Multiplikasi in vitro Tanaman Pisang Kepok Merah (Musa paradisiaca cv. Kepok Merah)

MULTIPLIKASI IN VITRO TANAMAN PISANG KEPOK
MERAH (Musa paradisiaca cv. Kepok Merah)

EVA KHAERUNNISA

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Multiplikasi in vitro
Tanaman Pisang Kepok Merah (Musa paradisiaca cv. Kepok Merah) adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Eva Khaerunnisa
NIM G34090065

ABSTRAK
EVA KHAERUNNISA. Multiplikasi in vitro Tanaman Pisang Kepok Merah
(Musa paradisiaca cv. Kepok Merah). Dibimbing oleh DIAH RATNADEWI dan
NINA RATNA DJUITA.
Pisang kepok merah merupakan kultivar pisang yang memiliki daging
buah berwarna kuning kemerahan. Kepok merah memiliki manfaat yang lebih
spesifik yakni sebagai makanan pendamping air susu ibu. Pengadaan bibitnya
masih menjadi kendala. Kultur jaringan di antaranya merupakan cara untuk
memperbanyak pisang tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mencari formula
media inisiasi dan multiplikasi pisang kepok merah dalam rangka memperbanyak
tanaman. Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap kesatu adalah menentukan
metode sterilisasi eksplan yang efektif dari dua metode sterilisasi yang digunakan.
Sterilisasi 1 menggunakan berturut-turut Bayclin 20%, Bayclin 30%, Agrept,
Dithane M-45, dan alkohol 70%, sedangkan sterilisasi 2 menggunakan Bayclin
5%, Bayclin 15%, dan alkohol 70%. Tahap kedua adalah inisiasi dan multiplikasi

tunas dengan menggunakan dua media dasar yaitu: Murashige dan Skoog (MS)
modifikasi dan Woody Plant (WP), yang dikombinasikan dengan IAA 0.2 mg/L
dan 2 taraf Benzil Amino Purin (BAP) 3 dan 5 mg/L. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa metode sterilisasi 1 lebih baik dibandingkan dengan metode
sterilisasi 2. Media WP dan MS modifikasi dengan penambahan BAP 5 mg/L
yang dikombinasikan dengan Indol Acetic Acid (IAA) 0.2 mg/L terbukti dapat
menghasilkan nodul pada eksplan namun, media WP lebih mendukung
pertumbuhan dan perkembangannya dilihat dari jumlah nodul dan jumlah tunas
yang dihasilkan.
Kata kunci: media MS modifikasi, media WP, multiplikasi, pisang kepok merah.

ABSTRACT
EVA KHAERUNNISA. In Vitro Multiplication of Plantain Kepok Merah (Musa
paradisiaca cv. Kepok Merah). Supervised by DIAH RATNADEWI and NINA
RATNA DJUITA.
Kepok merah is one of the cooking bananas having yellow redish
mesocarp. Kepok merah has a specific benefit as baby food besides breast fed.
The major problem in developing this plantain is the lack of plant seedlings. In
vitro multiplication was considered as a technique to solve the problem. This
research was aimed to select the best media for the multiplication of plantain

kepok merah. Two steps of work have been done which were sterilization method
and then treatments in the initiation and multiplication media. Sterilization 1 used
consecutively substances Bayclin 20%, Bayclin 30%, Agrept, Dithane M-45, and
alcohol 70% while sterilization 2 used Bayclin 5%, Bayclin 15%, and alcohol
70%. Two basic media (modified MS and WP) were used, enriched with 0.2 mg/L
IAA and two levels of BAP (3 and 5 mg/L). Method 1 of sterilization was better
than method 2. BAP at 5 mg/L in both basic media produced noduls on the
explants, but further development was more promoted by WP.
Key words: modificated MS medium, multiplication, plantain kepok merah, WP
medium.

MULTIPLIKASI IN VITRO TANAMAN PISANG KEPOK
MERAH (Musa paradisiaca cv. Kepok Merah)

EVA KHAERUNNISA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada

Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi: Multiplikasi in vitro Tanaman Pisang Kepok Merah (Musa
paradisiaca cv. Kepok Merah)
Nama
: Eva Khaerunnisa
NIM
: G34090065

Disetujui oleh

Dr Ir Diah Ratnadewi, DEA
Pembimbing I


Nina Ratna Djuita, SSi, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Iman Rusmana, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi: Multiplikasi in vitro Tanaman Pisang Kepok Merah (Musa
paradisiaca cv. Kepok Merah)
: Eva Khaerunnisa
Nama
: 034090065
NIM

Disetujui oleh

セ@


---

Nina Ratna Djuita, SSi, MSi
Pembimbing II

Dr Ir Diah Ratnadewi. DEA
Pembimbing I

Diketahui oleh

Si

Tanggal Lulus:

27

r

L.


