritakan bahwa Raflles

termaksud orang yang pandai, memiliki kemauan yang keras, mudah bergaul dan

humanis.

Tan Jin Sing sangat puas bertemu dengan residen Inggris ini. Antara kedua

orang ini terjalin hubungan baik. Sementara itu Pangeran Surojo yang merasa

jiwanya terancam dan diperlakukan sewenang-wenang oleh ayahnya, atas anjuran

ibunya, memanggil Tan Jin Sing, yang ia anggap sangat pandai dan berpengaruh.

Surojo menceritakan dari awal hingga akhir perlakuan ayahnya terhadap dirinya.

11 Ibid., hal. 13

12 Djamari, Saleh. A, Strategi Menjinakan Diponegoro, Yayasan Komunitas Bambu, Jakarta, 2004, hal. 26


(34)

Menurut penilaian Tan Jin Sing, Pangeran Surojo bersifat simpatik, dan dapat

dipercaya, tetapi jiwanya tidak tenang karena frustasi.13

Tan Jin Sing sangat kasihan dan tergugah untuk membantunya. Ia

menganggap Sultan Sepuh tidak berperikemanusiaan. Tan Jin Sing mengatakan

kepada Pangeran Surojo, ia akan membantu mengatasi keadaan yang serba sulit

ini. Sementara itu karena tidak tahu apa yang akan diperbuat Sultan Sepuh

selanjutnya, Tan Jin Sing menganjurkan agar sang Pangeran Surojo dipanggil

menghadap ayahnya agar selalu mengajak salah satu anaknya untuk

mendampingi. Bila bepergian agar selalu membawa beberapa pengawal pribadi

yang dapat diandalkan. Tan Jing Sing juga mengusulkan agar Pangeran Surojo

seksama mengikuti gerak gerik Sultan Sepuh, dan melaporkan setiap

perkembangan kepadanya.

Pertemuan ini menggembirakan Pangeran Surojo yang merasa agak lega

karena Tan Jin Sing berada dipihaknya. Selesai pertemuan, Tan Jin Sing pergi

menemui Tumenggung Reksonegoro II, yang dianggapnya tahu banyak tentang

pergolakan di Kraton, mengingat saudara sepupunya ini ialah pejabat Kraton,

yang masing-masing dipimpin oleh :

1. Tumenggung Ronggo, tidak berpengaruh lagi karena telah tewas.

2. Pangeran Notokusumo dan Ratu Kenconowulan. Notokusumo ingin menjadi

sultan atau anaknya Notodiningrat. Kenconowulan juga berharap mantunya

dapat menggantikan Sultan Sepuh, meskipun Notokusumo dan Notodiningrat

13 Werdoyo, T.S, Tan Jing Sing Dari Kapiten Cina Sampai Bupati Yogyakarta, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1990, hal.14


(35)

kini sudah tidak di Yogyakarta. Namun apabila diteruskan akan menjadi

kelompok yang kuat di Kraton.

3. Sultan Raja (Surojo) yang didukung Patih Danurejo II. Sesudah terbunuhnya

Danurejo II dan pengembalian mahkota kepada ayahnya. Sebenarnya

Pangeran Surojo telah kehilangan semua kesempatan, namun sebaliknya jika

ia mempertahankan mahkotanya kemungkinan besar ia telah dibunuh Sultan.

4. Pangeran Mangkudinigrat yang didukung ibunya, Ratu Hemas. Sultan Sepuh

sendiri ingin agar Mangkudinigrat suatu waktu menggantikannya.14

Selanjutnya Sultan Raja sendiri orang baik. Patuh kepada orang tua.

Sangat sabar terhadap saudara-saudaranya yang tidak senang terhadap dirinya,

tinggal di Kraton. Sebenarnya Sultan Raja menjadi korban kebaikannya sendiri.

C. Penyerbuan Ke Yogyakarta

Sementara keadaan Yogyakarta semakin tegang. Sultan Sepuh

mendapatkan tenaga-tenaga muda baru untuk dijadikan tentara. Menjelang

datangnya pasukan Inggris, Patih Cokronegoro memberitahu kepada Hamengku

Buwono II, prajurit Surakarta sudah siap membantu prajurit Yogyakarta, bila

sampai terjadi pertempuran melawan tentara Inggris. Tanggal 10 Juni Tan Jin

Sing diberitahu bahwa sudah ada jawaban dari Letnan Gubernur yang

menyetujui Pangeran Surojo sebagai calon tunggal pengganti Sultan Sepuh, dan

hal itu akan langsung diumumkan setelah Sultan yang lama turun tahta.

Sehubungan dengan hal itu Crawfurd menulis surat jawaban tertanggal 12 Juni

14 Ibid., hal. 15


(36)

kepada Pangeran Surojo, yang menjamin bahwa Pangeran Surojo menjadi

pengganti Sultan Hamengku Buwono II. Surat tersebut diberikan kepada Tan Jin

Sing untuk diteruskan kepada Pangeran Surojo. Crawfurd juga memberitahukan,

Raffles dan Kolonel Gillepsi akan tiba di Semarang tanggal 15 Juni, dan esok

harinya akan melanjutkan perjalanan ke Yogya. Namun Tan Jin Sing tidak bisa

meneruskan kabar tersebut karena Kraton sudah dijaga ketat.

Pagi hari pada tanggal 20 Juni 1812, di bangsal Mangturtangkil, Siti Inggil

Kraton Yogyakarta, belangsung upacara pengangkatan Pangeran Surojo menjadi

Sultan Hamengku Buwono III yang dihadiri oleh Patih Yogyakarta, para Pangeran

dan Tumenggung. Anak-anaknya yang hadir antara lain, Pangeran Diponegoro,

Pangeran Dipowiyono dan Pangeran Sumoonegoro. Pangeran Surojo dalam

pakaian kebesaran Sultan diambil sumpah secara Islam sebagai penguasa. Setelah

selesai kemudian Sultan meninggalkan Kraton dengan naik kereta kencana diikuti

patih Danurejo III, Pangeran lainnya sebagai pengiring menuju kediaman residen.

Tiga hari kemudian Tan Jin Sing dipanggil Sri Sultan datang ke Kraton. Ia

menerangkan kepada Tan Jin Sing bahwa ia dengan bantuan anaknya, Pangeran

Diponegoro, sedang menyusun dan memilih orang-orang di antara para anggota

dan pengabdi Kraton untuk dijadikan pembantu dalam pemerintahan baru di

Kesultanan Yogyakarta. Kemudian Sultan Hamengku Buwono III sekeluarga

menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Tan Jin Sing atas segala

usaha jeri payahnya dan bantuan hingga akhirnya ia bisa naik tahta. Sebagai balas

budi ia merencanakan untuk mengangkat Tan Jin Sing sebagai Bupati Miji dengan


(37)

menjelaskan kepadanya, empat hari lagi ia akan mengadakan pertemuan dengan

Letnan Gubernur Raffles dan Residen Crawfurd. Ia meminta agar Tan Jin Sing

sebelumnya mengadakan penjajakan dengan mereka tentang keinginannya untuk

membentuk tentara. 15

Mereka mengharapkan dengan di angkatnya Tan Jin Sing menjadi bupati

hubungan antara Sultan Hamengku Buwono III dengan pihak Inggris akan

berjalan lancar. Kemudian atas nama pemerintahannya, Raffles mengucapkan

banyak terima kasih atas segala bantuan, mengharapkan dengan kerja sama Tan

Jin Sing dengan Sultan Hamengku Buwono dan Residen, keadaan Yogyakarta

selanjutnya bisa aman. Raffles mengemukakan bahwa Tan Jin Sing akan diberi

kekuasaan mengurus pemungutan pajak daerah Kedu dan bertanggung jawab

kepada Residen Yogya. Setibanya di rumah, Tan Jin Sing menulis surat kepada

Sri Sultan mengenai apa yang sudah ia bicarakan dengan Raffles tentang

keinginannya untuk membentuk tentara Kraton.

