Peran Pemberian Ekstrak Tempe terhadap Kadar DNA dan RNA Organ Reproduksi Tikus Betina pada Usia Lepas Sapih

PERAN PEMBERIAN EKSTRAK TEMPE TERHADAP
KADAR DNA DAN RNA ORGAN REPRODUKSI
TIKUS BETINA PADA USIA LEPAS SAPIH

RORO AMBARWATI ARUM PAKARTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Peran Pemberian
Ekstrak Tempe terhadap Kadar DNA dan RNA Organ Reproduksi Tikus Betina
pada Usia Lepas Sapih” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Roro Ambarwati Arum Pakarti
NIM B04100085

ABSTRAK
RORO AMBARWATI ARUM PAKARTI. Peran Pemberian Ekstrak Tempe
terhadap Kadar DNA dan RNA Organ Reproduksi Tikus Betina pada Usia Lepas
Sapih. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan ARYANI SISMIN
SATYANINGTIJAS.
Tempe adalah produk kedelai yang memiliki kandungan fitoestrogen.
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari potensi pemberian ekstrak tempe
terhadap perkembangan reproduksi tikus betina. Sebanyak 18 ekor tikus betina
usia 21 hari dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan perlakuan
yang diberi ekstrak tempe 0.5 g/ekor setiap hari selama 28 hari. Parameter yang
diamati meliputi kadar hormon estrogen, bobot basah, bobot kering, kadar air,
total DNA dan total RNA dari ovarium dan uterus. Pengambilan data dilakukan
pada usia 28, 42 dan 56 hari. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode
Independent Samples T-test dengan selang kepercayaan 95%. Hasil penelitian
menunjukkan peningkatan hormon estrogen dan peningkatan bobot basah uterus

pada kelompok yang diberi ekstrak tempe tetapi tidak berpengaruh terhadap total
DNA dan RNA organ.
Kata kunci: ekstrak tempe, fitoestrogen, ovarium, uterus, total DNA dan RNA

ABSTRACT
RORO AMBARWATI ARUM PAKARTI. The Role of Tempe Extract on DNA
and RNA Level of Reproductive Organs of Female Rat in Weaning Age.
Supervised by NASTITI KUSUMORINI and ARYANI SISMIN
SATYANINGTIJAS.
Tempe is soybean product that contains phytoestrogen. This research was
conducted to study the potential of tempe extract to the reproduction performance
in female rats. Eighten female rats 21-days old were divided into two groups,
which were control group and treatment group that were given tempe extract 0.5
g per rat everyday for 28 days. Parameters observed were estrogen hormone
level, wet and dry weight, water content, total of DNA and total of RNA. Data
obtained at the age of 28, 42 and 56 days. Data analyzed using Independent
Samples T-test method with 95% confidence interval. Result showed that
treatment group increased estrogen hormone level and increased wet weight of
uterus but there was no influence on the total of DNA and RNA of organs.
Keywords: tempe extract, phytoestrogen, ovarium, uterus, total of DNA and RNA


PERAN PEMBERIAN EKSTRAK TEMPE TERHADAP
KADAR DNA DAN RNA ORGAN REPRODUKSI
TIKUS BETINA PADA USIA LEPAS SAPIH

RORO AMBARWATI ARUM PAKARTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt atas segala karunia-Nya

sehingga skripsi yang berjudul “Peran Pemberian Ekstrak Tempe terhadap Kadar
DNA dan RNA Organ Reproduksi Tikus Betina pada Usia Lepas Sapih” ini
berhasil diselesaikan.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai
pihak. Dengan segala hormat dan setulus hati, penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Keluarga tercinta: ayah, ibu, adik (Ammar Sanggarizki), Eyang
Wisnubroto Kariokusumo (alm) serta segenap keluarga besar RM
Soegiarto dan M. Nawawi atas segala dukungan, doa, dan kasih sayang
yang tidak pernah putus diberikan.
2. Dr. Nastiti Kusumorini dan Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc
selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan
selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi selaku dosen pembimbing akademik atas
bimbingan, dan ilmu yang diberikan selama kuliah di FKH.
4. Staf laboratorium Fisiologi dan staf UPHL (Bu Ida, Bu Sri, Pak Dikdik).
5. Teman-teman sepenelitian: Retno Tegarsih, Nur Hasreena Nadia, Nurul
Chotimah, Ghina Indriani, Erlanda Satria, Alfonsa dan Firman yang
telah bersama-sama berjuang mengurus tikus dan mengumpulkan data
penelitian.