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
berkahnya-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Januari sampai Juli 2013 dengan judul Multiplikasi in
vitro Tanaman Pisang Kepok Merah (Musa paradisiaca cv. Kepok Merah).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Diah Ratnadewi, DEA dan Nina Ratna
Djuita, SSi, MSi selaku pembimbing, serta Dr Sri Listiyowati, MSi selaku
penguji. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Pak Kusmayadi
yang telah banyak membantu pada saat penelitian berlangsung dan Ibu Binti yang
telah mengirimkan bonggol pisang kepok merah. Ungkapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada sahabat seperjuangan dalam melaksanakan penelitian
yaitu: Ai, Oli, Diah, Monik, Yusi, Cut, Upi, Fistumers, GM, serta teman-teman
Bio 46 yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu dan untuk keluargaku
penulis ucapkan terima kasih yang teristimewa atas segala bentuk do’a dan
bantuan yang telah diberikan.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Semoga
karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2014
Eva Khaerunnisa


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Tujuan Penelitian
BAHAN DAN METODE






Waktu dan Tempat



Bahan dan Alat



Metode sterilisasi eksplan pisang kepok merah



Inisiasi dan multiplikasi pisang kepok merah



Analisis Data




HASIL



Sterilisasi Eksplan



Tahap Inisiasi dan Multiplikasi Tunas



PEMBAHASAN



SIMPULAN


10 

DAFTAR PUSTAKA

10 

LAMPIRAN

12 

RIWAYAT HIDUP

14 

DAFTAR TABEL
1 Perbandingan efektivitas metode sterilisasi 1 dan 2
2 Pengaruh perlakuan terhadap kondisi kultur pisang kepok merah
3 Data kualitatif penampilan kultur dan waktu tumbuh nodul
4 Pertumbuhan dan perkembangan planlet pisang kepok merah






DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan nodul dominan warna hijau pada media W2 (1),
pertumbuhan tunas tanpa pertumbuhan nodul pada media M1 (2)
2 Pertumbuhan tunas dan daun (1) perlakuan M1 umur 22 MST, (2)
perlakuan M2 umur 22 MST, (3) perlakuan W1 umur 19 MST, dan (4)
perlakuan W2 umur 20 MST




DAFTAR LAMPIRAN
1 Komposisi media dasar MS (Murashige dan Skoog 1962) dan MS
modifikasi (Mulyaningsih 1998)
2 Komposisi media dasar WP (Llyod dan Mc. Cown 1981)

12 
13 

PENDAHULUAN
Tanaman pisang tersebar luas di seluruh Indonesia. Umumnya pusat
pengembangan budidaya pisang tersebar di daerah Palembang, Banyuwangi, dan
beberapa daerah di Jawa Barat. Persebaran pisang kepok terpusat di beberapa
daerah di Jawa Timur, khususnya Malang. Tanaman pisang yang biasa dijumpai
adalah pisang kepok merah, kepok putih, dan kepok kuning (Kristina 2007).
Pisang kepok memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan bermanfaat
sebagai bahan baku industri yang dapat dikembangkan (Kristina 2007). Kepok
merah memiliki manfaat yang lebih spesifik dibandingkan pisang kepok kultivar
lainnya yaitu sebagai makanan pendamping air susu ibu (MPASI) untuk bayi
(Melilea 2012). Kepok merah dipilih sebagai MPASI karena jarang menimbulkan
reaksi alergi, aman dikonsumsi dan cocok untuk bayi.
Persebaran pisang kepok merah yang tidak merata mengakibatkan sering
terjadi kelangkaan di daerah lain di Indonesia, sehingga masyarakat yang
mengenal dan mengkonsumsi pisang kepok merah ini masih terbatas. Langkah
supaya masalah ini teratasi di antaranya dengan multiplikasi pisang kepok merah
secara in vitro, agar bibitnya dapat disebarluaskan kepada masyarakat.
Setiap kultivar pisang memiliki respons yang berbeda dengan kultivar
lainnya sehingga untuk menentukan metode kultur yang tepat masih merupakan
tantangan yang besar (Sunarjono 2002). Multiplikasi tanaman dengan kultur in
vitro menghasilkan tanaman yang seragam, dapat memproduksi banyak bibit,
menghasilkan tanaman bebas virus karena kondisi kultur aseptik, dan dapat
diperbanyak dalam waktu yang relatif singkat (Zulkarnain 2009).
Teknik kultur in vitro memerlukan bahan eksplan. Bahan eksplan dapat
berupa bagian-bagian tanaman karena tanaman memiliki sifat totipoten.
Totipotensi merupakan kemampuan sel tumbuhan bukan embrionik yang
berdiferensiasi menjadi sel embrionik, kemudian berkembang menjadi tumbuhan
baru yang lengkap (Salisbury dan Ross 1995). Bahan eksplan yang paling baik
digunakan adalah yang memiliki sifat meristematik. Bahan tanaman pisang yang
dijadikan eksplan dapat berupa jantung pisang, meristem tunas, dan kuncupkuncup samping yang berada di bonggol pisang. Perbanyakan dengan kultur in
vitro, memerlukan bahan eksplan yang steril.
Bahan eksplan yang steril didapatkan dengan cara melakukan sterilisasi
melalui berbagai tahap perendaman dalam bahan sterilan misalnya: Bayclin,
larutan bakterisida, larutan fungisida, dan antibiotik. Bahan sterilan bersifat racun
bagi jaringan tanaman, oleh karena itu diperlukan pembilasan dengan akuades
steril untuk menghilangkan sisa-sisa racun yang menempel di permukaan eksplan.
Sterilisasi bahan eksplan bertujuan menghilangkan kontaminasi berupa bakteri
dan cendawan yang berada di permukaan eksplan. Bahan eksplan beserta
kontaminannya merupakan makhluk hidup. Kontaminan harus dimatikan agar
tidak tumbuh dalam media.
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam media kultur memerlukan
zat pengatur tumbuh (ZPT). Penggunaan ZPT auksin berupa Indol Acetic Acid
(IAA) dan sitokinin berupa Benzil Amino Purin (BAP), didasarkan pada respons
fisiologis dan morfologis yang dihasilkan. Menurut Wattimena (1988)
penambahan IAA dalam media dasar kultur mendorong pertumbuhan kalus.