Tan Jin Sing dalam bertugas memungut pajak, Paku Alam I memprotes

karena merasa ia lebih berhak, mengingat ibunya berasal dari Kedu. Kemudian

Raffles menjawab, bahwa Tan Jin Sing pernah menjadi Kapiten Kedu dan sangat

berpengalaman dalam mengurus pajak. Namun hal ini bersifat sementara. Raffles

berharap agar dalam waktu dekat semua keputusan ini dituangkan menjadi

keputusan tertulis.

15 Ibid., hal. 47.


(38)

BAB III

PERAN TAN JIN SING SEBAGAI BUPATI YOGYAKARTA

A. Gelar untuk Tan Jin Sing

Waktu Tan Jin Sing menghadap Sultan Hamengku Buwono III, beliau

menyambut kedatangannya dengan hangat. Lalu ia berkata, bahwa ia telah

membaca laporan tentang percobaan pembunuhan yang gagal atas diri Tan Jin

Sing, dan gembira kini dapat bertemu kembali dengannya dalam keadaan selamat.

Tan Jin Sing menerangkan kepada Sri Sultan, Tumenggung Rekso telah

mengusulkan agar kelak Tan Jin Sing memakai nama Secodiningrat. Sultan

menyetujuhinya, dan akan memberikan gelar Raden Tumenggung kepadanya,

sehingga sebutan lengkapnya adalah Kanjeng Raden Tumenggung

Secodiningrat.16

Selanjutnya Tan Jin Sing menyatakan, atas anjuran Tumenggung Rekso, ia

sekeluarga berniat masuk Islam dan sementara waktu akan mempelajari dan

menghayati agama ini. Mendengar niat masuk Islam Sri Sultan sangat terharu dan

tambah menganggap Tan Jin Sing sebagai kerabatnya sendiri. Beliau berjanji,

sebelum pertengahan tahun 1813 ia akan resmikan pegangkatannya sebagai

Bupati dengan upacara Kraton.

Diberitahukan niat untuk mangangkat Diponegoro menjadi Putra Mahkota

dan meminta pendapat Tan Jin Sing, dan hal itu sangat disetujuhi olehnya. Karena

Diponegoro berwibawa, pandai, setia dan selalu mendampingi ayahnya dalam

mengatasi kesulitan. Berhubungan dengan itu, Sri Sultan meminta agar Tan Jin

16 Ibid., hal. 66


(39)

Sing memberitahu Residen Yogyakarta mengenai niatnya itu, dan mohon dapat

restu dari Residen. Ia sendiri akan membicarakan hal ini dengan keluarganya dan

dengan Diponegoro pada malam hari.

Kemudian, Sultan Hamengku Buwono III mengabarkan bahwa, pada

tanggal 1 Agustus 1812, Letnan Gubernur Raffles akan ke Yogyakarta untuk

menandatangani surat perjanjian dengannya. Ia sangat gembira bila Raffles juga

menyetujui pengangkatan Diponegoro sebagai Putra Mahkota. Untuk itu ia

berharap agar Tan Jin Sing pada tanggal 4 Agustus 1812 bersedia menghadapnya.

Setelah selesai Tan Jin Sing mengunjungi Residen Yogyakarta. Meskipun

Crawfurd sangat sibuk, namun bersedia menemui Tan Jin Sing. Ia memberi

selamat kepada temannya karena bisa lolos dari maut, sesuai laporan yang

diterima. Warga Inggris ini kemudian memberitahukan tentang kedatangan

Raffles pada akhir bulan Juli, dan meminta Tan Jin Sing menghadapnya pada

tanggal 3 Agustus 1812. Tan Jin Sing ganti memberitahukan keinginan Sri Sultan

mengangkat putranya, Pangeran Diponegoro, sebagai Putra Mahkota, dan

sekaligus minta pendapatnya. Ternyata Residen Yogyakarta sependapat karena ia

juga menganggap Diponegoro dapat dipercaya dan cakap. Ia yakin bahwa Raffles

juga akan menyetujuinya.

Tan Jin Sing tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya berharap agar Pangeran

Diponegoro bisa berubah pikiran bila ia sudah mempunyai permaisuri. Tan Jin

Sing pergi ke rumah Residen dan diterima tuan rumah bersama atasannya,


(40)

Sri Sultan telah Ditanda tangani, tetapi ia menyayangkan mengapa Pengeran

Diponegoro tidak bersedia menjadi Putra Mahkota.

Kemudian Raffles menyerahkan kepada Tan Jin Sing surat kuasa untuk

pengurusan penarikan pajak di daerah Kedu yang berlaku 4 tahun berikut

kemungkinan diperpanjang dan mengharapkan agar Tan Jin Sing dapat

melaksanakan tugasnya dengan baik. Tan Jin Sing pun mengucapakan terima

kasih kepada Raffles atas kepercayaan yang diberikan kepadanya. Dalam

kesempatan Tan Jin Sing mengabarkan kepada Raffles dan Crawfurd, bahwa

sebagai bupati, akan memakai nama Secodiningrat dan Sri Sultan akan memberi

gelar Kanjeng Tumenggung Secodinigrat. Menurut Raffles ia pantas mendapat

gelar itu karena banyak jasanya terhadap Sultan Hamengku Buwono III. Lalu Tan

Jin Sing berkata bahwa Letnan Gubernur dikemudian hari bila sudah kembali di

tanah air pasti juga akan diberi gelar oleh Kerajaan Inggris untuk jasanya

menaklukan Belanda di Pulau Jawa.17

Setiap minggu seperti yang telah ditetapkan, Tan Jing Sing dan

keluarganya pergi ke rumah Tumenggung Rekso untuk belajar agama Islam.

setetah 4 bulan belajar Tan Jin Sing sekeluarga merasa cukup menguasai ajaran

agama Islam dan siap dijadikan seorang muslim. Ia lalu berunding dengan Ki

Rekso yang bersedia untuk mengislamkan Tan Jin Sing sekeluarga. Kemudian

hari baik yang dipilih adalah 5 Desember pada pagi hari Tan Jin Sing

mengundang Tumenggung Rekso dan beberapa pemuka agama Islam untuk

datang ke rumahnya. Acara pertama ialah pemotongan kuncir (rambut) Tan Jin

17 Ibid., hal. 67-68


(41)