6. Seluruh teman-teman Acromion (FKH 47).
Penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam penulisan
skripsi ini. Namun penulis tetap berharap, semoga penulisan skripsi ini dapat
bermanfaat dan memberikan tambahan ilmu. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Roro Ambarwati Arum Pakarti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2


Mekanisme Hormonal Reproduksi Betina

2

Fitoestrogen dalam Tempe

3

METODE

3

Waktu dan Tempat

3

Alat dan Bahan

4


Prosedur Penelitian

4

Parameter yang Diamati dan Teknik Pengukuran

5

Analisis Data

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Pengaruh Pemberian Ekstrak Tempe terhadap Kadar Hormon Estrogen Tikus
Betina Usia Lepas Sapih
7

Pengaruh Pemberian Ekstrak Tempe terhadap Pertumbuhan Organ Ovarium
Tikus Usia Lepas Sapih

8

Pengaruh Pemberian Ekstrak Tempe terhadap Pertumbuhan Organ Uterus Tikus
Usia Lepas Sapih
9
SIMPULAN DAN SARAN

11

Simpulan

11

Saran

11


DAFTAR PUSTAKA

11

LAMPIRAN

14

RIWAYAT HIDUP

23

DAFTAR TABEL
1 Rataan kadar hormon estrogen (pg/mL) tikus betina usia 28, 42 dan 56
hari
7
2 Bobot basah, bobot kering, kadar air, total DNA dan total RNA organ
ovarium tikus usia 28, 42 dan 56 hari
8
3 Bobot basah, bobot kering, kadar air, total DNA dan total RNA organ

uterus tikus usia 28, 42 dan 56 hari
10

DAFTAR GAMBAR
1 Bagan Pemberian Ekstrak Tempe
2 Bagan Prosedur Penelitian

5
5

DAFTAR LAMPIRAN
1 Analisis data estradiol tikus betina usia lepas sapih
14
2 Analisis data bobot basah, bobot kering, kadar air, total DNA dan total
RNA organ ovarium tikus
15
3 Analisis data bobot basah, bobot kering, kadar air, total DNA dan total
RNA organ uterus tikus
19