2
Dalam waktu relatif singkat, jika IAA dikombinasikan dengan penambahan BAP
pada konsentrasi yang tepat, akan mempengaruhi berbagai respons di dalam
tanaman, terutama aktivitas yang mendorong pembelahan sel. Tanaman dapat
berdiferensiasi menjadi organ tanaman seperti daun, batang, dan akar akibat dari
pembelahan sel.
Kultur in vitro tanaman pisang telah banyak dilakukan, namun
pertumbuhan dan perkembangannya berbeda-beda bergantung pada asal bahan
dan jenis eksplan yang digunakan. Marlin et al. (2012) menggunakan bahan
eksplan berupa bakal buah (ovary) bunga pisang curup. Bahan eksplan ditanam
dalam media yang telah diberi sitokinin BAP dan auksin Dichlorophenoxyacetic
acid (2.4 D). Inisiasi pisang curup dari perlakuan tersebut menghasilkan banyak
nodul-nodul morfogenik (bakal tunas), berwarna kuning kehijauan dan bertekstur
remah.
Rodiniah et al. (2012) melakukan multiplikasi pisang talas menggunakan
bahan eksplan berupa mata tunas apikal pada bonggol. Mata tunas apikal dari
bonggol dipilih karena memiliki sifat meristematik. Hal ini menghasilkan
pertumbuhan tunas relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan bahan eksplan
lain yang umum digunakan dalam inisiasi dan multiplikasi pisang.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mencari formula media inisiasi dan multiplikasi
pisang kepok merah dalam rangka memperbanyak tanaman.

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada Januari – Juli 2013 di Laboratorium
Penelitian Kultur Jaringan Departemen Biologi, FMIPA, IPB.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan berupa mata tunas apikal pada bonggol
pisang kepok merah. Bonggol berasal dari Kota Blitar, Jawa Timur. Zat pengatur
tumbuh yang digunakan berupa IAA dan BAP. Media yang dipakai adalah
Murashige dan Skoog (MS) modifikasi dan Woody Plant (WP). Komposisi media
tercantum di Lampiran 1 dan 2.
Bahan sterilisasi eksplan yang digunakan berupa larutan fungisida
(Dithane M-45), larutan bakterisida (Agrept), alkohol 70%, larutan Bayclin 5%,
15%, 20%, dan 30% serta akuades steril sebagai bahan pembilas.
Alat yang digunakan antara lain botol kultur, autoklaf, timbangan, pH
meter, laminar air flow cabinet (LAFC), serta alat-alat diseksi.

3
Metode sterilisasi eksplan pisang kepok merah
Metode sterilisasi 1
Bahan eksplan berupa mata tunas apikal dari bonggol pisang dipotong
sebesar 1 x 5 cm. Bahan tersebut dicuci dengan air mengalir, kemudian
dimasukkan ke dalam botol yang berisi campuran 100 mL akuades steril dan 3
tetes Tween 80 selama 1 jam. Setelah itu, eksplan direndam dalam larutan
fungisida (Dithane M-45) 0.2 mg/100 mL selama 1 jam, kemudian direndam
dalam larutan bakterisida (Agrept) 0.2 mg/mL selama 1 jam. Selanjutnya eksplan
direndam dalam larutan alkohol 70% selama 1 menit di dalam LAFC, dilanjutkan
perendaman dalam larutan Bayclin 30% selama 30 menit dan Bayclin 20% selama
20 menit. Masing-masing tahap di luar dan di dalam LAFC dibilas 3 kali dengan
akuades steril. Bahan eksplan dikupas sampai tampak jaringan berwarna putih dan
dibelah menjadi dua bagian, kemudian ditanam dengan posisi bagian yang terluka
menghadap media.
Metode sterilisasi 2
Bahan eksplan direndam di dalam larutan deterjen selama 1 jam dan
dibilas dengan air mengalir selama 10-15 menit. Selanjutnya eksplan disterilisasi
secara berurutan menggunakan alkohol 70% selama 2 menit, Bayclin 15% selama
15 menit, dan Bayclin 5% selama 5 menit sambil dikocok, kemudian dibilas
menggunakan akuades steril. Eksplan yang telah disterilisasi lalu dikupas dan
dibelah menjadi dua bagian seperti pada metode sterilisasi 1. Semua tahap
tersebut dilakukan di dalam LAFC.
Pengamatan efektivitas sterilisasi eksplan
Eksplan hasil sterilisasi dari kedua cara tersebut ditanam ke media dasar
MS tanpa ZPT (Lampiran 1). Pengamatan terhadap efektivitas sterilisasi
dilakukan selama 2 minggu, dengan waktu pengamatan dilakukan setiap hari.
Parameter yang diamati meliputi jumlah eksplan terkontaminasi, tidak
terkontaminasi, dan eksplan mati.
Inisiasi dan multiplikasi pisang kepok merah
Media inisiasi dan multiplikasi tunas
Media dasar yang digunakan adalah MS modifikasi dan WP. Kedua media
digunakan pada tahapan inisiasi dan multiplikasi. Media dasar dikombinasikan
dengan ZPT berupa IAA 0.2 mg/L dan 2 taraf BAP 3 dan 5 mg/L. Masingmasing perlakuan dibuat 10 kali ulangan (botol), sehingga jumlah kultur yang
digunakan 40 botol. Penelitian ini menggunakan 4 media kombinasi yaitu:
M1 = media MS+ IAA 0.2 mg/L+ BAP 3 mg/L
M2 = media MS+ IAA 0.2 mg/L+ BAP 5 mg/L
W1 = media WP+ IAA 0.2 mg/L+ BAP 3 mg/L
W2 = media WP+ IAA 0.2 mg/L+ BAP 5 mg/