Sing dan Dadang. Setelah selesai mereka kemudian disuruh mandi. Berikutnya

ialah khithanan yang diikuti istirahat makan siang. Sesudah itu dilakukan acara

terakhir yaitu Tan Jin Sing mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat dihadapan Ki

Rekso, disaksikan para pemuka agama Islam lainnya. Kemudian dimulai Ki

Rekso, para tamu memberi selamat kepada Tan Jin Sing dan keluarga. Ki Rekso

bicara tentang peristiwa besar ini tidak boleh dilupakan. Ia berharap agar agama

Islam bisa terus berkembang. Ketika pulang para tamu mendapatkan besekan

(berupa bingkisan), berupa makanan kecil.18

B. Dilantik Sebagai Bupati

Sekitar pertengahan bulan Januari 1813, Tan Jin Sing mengahadap Sri

Sultan yang memberitahu, bahwa pada tanggal 17 Maret 1813, Residen Crawfurd

atas nama pemerintahan Inggris akan menandatangani perjanjian dengan Pangeran

Notokusumo. Inti perjanjian ini tak lain pengesahan pengangkatan Pangeran

Notokusumo sebagai Paku Alam I. Sehubungan dengan hal itu, Sri Sultan

merencanakan pelantikan Tan Jin Sing sebagai bupati, enam bulan sesudah itu

yaitu pada tanggal 18 September 1813. Tan Jin Sing menerima rencana itu dengan

senang hati. Selanjutnya penguasa Yogyakarta ini menceritakan keberhasilannya

membujuk Diponegoro mempersunting putri almarhum Tumenggung Ronggo

Prawirodirjo. Namum pernikahannya mungkin baru bisa dilangsungkan awal

tahun berikutnya. Sehubungan dengan hal ini Tan Jin Sing mengatakan bahwa ia

18 Ibid., hal. 70-71


(42)

juga sedang mempertimbangkan agar putranya segera berumah tangga. Bila

mungkin tahun itu juga.

Sementara itu pembangunan kantor Tan Jin Sing berlangsung terus, dan

pada tanggal 1 Juni, ia masuk kantor baru yang terletak di tanah Tumenggung

Reksonegoro II. Pengurusan kantor lama dilanjutkan Dadang dan Hwie Kiong,

yang menangani urusan perdagangan. Sedangkan Sugiarto dan Hartono dari

Wonosobo, sudah pindah ke Yogyakarta, dan mulai bekerja di kantor baru itu.

Sugiarto sebagai sekertaris dan Haryono sebagai staff penghubung dengan pejabat

Kesultanan Yogyakarta. Hong San, Bi Kun, dan Ping Han, turut diajak bekerja di

kantor baru dengan kedudukan yang sama. Gedung baru itu, selain untuk kantor

juga dipakai untuk rumah tinggal, karena di belakang terdapat kamar tidur dan

dilengkapi dengan ruangan keluarga. Tan Jin Sing sesekali menginap di situ bila

ia harus bekerja sampai larut malam.

Tahun 1813 membawa kamajuan dan perbaikan bagi Kesultanan

Yogyakarta. Tan Jin Sing turut berperan membuat hubungan antara pejabat

Kasultanan dan Inggris mengalami perbaikan. Saling pengertian juga

berkembang, antara Sultan dan Residen John Crawfurd, yang memahami bahasa,

kebudayaan, dan sejarah Jawa. Dalam pemerintahan Sultan Hamengku Buwono

III terjadi perbaikan dan kemajuan keuangan. Dalam Kraton diterapkan usaha

penghematan. Sedangkan nasib rakyat turut ditingkatkan. Misalnya petani yang

tidak mampu membayar pajak dengan uang, diizinkan menggantinya dalam

bentuk pelayanan santunan. Pangeran Diponegoro banyak memberi saran dan


(43)

Sesuai dengan rencana, pada tanggal 18 Juli U Li dan Dadang pergi ke

Banyumas dan bermalam selama empat hari. Hal itu disambut Po Jan dan Kwi

Nio sangat positif. Kedua suami istri ini setuju dengan perjodohan May Hwa dan

Dadang. Tan Jin Sing pun sangat gembiran mendengar kabar tersebut dan

memutuskan untuk bersama istrinya pergi melamar secara resmi sebulan setelah

dilantik menjadi bupati yaitu pada tanggal 18 September 1813 pukul sembilan,

sesuai surat terakhir dari Sultan kepadanya. Upacara akan dilangsungkan di

bangsal Kencana, dan yang akan diundang adalah pejabat Kraton dan pejabat

Inggris. Ia perlihatkan surat ini kepada Tumenggung Rekso. Lebih baik jauh hari

dipersiapkan.

Sehari sebelum pelantikan, suami–istri Tan Jing Sing bermalam di wisma baru itu. Esok harinya, 18 September 1813, setelah sarapan Tan Jin Sing mulai

dirias oleh Mariam, seorang waria terkenal sebagai ahli rias. Pukul delapan,

Suparjan, ahli busana datang membantu Tan Jin Sing mengenakan pakaian

upacara, yang panjangnya dua kali kain batik biasa dan dilipatkan mengelilingi

pinggang sedemikian rupa, sehingga sebelah kanan memanjang dan ujungnya

menyentuh lantai. Ikat pinggangnya yang berupa kain sutra bersulam benang

emas. Bajunya berbentuk sekap hitam dihiasi sulaman benang emas pula. Di

kepala tampak kuluk bludru bersulam benang emas. Sedangkan sebuah keris

menghiasi pinggang belakang. Setelah selesai berdandan, ia melangkah menuju

ke keretanya yang sudah menunggu di depan rumah. Tepat pukul 08.30 pagi


(44)

sebagai pengiring dalam keretanya sendiri. Istri Tan Jin Sing dan istri Ki rekso

tinggal di rumah untuk mempersiapkan malam syukuran.

Sementara di Bangsal Kencana sudah menunggu para undangan. Duduk di

sebelah kiri adalah para pejabat Kesultanan dan di sebelah kanan pejabat Inggris.

Di antara para tamu, tampak Pangeran Diponegoro dan John Crawfurd.

Beberapa menit kemudian sebelum pukul 09.00, Tan Jin Sing sudah tiba di

muka Kraton dan disambut oleh beberapa abdi dalem (karyawan Kraton), yang

menyertai masuk ke dalam. Di Bangsal Srimanganti ia dipersilakan menunggu

sejenak. Seorang abdi dalem pergi melapor kepada Sri Sultan tentang tibanya

calon bupati. Tan Jin Sing dipersilakan masuk ke Bangsal Kencono dan duduk di

kursi khusus disediakan baginya. Tepat pukul 09.00, Sri Sultan masuk ke

Bangsal. Hadirin berdiri dan setelah ia duduk di singgasana, hadirin duduk

kembali. Tidak lama kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono III berdiri dan

membaca naskah pengangkatan sebagai Bupati Miji dengan gelar Raden

Tumenggung Secodiningrat. Dan untuk jasanya terhadap Sri Sultan kepadanya

diberikan beberapa bidang tanah yang terletak di daerah Yogyakarta dan

Bagelen. Perincian hal ini dituangkan dalam piagam yang akan diserahkan

dalam waktu tiga bulan. Tan Jin Sing terharu mendengar pembacaan naskah

tersebut.