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tempe adalah produk kedelai yang paling banyak dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional, rata-rata
konsumsi tempe di Indonesia sekitar 7,091 kg/orang/tahun (BPS 2013). Tempe
berasal dari biji kedelai yang difermentasi dengan bantuan ragi. Tempe memiliki
nilai gizi yang tinggi seperti asam amino, vitamin, dan fitoestrogen. Fitoestrogen
merupakan suatu substrat dari tumbuhan yang struktur dan fungsinya mirip
dengan estrogen dan banyak ditemukan di dalam makanan. Fitoestrogen dapat
digolongkan menjadi isoflavon, coumestans, dan lignan. Fitoestrogen yang
terdapat dalam tempe adalah golongan isoflavon (Rishi 2002).
Reproduksi merupakan keseluruhan suatu proses yang meliputi
perkembangbiakan makhluk hidup dari sel kecambah sampai terbentuk individu
baru. Sistem reproduksi melibatkan suatu substansi yang penting yaitu hormon
(Hafez et al. 2000). Organ reproduksi mulai berfungsi pada masa pubertas yang
ditandai siklus berahi dan ovulasi, juga terjadi perubahan-perubahan pada organ
kelamin sekunder. Estrogen akan merangsang pertumbuhan uterus untuk
meningkatkan massa endometrium dan miometrium, merangsang kontraktil
uterus, proliferasi dan differensiasi epitel vagina (Ganong 2003). Pertumbuhan
organ reproduksi yang kurang optimal pada masa prapubertas akan berakibat
buruk terhadap kinerja reproduksi hewan di kemudian hari. Menurut Ganong
(2003), rendahnya kadar estrogen di masa prapubertas menyebabkan uterus tidak
berkembang, miometrium atropi dan inaktif. Vander et al. (2001) menyatakan
bahwa selama masa prapubertas konsentrasi hormon gonadotropin dalam plasma
sangat rendah. Hal ini berdampak pada rendahnya kadar estrogen dalam tubuh
sehingga belum mampu menginduksi terjadinya proses reproduksi. Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk mencari sumber estrogen dari luar tubuh
(estrogen eksogen) sebagai pengganti estrogen endogen. Salah satu contoh dari
estrogen eksogen adalah fitoestrogen terutama di dalam tempe.
Pemberian fitoestrogen yang bersifat estrogenik akan memengaruhi
pertumbuhan, perkembangan serta fungsi sistem reproduksi. Efek estrogenik
fitoestrogen dalam jumlah tertentu memungkinkan terjadinya peningkatan kadar
estrogen dalam tubuh. Pengaruh fitoestrogen dalam tempe terhadap pertumbuhan
reproduksi dibuktikan dalam penelitian Mohamud (2013) yang melaporkan bahwa
pemberian ekstrak tempe sebanyak 0.25 g per ekor setiap harinya akan
meningkatkan hormon estrogen, bobot basah dan bobot kering organ ovarium
serta uterus pada kelompok tikus perlakuan usia 42 hari tetapi tidak berpengaruh
terhadap total konsentrasi deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid
(RNA). Peningkatan kadar DNA menggambarkan meningkatnya proliferasi dan
mitosis sel. Kadar RNA menggambarkan aktivitas sintesis protein. Akan tetapi,
pada usia 28 dan 56 hari, pemberian ekstrak tempe 0.25 g/ekor/hari tidak
menunjukkan pengaruh yang berarti terhadap bobot ovarium dan uterus tikus serta
konsentrasi DNA dan RNA. Berdasarkan hal tersebut, dibutuhkan penelitian lebih
lanjut mengenai pemberian ekstrak tempe dengan dosis lebih tinggi yang

2
diharapkan akan memengaruhi kinerja reproduksi lebih berarti dalam kaitannya
dengan optimalisasi reproduksi tikus (Rattus novergicus) betina.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ektrak tempe
pada anak tikus usia 21 hari selama 28 hari dengan dosis 0.5 g per ekor per hari
terhadap perkembangan reproduksi saat usia 28, 42, dan 56 hari.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efektivitas
fitoestrogen dalam tempe yang diberikan pada tikus betina lepas sapi terhadap
kinerja reproduksi dan pertumbuhan reproduksinya. Data yang diperoleh
diharapkan dapat mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya
bidang kedokteran

TINJAUAN PUSTAKA
Mekanisme Hormonal Reproduksi Betina
Proses reproduksi dimulai pada masa pubertas. Masa pubertas pada hewan
betina ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi (Campbell et al. 2004).
Sebelum pubertas, organ reproduksi akan mengalami pertumbuhan dan
perkembangan akibat pengaruh hormon-hormon gonadotropin. Salah satu hormon
gonadotropin yang berperan sebelum pubertas adalah estrogen. Menurut Hafez et
al. (2000), estrogen akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan organ
reproduksi, perkembangan sifat seksual sekunder, perilaku persiapan kawin,
persiapan uterus untuk implantasi (kehamilan) dan perkembangan kelenjar
mammae.
Pada tikus betina, proses reproduksi diawali dengan vaginal opening dan
terjadinya siklus berahi yang terdiri dari fase proestrus, fase estrus, fase metestrus,
dan fase diestrus. Mekanisme siklus berahi juga menyebabkan pergantian fasefase yang terjadi di ovarium yaitu fase folikular yang berlangsung saat proestrus
dan estrus serta fase luteal yang berlangsung saat metestrus dan diestrus (Campbel
et al. 2004). Fase folikular terjadi atas pengaruh Follicle Stimulating Hormone
(FSH) yang menyebabkan perkembangan beberapa folikel dalam ovarium.
Perkembangan folikel akan terus terjadi sampai dengan ukuran maksimal untuk
diovulasikan. Fase ini ditandai dengan tingginya kadar estrogen yang dihasilkan
folikel yang sedang berkembang dalam ovarium dan kemudian akan memicu
sekresi Luteinizing Hormone (LH) dan ovulasi. Setelah terjadi ovulasi, akan
terbentuk korpus luteum yaitu badan kuning yang terdiri dari sel-sel teka
granulosa yang mengalami proliferasi dan diferensiasi menjadi sel-sel lutein atas
pengaruh LH. Fase ini merupakan fase luteal yang ditandai dengan tingginya