4
Pengamatan pertumbuhan planlet
Pengamatan dilakukan selama 22 minggu, dengan waktu pengamatan satu
minggu sekali. Parameter yang diamati meliputi perubahan warna kultur, jumlah
kultur hidup, kultur mati, kultur terkontaminasi, penampilan kultur, waktu tumbuh
tunas, jumlah tunas, dan jumlah daun pada minggu terakhir pengamatan.
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif, karena kondisi bahan tanaman
yang berbeda akibat proses sterilisasi di awal, adaptasi tanaman terhadap
lingkungan media berbeda, terjadi kontaminasi pada umur kultur yang berbeda,
serta pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang beragam.

HASIL
Sterilisasi Eksplan
Perlakuan sterilisasi eksplan metode sterilisasi 1 menghasilkan eksplan yang
terkontaminasi sebesar 8.33%, tidak terkontaminasi sebesar 91.67%, dan
kontaminasi terjadi pada 4 hari setelah tanam (HST) sebanyak 1 botol kultur, dan
tidak bertambah lagi pada hari berikutnya sedangkan metode sterilisasi 2
persentase eksplan yang terkontaminasi sebesar 41.67%, tidak terkontaminasi
sebesar 58.33%, dan kontaminasi terjadi pada 4 HST sebanyak 2 botol kultur
hingga pada 10 HST sebanyak 5 botol kultur (Tabel 1). Perbedaan metode ini
terletak pada tahap awal perendaman bahan eksplan dan waktu perendaman.
Perbedaan proses sterilisasi, konsentrasi sterilan, dan waktu perendaman
memungkinkan kontaminasi eksplan banyak terjadi pada metode sterilisasi 2
dibandingkan metode sterilisasi 1.
Tabel 1 Perbandingan efektivitas metode sterilisasi 1 dan 2
Waktu Pengamatan

Perlakuan

Hasil

Sterilisasi 1

Kontaminasi
Tidak Terkontaminasi
Mati
Kontaminasi
Tidak Terkontaminasi
Mati

Sterilisasi 2

2
HST
12
12
-

4
HST
1
11
2
10
-

6
HST
1
11
2
10
-

8
HST
1
11
4
8
-

10
HST
1
11
5
7
-

12
HST
1
11
5
7
-

14
HST
1
11
5
7
-

% 14 HST
8.33
91.67
0
41.67
58.33
0

HST : hari setelah tanam

Metode sterilisasi 1 selanjutnya digunakan pada perlakuan berikutnya
karena metode tersebut lebih baik daripada metode sterilisasi 2. Kontaminasi pada
eksplan berupa cendawan dan bakteri. Eksplan yang terkontaminasi pada kedua
metode tersebut masih hidup. Sterilisasi ulang dilakukan agar eksplan dapat
mempertahankan hidupnya. Penyelamatan menggunakan sterilisasi ringan dengan

5
Bayclin 5% selama 5 menit dan dibilas dengan akuades steril. Eksplan yang tidak
terkontaminasi tampak sehat dan ukurannya bertambah besar.
Tahap Inisiasi dan Multiplikasi Tunas
Pertumbuhan kultur pisang kepok merah yang diamati meliputi kultur
hidup, kultur mati, dan kultur yang mengalami cekaman (menghitam). Kultur
hidup dilihat dari respons terhadap perlakuan media yang diberikan yaitu
mengalami perubahan ukuran (bertambah besar) dan tumbuh nodul-nodul
morfogenik. Kultur mati disebabkan oleh kontaminasi cendawan atau bakteri yang
tidak dapat diselamatkan dengan metode sterilisasi ringan. Kultur yang
menghitam ialah kultur yang mensekresikan metabolit sekunder berupa senyawa
fenol. Metabolit sekunder ini menyebabkan eksplan menjadi hitam. Meskipun
kultur ini menghitam, tetapi masih mengalami pertumbuhan berupa muncul
nodul-nodul kecil berwarna putih di bagian permukaan eksplan.
Pertumbuhan kultur pada umumnya mulai terlihat pada minggu pertama,
yaitu ukuran eksplan yang berwarna putih kekuningan dan ukurannya mulai
bertambah besar. Pada pengamatan minggu ke- 22 persentase kultur yang hidup
sebesar 100% dengan jumlah yang sama antara kultur hidup dan kultur
menghitam terlihat pada perlakuan M2 (Tabel 2). Kematian pada kultur terjadi
pada perlakuan M1, W1, dan W2, dengan persentase kematian relatif rendah
akibat terkontaminasi oleh cendawan dan bakteri.
Tabel 2 Pengaruh perlakuan terhadap kondisi kultur pisang kepok merah
Perlakuan