Selesai pembacaan naskah pelantikan Tan Jin Sing sebagai bupati

Yogyakarta, Sri Sultan kemudian membuka sebuah peti kecil dan mengeluarkan

sebilah keris pusaka bagi sang bupati baru sebagai lambang kedudukannya.


(45)

berdiri dan maju ke depan. Seorang abdi dalem menerima keris pusaka itu dari

Sri Sultan. Ia kemudian menghampiri bupati baru ini dan mengambil keris yang

dipakainya dari rumah untuk ganti keris pusaka Kraton. Sebelum pulang

kepadanya juga diberikan payung kebesaran. Pada waktu meniggalkan Kraton

menuju keretanya, seorang abdi dalem membuka payung itu untuk melindungi

bupati baru dari panas matahari. Kemudian, abdi dalem itu berdiri dibagian

belakang kereta dengan membawa payung tersebut. Malam harinya, berlangsung

syukuran meriah yang diramaikan pertujukan tarian anak-anak dan dagelan.

Ketika karyawan pamit pulang, Tan Jin Sing memberi mereka masing-masing

amplop berisi uang sebulan gaji sebagai hadiah.19

C. Yogyakarta Berkabung

Hujan deras disertai angin ribut dan sambaran petir menimpa Yogyakarta

sejak 2 November. Esok malamnya hujan masih deras sekali. Sekitar pukul

11.00 malam itu Tan Jin Sing dalam tidurnya berteriak dalam mimpi, bahwa

dalam mimpinya Sri Sultan datang ke rumahnya. Kemudian pagi harinya hujan

telah berhenti namun langit tetap mendung. Sekitar pukul 07.00 pagi seorang

abdi dalem Kraton datang membawa berita, bahwa Sri Sultan telah meninggal

dunia pada hari Rabu malam tanggal 3 November 1814, setelah menderita sakit

beberapa hari. Beliau mangkat dalam usia 43 tahun. Pada pukul 12.00 jenazah

akan dibaringkan di Bangsal Kencono, dan Jumat pagi pukul 09.00 akan

dikebumikan di Pasareyan Pajimatan Imogiri, Kedhaton Suwargan.

19 Ibid, hal. 72-76


(46)

Hal ini sangat memukul Tan Jin Sing yang langsung masuk kamar kerja

dan menutup pintunya, lalu mengheningkan cipta. Beberapa menit kemudian ia

menjatuhkan diri di atas kursi dan mulai melamun. Ia bertanya pada diri sendiri

tentang peristiwa meninggalnya Sri Sultan, apakah ada hubunganya dengan

mimpinya semalam dan mimpi 3 tahun lalu tentang perjumpaan dengan Sri

Sultan yang membawa tanaman jagung, yang merupakan pertanda bahwa beliau

hanya dapat bertahta selama tiga tahun. Sesudah sadar kembali, Tan Jin Sing

merasakan kesedihan yang luar biasa. Kemudian ia memberitahukan tentang

wafatnya Sri Sultan, dan mengajak bersama-sama naik kereta ke Pasar

Bringharjo untuk membeli semua bunga melati dan mawar yang ada. Setelah

semuannya dikemas dalam berupa puluhan keranjang, Tan Jin Sing lalu

menyewa kereta dan menyuruh Hwie Kiong mengirimkannya ke Kraton untuk

dipakai perkabungan. Ia sendiri berangkat ke kantor. Begitu tiba ia meminta

Sugiarto menutup kantor selama seminggu sebagai tanda turut berkabung

sekaligus memberi kesempatan kepada karyawan untuk sungkem terakhir kepada

jenazah Sri Sultan. Tan Jin Sing pun kemudian pergi ke kantor Ki Rekso yang

juga sudah menerima berita tentang wafatnya Sri Sultan.

Dalam kunjungan ke kantor Ki Rekso Tan Jin Sing bertanya siapa yang

kan menggantikan Sri Sultan mengingat Putra Mahkota masih berusia 10 tahun.

Kemudian menurut Ki Rekso di Yogyakarta ada dua tokoh kerabat Kraton yang


(47)

1. Pangeran Diponegoro, tetapi sayangnya ia telah menyatakan kepada kerabat

Kraton, juga kepada Crawfurd dan Raffles bahwa ia tidak berniat

menggantikan ayahnya sebagai Sultan.

2. Paku Alam I, yang sangat dekat dengan pemerintah Inggris, dan sejak

menjadi Pangeran Notokusumo, ia berambisi menjadi Sultan Yogyakarta.

Namun, kerabat Sultan Hamengku Buwono III kurang menyukainya.

Selain itu, pemerintah Inggris di sini sebetulnya tidak stabil meskipun

kelihatannya adem-ayem. Menurut berita yang didengarnya, dalam konvesi

London 13 Agustus 1814, pulau Jawa akan dikembalikan kepada pemerintahan

Belanda. Kemudian Tan Jin Sing berkata, menurut pendengarannya Raffles telah

menulis surat kepada Pemerintahan Inggris di London, agar pulau Jawa

dipertahankan karena mempunyai nilai strategis yang besar. Ki Rekso

berpendapat meskipun Raffles penguasa di Jawa, namun pengaruhnya tidak

banyak dan kemungkinan suratnya tidak ditanggapi oleh penguasa Inggris. Tan

Jin Sing pun sependapat dengannya.

Setelah selesai makan siang Tan Jin Sing dan Ki Rekso naik keretanya

untuk bersama pergi ke Kraton. Dihalaman sekitar Bangsal Kencana sudah

dipenuhi banyak orang. Suasana berkabung mencekam dan sangat hening. Harum

melati, mawar dan dupa memenuhi udara. Jenazah Sultan terbaring dalam peti

berada di tengah Bangsal membujur ke utara diselimuti kain satin putih. Pada

gilirannya kedua Tumenggung tersebut sungkem di muka peti jenazah dan

memberi salam takzim. Mereka kemudian menghampiri ibu dan permaisuri Sri


(48)

menyampaikan belasungkawa. Para tamu berdatangan. Lewat satu jam kedua

Tumenggung meninggalkan ruangan. Sementara diluar Kraton banyak pelayat

yang berdatangan guna memberikan penghormatan terahkir pada Rajanya.

Pada Jumat paginya, sekitar pukul 07.30, Tumenggung Secodinigrat dan

Tumenggung Reksonegoro pergi melayat ke Kraton dalam satu kereta. Mereka

turun alun-alun selatan, tempat banyak kereta berjejer. Lalu keduanya berjalan

kaki menuju Bangsal Kencana. Sementara suara bedug terdengar jauh. Lalu bunyi

gamelan mangalun membawakan gendingi Monggang, yang iramanya maratap

dan menyayat hati. Tamu terus berdatangan memenuhi pelataran Bangsal

Kencana. Sekitar pukul 08.30 muncul 12 prajurit Kraton yang dengan perlahan

mengangkat jenazah Sultan Hamengku Buwono III. Payung kebesaran berwarna

kuning emas yang semula berada di sebelah peti jenazah dibawa ke luar bangsal.