3
kadar progesteron yang diperlukan untuk memelihara kebuntingan jika terjadi
fertilisasi. Apabila tidak terjadi fertilisasi atau kebuntingan, korpus luteum akan
beregresi dan kadar progesteron akan menurun (Guyton dan Hall 1997).
Sedangkan estrogen yang disekresikan saat fase folikular akan digunakan untuk
proliferasi sel-sel pada uterus sehingga pada awal fase folikular uterus memiliki
lapisan endometrium yang kaya pembuluh darah (Campbell et al. 2004). Estrogen
yang telah berikatan dengan protein reseptor di dalam sitoplasma sel target akan
bermigrasi ke dalam inti sel dan berikatan dengan DNA, kemudian akan segera
memulai transkripsi DNA-RNA dalam area kromosom yang akhirnya terjadi
pembelahan sel (Guyton 1996). Hormon estrogen juga berpengaruh terhadap
perkembangan organ reproduksi yang akan mulai berfungsi pada saat mencapai
pubertas (Ganong 2003).

Fitoestrogen dalam Tempe
Fitoestrogen merupakan senyawa yang mempunyai aktivitas estrogenik
(Tsouronis 2004). Fitoestrogen pada tumbuhan paling umum ditemukan dalam
bentuk coumestans dan isoflavon. Isoflavon terdiri dari tiga senyawa yakni
genistein, daidzein, dan glycitin. Kedelai adalah salah satu tumbuhan yang
memiliki kandungan isoflavon tinggi. Tempe yang merupakan produk olahan
kedelai memiliki kandungan isoflavon lebih tinggi dibanding kedelai (Ewan et al.
1992). Cincin fenolat pada isoflavon merupakan struktur penting pada
kebanyakan komponen isoflavon yang berfungsi untuk berikatan dengan reseptor
estrogen (Winarsi 2005). Ada 2 reseptor estrogen di dalam tubuh yaitu reseptor
estrogen alfa (ERα) dan reseptor estrogen beta (ERβ), distribusi kedua reseptor ini
berbeda. Reseptor estrogen α terdapat pada organ uterus, testis, hipofisis, ginjal,
epididimis, dan adrenal, sedangkan reseptor estrogen β terdapat di ovarium,
prostat, paru-paru, kandung kemih, dan tulang. Pengaturan fungsi ovarium oleh
sumbu hipofisis-ovarium diperantarai oleh reseptor α, sedangkan estrogen yang
disekresikan ke dalam folikel ovarium bekerja melalui reseptor estrogen beta
(Ganong 2003).
Menurut Suprihatin (2008), kandungan total senyawa isoflavon pada tepung
tempe sebesar 901.24 mg/kg BK (90.124 mg/100 g BK) jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan total senyawa isoflavon tepung kedelai sebesar 206.37
mg/kg BK (20.637 mg/100 g BK). Tingginya senyawa isoflavon pada tepung
tempe karena untuk pembuatan tepung tempe dibutuhkan kedelai dalam jumlah
yang lebih banyak daripada pembuatan tepung kedelai, dan semakin banyak
kedelai semakin banyak pula kandungan isoflavonnya.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Unit Pengelola Hewan Laboratorium (UPHL),
Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi dan