Hidup

M1
4
M2
5
W1
8
W2
7
MST : minggu setelah tanam

Mati

Menghitam

1
1
1

5
5
1
2

% Kultur Hidup
90
100
90
90

Pertumbuhan nodul-nodul morfogenik mulai terlihat pada 5 minggu
setelah tanam (MST) pada perlakuan W1 dan W2, lalu menyusul M2 pada 6 MST
dan M1 pada 13 MST. Pertumbuhan nodul merupakan fase awal sebelum muncul
tunas. Nodul yang terbentuk berwarna putih kehijauan. Setelah nodul dominan
berwarna hijau (Gambar 1.1), nodul akan meregenerasikan tunas adventif.
Beberapa kultur langsung tumbuh dari tunas apikal misalnya pada M1 (Gambar
1.2). Data kualitatif pertumbuhan nodul (bakal tunas) disajikan pada Tabel 3.
Nodul hijau

Tunas Apikal

(1)

(2)

Gambar 1 Pertumbuhan nodul dominan warna hijau pada media W2 (1),
pertumbuhan tunas tanpa pertumbuhan nodul pada media M1 (2)

6
Tabel 3 Data kualitatif penampilan kultur dan waktu tumbuh nodul
Perlakuan
M1
M2
W1
W2

Waktu Tumbuh Nodul
(MST)
13
6
5
5

Pertumbuhan Nodul

Warna Nodul

+
+++
+
+++

Putih
Putih kehijauan
Putih
Putih kehijauan

MST : minggu setelah tanam; + : sedikit; +++ : banyak

Pertumbuhan tunas dan daun terjadi pada semua perlakuan (Gambar 2).
Data waktu tumbuh tunas serta jumlah planlet yang bertunas dan berdaun
disajikan pada Tabel 4. Perlakuan W1 mampu menumbuhkan tunas tercepat pada
5 MST dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Beberapa planlet dari perlakuan
M1 dan W1 bertunas secara langsung, masing-masing perlakuan menghasilkan 1
dan 3 tunas. Semua perlakuan menghasilkan nodul-nodul. Tunas paling banyak
dihasilkan pada perlakuan W2 dengan kisaran 1-9 tunas per kultur. Total tunas
yang dihasilkan perlakuan W2 yaitu 23 tunas dari 5 botol kultur, sedangkan total
tunas perlakuan M2 paling sedikit yaitu 2 tunas dari 2 botol kultur. Meskipun
perlakuan M2 banyak menghasilkan nodul (Tabel 3), namun pada akhir
pengamatan tidak semua nodul dapat meregenerasikan tunas (Tabel 4). Hal
tersebut disebabkan oleh perbedaan respons kultur terhadap media sehingga waktu
tumbuh tunas berbeda. Jumlah daun paling banyak dihasilkan oleh perlakuan M1,
planlet pada M1 memiliki 12 daun.

(1)

(2)

(3)

(4)

Gambar 2 Pertumbuhan tunas dan daun (1) perlakuan M1 umur 22
MST, (2) perlakuan M2 umur 22 MST, (3) perlakuan W1
umur 19 MST, dan (4) perlakuan W2 umur 20 MST

7
Tabel 4 Pertumbuhan dan perkembangan planlet pisang kepok merah
Perlakuan

Jumlah kultur
bertunas

Waktu
TumbuhTunas
(MST)

Langsung

Bernodul

M1

1

2

(7-21)

M2

0

2

W1

3

2
5

W2
0
MST : minggu setelah tanam

Jumlah Tunas

Jumlah Daun

Kisaran

Total

Kisaran

Total

(1-6)

9

(0-12)

15

(7-21)

(1)

2

(0-4)

4

(5-18)

(1-2)

6

(0-3)

7

(8-19)

(1-9)

23

(0-5)

10

PEMBAHASAN
Sterilisasi eksplan merupakan tahap terpenting dalam kultur jaringan
tanaman. Tanaman yang akan dijadikan eksplan harus dalam keadaan steril, dan
setiap tanaman mempunyai respons spesifik terhadap metode-metode sterilisasi.
Sterilisasi eksplan bertujuan menghilangkan kontaminasi bakteri dan cendawan
yang berada di permukaan. Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa sumber
kontaminan berupa mikroorganisme pada eksplan umumnya berasal dari media
tanam yang digunakan akibat proses sterilisasi tidak sempurna, lingkungan kerja
(laboratorium) yang kurang steril, proses penanaman eksplan yang kurang aseptik,
serta kontaminan yang berasal dari dalam jaringan tanaman itu sendiri dan yang
berasal dari permukaan eksplan.
Dosis sterilan dan waktu perendaman eksplan bergantung pada dua hal,
yaitu ukuran eksplan dan jenis tanaman. Semakin besar ukuran eksplan, maka
akan semakin besar peluang terkontaminasi baik secara internal maupun eksternal,
tetapi kemungkinan keberhasilan proliferasi semakin besar. Sebaliknya jika
eksplan berukuran kecil maka peluang terkontaminasi semakin rendah dan
peluang untuk hidup akan semakin rendah (George dan Sherrington 1984).
Berdasarkan dosis dan waktu perendaman eksplan, metode sterilisasi 1 lebih baik
karena menghasilkan kontaminasi yang rendah (8.33%), jika dibandingkan
dengan metode sterilisasi 2 yang menghasilkan kontaminasi tinggi (41.67%).
Penggunaan 2 metode sterilisasi eksplan bertujuan untuk membandingkan serta
menentukan metode yang paling efektif dalam sterilisasi eksplan agar dapat
digunakan sebagai acuan dalam melakukan metode sterilisasi eksplan secara tepat.
Kontaminan yang terjadi pada eksplan terdiri atas cendawan dan bakteri.
Kontaminan yang berasal dari cendawan lebih banyak dan sifatnya sangat
merugikan eksplan sehingga eksplan mengalami kematian. Umumnya kontaminan
yang berasal dari cendawan dapat terlihat dari kemunculan hifa pada permukaan
media akibat udara masuk ke dalam media. Menurut Thorpe (1981) cendawan
yang tumbuh pada permukaan media kemudian membentuk hifa dan menutupi
permukaan media sehingga dapat menyebabkan kematian eksplan. Semangun
(1994) menyatakan bahwa umumnya cendawan yang terdapat pada tanaman
pisang adalah Fusarium oxysporum yang menyebabkan penyakit layu. Cendawan
ini menyerang bagian tanaman yang terluka khususnya bagian akar. Kotaminasi
oleh bakteri dapat terlihat dari kemunculan lendir yang berwarna putih pada