Gending Mogangan mengalun terus. Secara bergantian, prajurit Kraton, para

keluarga dan kawan terdekat mengusung jenazah Sultan ke pintu gerbang

Mogangan, tempat kereta jenazah menanti.20

Kereta berwarna kuning emas dihiasi bunga melati, asparagus, dan

anggrek. Dengan hati-hati peti jenazah dimasukkan kedalam kereta. Sementara di

atas kuda putih, komandan prajurit Kraton menyiapkan pasukannya. Pukul 09.00

kereta jenazah mulai bergerak, diawali pasukan musik terdiri dari 12 tambur, 8

terompet, 12 seruling, 2 gong kecil, dan 2 gending. Dengan lirih dibunyikan irama

Laratangis. Dibelakang pasukan musik berbaris 200 prajurit Kraton. Di depan

kereta berjalan beberapa abdi dalem sambil terus menyebarkan sawur berupa

20 Ibid., hal. 95


(49)

beras kuning campur bunga melati, mawar dan kenanga. Para keluarga Sri Sultan

berjalan di belakang kereta jenazah diikuti pelayat lainnya. Setelah sampai

alun-alun selatan kereta jenazah berhenti diantara pohon beringin kembar. Para

keluarga dan pelayat lalu naik ke dalam kereta masing-masing yang sudah

menunggu di situ. Ada sekitar 100 kereta menunggu di alun-alun selatan. Di tepi

jalan yang menuju ke kompleks makam kerajaan di Imogiri, ribuan rakyat

menyaksikan prosesi ini. Menjelang pukul 14.00 kereta jenazah tiba di Imogiri.

Kompleks makam itu berada di atas bukit untuk mencapainya harus naik 400

anak tangga. Jenazah Sri Sultan diusung ke masjid Pajimatan yang terletak di kaki

bukit untuk disembayangkan dahulu sebelum diusung ke atas. Tidak lama

kemudian, diawali dengan bunyian tambur, 12 prajurit mengusung peti jenazah

dengan perlahan dan hati-hati mendaki anak tangga. Setiap sepuluh menit prajurit

lain menggantikannya.

Satu jam berlalu sebelum peti tiba di atas. Kompleks makam kerajaan ini,

yang terletak diatas bukit, yang kemudian dikenal dengan nama Pasareyan

Pajimatan, dibangun oleh Sultan Agung yang memerintah antara tahun

1627-1647. Pada saat itu terdapat 4 kompleks makam, yang terbagi menjadi atas

Kesultanan Agung, Paku Buwono, Kasuwargan Surakarta, dan Kasuwargan

Yogyakarta. Jenazah Sultan Hamengku Buwono III masuk ke Kasuwargan

Yogyakarta. Liang lahat sudah disiapkan menanti peti yang diturunkan


(50)

dan payung emas ditancapkan di ujung kepala makam, di sisi kiri letak makam

Sultan Paku Buwono I.21

Selesai pemakaman, keluarga dan kawan dekat Sri Sultan, termasuk

Tumenggung Secodiningrat dan Reksonegoro, melakukan upacara ngebekten,

menghaturkan sembah pada makam Sultan, diikuti penaburan bunga.

21 Ibid., hal. 96


(51)

BAB IV

AKHIR KEKUASAAN TAN JIN SING

A. Sultan Sepuh “Come Back

Belanda kembali melancarkan serangan besar-besaran. Dalam serangan

kali ini di bawah pimpinan Mayor Jendral Van Geen didukung prajurit Kraton

pimpinan Pangeran Panular dan Murdaningrat. Penyerbuan pada bulan juli 1826

ini memilih sasaran markas besar Pangeran Diponegoro di Dekso. Tetapi mereka

menemukan desa Dekso yang sudah kosong, karena barisan Diponegoro sudah

menyingkir lebih dahulu, setelah mengetahui pasukan musuh jauh lebih besar.

Setelah 20 hari menduduki Dekso, Van Geen dengan pasukannya berangkat

kembali ke Yogyakarta. Sementara Pangeran Panular dan Pangeran Murdaningrat

dengan prajuritnya yang ditambah satu kompi tentara Belanda pimpinan Letnan

Haubert tetap di Dekso. Dalam perjalanan pulang melewati daerah Kasuran yang

berjurang, terjadi penyergapann gemilang oleh barisan Diponegoro yang dipimpin

Sentot Prawirodirjo. Banyak prajurit Belanda tewas bergelimpangan dalam

jurang. Van Geen sendiri berhasil meloloskan diri dan tiba dengan selamat di

Yogyakarta. Jendral ini lalu memerintahkan sisa pasukannya dan prajurit Kraton

yang masih di Dekso untuk kembali saja ke Yogyakarta melalui Lengkong yang

dianggap aman.

Pada 30 Juli 1826, Letnan Haubert, Pangeran Panular, dan pangeran

Murdaningrat bersama seluruh pasukannya meninggalkan Dekso. Di Lekong

mereka dicegat oleh barisan Diponegoro, yang dipimpin oleh Sentot Prawirodirjo


(52)

dan Pangeran Diponegoro. Kedua pemimpin tersebut berhasil memukul musuh

yang menderita kerugian besar, termasuk terbunuhnya Letnan Haubert, Pangeran

Panular, dan Pangeran Murdaningrat. Meskipun memenangkan pertempuran

namun Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi sedih atas meninggalnya kedua

Pangeran tersebut. Pangeran Panular adalah paman Pangeran Mangkubumi dan

Pangeran Murdaningrat adalah kakaknya. Mendengar kekalahan ini, Jendral De

Kock menjadi gelisah dan mencari siasat baru. Ia mengusulkan kepada Komisaris

Jendral Belanda agar Sultan Sepuh yang berada dalam pengasingan di Ambon, di

angkat kembali menjadi raja Yogyakarta dengan harapan wibawanya dapat

mengakhiri pemberontakan. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1812 Sultan

Sepuh diasingkan Inggris ke Penang dan setelah Jawa dikembalikan kepada

Belanda, ia dipindahkan ke Ambon.22

Sultan Sepuh sangat bergembira menerima surat tawaran Belanda untuk

diangkat kembali menjadi raja Yogyakarta. Ia menyatakan bersedia membantu

Belanda untuk memulihkan keamanan di Jawa bila ia nanti kembali menjadi

kembali menjadi Sultan Hamengku Buwono II. Dengan menumpang kapal

“Melempas” Sultan Sepuh dan istrinya, Ratu Kenconowulan meninggalkan

Ambon, pada permulaan bulan Agustus 1826. Kemudian pada tanggal 17 Agustus

1826 bertempat di Istana Bogor, Komisaris Belanda mengangkat Sultan Sepuh

kembali menjadi Sultan Hamengku Buwono II. Mendengar berita itu, Sugiarto

segera menanyakan tanggapan majikannya. Tumenggung Secodiningrat

berpendapat, pengangkatan kembali Sultan Sepuh sebagai Sultan Hamengku


(53)

Buwono II tidak akan mengakhiri peperangan. Pangeran Diponegoro, sejak orang

tuanya masih hidup, sudah tidak cocok dengan kakeknya dan tentu ia tak akan

menghentikan perlawanan terhadap Belanda, hanya karena kakeknya kembali

menjadi Sultan Yogyakarta. Ternyata dengan “come back”nya Sultan Sepuh

menjadi Sultan Yogyakarta memang tidak menggoyahkan semangat perjuangan

barisan Diponegoro. Hal ini terbukti pada tanggal 28 Agustus 1826, ketika

pertahanan Belanda di Delanggu diserang pasukan Diponegoro. Dalam

pertempuran dahsyat ini tak terhitung korban serdadu musuh maupun senjata yang

dirampas. Untuk merayakan kemenangan ini Pangeran Diponegoro dan para

pengikutnya mencukur habis rambut mereka.