4
Laboratorium Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari-Juli 2014.

Alat dan Bahan
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus Rattus
novergicus galur Sprague Dawley betina. Selama penelitian, pakan dan minum
diberikan ad libitum. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kandang tikus plastik berukuran 30cmx20cmx12cm dengan penutup kawat kasa
yang dialasi sekam pada dasarnya, timbangan analitik, mortar, sonde lambung,
alat sentrifugasi darah, spoit 1 mL, spoit 3 mL, tabung effendorf, tabung reaksi,
pot organ, alat bedah (alas bedah, gunting, pinset, skalpel), kit DRG Estradiol
ELISA EIA-293 produksi DRG Instruments GmBH Germany dan
spektrofotometer Hitachi tipe U-2001. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah ekstrak tempe dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balitro),
aquades, Neutral Buffered Formalin (NBF) dan eter. Dalam pengujian kadar RNA
digunakan TCA 5%, KOH 1 N, H2O, HCl 1 N, FeCl3 0.1%, orcinol dan standar
RNA. Dalam pengujian kadar DNA digunakan TCA 5% dan Genomic DNA Mini
Kit (Tissue).

Prosedur Penelitian
Tikus putih betina yang telah lepas sapih pada usia 21 hari dibagi menjadi 2
kelompok percobaan. Kelompok pertama sebagai kelompok kontrol yang tidak
diberi perlakuan dan kelompok kedua sebagai kelompok perlakuan yang diberi
ekstrak tempe dengan dosis 0.5 g/ekor/hari dalam 1 mL larutan. Ekstrak tempe
diberikan menggunakan sonde lambung selama 28 hari dimulai pada saat tikus
berusia 21 hari sampai dengan tikus berusia 48 hari.
Setelah tikus berusia 28, 42, dan 56 hari, beberapa tikus dari masing-masing
kelompok percobaan dinekropsi. Nekropsi diawali dengan pembiusan tikus
menggunakan larutan eter kemudian dilakukan pengambilan darah secara
intracardial menggunakan spoit 3 mL. Selanjutnya, dilakukan pembukaan rongga
abdominal untuk pengambilan ovarium dan uterus. Sampel darah kemudian
disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 15 menit dan didiamkan selama
4 jam untuk mendapatkan sampel serum darah yang disiapkan untuk analisa kadar
hormon estrogen. Bagan prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

5
Pemberian ekstrak tempe

21

28

42

48

56

Usia lepas sapih
Pengambilan data reproduksi

Gambar 1 Bagan Pemberian Ekstrak Tempe

Tikus betina lepas sapih usia 21 hari
(18 ekor)

Kontrol (K):
Tidak diberi perlakuan
(9 ekor)

Usia 28 hari

Perlakuan (P):
Diberi ekstrak tempe selama 28 hari
(9 ekor)

Usia 42 hari

Usia 56 hari

Pengambilan sampel darah, ovarium dan uterus

Pengukuran parameter

Gambar
3 Bagan
Prosedur
Penelitian
(bobot basah,
bobot
kering, kadar
DNA dan
RNA, kadar hormon estrogen)

Gambar 2 Bagan Prosedur Penelitian

Parameter yang Diamati dan Teknik Pengukuran
Konsentrasi kadar hormon estrogen
Konsentrasi kadar hormon estrogen dinyatakan dalam satuan ng/mL diukur
menggunakan sampel serum darah dengan teknik ELISA memakai kit komersial.
Pengukuran dilakukan di Laboratorium Departemen Klinik, Reproduksi dan
Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bobot organ
Organ ovarium dan uterus yang diperoleh ditimbang menggunakan
timbangan analitik untuk mendapatkan bobot basah. Ovarium dan uterus