8
bagian eksplan hingga menyebar ke media tanam. Beberapa eksplan dapat
diselamatkan dengan cara mengulang sterilisasi ringan dengan menggunakan
Bayclin 5% dan akuades steril, kemudian eksplan ditanam kembali pada media
perlakuan yang baru. Menurut Zulkarnain (2009), bakteri yang tumbuh dari
eksplan setelah beberapa minggu dalam botol kultur merupakan bakteri endofit.
Bakteri endofit merupakan bakteri yang hidup di dalam jaringan tanaman. Akibat
bakteri endofit, eksplan sulit dibersihkan dengan menggunakan metode sterilisasi
permukaan. Peningkatan konsentrasi sterilan dan waktu perendaman tidak dapat
mematikan bakteri yang berada di dalam jaringan eksplan tetapi akan
menyebabkan klorosis pada eksplan.
Bakteri endofit umumnya hidup bersimbiosis mutualisme terhadap
inangnya. Bakteri endofit berperan sebagai pengendali hayati yang dapat
mencegah serangan penyakit pada tanaman (Melliawati et al. 2006). Pada kultur
in vitro, bakteri endofit bersifat merugikan karena dapat menghambat
pertumbuhan eksplan. Eksplan merupakan potongan kecil bagian tanaman yang
umumnya bersifat meristematik. Eksplan dapat tumbuh dan berkembang dari
nutrisi yang tersedia di dalam medium karena eksplan belum dapat menghasilkan
nutrisi. Jika di dalam eksplan terdapat bakteri endofit, maka bakteri tersebut akan
bersaing dengan eksplan dalam memenuhi kebutuhan nutrisinya. Akibatnya,
eksplan yang tidak dapat bersaing akan didominasi oleh bakteri endofit yang
menyebabkan kontaminasi bahkan kematian pada kultur.
Pertumbuhan kultur pisang kepok merah yang diamati meliputi kultur
hidup, kultur mati, dan kultur yang menghitam. Kultur yang menghitam menurut
Hutami (2008) terjadi karena akumulasi polifenol oksidase yang disintesis dan
dilepas dalam kondisi teroksidasi pada jaringan yang terluka (gejala fenolik).
Sebagai akibatnya, jaringan mengalami perubahan warna menjadi hitam dan
pertumbuhannya terhambat. Hal tersebut mengakibatkan dominasi perubahan
warna jaringan dan media menjadi menghitam. Perbedaan komposisi unsur hara
makro antara media MS modifikasi dan WP juga menyebabkan respons yang
berbeda pada setiap kultur. Menurut Gunawan (1988), penggunaan konsentrasi
unsur hara makro yang lebih rendah daripada konsentrasi media dasar MS lebih
baik. Media dasar MS menggunakan konsentrasi unsur-usnur hara makro tinggi
sehingga menyebabkan pengendapan persenyawaan P dan Fe. Akumulasi dari
pengendapan persenyawaan tersebut diduga menjadi penyebab dominannya kultur
yang menghitam pada perlakuan M1 dan M2.
Pembentukan nodul-nodul morfogenik pada kedua media dengan
kombinasi IAA dan BAP diharapkan terjadi sebelum pembentukan tunas. Eksplan
yang membentuk nodul morfogenik akan menghasilkan lebih banyak tunas
daripada eksplan tanpa nodul morfogenik. Hasil menunjukkan sebagian besar
kultur pada semua perlakuan membentuk nodul morfogenik. Dominasi
pembentukan nodul morfogenik terjadi pada M2 dan W2 dengan penambahan
BAP 5 mg/L. Perlakuan M1 dan M2 menggunakan media MS yang telah
dimodifikasi menjadi media Highly Proliferated Bud (HPB) tanpa vitamin C.
Menurut Mulyaningsih (1998) media HPB menghasilkan nodul-nodul morfogenik
berwarna putih dan mengalami proliferasi yang sangat cepat sehingga diperoleh
nodul yang bergerombol. Hal tersebut terjadi pada perlakuan M2 yang
menghasilkan lebih banyak nodul morfogenik dibandingkan dengan perlakuan
M1. Pertumbuhan nodul morfogenik dalam jumlah banyak terjadi juga pada