Sultan Hamengku Buwono II sendiri baru tiba di Yogyakarta pada 27

September 1826. Pihak Belanda Sibuk mengadakan upacara penyambutan secara

besar-besaran. Di tengah upacara Sultan Sepuh menyerukan agar kaum

pemberontak bersedia meletakkan senjata sambil menegaskan, bahwa

pemerintahan Belanda akan memberi pengampunan bagi mereka yang menaati

seruannya itu. Sultan Sepuh juga menyurati Pangeran Diponegoro agar

mengakhiri peperangan, dan kembali ke Kraton mengingat banyak kerabat Kraton

dan rakyat jadi korban. Surat balasan yang ditulis Pangeran Mangkubumi diterima

Sultan Sepuh pada tanggal 26 Oktober 1826. Isi surat mnyatakan bahwa mereka

tidak pernah memulai peperangan ini. Belanda telah menipu mereka dengan

mengadakan penyerangan secara mendadak atas perintah Residen Smissaert pada

waktu itu. Mereka juga menyesal, Sultan Sepuh yang dahulu terkenal


(54)

setelah Belanda meninggalkan daerah Yogyakarta. Pada bulan November tahun

itu terdengar desas-desus, Sultan Hamengku Buwono II secara rahasia membantu

Diponegoro dalam perjuangan melawan Belanda. Desas-desus ini akhirnya

sampai juga ke telinga pejabat Residen, I. J. Van Sevenhoven. Lalu ia

mengerahkan kaki-tangannya untuk melakukan penyelidikan. Tetapi mereka tidak

bisa menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kemudian Van Sevenhoven

mengadakan wawancara dengan Sultan Hamengku Buwono II memperlihatkan

kebencianya terhadap Diponegoro yang mengangkat dirinya Sultan

Ngabdulhamid Herukoco, dan ia menyatakan ingin melihat cucunya itu

ditumbangkan.

Pada awal bulan November, Tumenggung Secodiningrat menerima surat

kawan lamanya, Kapten Trevers tentang Raffles sebagai lanjutan dari surat yang

dikirim sebelumnya. Surat kali ini ditulis dari Irlandia, tempat ia tinggal setelah

meninggalkan Bengkulu. Isi surat tersebut sebagai berikut : Raffles dua kali

berada di Singapura. Pertama kali untuk menduduki dan kedua kali untuk

membangunnya sebagai kota pelabuhan, tempat persinggahan kapal-kapal dari

Eropa menuju Asia.

Sejak perawatan terakhir ke Singapura, Juli 1823, Raffles sering

menderita sakit kepala. Obat yang diberikan dokter tidak dapat

menyembuhkannya, hanya meringankan rasa sakitnya. Bila ia lelah setelah kerja


(55)

menyembuhkan sehingga memutuskan kembali ke tanah airnya, yang

dilaksanakan pada 2 Februari 1824 menumpang kapal “Fame” bersama istrinya. 23

B. Hamengku Buwono II Mangkat

Sejak bulan November Sultan Hamengku Buwono II menderita sakit

tenggorokan. Gangguan ini mengakibatkan ia sulit bicara dan susah menelan

makanan sehingga terpaksa setiap hari ia hanya makan bubur beberapa sendok.

Obat dari dokter tidak dapat menyembuhkan penyakitnya, sementara badannya

makin melemah. Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1828 malam, ia

menghembuskan nafas terkhir dalam usia 78 tahun. Keesokan harinya langsung

dikebumikan di Pasareyan Astana Kitha Hageng dekat Kota Gede. Meninggalnya

Sultan Hamengku Buwono II membuat Gathot Menol diangkat kembali menjadi

Sultan Hamengku Buwono V. Pergantian ini tidak mempengaruhi jalannya

pertempuran antara pasukan Belanda dan barisan Diponegoro. Belanda makin

banyak membangun benteng di daeraah yang mereka kuasai. Di samping itu

mereka mendatangkan prajurit dari Madura, Sulawesi, Maluku, dan Menando

untuk membantu Belanda memerangi barisan Diponegoro. Dari negeri Belanda

mengalir terus persenjataan dan obat-obatan yang dibutuhkan Patroli 24 jam

menjaga hubungan antar benteng.

Di samping mengadakan penyergapan, Belanda juga menjalankan politik

membujuk para pemimpin pejuang agar menyerahkan diri dengan imbalan

menarik. Beberapa pangeran dan tumenggung yang putus asa tidak yakin lagi

23 Ibid., hal. 131.


(56)

akan tercapainya kemenangan, menyerah kepada Belanda. Pada tanggal 18 April

1828, Pangeran Notodiningrat, putra Pangeran Mangkubumi, beserta pengikutnya

masuk perangkap dan menyerah kepada pasukan Belanda. Penyerahan ini sangat

menggembirakan Belanda dan mereka mengharapkan Pangeran Mangkubumi bisa

segera menyerah pula. Sementara itu pertempuran masih terus berlangsung antara

pasukan Belanda dan barisan Diponegoro. Saat itu pusat pertempuran Pangeran

Diponegoro telah dialihkan ke Sambirata. Pada awal bulan September 1828

Belanda mengerahkan pasukan menyerang Sambirata secara besar-besaran.

Melihat kekuatan musuh yang lebih besar Pangeran Diponegoro atas anjuran

pembantunya meninggalkan Sambirata menuju desa Redjasa.

Setelah menemukan markas besar Diponegoro dalam keadaan kosong,

pasukan Belanda membumihanguskan Sambirata dan juga desa sekitarnya. Sentot

yang mendengar hal itu, naik pitam dan mengerahkan pasukannya untuk

menyerang tentara Belanda secara mendadak. Mereka berhasil membuat tentara

Belanda kocar-kacir. Pangeran Diponegoro lalu memutuskan untuk mengalihkan

markas besarnya ke desa Pengasih. Dan di luar dugaan, pada tanggal 5 November

1828. Kyai Maja, yang merupakan orang ke-3 dalam barisan Diponegoro,

menyerah bersama anak buahnya kepada Belanda. Pangeran Diponegoro sangat

terpukul dengann peristiwa ini.