6
kemudian dimasukkan ke dalam pot organ berisi larutan NBF untuk difiksasi.
Setelah difiksasi, organ ovarium dan uterus dikeringkan menggunakan oven pada
suhu 50-60 oC. Organ yang telah kering ditimbang menggunakan timbangan
analitik untuk mendapatkan bobot kering dan kemudian digerus untuk analisis
konsentrasi DNA dan RNA.
Kadar air organ
Kadar air organ ovarium dan uterus dapat diperoleh dengan rumus :
Kadar air (%) =
Konsentrasi DNA organ
Metode penentuan konsentrasi DNA dilakukan berdasarkan instruksi
prosedur perusahaan Geneaid (PT Genetika Science Indonesia 2008). Sampel
ovarium dan uterus dimasukkan ke dalam micropestle. Selanjutnya ditambahkan
TCA 5%, ditutup dan dimasukkan ke dalam penangas air selama 20 menit.
Sampel kemudian didinginkan selama 5 menit dan disentrifugasi pada kecepatan
1500 rpm selama 20 menit. Supernatan dipisahkan dan pelet yang diperoleh
diekstraksi ulang seperti tata cara di atas. Supernatan hasil ekstraksi pertama dan
kedua dicampur, kemudian diencerkan sampai volume 15 mL dengan TCA 5%
dan disimpan dalam refrigerator selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan
pewarnaan dan pengujiaan konsentrasi DNA menggunakan Genomic DNA Mini
Kit (Tissue) dan dibaca menggunakan spektrofotometer (Hitachi U-2001) dengan
panjang gelombang 260 nm. Konsentrasi DNA dinyatakan dalam satuan
milligram per gram sampel. Perhitungan total konsentrasi DNA dapat diperoleh
dengan rumus :
Total kadar DNA = Konsentrasi DNA (mg/g sampel) x Bobot kering (mg)
Konsentrasi RNA organ
Metode penentuan konsentrasi RNA dilakukan berdasarkan metode yang
dimodifikasi dan digunakan oleh Manalu dan Sumaryadi (2008). Sampel ovarium
dan uterus dimasukkan ke tabung reaksi. Setelah itu, sebanyak 1 mL KOH 1 N
ditambahkan pada setiap sampel dan diletakkan pada penangas air 37 oC selama 5
jam. Selanjutnya tabung reaksi ditempatkan dalam wadah yang berisi es dan
ditambahkan 100 µl HCl 6 N. Dalam tempat yang sama, 5 mL TCA 5%
ditambahkan sehingga terbentuk larutan putih keruh. Larutan ini kemudian
disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit. Supernatan
dipisahkan pada tabung 15 mL dan disimpan. Pelet yang diperoleh diekstraksi
ulang dengan 5 mL TCA 5% dan kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2500
rpm selama 15 menit. Supernatan hasil ekstraksi pertama dan kedua kemudian
diencerkan sampai volume 15 mL dengan TCA 5%. Selanjutnya dilakukan
pewarnaan dan pengujian kadar RNA dengan mempersiapkan tabung reaksi yang
dilabel untuk blank, standar, dan sampel. Masing-masing tabung reaksi diisi
reagan FeCl3 0.1 % dan 100 µl orcinol 10.75% hingga berwarna kuning.
Selanjutnya semua tabung ditutup dengan aluminium foil dan diletakkan pada
penangas selama 30 menit. Pemanasan diusahakan merata untuk setiap tabung
sehingga larutan akan berwarna hijau. Konsentrasi RNA dalam tabung dibaca
dengan spektrofotometer (Hitachi U-2001) dengan panjang gelombang 280 nm.

7
Konsentrasi RNA dinyatakan dalam satuan milligram per gram sampel.
Perhitungan total kadar RNA dapat diperoleh dengan rumus :
Total kadar RNA = Konsentrasi RNA (mg/g sampel) x Bobot kering (mg)

Analisis Data
Hasil pengukuran kadar hormon, bobot basah, bobot kering, kadar air dan
kadar DNA dan RNA ovarium dan uterus dinyatakan dengan rataan ± simpangan
baku. Perbedaan antar kelompok akan diuji secara statistika dengan uji
independent sample t-test.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemberian Ekstrak Tempe terhadap Kadar Hormon Estrogen
Tikus Betina Usia Lepas Sapih
Kadar hormon estrogen tikus betina usia lepas sapih yang diberi ekstrak
tempe dengan dosis 0,5 g/ekor/hari dan kelompok kontrol pada berbagai usia
dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Hasil yang diperoleh merupakan rataan ±
simpangan baku.
Tabel 1 Rataan kadar hormon estrogen (pg/mL) tikus betina usia 28, 42 dan 56
hari
Usia
(hari)

Kelompok
Kontrol

Perlakuan

28
11.060±3.152
17.573±3.839
42
3.443±0.427a
8.880±1.592b
56
9.763±5.273
10.880±5.394
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil berbeda
nyata pada taraf uji 5%.

Hasil analisis kadar hormon estrogen menunjukkan adanya perbedaan kadar
hormon estrogen antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dari setiap
usia yang diamati. Namun perbedaan nyata (P