9
perlakuan W2. Menurut Theodora (2010) penambahan konsentrasi BAP yang
diberikan sebesar 5 mg/L juga meningkatkan pertumbuhan nodul pada tanaman
jarak pagar (Jatropha curcas).
Pada perlakuan M1 dan W1 terdapat beberapa planlet yang langsung
membentuk tunas. Menurut Wattimena (1988) hal tersebut terjadi karena sintesis
auksin pada bagian meristem apikal, sehingga terjadi pembentukan tunas lebih
cepat akibat meningkatnya produksi auksin endogen. Sebanyak 23 tunas tumbuh
pada perlakuan W2, 9 tunas pada M1, 6 tunas pada W1 dan 2 tunas pada M2.
Perlakuan W2 dan M2 mengandung lebih banyak BAP (5 mg/L) dibandingkan
perlakuan W1 dan M1 (3 mg/L). Konsentrasi ZPT sitokinin (BAP) yang lebih
tinggi dapat memacu pertumbuhan tunas. Menurut Avivi dan Ikrawati (2004) pada
mikropropagasi tanaman pisang abaca (Musa textilis Nee) pemberian BAP 5 mg/L
memberikan pengaruh terhadap kecepatan tumbuh tunas pada 33 HST, sedangkan
pemberian BAP 6 mg/L menghasilkan jumlah tunas tertinggi, yaitu 9 tunas per
botol dengan waktu tumbuh tunas 38 HST.
Penggunaan dua media berbeda diharapkan dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan kultur. Perbedaan dari kedua media dasar
tersebut terletak pada ketersediaan unsur hara makro. Konsentrasi unsur hara
makro total pada media MS modifikasi lebih tinggi yaitu sebesar 44.9 mM
sedangkan pada WP sebesar 16.8 mM. Media MS yang digunakan telah
dimodifikasi pada komposisi FeSO4·7H2O dan Na2EDTA·2H2O sebesar 0.4 mM
dibandingkan dengan media MS dasar sebesar 0.2 mM. Menurut Munawar (2011)
unsur Fe berperan penting dalam proses respirasi dan fotosintesis. Fe merupakan
komponen struktural sitokrom pada transpor elektron dan komponen protein
feredoksin yang diperlukan dalam fiksasi nitrogen serta sebagai katalis dari sistem
enzim yang terkait dalam pembentukan klorofil. Hal tersebut tidak memberikan
pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan pada perkembangan kultur pada
perlakuan M1 dan M2 jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada perlakuan W1
dan W2 tanpa modifikasi unsur Fe.
Media MS modifikasi yang digunakan tidak mengandung inositol sebagai
vitamin. Akibatnya pertumbuhan dan perkembangan planlet pada perlakuan M1
dan M2 terhambat dan menghasilkan tunas lebih rendah dibandingkan dengan
perlakuan W1 dan W2. Menurut Gamborg (1991) penggunaan inositol berfungsi
mengurangi kadar getah dan meningkatkan pertumbuhan sel. Jika keberadaan
getah terlalu banyak, maka pertumbuhan dan perkembangan planlet akan
terhambat.
Komposisi sulfur dalam sulfat pada media WP sebesar 4.38 mM,
sedangkan pada media MS modifikasi sebesar 1.28 mM. Menurut Tisdale et al.
(1985) sulfur pada media berfungsi merangsang pembentukan tunas dan akar serta
pembentukan klorofil. Jika tanaman mengalami kekurangan unsur sulfur gejalagejala yang dapat teramati seperti tanaman menguning, tumbuh kerdil, dan
batangnya rapuh. Hal tersebut mengakibatkan jumlah tunas pada media WP lebih
banyak dari media MS.

10

SIMPULAN
Metode sterilisasi 1 lebih baik dibandingkan dengan metode sterilisasi 2.
Media WP dan MS modifikasi dengan penambahan BAP 5 mg/L yang
dikombinasikan dengan IAA 0.2 mg/L terbukti dapat memacu pertumbuhan
nodul. Media WP lebih mendukung pertumbuhan dan perkembangan kultur in
vitro tanaman pisang kepok merah, ditinjau dari jumlah nodul dan jumlah tunas
yang dihasilkan. Media WP 2 (IAA 0.2 mg/L dan BAP 5 mg/L) menunjukkan
hasil terbaik.

DAFTAR PUSTAKA
Avivi S, Ikrawati. 2004. Mikropropagasi pisang abaca (Musa textilis Nee) melalui
teknik kultur jaringan. J Ilmu Pertanian 11:27-34.
Gamborg OL. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Widianto MB,
penerjemah; Wetter LR, Constabel F, editor. Bandung (ID): ITB Pr.
Terjemahan dari: Plant Tissue Culture Methods.
George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. England
(GB): Exegetics Limited.
Gunawan LW. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor (ID): PAU, IPB
Pr.
Hutami S. 2008. Masalah pencoklatan pada kultur jaringan [ulasan]. J AgroBiogen
4:83-88.
Kristina A. 2007. Eksplorasi dan identifikasi tanaman pisang kepok (Musa
paradisiaca Linn.) pada lahan kering di Kabupaten Malang [skripsi].
Malang (ID): Universitas Brawijaya.
Lloyd G, Mc Cown B. 1981. Commercially feasible micropropagation of
mountain laurel, Kalmia latifolia by use of shoot tip culture. Comb Proc Intl
Plant Prop Soc 30:421-427.
Marlin, Yulian, Hermansyah. 2012. Inisiasi kalus embrionik pada jantung pisang
curup dengan pemberian sukrosa, BAP dan 2.4D. J Agrivivor 11:275-283.
Melilea. 2012. Makanan Sehat Bayi [internet]. [diunduh 2012 Nop 12]. Tersedia
pada: http://www.club-melilea.com.
Melliawati R, Widyaningrum DN, Djohan AC, Sukiman H. 2006. Pengkajian
bakteri endofit penghasil senyawa bioaktif untuk proteksi tanaman.
Biodiversitas 7:221-224.
Mulyaningsih A. 1998. Isolasi dan kultur suspensi sel beberapa kultivar pisang
(Musa spp.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Munawar A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. Bogor (ID): IPB Pr.
Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bio assays
with tobacco tissue culture. Physiol Plant 15: 473.
Rodiniah, Nisa C, Rohmayanti E. 2012. Inisiasi pisang talas (Musa paradisiaca
var. sapientum L.) dengan pemberian sitokinin secara in vitro. J
Agroscientiae 19:107-111.

11
Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Lukman DR,
Sumaryono, penerjemah; Niksolihin S, editor. Bandung (ID): ITB Pr.
Terjemahan dari: Plant Physiology. Ed ke- 4.
Semangun H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Sunarjono H. 2002. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Jakarta (ID):
Penebar Swadaya.
Theodora F. 2010. Perbanyakan tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) melalui
stek buku tunggal secara in vitro [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Thorpe TA. 1981. Plant Tissue Culture. New York (US): Academic Pr.
Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD. 1985. Soil Fertility and Fertillizers. Ed ke- 4.
New York (US): MacMillan Publishing Company.
Wattimena GA. 1988. Zat Pengatur Tumbuh. Bogor (ID): PAU, IPB Pr.
Zulkarnain H. 2009. Kultur Jaringan Tanaman: Solusi Perbanyakan Tanaman.
Jakarta (ID): Bumi Aksara.

12

LAMPIRAN
Lampiran 1 Komposisi media dasar MS (Murashige dan Skoog 1962) dan MS
modifikasi (Mulyaningsih 1998)
No. Garam Mineral
Konsentrasi
Konsentrasi
Media MS Dasar
Media MS Modifikasi

1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
1

Hara Makro
NH4NO3
KNO3
CaCl2·2H2O
MgSO4·7H2O
KH2PO4
FeSO4·7H2O
Na2EDTA·2H2O
Hara Mikro
MnSO4·4H2O
ZnSO4·7H2O
H3BO3
KI
Na2MoO4·2H2O
CuSO4·5H2O
CoCl2·6H2O
Vitamin
Inositol
Thiamin-HCl
Asam Nikotianat
Piridoksin-HCl
Asam Amino
Glisin

(mg/L)
1650
1900
440
370
170
27.8
37.3
(mg/L)
22.3
8.6
6.2
0.83
0.25
0.025
0.025
(mg/L)
100
0.1
0.5
0.5
(mg/L)
2

(mM)
20.6
18.8
30.1
1.5
1.3
0.1
0.1
(µM)
100
30
100
5
1
0.1
0.1
(µM)
550
0.3
4.1
2.4
(µM)
26.6

(mg/L)
1650
1900
440
370
170
55.6
74.6
(mg/L)
22.3
8.6
6.2
0.83
0.25
0.025
0.025
(mg/L)
0.1
0.5
0.5
(mg/L)
2

(mM)
20.6
18.8
30.1
1.5
1.3
0.2
0.2
(µM)
100
30
100
5
1
0.1
0.1
(µM)
0.3
4.1
2.4
(µM)
26.6

13

Lampiran 2 Komposisi media dasar WP (Llyod dan Mc. Cown 1981)
No.
Garam Mineral
Konsentrasi
Hara Makro
(mg/L)
(mM)
1
NH4NO3
400
5.0
2
CaCl2·2H2O
96
0.7
3
MgSO4·7H2O
370
1.5
4
KH2PO4
170
1.3
5
Ca(NO3)2·4H2O
556
2.4
6
K2SO4
990
5.7
7
FeSO4·7H2O
27.85
0.1
8
Na2EDTA·2H2O
37.25
0.1
Hara Mikro
(mg/L)
(µM)
1
MnSO4·4H2O
22.3
100
2
ZnSO4·7H2O
8.6
30
3
H3BO3
6.2
100
4
Na2MoO4·2H2O
0.25
1
5
CuSO4·5H2O
0.25
1
Vitamin
(mg/L)
(µM)
1
Inositol
100
550
2
Thiamin-HCl
1
30
3
Asam Nikotianat
0.5
4.1
4
Piridoksin-HCl
0.5
2.4
Asam Amino
(mg/L)
(µM)
1
Glisin
2
26.6

14

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1991 dari Ayah
Ramdani, SH dan Ibu Suhartini. Penulis merupakan putri kedua dari tiga
bersaudara. Pada tahun 2009, penulis lulus SMA Negeri 106 Jakarta Timur dan
pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI). Penulis memilih mayor Biologi, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa organisasi
kemahasiswaan dan beberapa kepanitian yang diselenggarakan di IPB. Penulis
telah melaksanakan Studi Lapangan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW)
pada tahun 2011 yang berjudul “Ekologi Gua di Hutan Pendidikan Gunung
Walat”. Selain itu penulis telah melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2012
dengan judul “Pembibitan Pisang Cavendish (Musa paradisiaca L.) dengan
Metode Kultur Jaringan”. Pada tahun ajaran 2012/2013 penulis menjadi asisten
praktikum mata kuliah Fisiologi Tumbuhan, Kultur Jaringan Tanaman, dan Botani
Umum. Pada tahun ajaran 2013/2014 penulis menjadi asisten praktikum mata
kuliah Anatomi dan Morfologi Tumbuhan serta Pertumbuhan dan Perkembangan
Tumbuhan.