C. Tan Jin Sing Wafat

Sejak permulaan tahun 1830 kesehatan Secodiningrat menurun drastis. Ia


(57)

Ramadhan ia tetap melakukan puasa. Tepat pada hari raya Idul Fitri tanggal 27

Maret 1830, ia jatuh sakit dan tidak bisa meninggalkan tempat tidurnya selama 4

hari. Namun, pada tanggal 1 April, ia masuk kantor meskipun kesehatannya

belum pulih sama sekali. Ia memanggil Hariono untuk mendengar laporan

pertemuan dengan Pangeran Diponegoro dan Jendral De Kock. Haryono

menceritakan dengan panjang lebar, apa yang telah terjadi selama pertemuan di

Magelang pada tanggal 28 Maret itu. Dalam percapakan dengan Hariono yang

membicarakan hal tersebut, Tumenggung Secodiningrat jatuh pingsan. Kemudian

mendapatkan pertolongan dari Endang dan Haryono. Tidak lama kemudian A

Siong dan Dadang datang untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. A Siong adalah

seorang tabib yang biasa menangani Tumenggung. Dengan kejadian tersebut A

Siong menyarankan kapada Dadang bahwa ayahnya tidak boleh bekerja lagi, agar

kelak bisa menikmati sisa hidupnya. Salah satu penyebabnya yaitu ia terlalu

banyak pikiran dan juga sudah lanjut usia.

Kesehatan Tumenggung dalam dua bulan bisa sembuh kembali, setelah

makan obat secara teratur. Dadang setiap hari datang berkunjung melihat ayahnya.

Dadang mengusulkan kepadanya agar sebaiknya berhenti bekerja saja untuk

menjaga kondisi kesehatannya. Kemudian Tumenggung Secodiningrat

menceritakan riwayat hidupnya sejak lahir hingga menjadi bupati. Ia menjelaskan

bahwa memang sudah waktunya ia menyerahkan jabatan kepada Dadang.

Tumenggung menulis surat permohonan berhenti sebagai bupati kepada Sri Sultan

dengan tembusan kepada Gubernur Jendral residen Yogyakarta. Pada Desember


(58)

menyetujui bahwa Dadang menggantikan ayahnya sebagai bupati dengan gelar

Raden Tumenggung Secodiningrat II. Kemudian serah trima dilakukan pada bulan

Januari 1831.

Setelah pensiun menjadi bupati, Tumenggung Secodiningrat I melakukan

aktifitas dengan pergi ke masjid dan membaca Al-quran. Tidak hanya itu, ia juga

menaruh minat pada pewayangan. Dari dalang Hadikusuma kenalan baiknya,

yang meminjami naskah berbgai cerita yang purwa (wayang kulit) yang

bersumber Ramayanan dan Mahabarata. Dan dari temannya Darmoko yang

tinggal di Kebumen, ia juga mendapatkan pinjaman naskah cerita pertunjukan

wayang golek Menak. Selain kedua jenis wayang tersebut, ia juga menaruh minta

pada wayang Kelitik yang menggambarkan lakon hubungan sejarah Majapahit.

Jadi, meskipun ia tidak bekerja lagi, tetapi setiap hari masih mempunyai

kesibukan.

Pada suatu hari ia menyatakan bahwa keinginan kepada istrinya untuk

mengadakan pagelaran wayang purwa (wayang kulit) di rumahnya dalam rangka

memperingati ulang tahun yang ke-71. Sang istri, Endang tidak menyetujuinya

karena pertunjukan yang berlangsung semalam suntuk sangat melelahkan dan bisa

menggangu kesehatan suaminya yang sudah lanjut usia. Mendengar ucapan dari

Endang, Tumenggung Secodinigrat I merasa kesal dan membicarakan dengan

anaknya Dadang. Sifat ayahnya yang keras, Dadang hanya mengatakan tidak

keberatan asalkan ayah bersedia meninggalkan pagelaran sebelum tengah malam.


(59)

Pada awal Maret 1831, Tumenggung Secodingrat I menghubungi dalang

Hadikusumo dan memberitahukan rencana pagelaran wayang purwa dengan cerita

Baratha Yudha di rumahnya pada tanggal 31 Maret, namun sayang sekali jadwal

dalang Hadikusumo sudah padat di bulan Maret. Sang dalang dapat hadir bila

pagelaran dilaksanakan pada pertengahan April asalkan dipilih salah satu cerita

yang sudah sering dipertunjukan. Untuk cerita Baratha Yudha24 yang jarang sekali

dipertunjukan, maka ki dalang harus menyiapkan diri sedikitnya 60 hari. Dalam

hal ini Tumenggung Secodiningrat kecewa dikarenakan tidak bisa dilaksanakan

pada 31 Maret, namum akhirnya ia dapat menyetujui usu ki dalang, agar

pertunjukan diundur hingga 9 Mei. Ia mengehendaki kisah Baratha Yudha, karena

selama hidupnya belum pernah menyaksikan pegelaran yang membawakan cerita

itu. Dan untuk bayaran kepada ki dalang Tumenggung menjanjikan imbalan yang

cukup tinggi.

Pada saat pertunjukan, ternyata di luar dugaan penonton yang datang

berjumlah 1000 orang. Mungkin karena Baratha Yudha jarang sekali dipentaskan

di Yogyakarta. Tumenggung yang duduk bersama Endang di sisi kanan dan

Dadang di sisi kirinya. Tepat pada pukul 9 malam pagelaran dimulai. Orang masih

terus berdatangan sehingga membuat hawa di tempat itu menjadi panas. Sekitar

pukul 10.30, ki dalang membawakan adegan perang antara Gathotkaca, senopati

Pandawa, melawan adipati Karna, senopati Kurawa. Pada waktu sedang

dipertontonkan adipati Karna melepaskan senjata Kunta yang membuat

Gathotkaca gugur, namun Tumenggung merasa kepanasan dan pusing.

24 Baratha Yudha mengkisahkan perang akbar antara kedua keturunan Baratha yaitu Kurawa dan w,lndawa, kisah yang penuh adegan sedih, sendu, tegang, dan penuh kusumat.


(1)

menyetujui bahwa Dadang menggantikan ayahnya sebagai bupati dengan gelar

Raden Tumenggung Secodiningrat II. Kemudian serah trima dilakukan pada bulan

Januari 1831.

Setelah pensiun menjadi bupati, Tumenggung Secodiningrat I melakukan

aktifitas dengan pergi ke masjid dan membaca Al-quran. Tidak hanya itu, ia juga

menaruh minat pada pewayangan. Dari dalang Hadikusuma kenalan baiknya,

yang meminjami naskah berbgai cerita yang purwa (wayang kulit) yang

bersumber Ramayanan dan Mahabarata. Dan dari temannya Darmoko yang

tinggal di Kebumen, ia juga mendapatkan pinjaman naskah cerita pertunjukan

wayang golek Menak. Selain kedua jenis wayang tersebut, ia juga menaruh minta

pada wayang Kelitik yang menggambarkan lakon hubungan sejarah Majapahit.

Jadi, meskipun ia tidak bekerja lagi, tetapi setiap hari masih mempunyai

kesibukan.

