Kapiten Cina Di Kedu

BAB II TAN JIN SING MENJADI BUPATI

A. Kapiten Cina Di Kedu

Tan Jin Sing atau R. T. Secodiningrat lahir tahun 1760. Ibunya yang bernama R. A Patrawijaya, puteri R. M. Kunting keturunan ketiga Sunan Mangkurat Agung Tegal Arum. Ayahnya yang bekerja sebagai demang desa Kalibeber, dekat Wonosobo. Ayahnya meninggal 6 bulan sebelum ia dilahirkan dalam keadaan miskin. Ayahnya yang bekerja sebagai demang itu sudah lama tidak aktif karena menderita sakit yang membuatnya harus berhutang demi biaya hidup dan pengobatan. Setelah meninggal dunia, ibunya memiliki hutang yang sangat banyak. Dalam suasana seperti itulah Tan Jin Sing lahir. Karena persalinan yang banyak menyerap tenaga, maka R. A. Patrawijaya menjadi lemah. Mungkin karena lama menjaga suaminya yang sakit dan mengabaikan kesehatan dirinya sendiri, selain memang hidup dalam keadaan serba kekurangan. Beruntunglah masih ada seorang kawan dari Ki Demang yang bernama Oei Tek Liong, yang tidak melupakan keluarga yang tertimpa musibah itu dengan terus-menerus memberikan bantuan. 4 Karena penderitaan hidup R. A. Patrawijaya mendorong untuk merelakan Tan Jin Sing kepada keluarga Tan Jin Hong akan memeliharanya sambil menyusui selama 7 bulan. Kemudian diberi nama Tan Jin Sing. Diberikannya nama Tan Jin Sing mengingat anak kandung Sing Hong, yang sebaya sudah diberi 4 Werdoyo, T.S, Tan Jing Sing Dari Kapiten Cina Sampai Bupati Yogyakarta, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1990, hal.1 7 nama Tan Tek Sing. Sebelum pulang Tek Liong memberikan sumbangan untuk klenteng, dan kepada Sing Hong diberikan dana yang memadai untuk mengasuh Jin Sing selama 7 bulan. Tak lama setelah kejadian R. A. Patrawijaya memutuskan untuk tinggal bersama ibunya di Banyumas. Sambil menjenguk sebelum berpisah, Tek Liong memberikan bekal hidup yang cukup untuk ibu kandung Tan Jin Sing. Ternyata drama manusia ini tidak diceritakan kepada istrinya. Hanya beberapa hari sebelum mengambil Tan Jin Sing ia berkata kepada istrinya bahwa ia ingin memungut anak lelaki karena mereka belum dikaruniai anak meskipun sudah sepuluh tahun menikah. Istrinya yang merindukan, namun tidak dapat melahirkan, maka ia setuju. Tepat pada saat Tan Jin Sing berumur 7 bulan, Tek Liong membawanya pulang, kemudian dijelaskan kepada istrinya, ia mengangkat anak dari keluarga Sin Hong, yang diterima istrinya dengan suka cita, apalagi Tan Jin Sing memiliki warna kulit seperti orang Cina. Kebahagiaan menyelimuti keluarga suami-istri Tek Liong. Sayangnya, semua ini hanya berjalan sekitar satu tahun, karena menjelang Tan Jin Sing berusia 2 tahun, istri Tek Liong meninggal dunia sesudah mendadak sakit keras. Hal ini merupakan suatu pukulan bagi keluarga Tek Liong. Setelah setahun lamanya menduda sambil mengasuh putranya seorang diri. Akhirnya ia memutuskan untuk memanggil R. A. Patrawijaya dari Banyumas. Ibu kandung Tan Jin Sing ini segera datang karena ia juga sangat rindu akan anaknya. Begitu bertemu dengan Tan Jin Sing ia langsung terharu dengan air mata berlinang. Si kecil Tan Jin Sing digendong diciumi sepuas hati. Pengaruh ikatan darah pun berbicara. Anak kecil itu sama sekali tidak menolak, meskipun baru pertama kali melihat wanita itu. Bahkan segera membalas memeluk wanita itu erat-erat. Hal ini membawa pengaruh tersendiri pada Tek Liong. Terpikir olehnya, takkan ada orang lain yang bisa mengasuh Tan Jin Sing sebaik ibunya sendiri. Ia pun segera memutuskan untuk melamar R. A. Patrawijaya yang tentu saja senang sekali bisa berkumpul lagi dengan anaknya. Wanita yang bersedia berkorban demi anaknya ini menyandang gelar Raden Ayu, salah satu putri R. M. Kunting, keturunan ketiga Sunan Mataram Mangkurat Agung Tegal Arum. Hal ini berarti Tan Jin Sing adalah keturunan ketiga dari Sunan Mataram tersebut. Dari ibu kandung Tan Jin Sing belajar bahasa Jawa halus dan adat istiadat priyayi Jawa tanpa mengetahui, siapa sebenarnya wanita yang sangat menyayangi dirinya itu. Sedangkan ayahnya memanggil seorang guru untuk mengajar Tan Jin Sing dan anak-anak tetangga ketika berusia 6 tahun. Ia belajar bahasa Cina, berhitung dan adat istiadat Cina. Semua itu membuat Tan Jin Sing, yang memang anak pandai, sudah lancar bahasa Cina, Jawa ngoko dan kromo inggil serta Melayu, ketika usianya masuk 10 tahun. Bahasa Melayu dan Jawa ngoko ia serap lewat percakapan sehari-hari dengan para pembantu dan kawan-kawanya. Ia juga pandai berhitung dengan menggunakan sipoa alat hitung Cina dari kayu. Selain itu ia menggemari epos Ramayana dan Mahabarata. Bila ada pangelaran wayang kulit di Wonosobo, ia selalu hadir dan terkadang baru pulang ke rumah lewat tengah malam. Menjelang 11 tahun usia Tan Jin Sing ibunya jatuh sakit. Segala macam obat telah diberikan, tetapi tidak menolongnya, bahkan membuatnya kian parah. Merasa tidak dapat bertahan lagi, R. A. Patrawiaya memanggil Tan Jin Sing ke kamarnya dan menceritakan siapa ia sebenarnya. Semua ini membuat Tan Jin Sing sangat terharu karena sadar ia sedang berhadapan dengan ibu kandungnya, bukan ibu tiri seperti anggapan selama itu. Namun R. A. Patrawijaya memohon dengan sungguh-sungguh kepada anaknya, agar rahasia ini jangan sampai bocor ke siapa pun. Tan Jin Sing berjanji akan menjaga rahasia ini, sehingga membuat ibunya tenang meninggalkan putranya untuk selama-lamanya. Perasaan duka menyelimuti keluarga Tek Liong dan Tan Jin Sing yang ditinggal R. A. Patrawijaya. Untuk melupakan kesedihan, 6 bulan kemudian Tek Liong mengajak Tan Jin Sing pindah ke Magelang untuk memulai hidup baru dan membangun usahanya yang berangsur-angsur membesar berkat relasinya yang memang tidak sedikit. Setelah dua tahun menduda, Tek Liong berkenalan dengan seorang janda berkecukupan bernama Lim Lian Nio. Keduanya saling jatuh cinta yang berlanjut hingga diresmikannya sebagai suami istri. Ny Tek Liong yang baru ternyata pandai dan punya banyak relasi dengan sejumlah pemuka Cina, Jawa, dan Belanda di daerah Kedu. Berkat bantuanya ini usaha suaminya mengalami kemajuan pesat. Terhadap Tan Jin Sing perhatiannya pun sangat besar. Ia, yang tidak mempunyai anak sendiri, menumpahkan rasa sayang kepada Tan Jin Sing. Untuk menambah pendidikan Tan Jin Sing ia meminta kenalannya, seorang Belanda keturunan Portugis, untuk memberikan pelajaran bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Dasar sang murid berotak encer, dalam waktu 3 tahun ia sudah mahir berbicara maupun menulis dalam kedua bahasa tersebut. Memasuki usia yang ke-17 tahun Tan Jin Sing sudah bisa membantu usaha orang tuanya. Kemampuanya dalam berbagai bahasa membuatnya mudah bergaul dengan berbagai lapisan masayarakat sehingga orang tuanya tambah terkenal. Bapak dari Tan Jin Sing memiliki tiga saudara, yaitu Tek Bhe seorang pengusaha di Semarang, Tek Ho yang juga sebagai pengusaha besar dan kemudian menjadi Kapiten Cina di Yogyakarta, dan Tek Biauw menjadi salah satu bupati di Semarang dengan gelar Kyai Tumenggung Reksonegoro I. Saudara kedua dari bapaknya yang yaitu Tek Ho mempunyai anak yang bernama U Li, ia berusia dua tahun lebih muda dari Tan Jin Sing, dan terkenal cantik. Diantara kedua bersaudara ini sepakat untuk menjodohkan U Li dengan Tan Jin Sing. Ternyata keduanya juga saling mencintai satu sama lainnya, dan kemudian dilanjutkan dengan pesta perkawinan yang berlangsung meriah. Pada waktu itu usia Tan Jin Sing 25 tahun. Sementara itu Tek Liong yang merasa dirinya bertambah tua, mulai berangsur-angsur menyerahkan perkerjaannya kepada Tan Jin Sing, maka hal ini meningkatkan kemampuan Tan Jin Sing sehingga ia tidak mengalami kesulitan ketika ayahnya meninggal dunia lima tahun kemudian. Bahkan usahanya bertambah maju. Pada tahun 1793 ia di angkat sebagai Kapiten Cina untuk daerah Kedu saat berusia 33 tahun. Pada tahun 1802 Tek Ho, mertua Tan Jin Sing yang mulai sakit-sakitan memanggilnya ke Yogya, dan ternyata ia diminta meneruskan usaha sang mertua karena tidak mempunyai anak laki-laki. U Li mendesak Tan Jin Sing agar ia menerima permintaan terakhir itu. Semua ini membuat Tan Jin Sing mengajak keluarganya pindah ke Yogyakarta pada tahun berikutnya. Rumah yang di Magelang di serahkan kepada ibu tirinya, kemudian ia memulai tugas sebagai Kapiten Cina di Yogyakarta. Setelah dua tahun meninggal Tek Ho kemudian disusul istrinya. Tentu saja harta warisan jatuh ke tangan Tan Jin Sing, sehingga menambah kokoh posisinya sebagai salah satu orang terkaya di Jawa Tengah, selain itu kepandaiannya dalam mengolah usaha dan bergaul, membuatnya terkenal tokoh yang mudah diterima semua lapisan masyarakat. Ia juga menjalin hubungan erat dengan pamannya, Kyai Tumenggung Reksonegoro I yang tinggal di pinggir kota Yogyakarta. Pamannya ini menjadi penasihat Sultan dalam bidang keagamaan dan kerohaniawan, tetapi sering juga dimintai pendapat tentang urusan lain. Melalui pamannya, Tan Jin Sing menjalin hubungan dengan para pejabat Kraton. Tidak lama setelah ayahnya meninggal dunia, pamannnya yang Tumenggung ini juga meninggal dunia. Kedudukannya digantikan anaknya, dengan gelar Kyai Tumenggung Reksinegoro II. Sepupunya ini sebaya dengan Tan Jin Sing dan merupakan salah satu kawan baiknya.

B. Kericuhan Di Yogyakarta