Pada suatu hari ia menyatakan bahwa keinginan kepada istrinya untuk

mengadakan pagelaran wayang purwa (wayang kulit) di rumahnya dalam rangka

memperingati ulang tahun yang ke-71. Sang istri, Endang tidak menyetujuinya

karena pertunjukan yang berlangsung semalam suntuk sangat melelahkan dan bisa

menggangu kesehatan suaminya yang sudah lanjut usia. Mendengar ucapan dari

Endang, Tumenggung Secodinigrat I merasa kesal dan membicarakan dengan

anaknya Dadang. Sifat ayahnya yang keras, Dadang hanya mengatakan tidak

keberatan asalkan ayah bersedia meninggalkan pagelaran sebelum tengah malam.


(2)

Pada awal Maret 1831, Tumenggung Secodingrat I menghubungi dalang

Hadikusumo dan memberitahukan rencana pagelaran wayang purwa dengan cerita

Baratha Yudha di rumahnya pada tanggal 31 Maret, namun sayang sekali jadwal

dalang Hadikusumo sudah padat di bulan Maret. Sang dalang dapat hadir bila

pagelaran dilaksanakan pada pertengahan April asalkan dipilih salah satu cerita

yang sudah sering dipertunjukan. Untuk cerita Baratha Yudha24 yang jarang sekali

dipertunjukan, maka ki dalang harus menyiapkan diri sedikitnya 60 hari. Dalam

hal ini Tumenggung Secodiningrat kecewa dikarenakan tidak bisa dilaksanakan

pada 31 Maret, namum akhirnya ia dapat menyetujui usu ki dalang, agar

pertunjukan diundur hingga 9 Mei. Ia mengehendaki kisah Baratha Yudha, karena

selama hidupnya belum pernah menyaksikan pegelaran yang membawakan cerita

itu. Dan untuk bayaran kepada ki dalang Tumenggung menjanjikan imbalan yang

cukup tinggi.

Pada saat pertunjukan, ternyata di luar dugaan penonton yang datang

berjumlah 1000 orang. Mungkin karena Baratha Yudha jarang sekali dipentaskan

di Yogyakarta. Tumenggung yang duduk bersama Endang di sisi kanan dan

Dadang di sisi kirinya. Tepat pada pukul 9 malam pagelaran dimulai. Orang masih

terus berdatangan sehingga membuat hawa di tempat itu menjadi panas. Sekitar

pukul 10.30, ki dalang membawakan adegan perang antara Gathotkaca, senopati

Pandawa, melawan adipati Karna, senopati Kurawa. Pada waktu sedang

dipertontonkan adipati Karna melepaskan senjata Kunta yang membuat

Gathotkaca gugur, namun Tumenggung merasa kepanasan dan pusing.

24 Baratha Yudha mengkisahkan perang akbar antara kedua keturunan Baratha yaitu Kurawa dan w,lndawa, kisah yang penuh adegan sedih, sendu, tegang, dan penuh kusumat.


(3)

Dengan dipapah oleh Endang dan Dadang, ia dibawa ke kamarnya dan

direbahkan di tempat tidur. Tumenggung Secodiningrat tidak bicara apa-apa

langsung tertidur dan mendengkur keras. Dadang memberitahukan kepada

Haryono untuk menjadi wakil tuan rumah selama pertunjukan berlangsung.

Kemudian menemani Endang di kamar ayahnya. Suara gamelan terdengar sampai

kamar. Menjelang subuh Endang melihat suaminya membuka kedua matanya,

kemudian istrinya membangunkan Dadang dan memegang erat tangan

Tumenggung Secodiningrat. Ia mencoba keras untuk berbicara, tapi tak sepatah

kata pun yang mampu diucapkannya. Nafasnya mulai tersendat dan akhirnya ia

menghembuskan nafas terakhir. Sementara jam menunjukkan pukul 6 pagi suara

gamelan tidak terdengar lagi dan hari mulai terang. Kemudian 10 Mei 1831,


(4)

BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan permasalahan Tan Jin Sing : Bupati Yogyakarta Tahun

1813-1830 dapat disimpulkan sebagai berikut ini :

1. Tan Jin Sing yang sebenarnya berasal dari keluarga priyayi Jawa namun

besar di keluarga pecinan dikarenakan kemiskinan yang sedang dialami

ibunya karena ditinggal mati oleh suaminya 6 bulan sebelum anaknya

lahir. Dengan berbagai pertimbangan, ibunya rela anaknya (Tan Jin Sing )

diasuh oleh keluarga Tan Sin Hong. Setelah lepas 7 bulan kembali diasuh

oleh keluarga Cina yaitu Oei Tek Liong hingga dewasa, menikah dengan

istrinya yaitu U Li. Tan Jin Sing yang menjadi penerus usaha ayahnya dan

ayah mertuanya menjadikan Tan Jin Sing sebagai seorang Kapiten Cina di

Yogyakarta. Karena menjadi orang besar dan jabatan yang kuat, kemudian

ia diangkat menjadi bupati.

2. Sebelum dilantik menjadi bupati, Tan Jin Sing terlebih dahulu masuk

Islam, dan setelah itu diberikan gelar Kanjeng Raden Tumenggung

Secodingrat. Pada tanggal 18 September 1813, Tan Jin Sing sah menjadi

bupati Yogyakarta. Dan setelah itu banyak membawa perubahan dalam

Kasultanan Yogyakarat yaitu menjalin hubungan baik antara Inggris dan

pihak Kasultanan. Dalam bidang ekonomi juga mengalami peningkatan.


(5)

3. Tahun 1830 menjadi tahun terahkir menjabat menjadi bupati, dikarenakan

sering sakit-sakit pada waktu bekerja dan usia yang sudah cukup tua,

kemudian Tan Jin Sing pensiun dan menyerahkan jabatan kepada anak

pertamanya yaitu Dadang dengan gelar Tumunggung Secodiningrat II.

Pada tanggal 9 Mei 1831 sebagai perayaan ulang tahun yang ke-71 Tan Jin

Sing meminta untuk diselenggarakan pagelaran wayang kulit. Namun hal

tersebut menjadi perayaan yang terakhir baginya. Karena ditanggal 10 Mei

1831 ia menghembuskan nafas terakhir, dan dimakamkan di Regocolo,

Mrisi, sebelah barat Madukismo.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Budi Suanto. 2003. Identitas Dan Postkolonialitas Di Indonesia. Yogyakarta :

Kanisius

Djamari Saleh. A. 2004. Strategi Menjinakan Diponegoro. Jakarta : Yayasan

Komunitas Bambu.

Dwiyanto Djoko. 2009. Kraton Yogyakarta. Yogyakarta : Paradigma.

Marwati Djoened Poeponegoro, Nogroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional

Indonesia IV. Jakarta : Balai Pustaka.

Sartono Kartodirjo.1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 dari

EmperiumSampai Imperium. Jakarta : PT Gramedia.

Setiono Benny G. 2002. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Elkasa. Jakarta.

Werdoyo, T.S. 1990. Tan Jing Sing Dari Kapiten Cina Sampai Bupati

Yogyakarta. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti.